Kesantunan juga bisa diterakan dalam berbahasa.
Bagaimanakah konsep kesantunan dalam berbahasa?
Kesantunan juga bisa diterakan dalam berbahasa.
Bagaimanakah konsep kesantunan dalam berbahasa?
Kesantunan berbahasa berkaitan dengan aturan-aturan tentang halhal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur (Grice 1991:308). Alasan dicetuskannya konsep kesantunan adalah bahwa di dalam tuturan penutur tidak cukup hanya dengan mematuhi prinsip kerja sama. Kesantunan diperlukan untuk melengkapi prinsip kerja sama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerja sama. Menurut Gunarwan (1992:19) sebuah tindak tutur dapat mengancam muka mitratuturnya. Untuk mengurangi kerasnya ancaman terhadap muka itulah, di dalam berkomunikasi penutur tidak selalu mematuhi prinsip kerja sama Grice dan justru penutur menggunakan prinsip kesantunan.
Lebih lanjut, Gunarwan (1995:6) menambahkan bahwa pelanggaran prinsip kerja sama adalah bukti bahwa di dalam berkomunikasi kebutuhan penutur tidaklah untuk menyampaikan informasi saja, tetapi lebih dari itu. Di samping untuk menyampaikan amanat, kebutuhan penutur adalah menjaga dan memelihara hubungan sosial penutur-pendengar.
Menurut Brown dan Levinson, teori kesantunan berbahasa berkisar pada nosi muka (face) yang dibagi menjadi muka negatif dan muka positif. Muka negatif adalah keinginan individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi oleh pihak lain. Sedang muka positif adalah keinginan setiap penutur agar dia dapat diterima atau disenangi oleh pihak lain (dalam Yule, 2006). Dikatakan oleh Brown dan Levinson bahwa konsep tentang muka ini bersifat universal dan secara alamiah terdapat berbagai tuturan yang cenderung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan (Face Threatening Act).
Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), “face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati”. Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image).
Menurut Brown dan Levinson dalam Nadar (2006) sebuah tindak ujaran atau tindak tutur dapat merupakan ancaman terhadap muka yang disebut sebagai facethreatening act (FTA). Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negatif dan muka positif, kesantunanpun dibagi dua yaitu kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga muka positif).
Fungsi utama komunikasi adalah untuk menyampaikan pesan dari penutur kepada mitratuturnya. Namun demikian, dalam berkomunikasi ada hal lain yang harus diperhatikan. Hal itu berkenaan dengan menjaga ’muka’ para peserta komunikasi. Muka atau face adalah image yang ingin dijaga baik oleh penutur maupun mitratuturnya. Dengan kata lain, selain untuk menyampaikan pesan, komunikasi juga berfungsi untuk menjaga hubungan sosial dan estetis para partisipannya. Muka atau face ini dibagi menjadi dua jenis yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa-apa yang merupakan nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu hal yang baik dan menyenangkan. Sementara itu, muka negatif adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan penutur membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu (Rustono, 1999:68-69).
Brown dan Levinson dalam Nadar (2006) merangkum beberapa tindakan yang melanggar muka negatif meliputi:
Tindakan yang mengancam muka positif lawan meliputi:
Dari sudut pandang teori tindak tutur, penolakan dapat diklasifikasikan sebagai kelompok direktif yang mengancam muka negatif lawan tutur dan dapat juga dimasukan dalam kelompok ekspresif yang mengancam wajah positif lawan tutur. Oleh karena itu Brown dan Levinson (Nadar, 2006) memberikan beberapa strategi yang digunakan untuk meminimalkan ancaman terhadap muka negatif maupun muka positif agar ujaran terdengar santun.