Bagaimanakah Kajian Poskolonial di Indonesia?


Dalam dunia akademik Indonesia, kajian poskolonial juga telah dipergunakan dalam menganalisis karya sastra Indonesia, khususnya di sejumlah universitas yang memiliki kajian sosial atau humaniora.

Bagaimanakah kajian poskolonial di Indonesia?

Kajian Poskolonial di Indonesia

Salah satu contoh yang ditulis oleh dosen FBS UNY ketika menyelesaikan program magisternya di UGM, yaitu analisis poskolonial terhadap roman Salah Asuhan (1928) karya Abdoel Moeis dan terhadap drama 9 Oktober 1740 (2005) karya Remy Sylado. Yang pertama ditulis oleh Yati Sugiarti dan yang kedua oleh Else Liliani.

Dalam temuan analisisnya, Yati Sugiarti menyatakan bahwa dalam novel Salah Asuhan relasi penjajah—terjajah bersifat hierarkhis dominatif dan terbilang menarik karena beberapa hal:

  1. Hanafi bertindak sebagai subjek dalam menghadapi Rapiah, ibunya, dan masyarakat Minangkabau,
  2. Hanafi sekaligus menjadi objek ketika berhadapan dengan Corrie dan masyarakat Eropa lainnya.

Permasalahan identitas diri yang dihadapi Hanafi menyangkut empat hal:

  1. Hanafi memandang dirinya,
  2. Orang lain memandang Hanafi,
  3. Hasrat Hanafi untuk menjadi sang lain,
  4. Tindakan Hanafi dalam pemenuhan hasratnya menjadi sang lain.

Dalam proses menjadi sang lain yang notabene menjadi Belanda, Eropa, atau Barat, Hanafi yang berasal dari Minangkabau ini melakukan sejumlah mimikri (peniruan):

  1. Mimikri terhadap bahasa,
  2. Mimikri terhadap mata pencaharian,
  3. Mimikri terhadap gaya hidup,
  4. Mimikri terhadap sistem kemasyarakatan.

Sindrom Hanafi tampaknya tidak berakhir setelah Indonesia merdeka, bahkan ketika kita hidup di abad ke-21 ini. Mentalitas “budak” masih melekat dalam diri kita, kemudian mencoba “menjadi tuan” dengan sejumlah perilaku identitas. Lotion pemutih kulit dan operasi plastik laris manis di Indonesia gara-gara standar kecantikan hanya didasarkan atas kulit berwarna lebih putih dan hidung lebih mancung. Dua kriteria kecantikan yang distandarkan pada “tubuh orang Barat”. Kita mengejar “menjadi Barat” untuk bisa dikategorikan cantik (juga tampan). Seringkali rambut dicat dengan warna pirang lalu menjadi “londo namun kepalanya doang”. Kontes-kontes ratu kecantikan merupakan salah satu bentuk pelegitimasian atas kecantikan “Barat”.

Dari cita rasa makanan, tampaknya kita sering mengejar “western teste”. Kita lebih memilih KFC ketimbang ayam Suharti, memilih pizza, lasagna, escargot yang didasari oleh pemikiran bahwa makanan itu makanan Eropa/Barat. Kita membeli statusnya. Dengan bisa menikmati cita rasa makanan Eropa seakan kita telah menjadi Eropa. Inilah yang oleh Peter L. Berger disebut dengan proses internalisasi atau identifikasi atas realitas objektif ke dalam realitas subjektif atau sebuah citraan realitas (society in man). Internalisasi mentalitas budak yang ingin menjadi sang tuan.

Untuk menjadi Barat seringkali kita terperangkap kasus mimikri ini. Tidak sedikit orang Indonesia yang mau “memperbaiki keturunan” dengan menikahi orang-orang Bule seperti yang dilakukan para selebritas kita. Pengajaran-pengajaran bahasa asing di Indonesia, jika tidak disadari kita bisa terperangkap sebagai bentuk kepanjangan tangan sang kolonial.

Pada abad ke-21 ini Jepang sebagai salah satu negara Asia telah menggeser orientasi ekspornya dari indrustri teknologi ke industri budaya. Mereka mengalihkan fokusnya tidak lagi pada industri otomotifnya tetapi lebih ke industri content seperti komik manga, kartun, film animasi, pop J-rock, makanan, fashion, dan bahasa Jepang. Di Indonesia, jangankan ekspor budaya, ekspor kekayaan alamnya pun seringkali dibrokeri oleh pihak asing. Kita baru akan kebakaran jenggot setelah Malaysia mengklaim milik kita seperti dalam kasus lagu “Rasa Sayange” dan tari “Barongan”. Jangankan terhadap aset budaya yang seringkali dipandang sebelah mata, wilayah teritorial seperti pulau Sipadan dan Ligitan pun kita tidak bisa mempertahankannya.

Kembali ke kasus temuan Yati Sugiarti terhadap roman Salah Asuhan. Tampaknya Yati belum memaparkan peran teks Salah Asuhan tersebut (juga pengarangnya) dalam proses kolonialisasi. Hal ini terkait dengan diterbitkannya roman ini lewat Balai Pustaka, yang kala itu merupakan mesin hegemoni penguasa Belanda di wilayah jajahannya. Dalam sejarah penerbitannya ada peristiwa menarik, ketika Corrie yang dalam roman aslinya dikisahkan sebagai gadis Belanda kemudian diedit menjadi gadis Indo-Prancis.

Di pihak lain, Else Liliani telah sampai pada kesimpulan dalam analisisnya terhadap naskah drama 9 Oktober 1740 bahwa teks ini (sekaligus Remy Sylado sebagai pengarangnya) bersikap ambivalen. Teks ini melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, tapi sekaligus terhegemoni oleh wacana-wacana kolonial. Kolonialisme dan kebangsaan (?) tidak dinilai sebagai kejahatan. Kejahatan yang sebenarnya berupa penyalahgunaan atas kewenangan yang dimiliki pejabat kolonial yang korup.

Kita tidak tahu persis mengapa Else menyatakan bahwa teks ini melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Bukankah posisi Belanda sekarang (buku ini diterbitkan 2005) sudah tidak signifikan lagi. Sebagai bentuk dampak masa lalu tentu saja Belanda telah melakukan praktik penjajahan. Akan tetapi dalam konteks kekinian, tampaknya Remy lebih membidik kasus etnis Cina yang dalam pergolakan sejarahnya di Indonesia seringkali dijadikan pemantik konflik. Fokus pembahasan ini sebenarnya lebih ditekankan pada masalah “the myth of native”. Masalah pribumi dan non-pribumi sebenarnya hanya sebuah mitos yang dibangun dengan sejumlah legitimasi. Etnis Cina diposisikan sebagai etnis non-pribumi yang seringkali mengalami kekerasan alienatif. Remy Sylado, dengan karya-karyanya yang lain, melakukan konter-hegemoni atau delegitimasi atas “the myth of native” tersebut.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132236129/penelitian/POSKOLONIAL+SEBUAH+PEMBAHASAN.pdf