Sebagai guru bahasa (daerah, Indonesia, maupun asing) pemahaman hakikat bahasa mutlak diperlukan. Akan kedengaran sangat aneh apabila ada guru bahasa yang tidak memahami hakikat bahasa, bidang studi yang diajarkannya.
Bagaimanakah hakikat bahasa?
Bagaimanakah hakikat bahasa?
Masyarakat awam umumnya berpandangan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antarmanusia. Alat komunikasi itu bentuknya beraneka ragam. Ada alat komunikasi berupa bunyi vokal, ada pula alat komunikasi berupa bunyi tetapi tidak vokal (misalnya suara pluit, kentongan, sirena, dan lain-lain), dan ada pula alat komunikasi yang tidak berupa bunyi (seperti : gerak tangan, kepala, lampu pengatur lalulintas, atau tanda-tanda lain). Dari definisi awam ini, manakah yang menjadi objek linguistik?
Guru bahasa bukanlah orang awam. Guru bahasa adalah cendekia bahasa. Oleh karena itu, guru bahasa harus memiliki pengetahuan teknis tentang bahasa. Pengetahuan teknis tentang bahasa akan membantu tugas dan fungsi guru bahasa. Untuk itu berikut ini dikutipkan definisi teknis bahasa dari para linguis. Finocchairo (1974) mengatakan language is a system of arbitrary vocal symbols which permits all people in given culture, or other people who have learned the system of that culture to communicate or to interact (bahasa adalah satu sistem vokal arbitrer yang memungkinkan orang-orang dalam satu budaya atau orang lain yang telah mempelajari sistem budaya itu untuk berkomunikasi atau berinteraksi). Dari definisi yang dikemukakan Finocchairo itu diketahui unsur-unsur pokok bahasa adalah : simbol vokal (bunyi), arbitrer (manasuka), dan komunikasi atau interaksi. Benarkan bahasa hanya dibangun oleh tiga unsur itu ? Persoalan yang muncul dari definisi itu adalah bagaimana penutur suatu bahasa dapat menata simbol vokal yang arbiter itu sehingga dapat menimbulkan persepsi (pemahaman) yang sama antarpelibat ?
Hubungan antara simbol vokal yang arbitrer tersebut ditata dalam suatu sistem atau sistemik, seperti yang dikatakan Wardhaugh (1972), yakni language is a system of arbitrery vocal symbols used for human communication (bahasa adalah sebuah sistem simbol vokal yang arbitrer yang dipakai umat manusia berkominkasi). Dari definisi yang dikemukakan Wardhaugh ini terungkap bahwa hubungan simbol vokal yang arbitrer itu ditata dalam suatu sistem. Sistem yang ada pada suatu bahasa merupakan filter untuk memilih bentuk-bentuk bermakna dengan bentuk-bentuk yang tidak bermakna. Misalnya fonem /a/ - /y/ - /u/ jika ditata dalam satu sistem menghasilkan kata ayu ‘cantik’ tetapi jika ditata tidak sesuai dengan sistem bahasa Indonesia, misalnya uya maka kombinasi simbol vokal itu menjadi tidak bermakna.
Demikian pula pada tataran yang lebih luas. Dalam morfologi bahasa Bali dikenal prefiks {N-} yang jika dikombinasikan dengan morfem dasar {jemak} akan menghasilkan kata polimerfemik nyemak ‘mengambil’ tetapi tidak dapat dibentuk menjadi jemaknya. Dalam sintaksis pun demikian. Kata saya, makan, dan kue jika ditata dalam sistem sintaksis bahasa Indonesia akan menghasilkan kalimat tunggal Saya makan kue tetapi tidak dapat ditata menjadi Kue makan saya. Semua contoh di atas membuktikan bahwa ada konvensi sitemik yang mengatur hubungan simbol vokal yang arbitrer itu. Dengan berpijak pada definisi teknis tersebut di atas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur bahasa terdiri dari :
Berikut ini akan diuraikan masing-masing unsur bahasa itu.
Hakikat bahasa, pertama-tama, adalah seperangkat bunyi (language is a set of sound). Pernyataan generik ini sekurangkurangnya menimbulkan dua pertanyaan pada masyarakat awam. Pertama, apakah setiap bunyi yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi merupakan bahasa? Kedua, apakah tulisan yang kini telah berkembang dan banyak digunakan untuk komunikasi dapat dinyatakan sebagai bahasa? Kedua pertanyaan itu akan dijawab berikut ini. Bangun fisik bahasa berupa bunyi.
