Bagaimanakah Antropologi Sastra Memandang Pengalaman Fiksi dan Budaya Simbol?

image
Pengalaman hidup seorang sastrawan akan memengaruhi kerja kreatif dan pengalaman antropolog terkadang sama seperti pengalaman penulis fiksi.

Bagaimanakah antropologi sastra memandang pengalaman fiksi dan budaya simbol?

Pengalaman seorang antropolog kadang-kadang mirip dengan pengalaman penulis fiksi. Terlebih lagi jika pengarang fiksi gemar blusukan seperti antropolog, tentu karyanya amat mirip. Keduanya adalah figur yang canggih dalam melukiskan kejadian dengan penuh estetika. Pengalaman hidup seorang sastrawan akan memengaruhi kerja kreatif. Hal ini seperti yang digambarkan Rodman (1993:173), yaitu tentang peristiwa penting yang harus terjadi. Dia merekonstruksi suatu peristiwa yang terjadi lebih dari tiga puluh tahun yang lalu di sebuah pulau terpencil di Pasifik Selatan.

Sesungguhnya, yang dia kisahkan ini adalah sebuah fiksi, tetapi itu merupakan suatu kejadian yang benar karena saya bisa menulis berdasarkan pengalamannya sendiri di pulau dan informasi yang tersedia. Detailnya mungkin ada yang tidak benar, tetapi yang penting adalah bahwa saat ini orang-orang di pulau itu percaya bahwa pertemuan antara antropolog dan remaja itu telah berlangsung. Dari pertemuan itu mereka menemukan pesan antropologi terhadap penduduk asli dunia. Yang dia temukan bertahun-tahun setelah kejadian adalah interpretasi dari pesan antropologi yang telah memainkan peran penting dalam mengubah cara hidup mereka.

Kebenaran sebuah fiksi memang sering dipertanyakan. Namun, realitas bahwa setiap fiksi hampir selalu menyuarakan kebenaran sering sulit dibantah. Kebenaran fiksi adalah realitas yang direkayasa. Pengarang fiksi adalah orang kreatif yang banyak menyuarakan dentuman budaya. Biasanya pengarang mengekspresikan pengalaman hidupnya dengan selubung kiasan budaya. Orang yang berbudaya dianggap orang beradab. Menurut Tylor (Ratna, 2011:58), kebudayaan adalah penelitian yang meliputi ilmu, kepercayaan, kesenian, tata susila, hukum, adat istiadat, dan kemampuan lain dalam kehidupan manusia. Dari pendapat ini, lukisan fiksi biasanya memuat semua aspek kebudayaan. Untuk itu, diperlukan penelitian antropologi sastra agar yang terungkap dalam sastra dapat ditafsirkan secara proporsional.

Dalam kisah Rodman (1993:174), tertera bagaimana seorang antropolog mengisahkan pengalaman fiksinya. Pengalaman tersebut sebenarnya juga sebuah fiksi. Kisah itu tidak lain dapat dikategorikan sebagai karya sastra. Menurutnya, pada akhir 1950-an, seorang antropolog menghabiskan beberapa hari sebagai tamu untuk pasangan Australia yang mempertahankan toko perdagangan di pantai Aoba, sebuah pulau di Kepulauan Utara New Hebrides. Antropolog itu baru saja menyelesaikan sepuluh bulan kerja lapangan di pulau tetangga, Pentakosta. Ia sedang dalam perjalanan pulang ke Aoba. Tempat itu hanya untuk persinggahan, tempat untuk menunggu perahu yang akan membawanya ke suatu tempat untuk menunggu pesawat kembali ke Amerika Utara.

Pada beberapa titik selama tinggal singkat di sana, antropolog bertemu dengan seseorang bernama Andrew Namala di pulau itu, seorang pria muda yang berjalan ke wilayah tersebut. Dia adalah seorang pemuda yang tenang, saudaranya seorang guru, anak seorang kepala suku. Dia dekat dengan ayahnya, seorang pria yang telah membunuh banyak babi dan memperoleh peringkat tinggi dalam masyarakat sebelum Gereja Misionaris Kristus pada tahun 1940-an meyakinkan pengikutnya di pulau itu. Ayah Andrew tetap menjadi seorang kepala tradisional karena tidak dinaikkan pangkatnya menjadi kepala di pengasingan. Tentu ia kecewa menjadi orang Kristen yang berada dalam Gereja Kristus.

Andrew berjalan ke pantai, ditemani seorang perempuan yang bekerja sebagai pedagang di sebuah toko. Dia adalah seorang wanita yang ramah, fasih dalam bahasa Inggris, dan tahu tentang kehidupan pribadi hampir semua orang yang mengunjungi tokonya. Dia tahu siapa Andrew, ia juga tahu tentang ayahnya. Satu hal yang ia tahu tentang ayah Andrew adalah bahwa kepala tua adalah salah satu dari sedikit orang di Gereja Kristus yang terampil dalam seni lukis pasir. Ternyata gambar pasir memiliki daya tarik yang tak tertahankan untuk etnograf.

