Bagaimanakah Bahasa Hidup dalam Masyarakat?


Bahasa akan terus tumbuh berkembang dalam masyarakat. Bisa terus bertahan ataupun mengalami pergeseran dan digantikan oleh bahasa yang lain.

Bagaimanakah bahasa hidup dalam masyarakat?

Bahasa Terus Hidup

Dalam proses migrasi penduduk pada umumnya lebih dilihat sebagai fenomena ekonomi karena tujuan utama penduduk (penutur bahasa) melakukan migrasi adalah untuk memenuhi berbagai kebutuhan bersifat material, selain sosial, psikologis, dan politis (Mantra, 2000; 2015). Akan tetapi, satu fenomena yang seringkali terabaikan dalam kaitan migrasi penduduk (yang juga sebagai penutur bahasa) adalah faktor budaya, terutama tentang kebahasaan. Dari aspek kebahasaan, penduduk melakukan migrasi tidak selamanya pada daerah tujuan yang memiliki bahasa ibu yang sama, tetapi seringkali ke daerah tujuan atau masyarakat bahasa yang berbeda, baik dalam tataran dialek maupun bahasa. Dengan hidup di lingkungan yang berbahasa ibu berbeda akan menuntut pemakaian bahasa yang berbeda daripada bahasa ibu di daerah asalnya.

Ketika hidup dalam kondisi demikian, migran tersebut dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu menggunakan bahasa nasional (dalam konteks Indonesia adalah bahasa Indonesia), bahasa ibunya jika berkomunikasi dengan penutur yang memiliki bahasa ibu yang sama, atau beradaptasi menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) daerah tujuan migrasi. Dinamika pemakaian bahasa akan lebih kompleks lagi bagi migran generasi berikutnya, kedua, ketiga dan seterusnya. Bagi migran generasi kedua yang dilahirkan di daerah tujuan pada umumnya akan menjadi penutur bilingual atau multilingual antara bahasa nasional (bahasa Indonesia dalam konteks Indonesia) dan bahasa ibu daerah tujuan serta kemungkinan masih menguasai bahasa ibu orang tuanya. Generasi ketiga migran sudah menjadi monolingual, yakni hanya menguasi bahasa daerah (Negara) tujuan atau dalam konteks Indonesia kemungkinan hanya menguasai bahasa daerah tujuan dan tentu bahasa nasional (Indonesia) (cf.Sumarsono, 2013; Chaer dan Agustina,2010).

Dengan adanya berbagai kemungkinan pemakaian bahasa tersebut di atas, artinya terjadi adanya proses pemilihan bahasa dalam tindak tutur. Adanya alternatif pilihan bahasa yang digunakan inilah bagi diri penutur terjadi proses pergeseran bahasa atau pemertahanan bahasa bergantung pilihan bahasa yang digunakan. Pemilihan bahasa ini seringkali lebih ditentukan oleh kebutuhan praktis, yakni adanya tuntutan kebutuhan harus menggunakan bahasa yang dipergunakan daerah tujuan. Walau demikian, karena penutur tersebut memiliki bahasa ibu yang telah dipergunakan sejak lahir misalnya, dalam situasi tertentu juga akan menggunakan bahasa ibunya. Dalam konteks ini, berbagai faktor berpengaruh terhadap pemilihan bahasa, seperti partisipan, situasi, ranah, dan tujuan (Fishman, 1972; Sumarsono, 2013, Chaer dan Agustina, 2010).

Apabila berkomunikasi dengan mitra tutur yang berasal dari daerah yang sama, maka pilihan bahasa yang digunakan adalah bahasa ibu atau nasional, jika dengan partisipan yang berbahasa ibu berbeda kemungkinan pilihannya adalah bahasa nasional (bahasa Indonesia) atau salah satu bahasa ibu partispan jika keduanya menguasai bahasa ibu masing-masing atau salah satunya. Situasi juga ikut berperan menentukan pilihan bahasa, selain ranah dan tujuan.

Berbagai studi terdahulu menunjukkan bahwa kajian pergeseran dan pemertahanan bahasa pada umumnya mengkonsentrasikan pada bahasa tertentu: Jawa, sunda, Bugis, Banjar, dan sebagainya (Mardikantoro, 2007; Jamzaroh, dkk, 2010; Yuliawati, 2008). Dengan kata lain, berbagai studi terdahulu lebih bersifat mikro, sedangkan kajian bersifat makro yakni pergeseran dan pemertahanan bahasa dalam satu masyarakat bilingual atau multilingual, seperti kota-kota besar di Indonesia, seperti masyarakat Kota Semarang belum pernah dikaji. Karena hal itu, rencana penelitian ini akan mengkaji fenomena pergeseran dan pemertahana bahasa-bahasa ibu di kota Semarang, khususnya pada ranah keluarga.

Pemilihan Bahasa

Pemilihan bahasa tidak terlepas dari fenomena situasi diglosia. Dalam kasus Indonesia, pembagian fungsi kemasyarakatan antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah dapat dilihat dari indikator kelas sosial, usia, pola perkawinan, lokasi pemakaian, situasi pemakaian (Abdullah dalam Wijana, 2013: 33). Kelas sosial semakin tinggi, usia muda, perkawinan campuran, penduduk yang tinggal di perkotaan, dan situasi formal cenderung menggunakan bahasa Indonesia, sementara kelas sosial semakin rendah, usia tua, perkawinan satu etnis/bahasa ibu, penduduk pedesaan, dan dalam situasi informal cenderung menggunakan bahasa daerah.Demikian juga studi dalam skala global yang dilakukan oleh Mackey (Wijana, 2013:37) menjelaskan bahwa kekuatan bahasa dapat diukur dengan indikator demografi, persebaran, ekonomi, ideologi, dan kultural. Semakin banyak jumlah penutur suatu bahasa dan persebaran tempat tinggal semakin luas (mendunia), GNP Negara pemilik bahasa tersebut semakin tinggi, maka bahasa tersebut semakin mendominasi peran dalam skala global. Situasi diglosia dan dominasi bahasa tersebut berkaitan dengan pemilihan bahasa.
Dalam masyarakat bilingual atau multilingual, penutur ketika berbicara dengan menggunakan dua bahasa atau lebih dan harus memilih yang mana harus dipakai (Fasold, 1984:180).

Dalam pemilihan bahasa, terdapat tiga jenis pilihan:

  1. Alih kode (code switching) yaitu menggunakan suatu bahasa pada suatu domain dan menggunakan bahasa lain pada domain yang lain;
  2. Campur kode (code mixing) yaitu menggunakan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan bahasa lain;
  3. Menggunakan sutu variasi dalam satu bahasa (variation within the same language).

Sementara itu, Fishman (dalam Chaer & Agustina, 2010: 204) menjelaskan bahwa dalam mengkaji pemilihan bahasa dapat dilakukan berbasis domain (konteks institusional) tertentu, yang menunjukkan kecenderungan penutur memilih atau menggunakan satu variasitertentu daripada variasi lain. Domain merupakan konstelasi dari faktor lokasi, topik, dan partisipan. Dengan demikian, dikenal domain keluarga, tetangga, teman, transaksi, pemetintahan, pendidikan, dan sebagainya. Jika seorang penutur berbicara dalam lingkungan keluarga misalnya, maka dikatakan berada dalam domain keluarga. Analisis domain ini serin dikaitkan dengan analisis diglosia, sebab ada domain yang bersifat formal dan tidak formal.

Dalam masyarakat yang bersifat diglosik, ragam bahasa yang digunakan untuk domain yang tidak formal biasanya bahasa ragam rendah (low language), sedangkan dalam domain yang bersifat formal dipakai bahasa ragam tinggi (high language). Karena iyulah, pemilihan satu bahasa atau ragam bahasa bergantung domainnya.

Pergeseran Bahasa

Pergeseran bahasa sebenarnya menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang terjadi akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur yang baru. Menurut Amar (2004), proses pergeseran bahasa merupakan satu peristiwa sejarah karena lambat laun bahasa ibu bagi kelompok penutur ini akan mengalami kepunahan sama sekali. Hal ini selaras dengan pendapat Mbete (2003: 14) bahwa pergeseran bahasa berawal dari penyusutan fungsi-fungsi dasarnya yang umumnya terjadi dalam rentang waktu yang lama dan perlahan-lahanmelampaui beberapa generasi.

Punahnya suatu bahasa ditandai dengan berkurangnya atau bahkan hilangnya bahasa lokal yang dipakai dalam pertuturan di dalam keluarga, misalnya antara orang tua dan anak-anak. terlebih lagi, hal itu ditandai dengan menghilangnya budaya dongeng, sirnanya kebiasaan bercerita kepada anak-anak sebelum tidur, dan tidak berfungsinya lembaga-lembaga tradisional sebagai benteng dan budaya dan tradisi (Mardikantoro, 2007: 43-44).

Pergeseran bahasa berarti, suatu guyup (komunitas, masyarakat bahasa) meninggalkan suatu bahasa sepenuhnya untuk memakai bahasa lain. Bila pergeseran sudah terjadi, para warga guyup itu secara kolektif memilih bahasa baru (Sumarsono, 2013: 231).

Pergeseran bahasa biasanya terjadi di Negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik sehingga mengundang imigran/transmigran untuk mendatanginya. Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 144) telah menunjukkan terjadinya pergeseran bahasa para imigran di Amerika. Keturuanan ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah tidak lagi mengenal bahasa ibunya (B-ib), dan malah telah terjadi monolingual bahasa Inggris (B-ing).