Bagaimanakah cara mencegah aksi terorisme yang dilakukan oleh "orang Islam" ?

Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat

Bagaimanakah cara mencegah aksi terorisme yang dilakukan oleh “orang Islam” ?

1 Like

Saya menemukan tulisan yang menarik dari Ahmad Faiz Zainuddin terkait dengan pertanyaan diatas. Berikut tulisan Ahmad Faiz Zainuddin dengan judul Dari Islam Muram dan Seram, Menuju Islam Cinta nan Ramah yang diposting di halaman facebooknya.


Dita Oepriarto adalah Kakak kelas saya di SMA 5 Surabaya Lulusan ‘91. Dia bersama-sama istri dan 4 orang anaknya berbagi tugas meledakkan diri di 3 gereja di surabaya. Keluarga yg nampak baik2 dan normal seperti keluarga muslim yg lain, seperti juga keluarga saya dan anda ini ternyata dibenaknya telah tertanam paham radikal ekstrim.

Dan akhirnya kekhawatiran saya sejak 25 tahun lalu benar2 terjadi saat ini.

Saat saya SMA dulu, saya suka belajar dari satu pengajian ke pengajian, mencoba menyelami pemikiran dan suasana batin dari satu kelompok aktivis islam ke kelompok aktivis islam yg lain. Beberapa menentramkan saya, seperti pengajian “Cinta dan Tauhid” Alhikam, beberapa menggerakkan rasa kepedulian sosial seperti pengajian Padhang Mbulan Cak Nun. Yg lain menambah wawasan saya tentang warna warni pola pemahaman Islam dan pergerakannya.

Diantaranya ada juga pengajian yg isinya menyemai benih2 ekstrimisme radikalisme. Acara rihlah (rekreasinya) saja ada simulasi game perang2an. Acara renungan malamnya diisi indoktrinasi islam garis keras.

Pernah di satu pengajian saat saya kuliah di UNAIR, saya harus ditutup matanya untuk menuju lokasi. Sesampai disana ternyata peserta pengajian di-brainwash tentang pentingnya menegakkan Negara Islam Indonesia. Dan unt menegakkan ini kita perlu dana besar. Dan untuk itu kalau perlu kita ambil uang (mencuri) dari orang tua kita unt disetor ke mereka.

Bahkan ketua Rohis saya di buku Agendanya menyebut profesi dirinya bukan pelajar SMA, tapi Mujahid. Karena memang saat itu majalah Sabili sangat laris di sekolah kami. Isinya banyak menampilkan secara Vulgar pembantaian etnis muslim Bosnia oleh Serbia. Dan ini dijadikan pembakar semangat anak2 muda jaman saya waktu itu untuk menjadi “mujahid2 pembela islam”, beberapa akhirnya berangkat beneran ke medan perang.

Dari pengalaman menjelajah berbagai versi pemikiran dan aktivis islam dari yg paling radikal sampai liberal itu, dari sunni, sufi, wahabi, syiah, NII, dll itu, saya menyadari walaupun Islam ini mestinya satu, tapi ada banyak versi cara orang memahaminya, sehingga melahirkan banyak versi ekspresi keislaman dan pola tindakan.

Dan dari semua versi tadi, yg paling saya khawatirkan adalah versi kakak kelas saya mendiang Dita Supriyanto yg jadi ketua Anshorut Daulah cabang Surabaya ini. Saya sedih sekali akhirnya ini benar2 terjadi, tapi saya sebenarnya tidak terlalu kaget ketika akhirnya dia meledakkan diri bersama keluarganya sebagai puncak “jihad” dia, karena benih2 ekstrimisme itu telah ditanam sejak 30 tahun lalu.

Dia mengingatkan saya pada kakak kelas lain, ketua rohis SMA 5 Surabaya waktu itu, yg menolak ikut upacara bendera karena menganggap hormat bendera adalah syirik, ikut bernyanyi lagu kebangsaan adalah bid’ah dan pemerintah Indonesia ini adalah thoghut.

Waktu itu sepertinya pihak sekolah tidak menganggap terlalu serius. Karena memang belum ada bom2 teroris seperti sekarang. semua sekedar “gerakan pemikiran”. Memang dia dipanggil guru Bimbingan Konseling (BK) unt diajak diskusi, tapi kalau sebuah ideologi sudah tertancap kuat, seribu nasehat ndak akan masuk ke hati. Dan Akhirnya pihak sekolah menyerah, toh dia tidak bertindak anarkis, bahkan terkenal cerdas, lemah lembut dan baik hati.

Akhirnya Ketua rohis saya ini tiap upacara bendera i’tikaf di mushola sekolah. Btw kadang saya kalau lagi males upacara, ikut menemani dia di mushola dan ikut mendegarkan siraman rohaninya. Dan yg seperti ketua rohis saya ini tidak hanya di SMA 5, tapi yg saya tahu ada di hampir semua SMA dan kampus di surabaya atau bahkan di seluruh Indonesia.

Yang ingin saya katakan, Terorisme dan budaya kekerasan Yang kita alami saat ini adalah panen raya dari benih2 ekstrimisme-radikalisme Yang telah ditanam sejak 30-an tahun Yang lalu di sekolah2 dan kampus2. Saya tidak tahu kondisi sekolah dan kampus saat ini, tapi itulah Yang saya rasakan jaman saya SMA dan kuliah dulu.

Mohon jangan salah paham, main stream-nya pergerakan islam di sekolah dan kampus ini tidak se-ekstrim kakak kelas saya tersebut. Tapi ada cukup banyak Yang sifatnya sembunyi2 dimana saya waktu itu ikut merasakan ngaji bersama mereka.

Serangkaian bom di tanah kelahiran saya dng tempat2 Yang sangat akrab di telinga dengan segala kenangan masa kecil, plus pelaku utama yg terasa begitu dekat dengan memori masa2 SMA-Kuliah dulu ini membuat saya tersentak bahwa Ekstrimisme, Radikalisme, bahkan Terorisme ini sudah menjadi “Clear and Present Danger”. Ini tidak lagi sebuah film di bioskop atau berita koran yg terjadi nun jauh di negeri seberang. Ini sudah terjadi disini dan saat ini disekitar kita.

Maka kita harus menetralisir kegilaan ini sampai ke akar2nya. Tidak ada gunanya kita melakukan penyangkalan (denial) bahwa ini cuman rekayasa, pelakunya ndak paham islam, ini bukan bagian dari ajaran islam, ini pasti cuman adu domba, dll.

Nyatanya pelakunya masih sholat subuh berjamaah di mushola, lalu satu keluarga berpelukan sebelum mereka menyebar ke 3 gereja unt meledakkan diri.

Nyatanya memang ada saudara2 kita yg memahami islam versi garis keras yg hobinya mengutip mentah2 ayat2 perang dan melupakan substansi “cinta dan kasih sayang” sebagai inti ajaran Islam.

Nyatanya memang benih2 radikalisme, ekstrimisme ini telah ditabur 30 tahun terakhir di pikiran anak2 muda kita, di sekolah2 terbaik dan dikampus2 top di Indonesia. Dan kalau akhirnya mewujud menjadi tindakan nyata terorisme, mestinya tidak mengagetkan kita.

Kalau kita masih saja melakukan penyangkalan, maka kita ndak akan pernah berbenah diri. Tapi kalau kita insyaf bersama, Kalau kita dengan gentle mengakui - bahwa IYA memang kita sedang sakit, bahwa memang ada banyak diantara kita, dan saudara2 kita yg memahami islam versi garis keras, yg merasa bahwa islam harus diperjuangkan dengan kekerasan - maka kita bisa mulai mengambil langkah2 solutif.

Dan langkah2 solutif nyata yg bisa kita lakukan diantaranya adalah:

  1. Mulai menetralisir alias melunakkan paham islam garis keras dan mulai menyebar luaskan paham islam moderat (washothiyah).

  2. SMA2 dan Kampus2 harus disterilkan dari gerakn2 bawah tanah islam garis keras, diganti dengan kemeriahan dan kegembiraan aktivitas islam yg menebarkan “cinta dan welas asih” pada sesama manusia.

  3. Sosial media harus dipenuhi kampanye “islam yg ramah dan penuh kasih sayang”. Bukan islam yg keras, penuh umpatan, dan kata2 kasar, apalagi hoax dan berdarah2.

  4. Pertarungan politik mohon jangan lagi menggunakan isu SARA sebagai komoditas rebutan kekuasaan. Apalagi disertai kampanye hitam saling menghujat yg membuat bahkan setelah selesai Pilkada/Pilpres-nya masyarakat jadi terbelah saling bermusuhan.

  5. Mawas diri dan sama2 menahan diri dalam menyikapi perbedaan2 dalam penafsiran Islam. Islamnya satu dan sumbernya sama, tapi nyatanya cara kita memahaminya bisa macem2. Dan ini fenomena psikologi yg wajar. Ayo tebarkan sikap saling memahami dan berempati, bukannnya saling curiga dan menyalahkan. Islam harus dipulihkan reputasinya dari wajah muram penuh kekerasan menjadi wajah ramah penuh Cinta pada sesama manusia.

Benar kata Muhammad Abduh, cendekiawan muslim abad 20, “Al-islamu Mahjubun bil muslimin”, Keindahan Islam ini terhijab/tertutupi oleh akhlak buruk sebagian umat islam sendiri”. Jadi mari kita yang akan bersama2 memulihkan wajah Indah Islam.

Terakhir, mari kita dengar seruan seorang remaja islam peraih Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai:

“Peluru hanya bisa menewaskan teroris, tapi hanya PENDIDIKAN-lah yg bisa melenyapkan paham terorisme (sampai akar2nya: radikalisme, ekstrimisme)”

Love & Peace for all of us…

And for my beloved Christian brothers & sisters… my deep condolence for all of you… from the bottom of my heart, I am really sorry…

STAY SAVE… SPREAD COMPASSION…

Saya yg sedang berduka,

Ahmad Faiz Zainuddin
Alumni SMA 5 Surabaya Lulusan 1995

Sebelum membahas terkait dengan bagaimana cara mencegah aksi terorisme, sebaiknya kita cari tahu terlebih dahulu apa latar belakang dari aksi itu sendiri.

Aksi terorisme biasanya dihubungkan dengan anggota atau kelompok radikal, atau yang biasa disebut radikalisme, dimana mereka mempunyai pemahaman bahwa untuk merubah suatu keadaan dengan cara cepat, maka diperlukan cara-cara yang ekstrem.

Menurut hemat saya, sebetulnya tidak ada yang salah dengan kata radikal itu sendiri. Radical berasal dari bahasa Latin Radix yang berati “pertaining to the roots" atau memiliki hubungan dengan akar.

A radical is a person who favors rapid and sweeping changes in laws of goverments. Seorang radikal adalah orang yang menyukai perubahan-perubahan secara cepat dan mendasar dalam hukum pemerintahan. Merriam-webster

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata radikal berarti “Secara mendasar atau maju dalam berpikir atau bertindak”. Sementara itu Oxford Dictionaries mengartikan kata radical sebagai “Advocating or based on thorough or complete political or social change” atau memberikan advokasi atau melakukan perubahan secara teliti, cermat dan menyeluruh terkait dengan keadaan politik dan sosial.

Mengapa ketika radikal atau radikalisme bertemu dengan kata Islam, konotasi-nya menjadi negatif ?

Kemungkinan terbesar menurut saya adalah karena mereka yang digolongkan sebagai Islam Radikal hanya fokus terhadap bagaimana merubah suatu kondisi yang menurut mereka tidak benar dengan cepat. Mereka hanya fokus pada hasil dan melupakan proses. Bukankah proses merupakan salah satu hal yang utama yang bisa dilakukan oleh manusia, selain niat ? Bukankah Allah SWT hanya melihat niat dan perbuatan manusia ? Bukankah Allah tidak melihat hasil dari apa yang dilakukan oleh manusia ? Sejatinya hasil merupakan hak prerogatif Allah SWT. Hasil bukanlah urusan manusia.

Sedangkan bagi mereka, yang ada hanyalah kondisi menang-kalah. Tujuan utama mereka hanyalah sebuah kemenangan, walaupun untuk mencapai kemenangan itu dengan menghalalkan segala cara. Mereka sudah tidak mempedulikan lagi masalah benar-salah, baik-buruk, keindahan bahkan kemulyaan.

Oleh karena itu, penamaan atau penyebutan golongan yang lebih tepat untuk kasus terorisme adalah menggunakan kata ekstrimis.

Menurut KBBI, pengertian ekstrimis adalah orang yang ekstrem; orang yang melampaui batas kebiasaan (hukum dan sebagainya) dalam membela atau menuntut sesuatu;

Dari definisi tersebut sudah jelas bahwa ekstrimis lebih fokus kepada hasil dengan mengabaikan proses, karena mereka sudah mengabaikan (melampaui batas) hukum, etika dan norma yang berlaku di masyarakat.

Lalu bagaimana cara yang bisa kita lakukan untuk mencegah aksi terorisme ?

  1. Stop gunakan kata Islam untuk menyebut golongan yang melakukan aksi terorisme. Entah itu Islam Radikal, Islam Garis Keras, Islam Fundamental atau apapun namanya. Hal itu akan melegitimasi perbuatan mereka bahwa seakan-akan mereka mewakili Islam dalam melakukan aksinya.

    Islam adalah Islam, tidak perlu ditambah dengan kata lain untuk menjelaskannya. Bisa jadi yang suka menyandingkan kata Islam dengan kata lainnya adalah umat Islam sendiri. Seperti istilah Islam Garis Keras, Islam Liberal, Islam Muram, Islam Seram dan lain sebagainya. Cukup kalimat Rahmatan lil alamin yang bisa menjelaskan arti dari Islam itu sendiri.

  2. Mulai memikirkan sistem pendidikan yang lebih baik. Sebaiknya sistem pendidikan kita mulai untuk lebih fokus kepada proses, bukan semata-mata pada hasil.

    Kesuksesan suatu pendidikan bukan dilihat dari seberapa cepat dia lulus, seberapa tinggi nilai yang dia dapat, tetapi lebih pada bagaimana proses mereka mendapatkan itu semua. Dengan kata lain, pendidikan sebaiknya tidak hanya fokus pada what to learn, tetapi lebih menitikberatkan kepada how to learn.

  3. Memulai melakukan perubahan cara pandang status sosial masyarakat. Di era materialistik seperti saat ini, status sosial masyarakat kita mengalami perubahan yang drastis, dimana kesuksesan hanya dilihat dari kekayaan dan kekuasaan saja. Dengan kata lain orang yang tidak mempunyai kekayaan atau tidak mempunyai kekuasaan akan dipandang rendah didalam sosial masyarakat kita saat ini. Tidak heran saat ini banyak orang yang berlomba-lomba menumpuk kekayaan atau meraih kekuasaan demi mendapatkan status sosial yang tinggi di masyarakat.

    Bukankah orang yang terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain, seperti sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

    “Sebaik Baik Manusia Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain”

    Atau didalam filsafat jawa (Sunan Kalijaga) dikenal dengan istilah Urip iku Urup.

    Ketika prinsip tersebut menjadi dasar utama didalam sosial masyarakat kita, maka kemungkinan besar masyarakat kita akan berlomba-lomba untuk berbuat baik bagi orang lain. Kekayaan dan kekuasaan yang dimilikinya akan digunakan untuk membantu orang lain. Segala tindakan yang akan dilakukannya-pun selalu diperhitungkannya, apakah tindakanya akan bermanfaat bagi orang lain atau malah merugikan orang lain.

Banyak jalan menuju roma, pepatah tersebut memang cocok untuk mencari jalan dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang ada saat ini, terutama permasalahan terorisme, tetapi Pendidikan dan Pola Pikir masyarakat-lah yang menjadi pondasi utama dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Bukankah ayat pertama yang diturunkan kepada junjungan kita, Kanjeng Nabi Muhammad SAW, adalah “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan” (Surat Al-'Alaq Ayat 1). Dari situ saja Islam sudah menekankan betapa pentingnya kita untuk selalu belajar.

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (Surat Al-'Alaq Ayat 3)

Dan dengan belajar, harapannya, kita akan menjadi orang yang banyak memberi, sehingga menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.

Wallahu A’lam Bishawab