Bagaimanakah Kisah dan Perjuangan Sunan Kalijaga?

Tokoh wali yang sangat banyak mengandung misteri diantara walisongo adalah Sunan Kalijaga. Ia salah seorang wali yang asli berdarah Jawa. Bagaimanakah kisah dan perjuangan Sunan Kalijaga?

Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.

Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

Ada pendapat bahwa sejarah tentang asal-usul Sunan Kalijaga ada tiga versi yaitu: Arab, China, dan Jawa. Menurut versi Jawa, nenek moyang Sunan Kalijaga dimulai dari Aryo Adikoro atau terkenal dengan nama Ronggolawe putra Aryo Wira Raja atau Banyak Wide putra Adipati Ponorogo yang pada masa pemerintahan Raja terakhir Singasari Prabu Kertanegara.

Setelah Raden Wijaya dapat membangun Kerajaan baru dengan nama Majapahit, Ronggowale ditempatkan sebagai Menteri Luar Negeri dan sekaligus penguasa kota Tuban. Pada waktu itu Tuban merupakan Pelabuhan terbesar di Indonesia. Salah satu putra Roggolawe kemudian menjadi Adipati Tuban yaitu Haryo Tejo I (Pemeluk Hindu) selanjutnya secara turun-temurun kedudukan Adipati Tuban di pegang oleh keturunan tersebut yaitu Haryo Tejo II (Pemeluk Hindu), Haryo Tejo III (Pemeluk Islam) atau Raden Sahur yang bergelar Tumenggung Wilotikto yang beristri Retno Dumila. Kemudian berputra Raden Syahid (Sunan Kalijaga). Berdasarkan keterangan tersebut Sunan Kalijaga diperkirakan lahir kisaran tahun 1430-an.

Sunan Kalijaga beristri dua orang yang pertama Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, dan yang kedua bernama Dewi Sarokah atau Siti Zainap binti Sunan Gunung Jati. Jadi istri Sunan Kalijaga adalah saudara kandung Raden Paku (Sunan Giri). Dengan Dewi Saroh berputra tiga orang yaitu Raden Umar Syahid (Sunan Muria), Dewi Ruqayyah, dan Dewi Sufiah. Selanjutnya dengan Dewi Sarokah lahir lima anak yaitu Kanjeng Ratu Pembayun (Istri Sultan Trenggono), Nyai Ageng Panenggak (Istri Kyai Pakar), Sunan Hadi (Pengganti Kedudukan Sunan Kalijaga di Kadilangu), Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang.

Dalam keterangan lain Sunan Kalijaga pernah Nikah dengan Siti Zainap yaitu saudara Sunan Gunung Jati. Dari pernikahan ini lahir Pangeran Panggung atau Sunan Panggung (Murid Syekh Siti Jenar). Sunan Kalijaga termasuk di anugerahi umur panjang oleh Allah SWT. karena diperkirakan Sunan Kalijaga sudah pernah hidup pada Era Majapahit yang runtuh dari Girindrawardhana tahun 1478, kemudian Era Demak tahun 1478 – 1546, Kasultanan Pajang tahun 1560 – 1580 dan awal Mataram Islam. Kalau ditinjau dari peranannya dalam pengangkatan Panembahan Senopati menjadi Sultan di Mataram berarti usia Sunan Kalijaga mencapai 140 tahun.

Tentang digunakannya nama Kali Jaga adalah dikaitkan dengan awal perjalanannya menjadi murid Sunan Bonang, yang kemudian mengantarkan Raden Syahid menjadi Wali yaitu selama beberapa tahun menjadi menjaga tongkat Sunan Bonang yang ditancapkan di tepi sungai/telaga di lereng Gunung Surowiti (sekarang Desa Surowiti Kecamatan Panceng Kabupaten Gresik Jawa Timur) yang kemudian di tempat itu meninggalkan sebuah Patilasan. Karena pendangannya dalam menyebarkan Islam Sunan Kalijaga dianggap sebagai Pemuka Wali yang digolongkan pada kelompok bersama Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Muria.

Di bidang seni dan budaya Tembang Ilir-Ilir dan Dandang Gulo adalah beberapa diantara Karyanya. Dalam bidang karya tulis yang dihasilkan oleh Sunan Kalijaga adalah Kitab Serat Dewa Ruci dan Kitab Suluk Linglung. Diantara hasil karya tulis itu sebagian masyarakat khususnya yang tinggal di Gunung Surowiti dan sekitarnya meyakini kebenarannya hingga kini telah tersimpan disana.

Masa Remaja (Dewasa)


Pada waktu masih kecil Sunan Kalijaga dikenal dengan nama Raden Syahid. Nama itu diberikan oleh Sunan Ampel. Sedangkan nama sebelumnya adalah Raden Secoh. Keterangan ini nampaknya masuk akal karena nenek moyang Sunan Kalijaga sebagian besar menggunakan nama Jawa. Adik Sunan Kalijaga pun juga diberi nama Jawa tulen yaitu Dewi Rosowulan, yang kelak menjadi istri seorang tokoh kejawen kondang, putra seorang Panglima Tentara Majapahit bernama Empu Supogati atau bisa disebut Empu Supo saja. Kemudian wafat dan di makamkan di Gunung Surowiti. Sampai saat ini keberadaan situs makam Empu Supo juga diyakini kebenarannya oleh masyarakat Gunung Surowiti dan sekitarnya.

Pada saat Raden Syahid beranjak dewasa, dia mulai mengenal kehidupan masyarakat luas yang hampir seluruhnya petani. Dia mulai merasakan perbedaan mencolok antara kehidupan yang dialami di rumah Kadipaten itu dengan anak-anak desa lainnya. Perbedaan tersebut telah menggugah pikirannya yang sudah terisi dengan nilai-nilai mulia dari agama Islam yang antara lain mengajarkan Puasa dan membayar Zakat, dan betapa pentingnya memperhartikan serta mengasihi orang miskin.

Menyaksikan ketidakadilan itulah akhirnya menjadi tujuan Raden Syahid mengembara ke berbagai daerah termasuk ke wilayah Gunung Surowiti dan sekitarnya. Dengan demikian penjelasan ini dianggap lebih memberi nilai positif dari semua kisah Raden Syahid yang selama ini banyak beredar. Bahwa sangat tidak masuk akal kalau saat pengembaraannya itu Raden Syahid telah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan Ajaran Islam seperti berjudi, merampok, minum-minuman keras, seperti yang selama ini dikonotasikan sebagai perilaku dalam kisah Brandal Loka Jaya.