Hal ini tidak sulit untuk menjelaskan mengapa gambar-gambar itu telah menarik perhatian begitu banyak orang. Mereka terangsang dorongan etnografis untuk merekam dan melestarikannya. Jika seniman terampil menciptakan suatu keindahan yang tidak bisa bertahan melampaui satu sore, gambar pasir simbolis itu justru tahan waktu melukiskan angin yang bertiup. Mitos dalam gambar juga melukiskan bahwa air pasang menyeka dengan bersih. Istri pedagang itu tahu bahwa antropolog itu telah mengumpulkan beberapa gambar pasir di Pentakosta. Jadi, dia memperkenalkannya kepada Andrew, putra seorang penduduk lokal.

Antropolog dan remaja pergi ke luar toko untuk berbicara. Waktu itu suasana panas di toko dan ada pohon peneduh di luarnya, ada pohon apel dan mawar, dan ada beberapa orang lain. Selain itu, ada angin dari laut. Pada awalnya, pertanyaan antropolog menyangkut gambar pasir. Ketika subjek mulai kering, ia bertanya pada orang muda tentang berbagai topik sihir. Ada kekuatan supernatural, teknik subsisten, pengalaman orang-orang lokal pada Perang Dunia II, dan baru-baru ini perubahan dalam pola gizi.

Semua topik itu telah ia kumpulkan selama kerja lapangan baru-baru ini. Dengan cara yang kasual, ia tampaknya telah mencari informasi tentang Aoba bahwa ia bisa membandingkan dengan data yang dikumpulkan di Pentakosta. Namun, sulit untuk mempertimbangkan bahwa pertemuan itu merupakan wawancara mendalam. Hal itu terjadi seperti tidak direncanakan, tidak memiliki formalitas, dari titik pandang antropologis, bahkan mungkin tidak memiliki kesempatan luas.

Hal itu adalah cara untuk melewatkan waktu sebelum makan malam, cara yang menyenangkan untuk rehat dari lapangan. Antropolog itu meninggalkan Aoba beberapa hari kemudian. Selama dekade berikutnya, ia tidak pernah menerbitkan apa pun yang berasal dari pembicaraannya dengan remaja itu. Tidak mungkin percakapan itu mengubah hidupnya dengan cara apa pun yang signifikan. Namun, pertemuan tersebut merupakan peristiwa yang bermakna biarpun membuatnya bingung. Siapa orang luar itu? Mengapa dia tertarik pada cara hidup orang lokal? Apa maksud pertanyaannya?

Pada tahun 1982, Andrew berbicara kepadanya tentang wawancara yang dilakukan seolah-olah itu baru terjadi kemarin saja. Ketika dia mendengarkan, dia menemukan bahwa sebagian besar pertanyaan antropolog itu memiliki jawaban kosong. Saya mengenali mereka sebagai pertanyaan yang sah untuk etnografer untuk bertanya, seperti pertanyaan dia mungkin meminta seseorang dalam lokal asing.

Kehidupan Andrew berubah sebagai hasil dari pertemuannya dengan orang luar dan setidaknya, secara tidak langsung, itu adalah cara hidup orang-orang yang tinggal bersamanya. Mereka termasuk 343 anggota Gereja Kristus di Distrik Longana dari Pulau Ambae, di negara Pasifik Baru yang mengubah namanya dari New Hebrides. Andrew menemukan pola tersirat dalam pertanyaan antropolog itu. Pertemuan Andrew dengan antropolog itu menjadi pengetahuan penting. Pengetahuan itu digunakan sebagai pembenaran ideologis dan untuk sebuah perubahan besar dalam urusan sosial masyarakat.

Perjalanan hidup Andrew di atas adalah sebuah etnografi fiksi, boleh juga disebut sebuah cerpen realitas. Lepas dari itu, fiksi itu menyuarakan realitas atau sekadar imajinasi peneliti antropologi sastra tidak mempermasalahkan itu. Antropologi sastra lebih memandang kisah yang memenuhi kriteria estetika, yakni karya sastra. Menurut Ratna (2011:476) karya sastra bercirikan kreativitas imajinatif. Karya sastra selalu bermodus kreasi. Hasil pintalan daya khayal itu sering memanipulasi realitas. Oleh karena itu, hampir tidak ada karya sastra yang benar-benar melukiskan kenyataan.

Kehidupan seorang pelukis pasir di wilayah Ambae di atas membuktikan sebuah karya fiksi yang penuh jelajah imajinatif. Peneliti antropologi sastra perlu menggali data dan makna di balik kehidupan budaya seorang Andrew dan pelukis pasir. Kehidupan sosio kultural mereka telah diramu dengan imajinasi antropolog yang berjiwa sastrawan. Antropolog bebas menyuarakan apa saja yang dia amati, terlebih yang dialami dalam kehidupannya. Pada saat antropolog menyusuri kehidupan orang pantai, banyak refleksi budaya yang patut dicatat.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf