Bagaimanakah Awal Mula Sastra Indonesia?

image
Bahasa adalah unsur utama sastra. Sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia disebut sastra Indonesia. Di Indonesia, di samping sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia ada juga yang ditulis dalam bahasa daerah dan bahasa asing. Sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa daerah disebut sastra daerah; dan sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa asing disebut sastra asing. Jadi, untuk mengenal jenis sebuah sastra kita lihat jenis bahasa yang digunakannya.

Di samping ketiga jenis sastra tersebut di atas, ada juga disebut sastra terjemahan, yaitu sastra yang dialihbahasakan dari suatu bahasa ke bahasa lain tanpa mengubah bentuk dan isi sastra yang bersangkutan. Contohnya: sastra daerah atau sastra asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ada juga disebut sastra saduran, yaitu sastra (cerita) yang disusun kembali secara bebas tanpa merusak garis besar cerita, biasanya dari bahasa lain.

Kapan masa mula sastra Indonesia?

Bagaimanakah awal mula sastra di Indonesia?

Berbagai Pendapat tentang Masa Mula Sastra Indonesia

Para pengamat sastra Indonesia tidak sependapat tentang masa mula sastra Indonesia. Dalam buku Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa Duapuluhan (Fachruddin Ambo Enre, 1963: 11) tercantum:

  • Sastra Indonesia baru ada sesudah Proklamasi Kemerdekaaan 1945.
  • Sastra Indonesia baru ada sesudah Sumpah Pemuda 1928.
  • Sastra Indonesia sudah mulai pada awal tahun duapuluhan.

Pendapat pertama di atas dikemukakan oleh Slametmuljana. Ia menyangkut-pautkan nama negara Indonesia dengan nama sastra Indonesia. Sastra sebelum proklamasi kemerdekaan 1945 semuanya masih digolongkan sastra daerah.

Pendapat kedua di atas dikemukakan oleh Umar Junus. Ia menyangkut-pautkan nama Sumpah Pemuda dengan nama sastra Indonesia. Ia beranggapan bahwa sastra Indonesia baru ada sesudah Sumpah Pemuda 1928. Tidak ada sastra tanpa bahasa, ini benar. Jadi, sastra Indonesia baru ada sesudah ada bahasa Indonesia. Apakah Sumpah Pemuda yang melahirkan bahasa Indonesia? Secara logika tidak mungkin peristiwa Sumpah Pemuda serta merta mengubah wujud bahasa, dari bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.

Menurut pendapat A. S. Broto (1980: 19) bahwa dalam kongres pemuda yang kedua, 28 Oktober 1928 dikumandangkan Sumpah Pemuda yang sangat terkenal itu, dan nama bahasa Melayu diganti dengan bahasa Indonesia. Jadi, sebelum Sumpah Pemuda 1928 sudah ada bahasa yang dipergunakan sebagai unsur sastra, yang akan diresmikan namanya menjadi bahasa nasional Indonesia. Sastra yang dimaksud adalah sastra Indonesia.

Pendapat ketiga di atas dikemukakan oleh Fachruddin Ambo Enre (1963: 19). Ia berpendapat bahwa ditinjau dari sudut bentuk, bahasa, dan isinya, kesusastraan yang muncul pada masa-masa duapuluhan ini jelas menunjukkan adanya pengaruh kesusastraan Barat; isinya mencerminkan keadaan masyarakat zamannya, masyarakat Indonesia yang sedang mengalami pertumbuhan; gaya bahasa dan perbendaharaan kata-katanya tidak lagi serupa dengan bahasa di zaman Abdullah bi Abdulkadir Munsji. Jadi, kenyataan cukup memberikan hak kepada kita untuk menetapkan munculnya suatu zaman baru, zaman kesusastraan Indonesia.

Sehubungan dengan pendapat ketiga pengamat sastra di atas tentang masa mula sastra Indonesia, H. B. Jassin mengatakan bahwa Angkatan 20-an lahir dalam zaman Balai Pustaka (1908) dengan terbitnya roman Siti Nurbaya (1922). Bahkan sebelum terbitnya roman Siti Nurbaya, telah terbit roman Azab dan Sengsara dalam tahun 1920 yang dianggap roman pertama Indonesia.

Dokumen Kesusastraan Indonesia Modern

Kita patut bersyukur dengan adanya H. B. Jassin sebagai pengumpul, pemelihara, dan penyimpan dokumen sejarah pertumbuhan kesusastraan Indonesia. Dalam buku Pameran Dokumentasi Kesusastraan Indonesia tercantum perihal dokumentasi kesusastraan Indonesia modern milik H. B. Jassin. Dokumen ini dipamerkan oleh Direktorat Bahasa dan Kesusastraan bersama dengan Dewan Kesenian Jakarta; dengan bantuan Ikatan Penerbit Indonesia; dalam tahun 1968.