Sunan Kalijaga beradaptasi di Gunung Surowiti

Mengetahui situasi masyarakat khususnya masyarakat pedesaan yang kontras dengan situasi di kota Tuban terutama perilaku para penGoaasanya, Raden Syahid sering pergi berkelana ke daerah lain, “Njajah Projo Milangkori”.

Suatu ketika, di desa nun jauh dari Ibu kota Tuban, Raden Syahid mengalami peristiwa sebagai berikut:

Disuatu malam tersebutlah kisah ada seorang lelaki bernama Suro Astono yang berbadan kurus kering dan bertelanjang dada sedang memikul hasil bumi untuk dijual ke pasar terdekat. Pak tua itu bersama anak gadisnya yang menyertai perjalanan menyusuri jalan setapak di tengah hutan. Nama anak gadis itu Sri Wangi.

Setelah barang dagangannya habis terjual di pasar pak tua dan anak gadisnya istirahat sejenak dalam perjalanan kembali ke rumahnya. Begitu memasuki jalan setapak sepi dan sunyi yang menembus hutan yang tak jauh dari arah sebuah sendang yang bernama Selo Ringin (akhirnya disebut Selo Dingin). Di tempat itulah biasa menjadi daerah operasi perampok yang banyak dikenal oleh masyarakat sekitarnya.

Tiba-tiba pak tua merasa terkejut mendengar suara derap kaki kuda dari kejauhan. Tidak lama memang para penunggang kuda itu adalah rombongan para perampok Kondang Kaloko. Kepala perampok segera memerintahkan pak tua berhenti dan menghadangnya. Tetapi setelah kepala perampok, namanya Suro Gentho, melihat kecantikan Sri Wangi perhatiannya kemudian tertuju kepada gadis itu karena Suro Gentho yakin kalau merampok uang pak tua tentu tidak seberapa. Oleh karena itu Suro Gentho lalu ingin memperkosa Sri Wangi. Gadis cantik itu lalu ditarik paksa sambil menjerit-jerit ke sebuah gubuk dan ditelentangkan di atas balai-balai. Kekuatan Sri Wangi yang meronta-ronta sekuat tenaga tidaklah sekuat tenaga anak buah Suro Gentho yang juga itu membantu memegangi kedua tangan dan kakinya.

Namun begitu keadaan hampir saja merenggut kegadisan Sri Wangi tiba-tiba muncullah seorang anak muda yang menunggang kuda dan memperingatkan para perampok untuk segera melepaskan gadis itu. Kedatangan pemuda itu tentu membuat Suro Gentho menjadi sangat marah. Disamping telah mengganggu hasratnya juga dianggap telah melecehkan pamor sebagai perampok yang ditakuti di daerah itu.

Kemudian terjadi perkelahian antara pemuda itu dengan rombongan perampok. Singkat cerita pemuda tersebut mampu memenangkan perkelahian karena dia memiliki ilmu bela diri yang tinggi dan memiliki banyak kesaktian.

Setelah Suro Gentho dan anak buahnya dapat dikalahkan oleh pemuda yang hanya seorang diri maka Sri Wangi dan ayahnya dibebaskan. Bahkan para perampok itu berjanji untuk bertobat atas perbuatan buruknya selama ini. Oleh pemuda itu Suro Gentho disarankan menuju ke suatu tempat di atas bukit untuk menjalani masa pertaubatannya dan membangun pemukiman di atas bukit itu.

Alkisah, karena orang pertama yang mematuhi saran pemuda sakti itu, Suro Gentho dan Suro Astono, maka pada akhirnya pemukiman baru di atas bukit itu di beri nama Surowiti, yang bisa berarti “Suro kang miwiti”. Hijrahnya Suro dan kawan-kawan bertepatan dengan bulan Muharrom atau bulan Suro dalam bulan Jawa (tetapi perpindahan ini tidak tercatat tahun).

Demikian Sri Wangi dan keluarga diikuti beberapa orang yang selama ini tinggal di tengah hutan yang hanya mengandalkan kehidupan di sekeliling Sendang Selo Ringin, pada akhirnya mengikuti jejak orang tuanya untuk pindah ke atas bukit tersebut.

Namun ada beberapa orang yang tidak mematuhi saran pemuda tersebut dan diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Ternyata mereka memilih menuju tempat di lereng bukit sebelah selatan. Oleh karena bertempat tinggal di lereng bukit selanjutnya perkampungan itupun disebut “Ngamping”. Sekarang wilayah tersebut menjadi salah satu nama dusun diwilayah Desa Surowiti yaitu Dusun “Gampeng”.

Kisah pak tua dan Sri Wangi tersebut akhirnya berkembang dan menggemparkan masyarakat sekitarnya. Pada akhirnya membuka tabir rahasia siapa sebenarnya pemuda penyelamat itu yang tidak lain adalah seorang pengembara yang bernama Joko Secoh (Raden Syahid kemudian dikenal Sunan Kalijaga). Di kampung bukit itu ternyata Joko Secoh juga memperkenalkan untuk pertama kalinya ajaran agama Islam.

Kedatangan Joko Secoh disambut gembira dan sampailah berita itu ke kawasan pajabat Kademangan yang letaknya sebelah utara lereng Gunung Surowiti. Bahkan seorang Demang yang bernama Demang Jagur meminta Joko Secoh menginap di rumahnya selama beberapa hari.

Di rumah Demang Jagur itulah Joko Secoh ikut berpesan untuk menjaga dan melindungi kampung baru di atas bukit yang bernama Surowiti tersebut. Dan pada akhirnya lokasi tempat tinggal Demang Jagur itupun menjadi cikal bakal Ibukota Kecamatan (Kecamatan Panceng sekarang).

Masa Kewalian


Raden Syahid yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga menjadi anggota Wali Sanga angkatan IV tahun 1463. Sunan Kalijaga diangkat bersama Raden Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Paku (Sunan Giri), dan Raden Qosim (Sunan Drajat). Keempat orang tersebut berasal dari perguruan yang sama dan belajar dalam waktu yang hampir sama pula yaitu di perguruan Ampel Denta pimpinan Sunan Ampel.