Di alam raya ini, ditemukan berbagai macam bunyi yang dapat digunakan untuk komunikasi. Secara umum, bunyi di alam raya ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yakni : bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (artikulatoris) dan bunyi yang tidak dihasilkan oleh alat ucap manusia (nonartikulatoris). Bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bunyi sistemik dan bunyi tidak sistemik. Bunyi sistemik misalnya rangkaian bunyi yang membentuk kata saya, makan, tidur (dalam bahasa Indonesia); titiang, ajeng, sirep (dalam bahasa Bali); I atau me, eat, sleep (dalam bahasa Inggris) atau dalam konstruksi yang lebih luas seperti rangkaian bunyi yang membentuk kata polimorfemik berikut ini : berjalan, belajar, bertemu (dalam bahasa Indonesia); mamargi, mlajah, kacunduk (dalam bahasa Bali); studying, sleeping, reading (dalam bahasa Inggris) bahkan dapat pula berujud satuan yang lebih luas, seperti kalimat : Saya sedang belajar (dalam bahasa Indonesia); Tiang nunas ajengan (dalam bahasa Bali); I am reading (dalam bahasa Inggris).
Semua rangkaian bunyi ujaran itu tunduk pada sistem masing-masing bahasa, sehingga, misalnya, kata saya dalam bahasa Indonesia tidak dapat diucapkan ayas meskipun unsurunsur bunyi pembentuknya tetap sama. Hal yang sama terjadi pada bahasa-bahasa lain. Kata polimorfemik berjalan tidak dapat diubah menjadi jalanber meskipun morfem pembentuknya sama. Kalimat Saya sedang belajar tidak dapat diubah menjadi Belajar sedang saya… Selain bunyi sistemik, alat ucap manusia juga dapat menghasilkan bunyi yang tidak sistemik (nonsistemik), misalnya bunyi siul atau bersiul (meskipun berirama), batuk, bunyi ‘kletak’ dengan lidah, ber-dehem, dan lain-lain. Bunyi-bunyi ini tidak tunduk pada sistem universal.
Golongan bunyi kedua adalah bunyi yang tidak dihasilkan alat ucap manusia (nonartikultarosis). Bunyi ini ragamnya sangat banyak, misalnya : tepuk tangan, bunyi kentongan, sirena, klakson, guntur, ledakan, dan sebagainya. Bunyi-bunyi ini pun tidak tunduk pada sistem yang universal. Tepuk tangan pada suatu peristiwa bisa berarti pemberian dukungan tetapi pada kali lain bisa berarti cemohan, dan pada kali lain pula bisa tidak berarti apa-apa. Demikian pula bunyi kentongan, sirena, dan lainlain tidak memiliki sistem yang jelas. Dari klasifikasi bunyi yang ada di alam raya ini, bunyi artikulatoris nonsistemik dan bunyi nonartikulatoris bukan merupakan hakikat bahasa. Jadi, bunyi bahasa adalah bunyi artikultoris sistemik.
Tulisan merupakan salinan dari bahasa. Tulisan sematamata berfungsi untuk melestarikan ujaran. Sistem tata tulis (ejaan) tidak mengatur bahasa. Tulisan sesungguhnya bukan sifat alamiah bahasa. Hal ini dapat dibuktikan bahwa banyak orang di dunia yang tidak atau belum mengenal tulisan tetapi mereka dapat berbahasa. Contoh yang paling nyata terjadi pada usia anakanak. Jauh sebelum anak-anak mengenal tulisan, mereka sudah dapat menggunakan bahasa pertamanya untuk berkomunikasi dengan orang-orang terdekatnya. Jadi, hakikat bahasa bukanlah tulisan. Oleh karena itu, pada awal pembelajaran bahasa yang didahulukan adalah pengajaran bahasa (lisan) dan bukan tulisan. Hal ini akan dijelaskan pada bidang linguistik terapan.
Arbitrer artinya mana suka, yakni tidak ada hubungan logis anatara ekspresi bahasa dengan maknanya dan atau referensinya (rujukannya). Setiap komunitas bahasa dapat membangun konvensi untuk menata hubungan ekspresi bahasa dengan maknanya. Konkretnya begini. Dalam bahasa Bali terdapat kata cicing dan dalam bahasa Indonesia terdapat kata anjing dan dalam bahasa Inggris terdapat kata dog. Ketiga kata itu merujuk pada binatang yang sama, akan tetapi tidak ada hubungan logis antara kata-kata itu dengan rujukannya, sehingga tidak ada penutur bahasa Indonesia yang dapat menjelaskan mengapa binatang yang menggonggong itu disebut ajing, mengapa orang Bali menyebutnya cicing, dan orang Inggris menyebutnya dog. Penyebutan kata-kata itu untuk merujuk sesuatu hanya konvensi (kesepakatan) semata-mata.
