Bagaimanakah Bidang Kajian Postkolonial dalam Sastra?

image
Poskolonial sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an

Bagaimanakah bidang kajian postkolonial dalam sastra?

Studi poskolonial di Barat salah satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward Said yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya yang masih terkait dengan perspektif Barat dalam memandang Timur. Buku-buku Said seperti Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (1981) dan Culture and Imperialism (1993) merupakan sekuel dari buku Orientalisme tersebut. Buku semacam The Empire Writes Back (1989) suntingan Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin merupakan buku lain yang sering dijadikan rujukan dalam pembahasan teori poskolonial.

Teori poskolonial itu sendiri merupakan sebuah seperangkat teori dalam bidang filsafat, film, sastra, dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya yang terkait dengan peran kolonial. Bidang ini bukanlah menjadi monopoli kajian sastra. Poskolonial mirip dengan kajian feminisme yang meliputi bidang kajian humaniora yang lebih luas; sejajar dengan kajian posmodern atau postrukturalisme.

Dalam bidang sastra, teori poskolonial merupakan salah satu dari serangkaian munculnya kajian atau teori setelah kemapanan teori strukturalisme mulai dipertanyakan. Seperti telah diketahui oleh umum bahwa dalam sejarahnya teori sastra yang mula-mula yaitu teori mimesis pada zaman Plato di Yunani Kuno. Perkembangan berikutnya yaitu teori pragmatis pada zaman Horace dari Romawi abad ke-4 yang disusul dengan teori yang berorientasi pada ekspresionisme pada abad ke-19. Pada abad ke-20 teori-teori yang berorientasi pada strukturalisme mendominasi kajian sastra. Pada paruh abad ke-20, teori-teori strukturalisme yang mendasarkan kajiannya hanya sebatas objek sastra itu telah mencapai puncaknya. Perkembangan teori sastra selanjutnya, berputar haluan dan dalam kecepatan yang luar biasa memunculkan sejumlah teori-teori yang seringkali satu sama lain saling berseberangan dan saling mengisi.

Pada paruh akhir abad ke-20, selain strukturalisme yang mengkaji karya sastra hanya berdasarkan strukturnya, ada juga sejumlah kajian atau teori sastra yang melibatkan unsur kesejarahannya dan konteks sosialnya. Teori-teori seperti cultural studies, new historisisme, dan poskolonial untuk sekedar menyebut contoh merupakan kajian-kajian sastra yang menganalisis karya sastra dalam konteks kesejarahannya ataupun konteks sosialnya. Poskolonial merupakan kajian terhadap karya-karya sastra (dan bidang yang lain) yang berkaitan dengan praktik kolonialisme atau imperialisme baik secara sinkronik maupun diakronik. Kajian poskolonial berusaha membongkar selubung praktik kolonialisme di balik sejumlah karya sastra sebagai superstruktur dari suatu kekuasaan, kekuasaan kolonial. Sastra dipandang memiliki kekuatan baik sebagai pembentuk hegemoni kekuasan atau sebaliknya sebagai konter hegemoni.

Kolonialisme/Orientalisme

Seperti yang diungkap Said dalam Orientalisme, ada sejumlah karya sastra dalam dunia Barat yang turut memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur (Orient). Sejumlah karya seni itu telah melegitimasi praktik kolonialisme bangsa Barat atas kebiadaban Timur. Penjajahan adalah sesuatu yang alamiah, bahkan semacam tugas bagi Barat untuk memberadabkan bangsa Timur. Kajian Said ini memang berangkat dari teori hegemoni Gramscian dan teori diskursus Foucaultian.

Kata “post” yang dilekatkan dengan kata “colonial” sebetulnya kurang tepat kalau diindonesiakan menjadi “pasca”. Kasus ini mirip dengan pengindonesiaan kata “discourse” dalam istilah Foucault yang tidak sama persis maknanya dengan kata “wacana”. Ada kekhususan. Kata pascakolonial yang seringkali dijadikan terjemahan dari postcolonial merupakan istilah yang mengacu pada permasalah “waktu setelah” kolonial. Padahal poskolonial tidak hanya mengacu pada kajian sastra sesudah masa era penjajahan, atau era kemerdekaan tetapi lebih luas mengacu pada segala yang terkait dengan kolonialisme yang pada abad ke-21 hanya menyisakan Amerika sebagai bangsa penjajah yang kesiangan. Konteks poskolonialisme juga mencakup kasus globalisasi dan perdagangan bebas yang yang melampaui kolonialisme, artinya bisa berupa pasca atau permasalahan lain yang masih terkait meskipun tampak seperti terpisah dari kolonialisme.

Jangkauan luar biasa imperialisme Barat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan salah satu fakta yang paling menakjubkan dalam sejarah politik. Melalui penafsirannya yang yang brilian atas kanon-kanon Barat seperti Heart of Darkness (karya Conrad), Mansfield Park (karya Austen), dan Aida (komposisi musik karya Verdi), Said menunjukkan bagaimana kebudayaan dan politik bekerja sama. Sebuah konsep dasar yang dipaparkan pemikir Komunis Italia, Antonio Gramsci tentang hegemoni yang menyatakan bahwa kekuasaan terbangun atas dominasi (senjata) dan hegemoni (kebudayaan).

Menurut Said, kebudayaan dan politik pada kasus kolonialisme telah bekerja sama, secara sengaja ataupun tidak, melahirkan suatu sistem dominasi yang melibatkan bukan hanya meriam dan serdadu tetapi suatu kedaulatan yang melampaui bentuk-bentuk, kiasan dan imajinasi penguasa dan yang dikuasai. Hasilnya adalah suatu visi yang mengaskan bahwa bangsa Eropa bukan hanya berhak, melainkan wajib untuk berkuasa. Argumen utama dosen kritik sastra Universitas Columbia AS ini adalah bahwa kekuasaan imperial Barat selalu menemui perlawanan terhadap imperium. Lelaki keturunan Palestina ini menelaah kesalingketergantungan wilayah-wilayah kultural tempat kaum penjajah dan terjajah hidup bersama dan saling berperang, dan melacak kisah-kisah “perlawanan” dalam diri para penulis poskolonial seperti Fanon, C.L.R. James, Yeats, Chinua Achebe, dan Salman Rusdhie.seringkali dianggap sebagai bentuk neokolonialisme. Kata post sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” sehingga poskolonial adalah kajian.

Dalam dunia poskolonial sekarang ini, Said mengajukan sanggahan terhadap argumen-argumen yang mengatakan bahwa kebudayaan dan identitas nasional adalah entitas-entitas yang tunggal dan murni seperti yang dipaparkannya dalam buku Culture and Imperialism (yang diindonesiakan oleh Penerbit Mizan menjadi Kebudayaan dan Kekuasaan). Dengan melucuti pengertian “kita” dan “mereka” dari imperium, Said menunjukkan bagaimana asumsi-asumsi imperialis yang busuk terus mempengaruhi politik dan kebudayaan Barat, sejak peliputan media atas Perang Teluk hingga pengajaran sejarah dan kesusastraan di sekolah-sekolah.

Apa yang dilakukan Said dalam sejumlah bukunya dalam menelanjangi praktikpraktik poskolonial tersebut selain berangkat dari teori hegemoni sebetulnya juga berawal dari konsep diskursus-nya Foucault. Dalam pengertian intelektual Prancis yang tampil plontos ini, diskursus (yang sering diindonesiakan menjadi wacana) adalah cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Dengan cakupan pengertian seperti ini, Foucault menulis salah satu judul bukunya dengan Power/Knowledge, kekuasaan dan pengetahuan seperti dua sisi mata uang. Kekuasaan (dan sekaligus pengetahuan) bukanlah sebuah entitas atau kapasitas yang dapat dimiliki oleh satu orang atau lembaga, melainkan sebuah jaringan yang tersebar di mana-mana dan selalu bergerak atau bergeser. Orientalisme yang diungkap oleh Edward Said adalah satu bentuk “knowledge” dalam rangka mengukuh kekuasaan (power) kolonialisme. Sejak itu, di Barat orang tidak mau lagi diberi predikat orientalis bagi intelektual yang melakukan studi kawasan Asia-Afrika. Kata “orientalis” telah menjadi kata peyoratif.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132236129/penelitian/POSKOLONIAL+SEBUAH+PEMBAHASAN.pdf