Bagaimanakah Epistemologi Subyek dan Obyek Sosiologi Sastra?

image
Bagaimana epistemologi subyek dan obyek sosiologi sastra?

Wilayah Subjek dan Objek

Persoalan subjek dan objek selalu menjadi perbincangan yang panjang. Subjek itu pokok persoalan yang digarap. Sosiologi sastra menggarap berbagai hal, tergantung arahnya. Persoalan yang diangkat itulah subjek penelitian. Subjek jelas membutuhkan objek, yaitu teks yang dijadikan data. Objek adalah sasaran garap. Objek kajian biasanya ada yang berupa teks tertulis (sastra tulis) dan lisan (sastra lisan). Perihal subjek dan objek kajian, sering menjadi problem tersendiri. Kedua hal ini sebenarnya menjadi bagian dari epistemologi sastra. Wawasan subjek dan objek sosiologi sastra telah banyak dibahas oleh Goldmann (1980:35-40). Biarpun dia tidak secara jernih menyatakan masalah sosiologi sastra, melainkan lebih ke arah ilmu humaniora, saya piker hal ini patut dipertimbangkan. Dalam mengkaji sosiologi sastra, otomatis kita akan terkait dengan subjek dan objek.

Subjek adalah wilayah ilmu yang hendak dikaji dari teks sastra. Adapun objek adalah wilayah garap, bidang yang ditekuni. Dalam pandangan Goldmann, hubungan subjek-objek dalam kajian sosiologi sastra tidak dapat dipisahkan. Subjek akan menentukan objek, begitu pula sebaliknya. Sosiologi sastra jelas menjelajahi ilmu kemanusiaan sebagai subjek. Manusia sebagai makhluk sosial sering dilukiskan fiktif dalam karya sastra. Tugas pengkaji adalah menelusuri kehidupan manusia imajinatif itu. Semakin jelas bahwa tidak ada fakta manusia dapat mengerti atau menjelaskan waktu apabila diambil dari konteksnya. Apalagi kalau fakta manusia itu telah diolah oleh sastrawan, sering jauh dan lebih indah dari realitas hidup.

Saya memandang subjek itu sebuah ilmu yang hendak diraih. Bidang yang diungkap, itulah subjek. Subjek adalah pokok persoalan. Adapun objek adalah wilayah garap, misalnya cerpen, novel, sastra anak, dan sebagainya. Subjek dapat berupa faktor sosial. Jika bertumpu pada gagasan Endraswara (1989:9) sastra memang tidak sekedar dunia utopis, yang lepas dari pengaruh lingkungan, manusia dan tidak buta terhadap masyarakat.Hal ini menandai bahwa sastra merupakan refleksi dari sejumlah subjek. Subjek pokok adalah keilmuan, yang hendak ditangkap lewat objek (bahan, materi) sastra.

Selain itu, bagi mereka yang bukan pengikut ideologi inspirasi strukturalisme genetik, konteks ini bukan hanya satu intelektual, sosial, ekonomi dan bahkan politik. Ini adalah ide dasar dibalik penciptaan pengetahuan sosiologi sastra. Sosiologi sastra sering dikaitkan dengan strukturalisme genetik, artinya sejarah penciptaan karya sastra. Pelacakan karya sastra hingga mampu menggali genetika sastra, jelas menjadi pemikiran subjek-objek yang unik. Kalau orang mengangkat masalah genetika priyayi dalam sastra, itulah subjek. Adapun karya sastra yang dikaji, misalnya novel Jawa berjudul Kumandhanging Katresnan karya Any Asmara, adalah objek. Peneliti bebas menentukan subjek-objek penelitian, tergantung sosiologi apa yang hendak dipakai landasan.

Setelah perspektif subjek-objek ini berlangsung pada peta kajian sosiologi sastra, maka masalah krusial yang dibawa oleh Hegel abad lalu dan juga menjadi pemikiran Marx. Kedua ahli sosiologi ini, begitu besar perhatiannya pada persoalan subjek-objek sosiologi sastra. Masyarakat yang terpantul dalam sastra yang menjadi tumpuan penelitian sosiologi sastra. Masyarakat lebih dari objek studi eksternal untuk peneliti. Struktur kategoris yang berupa kesadaran dan emosi adalah fakta sosial yang bertanggung jawab. Subjek, adalah bagian dari objek yang diteliti. Objek garap sosiologi sastra adalah pergolakan masyarakat. Di tengah obyek garap itu, peneliti akan menentukan subjek (pokok soal). Hal ini cukup penting terhadap pengetahuan manusia, merujuk terhadap alam dan objektivitas pada dasarnya terlihat cukup berbeda dibanding dengan pengetahuan alam.

Sepanjang periode eksistentialis, telah ditegaskan bahwa kenyataannya suatu subjek tidak benar-benar bebas. Itu terbatas tidak hanya dengan kemungkinan luar, tapi juga kenyataan bahwa dunia disajikan dalam bentuk sangat terstuktur dari pemikiran dan emosi (sebagaimana yang akan kita lihat diatas semua kenyataann yang ada bahwa subjek tidak pernah sendiri dan kadang kadang individual). Dengan menghargai bahwa linguistik terstuktur, ini sama pentingnya dengan kita menegaskann bahwa disana selalu ada subjek. Satu tidak bias hanya dibayangkan bahwa struktur mempengaruhi perubahan, menuju proses perubahan internal belaka. Dimana subjek yang mana mereka menciptakan sejarah perubahan struktur.

Subjek penting dalam kajian sosiologi sastra adalah manusia. Manusia merupakan faktor utama serta pemeran terbesar yang sangat menentukan dalam kehidupan sastra (Endraswara, 1989:2). Biarpun wilayah garap sastra sering merujuk dunia hewan, tumbuhan, sungai, batu, dan lain-lain, tetap terfokus pada manusia. Manusia dan sastra ibarat uang logam yang hanya berbeda permukaan saja. Tak perlu berpanjang kata, sastra jelas gambaran kehidupan. Gambaran itu tidak sekedar menjiplak, melainkan digarap secara halus. Titik terpenting dalam kehidupan juga manusia. Manusia yang menjadi pijakan sastra. Manusia yang akan mengolah dan memanfaatkan sastra.

Antara Subjek Individu dan Subjek Sosial

Manusia adalah makhluk monodualis, artinya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial (Endraswara, 1989:22). Sastra sering menjangkau kedua aspek hidup itu. Masing-masing aspek hidup itu sering memiliki tuntutan yang harus terpenuhi. Upaya pemenuhan ini yang menjadi landasan cipta sastra. Dengan usaha pemenuhan itu sering membuat cipta sastra semakin rumit. Kerumitan itu dipengaruhi oleh tuntan di luar diri manusia. Tuntutan sosial sering menjadi faktor terbesar dalam sastra.

Segala tuntutan hidup itu yang seyogyanya menjadi subjek kajian sosiologi sastra. Oleh karena itu, saya sekarang menerangkan konsep tentang subjek dan mengangkat isu utama: apa itu subjek? Konsep tentang subjek yang ditentang oleh susunan nongenetik adalah subjek sebagai individu. Benar adanya jika pengetahuan pengetahuan manusia menunjukan perkembangan bahwa subyek dari perilaku manusia dan pencipta tidak mungkin individu. Setelah dari semua pernyataan maka jelaslah bahwa kecuali masalah libido, perilaku manusia telah mempunyai subjek individual, seolah-olah batu yang sangat berat dapat diangkat namun butuh 3 orang dalam melakukannya, ini mustahil untuk memahami bahwa tindakan ini berdasarkan ego.

Fakta individu, biasanya cenderung menarik pengkaji psikologi sastra. Subjek individu menjadi lahan kajian psikologis. Adapun sosiologi sastra cenderung ke arah subjek kemanusiaan sebagai kelompok. Namun ketika kajian sosiologi sastra juga memperhatikan subjek individu, jadilah kajian sosiopsikologi sastra atau sosiopsikosastra. Kajian semacam ini, berusaha menggabungkan antara paham sastra sebagai subjek kejiwaan dan sosial. Hal ini sejalan dengan istilah subjek organic, sebagaimana dikemukakan oleh Descartes dan Sartre ingin lakukan meskipun masing-masing menunjukan subjek individu. Tidak benar jika batu tersebut diangkat oleh kita sebut saja, Jhon, Peter, atau Andrew, tidak juga oleh jumlah mereka. Kita menyebut subjek adalah kumpulan individu-individu yang mana gerakan dan hasilnya bias dimengerti. Sekumpulan individu itu yang membentuk kelompok, sebagai fakta kemanusiaan. Fakta ini yang senantiasa menjadi incaran sosiologi sastra. Soisologi sastra akan memilah subjek-subjek tersebut dalam kaitannya dengan objek garap.

Sekarang terbukti kenyataan bahwa sastra adalah termasuk gerakan bersejarah, dari perburuan dan pertanian sampai penciptaan estetika dan kebudayaan, hanya bias dipelajari secara ilmiah. Sastra hanya bisa di pahami dan jadi rasional ketika berkaitan dengan subjek kolektif. Tentu saja, seperti subjek sosial tidak permanen 3 individu yang mengangkat batu tidak sama dengan mereka yang kita sebut dengan membangun rumah itu. Dalam jangka waktu dan masa yang diberikan, disana ada kelompk yang tidak terhitung jumlahnya yang melakukan ribuan kegiatan. Diantara semuanya, kelompok tertentu jadi lebih penting karena kegiatan dan tingkah laku mereka menaungi seluruh stuktur masyrakat. Struktur hubungan antar manusia dan penilaian alam terhadap manusia, kelompok tersebut memiliki hak istimewa karena mereka cenderung bertindak tidak pada sebagian elemen dari stuktur sosial (dukun dukun parisis, sebagai contoh), tapi dalam keseluruhan jagad manusia. Satu yang harus dilihat jika disana masih mempunyai peranan dalam sejarah, membawa tentang perubahan tentang sejarah dan, dalam suatu kasus, mempunyai pengaruh dominan dalam penciptaan penciptaan kebudayaan besar. Itu adalah empiris.