Dalam bahasa almiah (natural language) ditemukan beberapa kata yang memiliki hubungan dengan rujukannya. Katakata semacam ini tidak banyak jumlahnya dalam setiap bahasa. Pembentukan kata seperti ini sering disebut dengan onomatope. Onomatope berarti tiruan bunyi. Artinya, sebuah kata dibentuk dengan menirukan bunyi-bunyi alam dan dimaknai sesuai dengan rujukannya. Misalnya, binatang yang mengeluarkan bunyi cek…, cek…, cek…, disebut cicak (dalam bahasa Indonesia) dan disebut cecek (dalam bahasa Bali). Binatang yang menghasilkan bunyi to… kek…, to … kek… disebut tokek (dalam bahasa Indonesia) dan disebut tuke (dalam bahasa Bali). Fenomena onomatope tidaklah meniadakan konvensi dalam bahasa karena bahasa umumnya bersifat arbitrer.
Meskipun bahasa dinyatakan arbitrer, tetapi setiap penutur suatu bahasa harus tunduk pada sistem yang berlaku pada bahasa itu. Setiap bahasa memiliki aturan yang berupa kaidahkaidah penggunaan bahasa. Adanya sistem (kaidah) pada setiap bahasa merupakan regulasi (aturan) penggunaan bahasa. Sasaran kajian linguistik adalah menjelaskan sistem yang berlaku pada bahasa-bahasa tertentu untuk diproyeksikan pada keuniversalan bahasa.
Sistem bahasa mencakup aspek fonologi, morfologi, sintaksis, bahkan wacana. Dalam bidang fonologi, setiap bahasa memiliki sistem yang mengatur tata fonem. Dalam bidang morfolgi, setiap bahasa memilki kaidah yang mengatur tata pembentukan kata. Dalam sintaksis, setiap bahasa memiliki sistem tata kalimat, dan dalam wacana setiap bahasa memilki sistem untuk menata gagasan-gasan yang lebih luas. Pendeknya, hubungan bentuk – makna dalam setiap bahasa harus tunduk pada sistem yang berlaku pada bahasa itu. Karena sistem pula penutur bahasa Bali tidak dapat mengatakan dan tidak dapat memahami maksud kalimat Ngubuh icang celeng tusing tetapi semua penutur bahasa Bali akan memahami maksud kalimat Icang tusing ngubuh celeng (Saya tidak memelihara babi). Demikian pula kata celeng dalam bahasa Bali tidak dapat diubah menajdi ngelec meskipun unsur fonem pembentuknya sama. Semua ini karena setiap bahasa memiliki sistem atau dengan kata lain, bahasa itu sistemik.
Bahasa adalah seperangkat simbol (language is a set of symbols). Bunyi yang dihasilkan organ bicara manusia yang ditata dalam sistem suatu bahasa sehingga menjadi kata dan atau kalimat pada hakikatnya merupakan simbol atau lambang atas sesuatu yang dilambangkannya. Hubungan simbol (lambang) dengan yang disimbolkan (dilambangkan) bersifat arbitrer. Bahasa sebagai sistem simbol dapat digunakan untuk menyimbolkan sesuatu yang ada di luar bahasa (ekstralinguistik).
Bahasa dapat digunakan untuk melambangkan peristiwa, sesuatu benda, orang, tindakan, keadaan, dan lain-lain yang bukan bahasa. Misalnya, kata rumah yang dibentuk oleh rangkaian fonem /r/-/u/-/m/- /a/-/h/ melambangkan suatu bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal oleh umat manusia. Benda yang disebut rumah itu bukanlah bahasa, tetapi kata rumah adalah bahasa. Jadi, kata rumah merupakan lambang (simbol) dari benda yang disebut rumah itu. Demikianlah bahasa pada hakikatnya merupakan simbol dan hubungan antara simbol dengan yang disimbolkan bersifat arbitrer.
Bahasa sebagai sistem simbol hanya dimiliki manusia. Penutur suatu bahasa dapat mengelola simbol-simbol dalam suatu bahasa secara kreatif. Kreativitas pengelolaan simbol yang sistemik itu menyebabkan umat manusia tidak kekurangan ‘wadah’ untuk mengkomunikasikan gagasanya meskipun simbolsimbol yang ada dalam suatu bahasa (mungkin) sangat terbatas. Oleh karena itu, bahasa sering pula disebut manusiawi dan kreatif. Karena bahasa hanya dimiliki manusia, para filosof sering mendefinisikan manusia sebagai animal symbolicum ‘binatang yang menggunakan simbol-simbol).