Pameran dokumentasi kesusastraan ini sebenarnya merupakan percobaan ketiga bagi Direktorat Bahasa dan Kesusastraan. Yang pertama diadakan pada bulan April 1967, dalam rangka memperingati meninggalnya penyair Chairil Anwar. Pameran yang ketiga kalinya ini diadakan dalam rangka memperingati 40 tahun Sumpah Pemuda serta peresmian gedung Pusat Kesenian Jakarta.

Dalam pameran tersebut, Taufiq Ismail, dari Dewan Kesenian Jakarta, pelopor Angkatan 66, dalam sambutannya mengatakan antara lain bahwa dokumen-dokumen ini adalah saksi-tak-berdusta dalam sejarah sastra modern Indonesia. Tumpukan dokumen-dokumen authentik ini, nilainya tak tepermanai.adanya; karena berpuluh buku, skripsi, dan disertasi di dalam dan luar negeri, telah dan akan tetap lahir dari dokumen ini.

Lukman Ali, Kepala Dinas Kesusastraan Indonesia mengatakan antara lain: siapa yang harus memikirkan dan bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pemeliharaan dokumen yang penting ini? Bukan hanya Jassin, bukan hanya Direktorat Bahasa dan Kesusastraan, Direktorat Jendral Kebudayaan, tetapi kita semua! Sebab pada hakikatnya dokumeen ini bukan hanya milik Jassin pribadi, tetapi milik kita semua. Oleh karena itu, wajiblah kita pikirkan bersama.

Maksud pameran ini ialah untuk memperlihatkan perkembangan kesusastraan Indonesia dengan jalan memamerkan buku-buku, surat-surat, tulisan-tulisan dalam surat kabar dan majalah, prasaran-prasaran stensilan, pamflet-pamflet, foto-foto dan lain-lain dokumen penting yang bernilai sejarah, bukan saja sejarah kesusastraan tapi juga sejarah politik dan kemasyarakatan, sebagai latarbelakang pertumbuhan kesusastraan.

Tidak dapat disangkal bahwa Balai Pustaka yang didirikan pada tahun 1908 mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan kesusastraan Indonesia. Disinilah lahirnja Angkatan 20-an dengan terbitnya roman Siti Nurbaja yang dianggap sebagai roman pertama yang memenuhi syarat kesusastraan yang baik dan merupakan roman modern klasik kita yang pertama. Di sini pula terbitnja roman-roman besar seperti Hulubalang Radja, Salah Asuhan, Lajar Terkembang, Atheis, Tambera, Mereka Jang Dilumpuhkan dan lain-lain.

Pengarang-pengarang terkemuka Pudjangga Baru dan Angkatan 45 ada yang pernah bekerja di Balai Pustaka untuk beberapa waktu, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, H. B. Jassin, Idrus, Achdiat K. Mihardja, Utuy Tatang Sontani, Pramoedya Ananta Toer dan lain-lain.

Jelas merupakan satu pembaharuan periode Pujangga Baru dengan majalahnya yang bernama serupa, terbit tahun 1933, bukan saja di lapangan kesusastraan tetapi juga di lapangan pemikiran kebudayaan pada umumnya. Munculnya Pudjangga Baru tidak berlangsung diam-diam, tapi disertai polemik mengenai pembaharuan yang dibawanya dalam bahasa,kesusastraan dan konsepsi kebudayaan. Polemik itu berlangsung antara tokoh-tokoh Pudjangga Baru dan barisan guru-guru kolot serta budayawan-budayawan yang berpijak pada tradisi lama.

Pemerintah Jepang yang mencoba membunuh semangat Pudjangga Baru, sebaliknya justru melahirkan Chairil Anwar yang lebih revolusioner dalam sikap dan tanggapan hidupnya dan muncullah Angkatan 45 sesudah Indonesia merdeka.

Kebanyakan kita mengenal atau pernah melihat buku kecil Surat Kepertjajaan Gelanggang Seniman Merdeka yang bertanggal 1950 dan juga mengetahui pembukaan ruangan Gelanggang dalam warta sepekan Siasat tahun 1948, tapi sedikit yang mengetahui bahwa Perkumpulan Gelanggang telah didirikan tahun 1946. Usaha-usahanya ialah mengadakan pameran-pameran senilukis dan kemudian menerbitkan majalah Gema Suasana. Dari perkumpulan inilah sebenarnya bermula apa yang disebut Angkatan 45 dalam kesusastraan dengan Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin sebagai tokoh utamanya.

Timbulnya Angkatan 45 pun menimbulkan polemik. Adakah atau tidak ada Angkatan 45, apa cita-citanya, mana orang-orangnya dan mana karya-karyanya? Apa bedanya dengan Pudjangga Baru? Maka menulislah Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Achdiat K. Mihardja, Anas Ma’ruf dan bertambah seru lagi perdebatan tatkala orang-orang Lekra mulai tampil ke depan.

Dalam tahun 1950 Lekra didirikan sebagai organisasi kebudayaan yang juga bergerak di lapangan kesusastraan. Di lapangan kesenian ia membawa realisme sosialis yang kemudian dipertegas dengan semboyan “Politik adalah Panglima”. Karena konsepsinya ini Lekra berhadapan dengan seniman merdeka yang berkumpul dalam Gelanggang yang mementingkan nilai dan membawa konsepsi humanisme universal. Tokoh-tokoh Lekra ialah A. S. Dharta alias Klara Akustia, Jubaar Ajub, Bakri Siregar dan kemudian juga Rivai Apin dan Pramoedya Ananta Toer. Pertarungan antara kedua golongan ini meningkat dari tahun ke tahun sampai tercetusnya Manifes Kebudayaan pada tahun 1963.

Apabila antara tahun 1950 dan 1960 perdebatan masih berlaku dalam batas-batas kesopanan, maka sesudah pidato Presiden Soekarno tahun 1959 pihak Lekra-PKI mendapat angin dan mulai melancarkan serangan-serangan yang kasar terhadap lawan-lawannya. Pendidikan mau diselewengkan dari Pancasila dan diciptakan Pancacinta yang menggegerkan golongan agama dan guru-guru yang sadar ketuhanan yang maha esa.

Hamka yang berpengaruh besar di kalangan Islam dan pernah mengecam cara-cara komunis yang tidak fair, diserang dan diciptakan issue plagiat Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Ia difitnah hendak meruntuhkan pemerintahan Soekarno hingga dijebloskan dalam tahanan. Lalu menyusul issue penolakan hadiah sastra tahun 1962 dan pengganyangan film Amerika.

Sadar akan bahaya yang mengancam kebudayaan dan sendi-sendi negara yang berdasarkan Pancasila, maka para cendekiawan, pengarang , dan seniman mencetuskan Manifes Kebudayaan dan menghimpun para pengarang dan kebudayaan dari seluruh tanah air dalam suatu konperensi yang disebut Komperensi Karyawan Pengarang Indonesia, disingkat KKPI.

Ini adalah satu perlawanan total dan frontal dari golongan kebudayaan dan dalam usahanya untuk mematahkan perlawanan ini pihak Lekra/PKI berhasil melalui menteri kiri P. P. & K. Profesor Prijono mendesak Presiden Soekarno untuk melarang Manifes Kebudayaan dengan dalih membahayakan jalannya revolusi.

Tapi terbukti, katahati nurani bangsa tidak dapat didiamkan, kezaliman tidak dapat berjalan lama. Dengan meletusnya Gestapu tanggal 30 September 1965, bangkitlah rakyat yang telah bertahun-tahun diteror sebelumnya lahir dan batin dan timbul angkatan baru, Angkatan 66. Angkatan 66 tampil dalam demonstrasi-demonstrasi beberapa bulan sesudah meletusnya Gerakan 30 September atau Gestapu yang didalangi oleh PKI. Di tengah-tengah keriuhan tuntutan mahasiswa dan pelajar, terdengarlah suara penyair yang mengumandangkan hati nurani rakyat.

Seperti juga Angkatan Pudjangga Baru dan Angkatan 45, pun Angkatan 66 tidak sekaligus diterima kehadirannya oleh semua golongan. Meskipun diakui adanya Angkatan 66 dalam masyarakat, sebagian orang meragukan adanya dalam kesusastraan, sebab apakah kriterium kesusastraan yang dapat dipakaikan padanya? Maka ramailah polemik dan kontra setelah tulisan H. B. Jassin dalam majalah Horison bulan Agustus 1966, .memproklamirkan bangkitnya suatu generasi baru dalam kesusastraan.

Tapi setuju atau tidak setuju orang telah mempermasalahkannya dan pengarang-pengarang angkatan baru ini terus membuktikan adanya dengan karya-karyanya. Tulisan-tulisan mereka memenuhi majalah-majalah baru Horison, Sastra (landjutan), Tjerpen, Gelanggang, Budaja Djaja, suratkabar-suratkabar. Pun telah ada hasil karya mereka yang terbit sebagai buku, distensil atau dicetak. Sebuah antologi khusus Angkatan 66 Prosa dan Puisi memperkenalkan hasil-hasil mereka, disertai sekadar riwayat hidup dan keterangan mengenai kegiatannya di lapangan penciptaan.

Bahan Dokumentasi yang Dipamerkan

Karena kekurangan ruangan, dokumen-dokumen mengenai kesusastraan sebelum perang tidak dapat dipamerkan. Demikian pula bahan-bahan mengenai kesusastraan sesudah perang hanya sebagian kecil yang dapat dipamerkan.