Bagaimanakah Antropologi Sastra dalam Teks Humanistik dan Ilmiah?


Antropologi sastra, juga berupaya memahami orang lain melalui cipta sastra.

Bagaimanakah antropologi sastra dalam teks humanistik dan ilmiah?

Antropologi sastra adalah ilmu yang hendak mempelajari kehidupan manusia secara mendalam. Pemahaman manusia imajinatif itu membutuhkan tafsir yang jeli. Tafsir merupakan senjata ampuh seorang ahli sastra. Hal ini penting karena sastra sering menyimpan hal-hal yang sifatnya imajinatif dan simbolis. Sadar atau tidak, pengarang sering mempermainkan pembaca menggunakan imajinasinya yang hebat.

Pernyataam Ahimsa Putra (2003:103) jelas dapat mengukuhkan antropologi sastra. Seorang ahli antropologi bukan hanya seorang ilmuwan atau pengamat, penafsir dan penjelas pelbagai fenomena sosial budaya, tetapi ia juga seorang seniman dan seorang sastrawan. Ketika berhadapan dengan teks humanistik, ahli-ahli antropologi dan sastra sering kebingungan. Mereka selalu berputar-putar, gagasan yang dihadapi itu sastra atau objek antropologi. Bahkan, pada saat bersamaan, ahli sastra masih termenung-menung, apakah karya yang dihadapi itu pantas dibedah menggunakan kacamata sosiologi sastra, psikologi sastra, atau antropologi sastra. Persilangan di otak para pemikir itu tidak lain karena tergoda pada teks-teks humanistik dan teks ilmiah.

Konon, biarpun tidak selamanya benar, Koentjaraningrat (1974:27) mengisyaratkan bahwa penelitian antropologi biasanya berkaitan dengan keadaan masyarakat yang sederhana. Namun, ketika saya mendalami antropologi selama tujuh tahun, gagasannya itu runtuh. Dia berpusar pada era Malinowski, Radcliff-Brown, Evan-Pritchard, dan sezamannya. Namun, sejak muncul para pemikir baru seperti Victor Turner dan Clifford Geertz, gerakan antropologi tidak lagi berpusat pada masyarakat primitif. Antropologi telah merambah ke masyarakat modern dan lebih simbolis. Bahkan, dengan hadirnya James Clifford, James Seagel, Woodward, Paul Stange, dan Niels Mulder, antropologi sudah semakin dekat dengan konsep sastra. Jagat antropologi sudah mencoba menelusuri jejak teks-teks budaya lewat sastra. Banyak antropolog seperti P.M. Laksono (UGM) yang sudah mencoba melihat aspek seni, foto, tubuh, dan sastra.

Atas dasar hal demikian, memang tidak salah jika Benson (1993) mulai terheran-heran dengan kehadiran puisi di ranah antropologi. Karya-karya puisi tampak menggoda para antropolog. Menurutnya, ada temuan menarik, yaitu tentang rekonseptualisasi perubahan hubungan antara subjek dan objek, antara pengamat etnografi dan penduduk asli dipelajari. Hal ini juga mirip dengan hubungan antara sastrawan dan masyarakat yang menjadi setting karyanya. Hubungan keduanya seakan lenyap, berbaur, tanpa jarak sehingga subjek dan objek dalam peta antropologi sastra tidak harus diperdebatkan.

Masalahnya sering diungkapkan sebagai pertanyaan tentang sejauh mana pribadi dan puitis harus dimasukkan dalam teks ilmiah ilmiah. Seolah-olah ada pertentangan antara ilmiah dan humanistik, antara akademik dan puitis, antara ilmiah dan sastra. Saya menolak pandangan biner (Bruner 1990), tetapi mengakui bahwa setiap zaman sejarah telah memiliki jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan dengan batas-batas yang ditetapkan oleh praktik diskursif dominan era tersebut dan tentu saja selalu ada pengecualian individu.

Memang di jagat antropologi masih ada ide bahwa sebuah laporan ilmiah seharusnya objektif. Maka dari itu, etnografi yang dipandang (harus) ilmiah, jika meninggalkan pengamat pandangan ini tidak hanya dianggap klise, tetapi juga mustahil. Etnografer setiap waktu pasti meninggalkan jejak dalam teks. Pengaruh kepribadian etnografer tidak jauh berbeda dari seorang sastrawan. Meskipun sering ada upaya sadar untuk menutupi kehadiran pribadi dalam teks, itu hampir tidak mungkin.

Pembacaan lebih dekat terhadap teks etnografi selalu mengungkapkan bahwa persona penulis sering hadir tidak hanya dalam teks, tetapi terutama juga dalam konteks. Evans-Pritchard (Benson, 1993:2) yang dikenal pada tahun 1940 saat menggambarkan masyarakat Nuer adalah kasus klasik dalam hal ini. Bukunya yang berjudul The Nuer telah melukiskan lima keluarga yang mirip dengan sastra. Dalam insiden baru-baru ini bahkan dibahas perang antara Nuer dan master kolonial Inggris yang dia paparkan cukup estetis dan humanistis. Dia menulis kehidupan orang Nuer dengan gaya novelis yang humanistis. Tentu saja Nuer sebagai teks mengandung keberpihakan etnografer.