Tidak seperti Sunan Bonang atau Sunan Giri, dalam mengembangkan agama Islam Sunan Kalijaga tidak dengan cara membangun sebuah perguruan di tempat tinggalnya. Sunan Kalijaga memilih cara dengan mengembara ke segala penjuru Jawa Tengah dan Jawa Timur bahkan sampai ke daerah Cirebon. Seperti halnya di Gunung Surowiti Sunan Kalijaga telah berhasil mendidik kader pengembang umat yang tangguh, setelah dianggap lulus kemudian kader-kader itupun disebar ke banyak tempat, misalnya ke wilayah Serah (murid Sunan Kalijaga dari Mahgribi), Siwalan, Sumurber, Karanggeneng, Sungai Lebak, Dalegan, dan Ujung Pangkah.

Diantara murid Sunan Kalijaga yang terkenal dan masih dapat dilihat situs makamnya di Surowiti sampai sekarang adalah Empu Supo dan Raden Bagus Mataram.

Secara khusus tentang keberadaan Surowiti, hal ini perlu mendapat perhatian yang mendalam mengapa hal itu terjadi, untuk membantu menjernihkan analisis tentang perkembangan Islam di Indonesia tidak terkecuali peranan Wali Sanga.

Seperti apa yang telah menjadi keyakinan tersendiri bahwa di Surowiti pernah dijadikan tempat sidang para Wali Sanga. Pada tahun 1404 diikuti sembilan wali kemudian tahun 1436 masuk tiga wali mengganti yang wafat dan tahun 1463 masuk empat wali mengganti yang wafat dan kembali ke daerah asalnya. Pada tahun 1466 Wali Sanga melakukan sidang lagi membahas berbagai hal diantaranya perkara syekh Siti Jenar, meninggalnya dua orang wali yaitu Maulana Muhammad Al Mahgribi dan Maulana Ahmad Jumadil Kubro.

Sehingga munculnya sejarah Surowiti, dimana Sunan Kalijaga sebagai pemeran utamanya, bukanlah sejarah baru bagi pengembangan Islam di pesisir utara Jawa.

Barangkali, justru karena pengembangan agama Islam yang oleh sementara orang dianggap jitu dan terkesan misterius itulah maka sejarah Surowiti belum terkenal dibanding dengan daerah-daerah siar Wali yang lain.

Sehubungan dengan strategi siar tersebut, Sunan Kalijaga lebih menempuh cara kompromi untuk meniadakan sikap apriori orang Jawa yang masih terikat kuat dengan agama Hindu, Budha, atau Animisme. Sunan Kalijaga ingin membuat agar pemeluk agama lama itu mau mendekat dan bergaul dengan para wali dan setelah itu sedikit demi sedikit ajaran Islam disampaikan baik secara terbuka atau tertutup. Tertutup, misalnya seperti apa yang dilakukan di atas Gunung Surowiti. Sehingga sampai sekarang tidak heran apa yang berhubungan dengan sejarah Surowiti dan apa saja yang dilakukan Sunan Kalijaga disana masih terus menyimpan misteri yang besar.

Oleh Karena itu, pada perkembangannya, sejarah Surowiti pun banyak dipersepsikan secara berbeda. Hal ihkwal yang menonjol, misalnya, berkaitan dengan mitos harta benda/Kekayaan selalu dihubungkan dengan keberadaan murid Sunan Kalijaga yang bernama Raden Bagus Mataram. Sedangkan yang berhubungan dengan mitos kedudukan/pangkat derajat dalam pemerintahan dihubungkan dengan keberadaan Empu Supo. Adapun yang berkaitan dengan keilmuan dunia dan akhirat selalu bertumpu pada keberadaan Sunan Kalijaga itu sendiri.52
Padahal ketiganya dijadikan konsep strategi oleh Sunan Kalijaga dalam berdakwah, yang merupakan hasil inspirasi penyatuan jiwa raganya yang dilakukan di sebuah Goa di atas bukit Surowiti, bernama Goa Langsih.

Kita patut menyimak kembali bukti jitunya strategi yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga terutama yang berhubungan dengan kekuasaan di bidang pemerintahan, yaitu dalam Era pemerintahan Raden Fattah, setapak demi setapak Sunan Kalijaga memainkan peranan yang sangat menonjol. Pada waktu Demak menghadapi kesulitan menggempur Majapahit pimpinan Prabu Brawijaya VII, Sunan Kalijaga melemahkan pasukan musuh dengan cara Diplomasi. Empu Supo dan Adipati Terung, Raden Husain, dua pilar penting bagi Majapahit akhirnya dapat ditarik untuk bergabung dengan pasukan Demak.

Tidaklah sulit bagi Sunan Kalijaga untuk menundukkan Adipati Terung karena dia memang seorang muslim, saudara kandung Sultan Demak sendiri, tapi tidak demikian halnya dengan Empu Supo. Tokoh yang satu ini disamping seorang pajabat penting Majapahit, keyakinan Hindunya amat kuat. Bahkan Empu Supo lah yang ikut menentukan keberhasilan Kediri pimpinan Girindrawardana dalam menjatuhkan Majapahit pimpinan Prabu Brawijaya V.

Berkat kelihaian Sunan Kalijaga maka akhirnya Empu Supo menyeberang ke pihak Demak. Hal ini hanya dapat dilakukan karena cara pendekatan Sunan Kalijaga dalam menGoasai seluk beluk agama Hindu. Sampai pada akhirnya Empu Supo dapat diyakinkan bahwa agama Islam memang memiliki banyak kelebihan sehingga Empu Supo pun mengucapkan Syahadat. Untuk mengukuhkan pertalian Sunan Kalijaga dan Empu Supo, maka sahabat dekatnya itu dinikahkan dengan adik kandungnya sendiri, Dewi Roso Wulan. Setelah dua pilar Majapahit itu dapat dilumpuhkan secara diplomatik maka tidaklah sulit bagi Demak untuk mengalahkan Majapahit sehingga kerajaan Hindu terbesar dan terakhir itu hilang selama-lamanya. Keberhasilan menjadi arsitek penaklukan Majapahit itu membuat Sunan Kalijaga semakin dihargai kawan dan disegani lawan.

Perjuangan Sunan Kalijaga dalam Penyebaran Islam di Surowiti

Pada usia muda, Raden Syahid pernah berguru kepada Sunan Ampel dan Sunan Bonang. Sunan Kalijaga juga terkenal sebagai seorang pemuda yang cerdas, terampil, pemberani. Keberaniannya ini dibuktikan tatkala beliau menumpas para perampok dalam perjalanan pengembaraannya. Beliau juga berjiwa besar. Usia mudanya tidak disia- siakan begitu saja, tetapi benar-benar dipergunakan untuk membesarkan (mendewasakan) dirinya meskipun tanpa bekal dari orang tuanya.

Ilmu-ilmu yang diambil dari gurunya antara lain: ilmu hakikat, ilmu syariat, ilmu kesenian, dan ilmu kanuragan, sehingga beliau dikenal sebagai seorang ahli tauhid,mahir dalam ilmu syariat, mampu menGoasai ilmu strategi perjuangan dan merupakan seorang filosof, ahli sastra sehingga terkenal juga sebagai seorang pujangga yang memiliki syair- syairnya yang indah, terutama syair-syair Jawa. Hal ini tercermindari sikap dan cara Sunan Kalijaga yang tidak bersikap antipati terhadap semua aliran atau kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Aliran- aliran kepercayaan yang hidup dalam masyarakat dihadapinya dengan sikap toleran yang tinggi.

Sikap toleran ini memang sesuai dengan firman Allah bahwa kita sebagai umat Islam harus menghormati kepercayaan orang lain. Firman Allah SWT:

Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. Qs.Al-Kafirun:6.

Dalam menyiarkan agama Islam, beliau tidak pernah melakukannya dengan paksaan, tetapi secara perlahan-lahan, bergantung pada situasi dan kondisi yang memungkinkan diterapkannya ajaran Islam.

Konon Sunan Kalijaga satu-satunya wali yang paham dan mendalami segala aliran atau agama yang hidup di kalangan rakyat. Beliau termasuk kalangan para wali yang masih muda, tetapi mempunyai kemampuan yang luar biasa, baik kecerdasan maupun ilmu-ilmu yang dimiliki.

Sunan Kalijaga, salah satu wali yang familiar dan terkenal dikalangan masyarakat Islam pulau Jawa juga memiliki beberapa nama yang cukup unik Raden Said, Brandal Kolojoyo dan lainnya. Perjalanan dakwahnya juga menarik ditelusuri terutama pendekatan budaya dalam penyebaran ajaran Islam yang bersifat arif dan bijaksana, unik dan memiliki karateristik yang menarik khas Sunan Kalijaga diantaranya pagelaran wayang kulit.

Wayang kulit sebelum ajaran Islam tersebar di Jawa berbentuk relief seperti terpahat dicandi, namun oleh Sunan Kalijaga diganti bentuk wayang punawakan, bagong, petruk atau semar, Sunan Kalijaga sendiri menjadi dalang wayang. Menariknya saat pagelaran wayang kulit di masjid Raden Syahid cerita wayang diganti dengan cerita berunsur Islam, masyarakat pun bebas menonton wayang dengan syarat mereka harus mengucapkan 2 kalimat syahadat, serta diajari wudhu dan diajak sholat berjama’ah.

Dakwah yang dilakukan Sunan Kalijaga kepada masyarakat Surowiti yaitu dengan menggunakan media Wayang. Sejarah perkembangan wayang tidak bisa lepas dari peranan Sunan Kalijaga. Dalam masyarakat Jawa, wayang telah menjadi sebagian dari hidupnya.

Itulah sebabnya Sunan Kalijaga menjadikan wayang ini sebagai alat untuk menyukseskan dakwah Islam.

Pengaruh adat dan kebudayaan Majapahit atau Syiwa Budha terhadap masyarakat sangat besar. Itulah sebabnya seni wayang, termasuk rangkaiannya, digunakan sebagai salah satu jalan untuk mendapatkan simpati rakyat. Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu jalan untuk menyerapkan pengertian agama kepada rakyat. Oleh karena itu, jasa beliau terhadap wayang tidaklah sedikit.

Perlengkapan debog ( pohon pisang ) untuk menancapkan wayang, layar atau geber sebagai sandaran wayang, dan blencong atau dian di atas kidalang adalah tambahan dari beliau sendiri. Juga bala tentara kera, binatang-binatang gajah, kuda, rampogan, dan senjata-senjatanya dan gunungan adalah tambahan pada zaman Sunan Kalijaga.

1. Wayang kulit baru diciptakan zaman Kerajaan Demak

G.H.J.Hazeu mengatakan bahwa wayang telah ada sejak zaman kerajaan Kahuripan. Bahkan dalam kedaton Erlangga telah diadakan pertunjukan wayang. Pada Sang Prabu Jaya Baya dan seterusnya sampai zaman Majapahit, wayang dinamakan wayang beber, karena gambarnya dibeber dalam kertas. Setelah zaman Prabu Wijaya I, wayang telah dibeber pada sehelai kertas untuk satu adegan. Jadi, sampai saat itu wayang belum bisa dikatakan wayang kulit.

Pada tahun 1443 Sunan Kalijaga lalu membuat wayang dan setiap satu wayang dibuat pada kulit satu lembar. Jadi, penggunaan kulit kambing sebagai wayang dipelopori oleh Sunan Kalijaga pula. Selanjutnya, wayang semakin disempumakan pada zaman Kerajaan Demak sehingga bentuknya seperti yang sekarang ini. Kaweroh asalipun

R. Inggit karangan R.M. Mangkudimeja menyebutkan bahwa disebutnya wayang beber menjadi wayang tua atau wayang kulit oleh Sunan Kalijaga adalah pada tahun 1437, yaitu pada zaman kerajaan Demak.

Sunan Kalijaga tahu benar bahwa masyarakat pada waktu itu sangat menyukai wayang. Setelah Islam datang, dia tidak melarang pementasan wayang melainkan mengembangkannya sesuai dengan tuntutan zaman. Wayang peninggaln Hindu aslinya berbentuk besar, sebesar manusia, sehinggaharus dibawa oleh beberapa orang lalu diubahnya bentuk wayang menjadi pipih dengan dalang hanya satu orang. Ini dimaksudkannya sebagai pemisalan Allah SWT. Yang Maha Esa. Selain bentuk ceritanya pun diubah pula dengan apa yang disebut sekarang sebagai kalimandasa. Arti kalimandasa tidak lain adalah kalimah syahadat.

2. Sunan Kalijaga sebagai Dalang

Apabila Sunan Kalijaga mendalang di daerah pajajaran, dia bernama Ki Dalang Sida Brangti. Bila mendalang di daerah tegal, dia bernama Ki Dalang Bengkok, tetapi apabila mendalang topeng di daerah Purbalingga, namanya menjadi Ki Dalang Kumendung. Masih ada nama- nama lainnya, seperti Entol, Kajabul, dan Raka Brangsang.

Pada zaman Sunan Kalijaga, orang bertugas menabuh gamelan dan dalangnya tidak boleh dalam keadaan hadas, yakni harus selalu suci, karena hal ini dianggap sebagai suci agama.

3. Falsafat wayang Menurut Versi Kalijaga

Menurut versi Kalijaga ada wayang bernama Werkudara yang dimainkan dengan diiringi oleh tari kifrah dengan pukulan kendang yang berbunyi tung-tung dan deng-deng, dimaksudkan sebagai falsah bunyi kentongan seperti yang diuraikan sebelumnya. Tapi gambyong atau biasa disebut golek yang dimainkan setiap akhir dari wayang, menunjukkan bahwa para penonton diharapkan bisa anggoleki ( mencari ) bagaimana hakikatnya dari cerita yang telah dimainkan. Dalam bahasa Jawa, hal ini disebut eliding dongeng.

Wayang Punakawan Pandawa yang terdiri atas Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong adalah ciptaan wali tiga serangkai, yaitu Sunan Bonang, Sunan Giri, dan Sunan Kalijaga. Adapun falsafah dari arti nama keempat Punakawan itu sebagai berikut:

  • Semar dari bahasa Arab Simaar, yang artinya paku. Dikatakan bahwa kebenaran agama Islam adalah kukuh dan kuat bagaikan kukuhnya paku yang sudah tertancap, yakni Simaaruddunyaa.

  • Petruk, dari bahasa Arab Fat-ruk, yang artinya tinggalkanlah. Sama dengan kalimah “ fatruk-kullu mam siiwallahi “, yaitu tinggalkanlah segala apa yang selain Allah.

  • Gareng, dari bahasa Arab Naala Qariin, ( Nala gareng ), artinya memperoleh banyak kawan, yaitu tujuan para wali berdakwah adalah untuk memperoleh banyak kawan.

  • Bagong, dari bahasa Arab Baghaa, yang artinya lacut atau berontak, yaitu memberontak terhadap segala sesuatu yang lazim.

Menurut cerita, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Sunan Kalijaga tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi dia minta agar para penonton mengikutinya mengucapkan kalimah syahadat. Sebagaian besar cerita wayang masih dipetik dari Mahabarata dan Ramayana, tetapi sedikit demi sedikit nama tokoh-tokohnya adalah pahlawan Islam.

Sunan Kalijaga menceritakan desa Surowiti dan napak tilas perjalanan dakwah Sunan Kalijaga di desa Surowiti. Selain itu Sunan Kalijaga seringkali melakukan perjalanan dakwah melalui semedi atau bertapa dan melakukan beberapa musyawarah tentang peningkatan agama Islam di gunung Surowiti, sudah ada peningkatan atau belum dengan para wali di Goa Akbar, Tuban, Goa Rancang Kencana Dan Goa Ceme di Gunung Kidul, Jogja dan pertapaan yang dilakukan Sunan Kalijaga pada dasarnya mendekatkan diri pada Allah SWT.

Perjalanan dakwah Sunan Kalijaga juga mampu menciptakan baju taqwa yang sekarang dijadikan pakaian khas umat Islam selanjutnya blankon, keris dan pakaian yang sering dipakai Sunan Kalijaga hingga kini dijadikan pakaian khas Keraton Jogja, Surakarta, Cirebon, bahkan pakaian adat Jawa dan menariknya pendekatan budaya maupun metode dakwah yang menjadi cirri khas Sunan Kalijaga mampu mendorong kalangan masyarakat sampai adipati pandaran, kartusoro diantaranya masuk Islam sehingga sewajarnya Sunan Kalijaga menjadi wali yang melegenda dikalangan masyarakat Jawa.

Sunan Kalijaga mengadakan kegiatan sekaten Grebeg Maulud di Desa Surowiti, Grebeg Maulud yang digelar setiap tahunnya di Masjid Raden Syahid juga menjadi salah satu perjalanan dakwah Sunan Kalijaga. Grebeg Besar dijadikan media dakwah persembahan hewan diganti hewan qurban Idul Adha dan dilanjutkan grebeg semenjak itulah setiap hari raya Idul Adha digelar grebeg Besar.

Perjalanan dakwah Sunan Kalijaga ketika berada di Goa Langsih Surowiiti, desa Surowiti, kec panceng, kab Gresik. Goa ini brandal lokojoyo digembleng oleh sunan bonang menjadi ulama terkenal sampai dinobatkan menjadi Sunan Kalijaga. Kini kawasan Goa ini dijadikan obyek wisata religi kemudian hari Kamis, Minggu ke empat bulan Dzulhijah digelar haul Sunan Kalijaga dengan membuka dan membaca kembali lembaran kitab babakan Surowiti dan kitab lain.

Untuk menguatkan jati dirinya Sunan Kalijaga Melakukan Tapa Ngluweng (dikubur hidup-hidup) di atas Gunung Surowiti untuk menjalani olah spiritual atas bimbingan Sunan Bonang :

“Belajarlah kamu tentang mati selagi kamu masih hidup untuk mengetahui hidup yang sesungguhnya. Bersepi dirilah kamu di hutan dan goa dalam batas waktu yang ditentukan”.

Mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam kepada para muridnya di balai-balai kecil, sekarang berdiri masjid Raden Syahid Surowiti. Menganjurkan puasa Senin dan Kamis kepada para muri`dnya di Surowiti, sampai sekarang dua hari yang dianjurkan itu menjadi lambang kebiasaan masyarakat Surowiti dan sekitarnya berziarah ke Makam Sunan Kali Jaga di Surowiti.

Cara-cara dakwah Sunan Kalijaga ini didasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

  1. Rakyat dan penduduk tanah Jawa masih kuat dipengaruhi oleh kepercayaan agama Hindu dan Budha atau kepercayaan warisan nenek moyang mereka, sehingga tidak mudah untuk dialihkan kepercayaannya. Oleh karena itu, terhadap mereka upaya memasukkan ajaran agama Islam tidak bisa melalui kekerasan.

  2. Rakyat di tanah Jawa masih kuat memegang adat istiadat dan budaya nenek moyangnya, baik yang bersumber dari ajaran agama Hindu dan Budha, maupun kepercayaan animisme yang mereka yakini selama itu, sehingga tidak mudah mengubah adat istiadat dan budaya tersebut. Sunan Kalijaga membiarkan adat istiadat tersebut tetap berjalan di tengah-tengah mereka, hanya sedikit demi sedikit memasuki ajaran agama Islam dalam adat istiadat dan budaya, baik yang menyangkut hakikat (tauhid) maupun syariat serta aqlakul karimah.

Dengan pertimbangan keadaan masyarakat Surowiti yang seperti itu, Sunan Kalijaga harus berpikir untuk menemukan cara yang paling tepat untuk mengajak mereka memeluk agama Islam, maka ditemukanlah suatu jalan, yaitu berdakwah dengan menyuguhkan kesenian wayang yang pada saat itu sedang digemari oleh masyarakat di tanah Jawa.

Sunan Kalijaga, sering bercampur baur dengan masyarakat Surowiti yang masih abangan. Ketika bercampur baur dengan orang-orang yang pribadinya jauh dari perilaku terpuji, misalnya orang-orang yang selalu mengadu ayam, berjudi, minum-minuman keras, mencuri dan sebagainya, beliau tidak memperlihatkan sikap fanatik terhadap mereka, tetapi justru membina dan membimbing mereka secara pelan-pelan menuju jalan yang sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam. Akhirnya, perilaku rakyat semacam itu dapat diubah oleh beliau sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam, meskipun harus memutar otak dan membanting tulang. Mereka menjadi sadar bahwa perbuatannya itu telah merugikan dirinya dan rakyat banyak.

Sebagaian orang beranggapan bahwa Sunan Kalijaga adalah wali abangan karena sikap dan perilaku beliau yang sering bercampur-baur dengan orang-orang Kejawen dan abangan. Padahal anggapan tersebut tidak benar karena perlakuan Sunan Kalijaga seperti itu sesungguhnya merupakan sikap menjalankan perintah dari wali songo bukan karena perilaku dirinya karena kebodohannya.

Hampir seluruh masa hidup Sunan Kalijaga benar-benar dipergunakan untuk berjuang demi syiarnya agama Islam, Khususnya di tanah Jawa sebagaimana para wali lainnya.

Sunan Kalijaga Wafat


Pada tahun 1586, Sunan Kalijaga menghembuskan nafas terakhirnya di usia 131 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Desa Kadilangu yang merupakan wilayah Kabupaten Demak. Tempat pemakaman jenazah Sunan Kalijaga itu terletak di sebelah timur laut kota Bintoro.

Referensi :
  • Muhammad Sonhaji Ridlwan, Pimpinan Padepokan “Alam Tunggal” ( Gunung Surowiti Kecamatan Panceng Kabupaten Gresik 61156).
  • Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa ( Yogyakarta:Penerbit Araska, 2014),
  • Maman Abd, Djaliel, Wali Songo ( Bandung: Pustaka setia, 2012).

Sunan Kalijaga mempunyai nama asli Raden Said atau Jaka Setiya. Waktu mudanya nama Raden Said itu diidentifikasikan dengan Gan Si Cang (kapten Cina Semarang), putra dari Gan Eng Cu alias Arya Tedja. Raden Said yang dikenal sebagai Sunan Kalijaga, adalah putra dari Bupati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatika dan Dewi Retno Dumilah lahir pada tahun 1430an. Tumenggung Wilatika merupakan keturunan dari Ranggalawe yang hidup semasa pemerintahan Raden Wijaya di Majapahit.

Tumenggung Wilatika disebut juga sebagai Aria Teja IV, merupakan keturunan Aria Teja III, Aria Teja II, dan berpangkal pada Aria Teja I, sedangkan Aria Teja I adalah putra dari Aria Adikara atau Ranggalawe. Yang terakhir Aria Teja IV adalah salah seorang Raja Majapahit.

Sejak kecil Sunan Kalijaga sudah tampak bahwa ia adalah calon yang berjiwa luhur. Ia seorang yang selalu taat kepada agama dan berbakti kepada kedua orang tua serta kepada orang-orang lemah yang mempunyai sifat dan sikap welas asih (belas kasih). Ia juga sejak kecil sudah mempunyai solidaritas yang tinggi terhadap kawan-kawannya. Bahkan ia tidak segan untuk masuk dan bergaul ke dalam lingkungan rakyat jelata. Ketika itulah ia tidak tahan lagi melihat penderitaan orang-orang miskin di pedesaannya.

Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai Syekh Malaya. Nama Syekh Malaya merupakan panggilan bagi Sunan Kalijaga yang pernah menjadi juru dakwah di wilayah Malaya. Dalam khazanah makrifat Jawa, gelar Syekh “Malaya” itu berasal dari Jawa. Kata “Malaya” berasal dari kata “ma-laya” yang artinya mematikan diri. Dia telah mengalami “mati sajroning urip, urip sajroning pati” maksud dari kata tersebut adalah merasakan mati dalam hidup ini. Kematian dalam hidup seseorang akan mengetahui hakikat hidup.

Nama Sunan Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga (Tuban). Sewaktu Sunan Kalijaga tinggal di sana, ia sangat suka berendam atau berlama-lama duduk di tepian sungai. Secara harfiah, nama Kalijaga menunjukkan bahwa Sang Sunan suka menjaga sungai. Namun secara simbolik, nama Kalijaga menunjukkan bahwa sang Sunan senantiasa menjaga semua aliran (kepercayaan) yang ada di dalam masyarakat.

Sunan Kalijaga adalah salah satu murid dari Sunan Bonang, dalam berdakwah Sunan Kalijaga lebih menggunakan jalur kesenian dan kebudayaan. Sunan Kalijaga juga merupakan salah satu seorang anggota Wali Songo yang namanya lebih populer dibandingkan dengan anggota lainnya di tanah Jawa.
Karena kepopulerannya itu Sunan Kalijaga tidak dapat dilepaskan perannya sebagai da‟i keliling dan juga salah seorang Wali yang turut membangun Masjid Agung Demak, ia juga sebagai pengembang sastra, seni dan kebudayaan di lingkup masyarakat Jawa. Namun tidak banyak orang yang mengetahui ajarannya. Umumnya, orang mengenal ajarannya lewat kidung atau tembang. Diantaranya tembang “lir-ilir” yang biasa dinyanyikan oleh anak-anak SD di Jawa.

Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, Sunan Kalijaga memiliki banyak guru. Para mubaligh yang pernah menjadi guru Sunan Kalijaga tidak hanya datang dari tanah Jawa, melainkan pula datang dari luar tanah Jawa atau bumi Nusantara (luar negeri). Beberapa guru Sunan Kalijaga yang sangat terkenal adalah Sunan Bonang, Syekh Sutabris dan Sunan Gunung Jati.

Pada awalnya Sunan Kalijaga berguru dengan Sunan Bonang. Karena, Sunan Bonang merupakan guru spiritual pertama bagi Sunan Kalijaga atau Raden Said. Ia diperintahkan untuk tetap berada di tepi sungai sampai Sang Sunan Bonang kembali menemuinya. Agar Sunan Kalijaga tetap sikap tunduk dalam berguru spiritualnya. Bukan hanya teori yang dipelajari, melainkan mujāhadah (berjuang untuk mengalami kebenaran).

Setelah Sunan Kalijaga sudah mengikuti aturan Sunan Bonang, lalu Sunan Bonang memberi gelar kepada Raden Said sebagai Sunan Kalijaga. Sunan Bonang juga mengajarkan kepada Sunan Kalijaga yaitu sangkan paraning dumadi, suatu ilmu pada hakikatnya menjelaskan tentang asal-usul kejadian alam semesta dan seisinya, kepergian roh yang sudah mati di dalam raganya, dan hakikat hidup dan mati.

Sangkan Paraning Dumadi berasal dari bahasa Jawa, Sangkan artinya asal, paran itu tujuan dan dumadi adalah kejadian. Jadi intinya sangkan paraning dumadi itu adalah asal manusia, alam semesta itu tercipta dari Allah dan akan kembali kepada Allah.

Sunan Bonang pun mengajarkan Sunan Kalijaga/Raden Said untuk mewariskan ilmu-ilmu agama dan spiritual kepadanya. Setelah dianggap cukup belajarnya dengan Sunan Bonang, oleh karena itu Sunan Bonang menganjurkan agar Sunan Kalijaga meneruskan ilmunya kepada Syekh Sutabaris di Palembang.

Syekh Sutabaris adalah seorang guru agama yang tinggal di pulau Upih, bagian kota Malaka dan terletak di sebelah utara sungai. Sebenarnya Sunan Kalijaga tidak untuk berguru kepada Syekh Sutabaris melainkan menyusul Sunan Bonang untuk naik haji ke Makkah. Sunan Kalijaga yang naik haji ke Makkah itu bukan karena menyusul Sunan Bonang, tetapi memenuhi perintahnya. Di pulau Upihlah, Sunan Kalijaga mendapatkan perintah dari Syekh Maulana Maghribi agar kembali ke Jawa untuk membangun masjid dan menjadi penggenap Wali.

Syekh Maulana Maghribi, nama aslinya adalah Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik. Ia adalah salah seorang anggota Wali Songo, yang dianggap pertama kali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

Setelah berguru kepada Syekh Sutabaris, Sunan Kalijaga melanjutkan bergurunya dengan Sunan Gunung Jati. Ternyata, Syekh Siti Jenar pun berguru dengan Sunan Gunung Jati. Lalu, keduanya (Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar) pun diajarkan ilmu makrifat selama empat tahun. Setelah berguru dengan 3 gurunya itu (Sunan Bonang, Syekh Sutabaris dan Sunan Gunung Jati), Sunan Kalijaga ke Pasai dan berdakwah di wilayah Semenanjung Malaya hingga wilayah Patani di Thailand Selatan. Dalam hikayat Patani, Sunan Kalijaga dikenal sebagai seorang tabib. Bahkan di sana ia mengobati Raja Patani yang sedang sakit kulit berat hingga sembuh. Di wilayah Patani juga Sunan Kalijaga atau Raden Said dikenal dengan nama Syekh Sa‟'d.

Setelah beberapa tahun ia berguru di Pasai dan berdakwah di wilayah Malaya dan Patani, Sunan Kalijaga kembali ke Jawa. Tiba di Tanah Jawa, Sunan Kalijaga diangkat menjadi anggota Wali Songo, sembilan pemuka dan penyebar agama Islam di Jawa. Wali Songo adalah sembilan para penguasa wilayah dalam menyebarkan agama Islam di Jawa.

Perjalanan Dakwah

Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai mubaligh ia berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya. Karena dakwahnya yang intelek, maka para bangsawan dan cendikiawan sangat simpati kepada Sunan Kalijaga, demikian juga para masyarakat awam, bahkan juga pengusaha. Sunan Kalijaga dalam melaksanakan Syi’ar Islam juga menggunakan media kesenian dan kebudayaan Jawa. Sehingga syi‟ar Islam yang dilakukannya dapat berjalan dengan efektif dan relatif lebih mudah. Sunan kalijaga tidak hanya dikenal sebagai mubaligh, pujangga atau filsuf, akan tetapi juga dikenal sebagai seorang seniman atau budayawan.

Beberapa bidang kesenian yang disyi’arkan oleh Sunan Kalijaga tersebut tidak hanya seni suara yang menciptakan lagu tembang macapat Dhandhanggula dan Dhandhanggula Semarangan ataupun seni gamelan (seni musik) yaitu menciptakan gamelan yang berupa gong sekaten dengan nama shahadatain. Namun pula dalam seni wayang kulit (drama) yaitu wayang semula bersumber dari Kakawin Mahabarata. Seni rupa (batik dan ukir) yaitu seni ukir yang dikembangkan oleh berbentuk dedaunan.

Kesusastraan yaitu mewariskan syair tembang lir-ilir, namun juga serat Dewa Ruci dan Serat Duryat (Suluk Linglung). Apabila Sunan Kalijaga berdakwah menggunakan kesenian wayang kulit, di tiap daerah ia mengenalkan dirinya dengan menamai dirinya berbeda-beda, seperti di Jawa Barat ia mengenal dirinya sebagai dalang Ki Sida Brangti. Kalau di daerah Tegal, ia mengenal dirinya sebagai Ki Dalang Bengkok dan di Purbalingga ia mengenal namanya sebagai Ki Dalang Kumendung.

Selanjutnya pesan-pesan agama Islam yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga melalui tokoh lakon dalam pewayangan maupun dalam kidung- kidungnya. Dalam pewayangan, melalui tokoh Bima inilah, Sunan Kalijaga menceritakan makna dimensi rohani yang mempesona secara terbuka dalam pagelaran wayang, seperti dalam pagelaran lakon Dewa Ruci, yang bertubuh sebesar ibu jari. Saat Bima mencari susuhing angin atau sarang angin, sekalipun tubuh Dewa Ruci hanya sebesar ibu jari, Bima dapat masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Saat itulah Bima mengetahui berbagai dimensi kerohanian tergelar.

Kemudian dalam kidung, Sunan Kalijaga menyampaikan pesan bahwa agama Islam telah tumbuh dengan suburnya seperti tanaman yang ijo, bahkan saking senangnya sambutan masyarakat Islam, digambarkan rasa senang itu seperti kemanten anyar (penganten baru), seperti dalam kidung Lir-ilir sebagai berikut :

“Lir ilir, lirilir tandure wis sumilir/sing ijo royo-royo tek sengguh penganten anyar/cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi/lunyu- lunyu penekna kanggo mbasuh dodotiro/dodotiro-dodotiro kumitir bedah ing pinggir dondomana jlumatana kanggo sebo mengko sore/ mumpung padang rembulane mumpung jembar kalangane/yo surako surak hore.”

Artinya adalah Bangun-bangunlah, bangun tanamannya sudah bersemi/ tanaman hijau dan subur seperti pengantin baru/ anak-anak gembala panjat dan petiklah buah belimbing itu/ sekalipun licin pohonnya, panjatlah untuk mencuci pakaianmu/ pakaianmu-pakaianmu berumbai robek di tepu jahit dan sulamlah untuk menghadap nanti sore / selagi besar rembulannya selagi luas kalangannya/ mari bersorak bersorak hore.

Tembang lir-ilir ini mengandung nasihat hidup bagi setiap manusia untuk mengolah budi pekertinya agar mencapai kesempurnaan. Budi perkerti itulah manusia harus diolah setiap hari agar dapat melaksanakan lima watak utama. Jika lima watak utama tersebut dilaksanakan maka itu akan mudah dilewati tetapi jika tidak maka itu tergantung pada manusia itu sendiri.

Bahasa tembang lir-ilir tampak sederhana, kosakata yang digunakan hampir semuanya ada didalam kehidupan sehari-hari. Seolah-olah syair tembang yang bahasanya tampak sederhana itu memiliki daya pesona yang kuat dan menyentuh dasar hati terdalam sehingga yang mendengarkannya merasa tenteram. Oleh karena itu, tembang lir-ilir dianggap memiliki nilai edipeni (baik).

Karya-Karyanya

Salah satu karya seni Sunan Kalijaga adalah menciptakan bentuk ukiran wayang kulit, dari bentuk manusia menjadi bentuk kreasi baru yang mirip karikatur. Misalnya, orang yang menghadap ke depan diukir dengan letak bahu di depan dan di belakang. Tangan wayang kulit dibuat panjang hingga menyentuh kakinya. Bahkan meski menghadap ke depan, matanya dibuat tampak utuh. Seni wayang adalah salah satu media yang digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk melakukan syi‟ar agama Islam. Dalam seni wayang di tangan Sunan Kalijaga dapat ditunjukkan 2 cerita wayang sebagai berikut:

  • Lakon Babon, ada 2 kisah wayang dalam babon yaitu Mahabbrata dan Ramayana. Mahabbrata menjelaskan tentang kisah darah Barata atau berisi seputar kehidupan kenegaraan, sosial dan budaya. Mahabbrata ini lebih mendekati kehidupan realitas dan keberhasilan para Pandawa guna untuk mendapatkan kemerdekaannya. Sedangkan Ramayana menjelaskan tentang kisah cinta dan pengorbanan. Hubungan cinta kasih dua insan yang akhirnya berlabuh pada pertikaian besar-besaran dan keberhasilan Rama dalam memperjuangkan Shinta.

  • Lakon Carangan, hasil karya para pujangga dan ahli pewayangan di tanah Jawa. Tokoh pewayangan yang muncul dan benar-benar merupakan asli produk orang Jawa, seperti Petruk, Gareng, Semar, Bagong dan Bima Suci. Contohnya, lakon Petruk Dadi Ratu adalah lakon improvisasi dimana dalang memberikan sesuatu yang lebih aktual dan sesuai dengan realitas yang ada di dalam kehidupan sebagai wujud kritik sosial politik terhadap apa yang terjadi di dalam pemerintahan saat ini. Tokoh pemain dalam lakon Petruk Dadi Ratu ialah Pandawa, Punakawan, Kurawa, Para Dewa.

Karya kesustraannya adalah tembang yang merupakan ajaran makrifat, ajaran mistis dalam agama Islam. Meski banyak tembang yang telah diciptakannya, hanya tembang “Lir-ilir” yang dikenal masyarakat Jawa. Selain itu Sunan Kalijaga juga menciptakan Gong Sekaten, artinya Gong Syahadataini yang maknanya dua kalimat syahadat. Adapun makna dari bunyi beberapa jenis gamelan, yaitu :

  • Kenong yang berbunyi “nong, nong, nong” dan saron yang berbunyi “ning, ning, ning” memiliki makna nongkana dan ningkene (di sana dan di sini).

  • Kempul yang berbunyi “pung, pung, pung” memiliki makna mumpung memiliki waktu dan kesempatan.

  • Kendang yang berbunyi “tak ndang, tak ndang, tak ndang” memiliki makna segeralah datang. Genjur yang berbunyi “nggur” memiliki makna segera njegur (masuk) ke dalam masjid.

Kemudian karya sastra Sunan Kalijaga yaitu Suluk Linglung. Dalam sastra Jawa, suluk dimaknai sebagai ajaran atau falsafah untuk mencari hubungan dan persatuan antara kawula dan Gusti. Sedangkan linglung dalam bahasa Jawa yaitu bingung. Bingung disini dimaknai dengan ketidakpastian atau sebagai kumpulan cerita ritual tasawuf Sunan Kalijaga ketika ia tengah mengalami kebingungan dalam mencapai hakikat kehidupan.

Selanjutnya Karya Sunan Kalijaga dalam sejarah, yaitu Pembangunan Masjid Agung di Demak. Sunan Kalijaga sangat berjasa dalam membangun Masjid Agung di Demak, karena di dalam Masjid tersebut ada sebuah tiang utama yang terbuat dari potongan-potongan kayu jati yang disatukan yang langsung di buat oleh Sunan Kalijaga.

Sumber : Dalilah Ukhriyati, Ajaran makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar, UIN Syarif Hidayatullah

Referensi :
  • Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014).
  • Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013).
  • Baidlowi Syamsuri, Kisah Wali Songo; Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, (Surabaya: Apollo, 1995).
  • Muhammad Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: Raja Grafindo, 2005).
  • Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Bandung: Mizan, 2012).