Bahasa itu Komunikasi Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi dan interaksi. Komunikasi mempersyaratkan tiga hal, yakni:
Bahasa merupakan wadah gagasan dari para pelibat. Tanpa bahasa komunikasi tidak pernah terjadi. Bentuk-bentuk komunikasi itu beranekaragam. Apapun bentuk komunikasi itu, misalnya : personal, interpersonal, direktif, referensial, metalinguistik, imaginatif selalu melibatkan bahasa. Demikianlah hakikat bahasa adalah komunikasi. Berdasarkan hakikat bahasa seperti yang telah diuraikan di atas, secara linguistik, bahasa dinyatakan sebagai alat komunikasi simbolik yang berupa sistem bunyi vokal arbitrer.
Bahasa yang dituturkan oleh penutur bahasa mempunyai nilai-nilai dan norma dalam bahasanya. Bukan hanya berbahasa dalam forum resmi, tetapi juga dalam forum non resmi atau dalam kehidupan sehari-hari, baik dalm bentuk lisan ataupun lisan. Berbahasa tidak hanya memilahmilah bahasa sesuai kondisinya, namun juga mempertimbangkan norma sosial dan nilai-nilai dalam setiap pengucapannya.
Suatu nilai-nilai merujuk pada sesuatu yang bermakna baik. Sesuatu yang baik, tentunya akan melahirkan suatu padangan yang buruk. Dalam berbahasa, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, misalnya umpatan, ancaman, gertakan, ujaran persekusi, ujaran kebencian dan lain sebagainya. Beberapa waktu banyak sekali kebahasaan yang hadir dan berkembang di masyarakat. Malahan sesuatu untuk belum tentu layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum, khususnya anak-anak usia sekolah. Hal ini berdampak pada penanaman nilai kognitif bernuansa negatif pada diri mereka. Kejahatan moral seperti ini merupakan aktivitas berbahaya yang dapat merugikan orang lain.
Berbahasa seperti ini dalam dunia linguistik forensik cenderung mengandung unsur kriminalitas karena secara tidak langsung bisa menyebabkan kerugian bagi petutur atau lawan tuturnya. Menurut paparan Dumas dalam Mcmenamin (2002:87) linguistik forensik itu berfokus pada bahasa hukum, interpretasi, bahasa ruang sidang, bahasa Inggris murni, pragmatik/kias, instruksi juri, bahasa dalam pengaturan hukum serta prosesnya, dan bahasa peringatan produk konsumen. Dapat dikatakan juga, bahwa dalam linguistik forensik tidak hanya fokus pada kasus yang diangkat dalam sebuah persidangan namun juga pada kasus atau masalah yang belum diangkat ke persidangan dan telah melanggar norma-norma sosial masyarakat seperti penghinaan, berbohong, peringatan, penipuan.
Melihat keadan bahasa Indonesia saat sekarang ini yang telah banyak dimarkahi salah oleh sebagian orang, maka linguistik forensik dirasa perlu untuk dipakai oleh beberapa ahli bahasa. Pertimbanganya adalah keilmuan ini merupakan ilmu multi disipliner, yakni Ilmu bahasa dan ilmu hukum. Linguistik forensik adalah salah satu cabang linguistik baru.
Linguistik forensik adalah ilmu multidisiplin karena analisisnya dapat diperbantukan dengan bidang ilmu lain seperti ilmu bahasa, ilmu hukum, ilmu kejiwaan, ilmu sosial dan bidang ilmu lain yang mampu memecahkan suatu masalah kriminal. Seperti yang disebutkan oleh Olsson (2008:3) linguistik forensik adalah hubungan antara bahasa dengan penegakan, masalah, perundang-undangan, perselisihan atau proses dalam hukum yang berpotensi melibatkan beberapa pelanggaran terhadap hukum atau keharusan untuk mendapatkan penyelesaian hukum.
Dalam sejarahnya, bidang ini telah disebut linguistik forensik sejak 1980. Linguistik forensik merupakan ilmu multidisiplin berasal dari linguistik dan hukum yang telah dikembangkan di Amerika dan Eropa sejak tahun 1997 (Momemi, 2011). Sejak itu, ahli bahasa menawarkan bukti mereka di pengadilan untuk mendeteksi realitas dan lebih berhati-hati penghakiman sebuah kasus.
Kejahatan yang terbentuk melalui bahasa adalah kejahatan yang dapat dipelajari dari sudut pandang linguistik. Kejahatan berbahasa tersebut dapat berupa penghinaan, ancaman, penipuan, bahasa palsu (pragmatik). Bahkan kejahatan seperti pencurian, penculikan dan pembunuhan yang melibatkan bahasa sebelum terjadinya kejahatan, dapat dianggap sebagai kejahatan berbahasa. Linguistik forensik biasanya digunakan dalam menganalisis aksi kejahatan yang berkaitan dengan penggunaan berbahasa, baik itu lisan maupun tulisan. Coulthard and Johnson (2010) menyebutkan bahwa linguistik forensik itu dapat memfokuskan kajiannya pada bahasa proses hukum dan bahasa sebagai bukti, baik lisan maupun tulisan. Untuk melihat sebuah kasus linguistik forensik, dapat dipakai klasifikasi teks untuk mengetahui bentuk linguistik sebagai bukti investigasi fungsi teks tersebut (Rahmat, 2014).
Di Amerika linguistik forensik sudah masiv dipakai untuk menyelesaikan banyak masalah, seperti beberapa kasus persidangan yang menggunakan ahli bahasa. Smith (2002) menyebutkan bahwa hal pokok yang belum menjadi fokus seseorang dalam meneliti suatu tindak kriminal adalah meneliti bahasa seseorang. Perilaku pelaku di TKP (tempat kejadian perkara) dan interaksi dengan para korban dapat membantu mengungkapkan motif kejahatan. Hal ini juga dapat membantu peneliti membangun sebuah deskripsi kepribadian dan karakteristik pelaku. Kepribadian dan karakteristik pelaku tersebut dapat dilihat dalam bahasa-bahasa pelaku tersebut. Penulis sependapat dengan Smith yang menyebutkan bahwa untuk meneliti pengancam dapat diketahui dari bahasa yang ia gunakan dan dari bahasa tersebut, seperti FBI yang dapat mengungkap motif pelaku dalam aksi kejahatannya.
Aplikasi linguistik forensik juga telah memasuki Indonesia. Sudah banyak penelitianpenelitian dan tulisan mengenai bentuk aplikasi atau pendekatan yang digunakan melalui linguistik forensik. Melihat tersebut, maka dapat disimpulkan linguistik forensik adalah sebuah ilmu yang dapat mengungkap suatu kejahatan berbahasa. Baik kejahatan berbahasa berwujud lisan ataupun tulisan.
Manusia adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup seorang diri.Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka memerlukan bantuan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan dasar makan, misalnya, orang tidak dapat mengusahakannya seorang diri. Memang, orang dapat saja makan dari hasil tanaman yang mereka tanam sendiri, tetapi untuk menanam tanaman atau memproses hasil tanaman menjadi makanan, orang tidak dapat membuat sendiri alat menanam dan alat memproses hasil tanaman, ia memerlukan bantuan orang lain. Demikianlah, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, manusia harus berinteraksi dengan sesamanya, bahkan berinteraksi itu sendiri juga merupakan kebutuhan manusia.
Bahasa merupakan media utama dalam proses interaksi antarmanusia. Sebagian besar interaksi antarmanusia dilakukan lewat bahasa dan proses interaksi biasanya berjalan mulus. Mereka saling tegur sapa dengan ramah. Seseorangbertanya kepada orang lain dan dijawab dengan baik, tanpa menimbulkan perasaan tidak enak. Mereka melakukan jual beli dengan lancar, penjual mendapatkan keuntungan dan pembeli mendapat barang yang diperlukan. Mereka membuat perjanjian dan masing-masing pihak yang berjanji melaksanakannya dengan baik. Akan tetapi, kadang-kadang juga muncul persoalan dalam proses interaksi antarmanusia. Misalnya, seseorang yang bertanya kepada orang lain tidak mendapat jawaban yang baik karena pertanyaannya malah dianggap menghina. Pada proses jual beli dapat saja ada pihak yang merasa dirugikan sehingga timbul sengketa di antara mereka. Demikian pula, dalam melaksanakan perjanjian, dapat terjadi ada pihak yang mengingkarinya sehingga timbul perselisihan di antara pihak-pihak yang telah mengikat janji tadi.
Banyak perselisihan yang muncul dalam proses interaksi antarmanusia dapat diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang berselisih. Dalam kasus terjadinya salah paham terhadap pertanyaan yang dianggap menghina tadi, misalnya, penanya lalu meminta maaf dan permintaan maafnya diterima oleh orang yang merasa dihina sehingga persoalannya pun dianggap selesai. Dalam kasus jual beli, pihak yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi, dan apabila permintaannya itu dipenuhi, maka selesailah persoalan di antara mereka. Dalam kasus ingkar terhadap perjanjian pun, pihak-pihak yang terlibat dapat menempuh jalan damai sehingga perselisihan yang timbul dapat mereka atasi sendiri.
Jika dalam perselisihan pihak-pihak yang berselisih dapat menyelesaikan sendiri perselisihan mereka dengan cara damai, kehidupan di dunia ini akan terasa sangat nyaman. Sayangnya, penyelesaian secara damai seperti itu tidak selalu dapat dicapai. Pihak-pihak yang berselisih kadang-kadang tidak mau berkompromi sehingga harus ada pihak lain yang dapat menyelesaikan perselisihan mereka. Pihak yang dimaksud adalah pengadilan, mereka membawa persoalan yang mereka perselisihkan ke pengadilan untuk mendapatkan penyelesaian. Demikianlah, pengadilan berfungsi menyelesaikan perselisihan yang terjadi dalam masyarakat berdasarkan peraturan yang ada. Selain itu, pengadilan juga berfungsi mengadili orang-orang yang melanggar peraturan. Seperti diketahui, agar kehidupan dalam masyarakat berjalan dengan tertib, diperlukan aturan yang mengatur banyak hal.
Persoalan yang menjadi bahan sengketa di pengadilan bermacam-macam, salah satunya adalah persoalan yang berkaitan dengan bahasa.Dalam masyarakat Indonesia sengketa mengenai masalah ini cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Berita mengenai kasus pencemaran nama baik, penghinaan, ujaran kebencian, penistaan agama, tulisan yang bernada mengancam, berita hoax, penjiplakan, dan sejenisnya sering muncul di media massa. Tidak sedikit kasus tersebut yang harus diselesaikan di pengadilan dan untuk mengadilinya ahli linguistik sering dimintai pendapatnya. Tulisan singkat ini akan membicarakan aspek-aspek linguistik yang perlu dipertimbangkan ketika ahli linguistik dimintai pendapatnya sebagai saksi ahli dalam sidang di pengadilan.
Para ahli bahasa, filologi, dan antropologi sudah sejak lama mencoba menjawab pertanyaan tersebut sehingga melahirkan berbagai teori.
Sesungguhnya para penyelidik hingga saat ini masih belum mencapai kesepakatan tunggal tentang asal-usul bahasa. Diskusi tentang asal-usul bahasa sudah dimulai ratusan tahun lalu. Malahan masyarakat linguistik Perancis pada tahun 1866 sempat melarang mendiskusikan asal-usul bahasa. Menurut mereka mendiskusikan hal tersebut tidak bermanfaat, tidak ada artinya karena hanya bersifat spekulasi.
Penelitian Antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif meyakini keterlibatan Tuhan atau Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa. Teori-teori ini dikenal dengan istilah divine origin (teori berdasarkan kedewaan/kepercayaan) pada pertengahan abad ke- 18. Dalam teori tersebut dikatakan bahwa Tuhanlah yang mengajar Nabi Adam nama-nama sebagaimana termuat dalam kitab kejadian. Selain itu, dikemukakan bahwa manusia diciptakan secara simultan dengan dikaruniai ujaran sebagai anugerah Ilahi, di surga Tuhan berdialog dengan Nabi Adam dalam bahasa Yahudi.
Teori ini bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Andreas Kemke (ahli filologi dari Swedia), pada abad ke-17. Kemke menyatakan bahwa di surga Tuhan berbicara dalam bahasa Swedia, Nabi Adam berbahasa Denmark, sedangkan naga berbahasa Perancis. Sebelumnya orang Belanda Goropius Becanus juga telah mengemukakan teori bahwa bahasa di surga adalah bahasa Belanda.
Ada pula cerita dari Mesir yang berkisah tentang asal-usul bahasa. Pada abad ke-17 M, raja Mesir, Psametichus ingin mengadakan penyelidikan tentang bahasa pertama. Menurut sang raja jika bayi dibiarkan ia akan tumbuh dan berbicara bahasa asal. Untuk penyelidikan tersebut diambil dua bayi dari keluarga biasa dan diserahkan kepada seorang gembala untuk dirawatnya. Gembala tersebut dilarang bicara sepatah kata pun. Setelah bayi berusia dua tahun, mereka secara spontan menyambut si gembala tadi dengan perkataan “becos!” Kata inilah yang akhirnya diputuskan oleh Psametichus sebagai bahasa pertama. Becos berarti roti dalam bahasa Phrygia.
Dingdong theory atau nativistic theory diperkenalkan oleh Max Muller (1823-1900). Teori ini sejalan dengan yang diajukan Socrates bahwa bahasa lahir secara alamiah. Teori ini menyatakan bahwa manusia memiliki insting yang istimewa untuk mengeluarkan ekspresi ujaran bagi setiap kesan dari luar. Kesan yang diterima lewat indera seperti pukulan pada bel hingga melahirkan ucapan yang sesuai. Diperkirakan ada empat ratus bunyi pokok yang membentuk bahasa pertama ini. Ketika orang primitif dahulu melihat serigala, penglihatannya ini menggetarkan bel yang ada pada dirinya sehingga terucapkanlah kata “wolf” (serigala). Namun pada akhirnya Muller menolak teorinya sendiri.
Teori lain disebut Yo-he-ho theory. Teori ini menyimpulkan bahwa bahasa pertama lahir dalam satu kegiatan sosial. Misalnya ketika mengangkat sebatang kayu besar bersama-sama, secara spontan keluar ucapan tertentu karena terdorong gerakan otot. Ucapan-ucapan tersebut lalu menjadi nama untuk pekerjaan itu, seperti heave! (angkat), Rest! (diam) dan sebagainya.
Teori yang agak bertahan adalah Bow-wow theory, disebut juga onomatopoetic atau echoic theory. Menurut teori ini kata-kata yang pertama kali adalah tiruan terhadap bunyi alami seperti nyanyian ombak, burung, sungai, suara guntur, dan sebagainya. Hal ini ditentang oleh Max Muller yang menyatakan bahwa teori ini hanya berlaku bagi kokok ayam dan bunyi itik padahal kegiatan bahasa lebih banyak terjadi di luar kandang ternak.
Teori lain disebut Gesture theory yang menyatakan bahwa isyarat mendahului ujaran. Contohnya bahasa isyarat yang dipakai oleh suku Indian di Amerika Utara ketika berkomunikasi dengan suku-suku yang bahasanya berbeda. Jadi, menurut teori ini bahasa lahir dari isyarat-isyarat yang bermakna. Meskipun demikian, menurut Darwin, pada situasi tertentu isyarat tersebut tidak dapat dipakai sebagai alat komunikasi.
Teori-teori yang lahir dengan pendekatan modern tidak lagi menghubungkannya Tuhan atau Dewa sebagai pencipta bahasa. Teori-teori tersebut lebih memfokuskan pada anugerah Tuhan kepada manusia sehingga dapat berbahasa.
Para ahli Antropologi menyoroti asal-usul bahasa dengan cara menghubungkannya dengan perkembangan manusia itu sendiri. Dari sudut pandang para antropolog disimpulkan bahwa manusia dan bahasa berkembang bersama. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia menjadi homo sapiens juga mempengaruhi perkembangan bahasanya. Dengan kata lain, kemampuan berbahasa pada manusia berkembang sejalan dengan proses evolusi manusia. Perkembangan otak manusia mengubah dia dari agak manusia menjadi manusia sesungguhnya. Hingga akhirnya manusia mempunyai kemampuan berbicara.
Sedangkan Otto Jespersen melihat adanya persamaan perkembangan antara bahasa bayi dengan bahasa manusia pertama dahulu. Bahasa manusia pertama hampir tak punya arti, seperti lagu saja sebagaimana ucapan bayi. Lama kelamaan ucapan-ucapan tersebut berkembang ke arah kesempurnaan.
Dapat disimpulkan bahwa pembicaraan tentang asalusul bahasa dapat dibicarakan dari dua pendekatan, pendekatan tradisional dan modern. Para ahli dari beberapa disiplin ilmu masing-masing mengemukakan pandangannya dengan berbagai argumentasi. Diskusi tentang hal ini hingga sekarang belum menemukan kesepakatan, pendapat mana dan pendapat siapa yang paling tepat.
Dalam kegiatan sehari-hari kita selalu menggunakan bahasa. Tanpa bahasa, hidup akan terasa sunyi sepi dan tanpa makna. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan bahasa?
Chaedar Alwasilah mengutip pendapat beberapa pakar bahasa di antarannya akan dibicarakan berikut ini. Menurut Finocchiarno bahasa adalah satu sistem simbol vokal yang arbitrer, memungkinkan semua orang dalam satu kebudayaan tertentu, atau orang lain yang telah mempelajari sistem kebudayaan tersebut untuk berkomunikasi atau berinteraksi.
Selanjutnya Pei & Gaynor mendefinisikan bahasa sebagai satu sistem komunikasi dengan bunyi, yaitu lewat alat ujaran dan pendengaran, antara orang-orang dari kelompok atau masyarakat tertentu dengan mempergunakan simbol-simbol vokal yang mempunyai arti arbitrer dan konvensional. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Wardhaugh bahwa bahasa adalah satu simbol vokal yang arbitrer yang dipakai dalam komunikasi manusia.
Selain definisi-definisi di atas Kridalaksana dan Djoko Kencono dalam Chaer menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri.
Sesungguhnya, para penyelidik hingga saat ini masih belum mencapai kesepakatan tunggal tentang asal-usul bahasa. Diskusi tentang asal-usul bahasa sudah dimulai ratusan tahun lalu, Malahan masyarakat linguistik Perancis pada tahun 1866 sempat melarang mendiskusikan asal-usul bahasa. Menurut mereka mendiskusikan hal tersebut tidak bermanfaat, tidak ada artinya karena hanya bersifat spekulasi.
Penelitian Antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif meyakini keterlibatan Tuhan atau Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa. Teori-teori ini dikenal dengan istilah divine origin (teori berdasarkan kedewaan/kepercayaan) pada pertengahan abad ke-18. Namun teori-teori tersebut tidak bertahan lama. Teori yang agak bertahan adalah Bow-wow theory, disebut juga onomatopoetic atau echoic theory. Menurut teori ini kata-kata yang pertama kali adalah tiruan terhadap bunyi alami seperti nyanyian ombak, burung, sungai, suara guntur, dan sebagainya. Ada pula teori lain yang disebut Gesture theory yang menyatakan bahwa isyarat mendahului ujaran
Teori-teori yang lahir dengan pendekatan modern tidak lagi menghubungkan Tuhan atau Dewa sebagai pencipta bahasa. Teori-teori tersebut lebih memfokuskan pada anugerah Tuhan kepada manusia sehingga dapat berbahasa. Para ahli Antropologi menyoroti asal-usul bahasa dengan cara menghubungkannya dengan perkembangan manusia itu sendiri.
Bahasa memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan sosial masyarakat. Karena dengan menggunakan bahasa, kita dapat berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat. Bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang. Artinya, melalui bahasa (yang digunakan) seseorang atau suatu bangsa dapat diketahui kepribadiannya (Pranowo, 2009).
Jika kita berbahasa dengan baik dan sopan, maka mencerminkan bahwa kepribadian kita juga baik dan sopan. Tetapi, jika kita berbahasa secara kasar dan tidak sopan, maka tercermin bahwa perilaku kita tidak baik dan kurang sopan. Seperti yang dikatakan oleh Pranowo (2009) jika seseorang berbahasa secara baik, benar dan santun dapat membentuk perilaku seseorang tersebut menjadi lebih baik.
Slamet (2007) mendefinisikan bahasa sebagai alat komunikasi yang umum dalam masyarakat. Bagaimanapun wujudnya, setiap masyarakat pastilah memiliki bahasa sebagai alat komunikasi. Hal tersebut diperkuat juga oleh Widjono (2007) yang mengatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya.
Selain fungsi utamanya sebagai alat komunikasi, bahasa juga memiliki fungsi-fungsi lainnya sebagaimana disebutkan oleh Widjono (2007) bahwa bahasa memiliki fungsi sebagai
Sarana integrasi dan adaptasi,
Sarana memahami diri,
Ekspresi diri,
Memahami orang lain,
Kontrol sosial,
Mengamati lingkungan sekitar,
Berpikir logis,
Membangun kecerdasan,
Membangun karakter,
Mengembangkan kecerdasan ganda,
Mengembangkan profesi dan
Sarana untuk menciptakan kreativitas baru.
Kemudian, fungsi bahasa juga dikemukakan oleh Halliday (melalui Tarigan, 2008) yang disebut sebagai Sapta Guna Basa, yang termuat dalam ringkasan tujuh fungsi bahasa berikut ini :
Fungsi instrumental bertindak untuk menggerakkan serta memanipulasikan lingkungan yang menyebabkan suatu peristiwa terjadi.
Fungsi regulasi atau pengaturan dari bahasa merupakan pengawasan terhadap peristiwa-peristiwa.
Fungsi representasional adalah penggunaan bahasa untuk membuat pernyataan-pernyataan, menyampaikan fakta-fakta, dan pengetahuan, menjelaskan atau melaporkan dalam pengertian “menggambarkan” realitas yang terlihat oleh seseorang.
Fungsi interaksional bahasa bertindak untuk menjamin pemeliharaan sosial.
Fungsi personal membolehkan seseorang pembicara menyatakan perasaan, emosi, kepribadian, reaksi-reaksi yang terkandung dalam hati sanubarinya.
Fungsi heuristik melibatkan bahasa yang dipergunakan untuk memperoleh pengetahuan dan mempelajari lingkungan.
Fungsi imajinatif bertindak untuk menciptakan sistem-sistem atau gagasan-gagasan imajiner.