Antropolog dapat memilih dirinya sendiri dalam kaitannya dengan bibliografi yang selalu menjadi sumber informasi yang indah. Bibliografi sebagai pernyataan politik juga referensi banyak mengutip beberapa penulis dan menghilangkan orang lain sehingga penulis berada dalam jaringan tertentu. Di Jawa ada biografi R. Ng. Ranggawarsita dari Any Asmara yang mengulas proses kreatifnya. Ulasan itu memang seperti teks etnografi. Memang harus diakui bahwa politik bibliografi belum mampu mengungkap ruang dalam jendela. Yang terjadi adalah monografi tradisional yang bermuatan subjektivisme tak terelakkan selalu digandakan sebagai pengalaman pribadi, humanistik, dan termasuk karya realis.

Dalam kaitan itu, menarik untuk membaca tulisan (artikel) pendek Rippere (1970) yang berjudul “Towards an Athropology of Literature” yang menjelaskan bahwa karya sastra itu sebuah refleksi bahasa yang sangat memperhatikan konteks. Konteks selalu dibangun secara simbolis lewat bahasa kias. Realitas juga dipoles oleh sastrawan untuk menghasilkan teks baru yang humanistis. Begitu juga gagasan Edward Sapir dan Ruth Benedict (Benson, 1993:3) yang diterbitkan secara realis berupa monografi dalam jurnal antropologi dan diterbitkan pula dalam jurnal puisi atau sastra. Sebuah contoh yang terkenal adalah Laura Bohannan yang melakukan penulisan etnografi Afrika tradisional. Dia menerbitkannya kembali secara terpisah dengan memuat pengalaman pribadi penuh aura humor dengan nama samaran Elenore Smith Bowen. Sama halnya dengan Paul Rabinow, David Maybury-Lewis, dan Jean Paul Dumont, mereka juga telah menerbitkan dua buku yang terpisah, masing-masing atas nama mereka. Judul pertama berupa etnografi standar dan judul yang kedua berupa memoar ketika berada lapangan.

Atas dasar itu, memang etnografi itu tidak dapat dipisahkan dari realitas. Etnografi dan sastra juga sangat tipis bedanya. Terlebih lagi jika etnografi digubah secara humanis dan estetis, penuh nuansa puitis, tentu seolah-olah merupakan karya sastra. Begitu pula jika ditulis secara realis, karya sastra akan menjadi dokumen etnografi. Keduanya merupakan bahan menarik bagi penelitian antropologi sastra. Antropologi sastra merupakan jalur penelitian sastra pascamodernisme yang menangkap unsur sastra lewat aspek kebudayaan. Karya sastra diyakini oleh antropolog sastra sebagai refleksi keberagaman budaya.

Perpecahan diri antara etnografi dan diri pribadi juga merupakan perpecahan antara antropologi dan puisi (Brady, 1993:217). Orang-orang dari era sebelumnya yang menggunakan dua nama yang berbeda, nama asli mereka untuk antropologi dan nama samaran untuk puisi mereka, juga memperkaya suatu disiplin. Realitas ini menandai bahwa keilmuan humanistik memang tidak mungkin monodisiplin. Antropologi sastra adalah gambaran interdisiplin sehingga kelengkapan makna karya sastra dapat diraih secara optimal.

Ini kontras dengan generasi kontemporer penyair antropologi, termasuk Stanley Diamond, Dennis Tedlock, Dell Hymes, dan Paul Friedrich. Selain mendalami antropologi, mereka juga menulis karya sastra. Mereka merasa bebas untuk menggabungkan antropologi dan puisi dalam naskah yang sama yang mereka kirimkan ke penerbit yang sama. Hal demikian tidak perlu dipandang negatif sebagai segmentasi yang menggelisahkan dunia antropologi dan puisi. Puisi antropologi dan antropologi puisi kiranya dapat terjadi dan sah-sah saja. Keduanya sama-sama jalur humanistik dan ilmiah dalam pemahaman hidup manusia.

Wacana tersebut bersifat humanistis, tidak kering makna. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa etnografi yang dirancang untuk menyajikan data pada budaya lain sangat tepat diterbitkan dalam dua edisi, antropologis dan puitis. Memang benar bahwa memoar kerja lapangan seorang antropolog dapat menggambarkan kondisi tempat data dikumpulkan. Jika memoar itu ditulis secara estetis, penuh imajinasi, jadilah sastra etnografis. Kesepakatan memoar dengan proses produksi etnografi dan produk sastra jelas merupakan bangunan kreativitas. Keduanya akan menghasilkan teks humanistik dan ilmiah manakala dilandasi tanggung jawab kultural.

Memisahkan memoar dari tulisan etnografi memang tidak mudah. Kalau dipaksanakan, keduanya hanya akan memunculkan dikotomi palsu yang hanya masuk akal jika seseorang percaya bahwa data independen ketika diperoleh. Realitasnya, di lapangan, kedua hal itu merupakan bentuk pengalaman yang padu. Peristiwa memoar dan etnografi terjadi secara simultan dalam pengalaman.

Begitu pula ketika seorang sastrawan melakukan eksplorasi, seperti Seno Gumira Adjidarma menciptakan cerpen “Telinga”, dia harus menelusuri dunia peperangan di wilayah terpencil Indonesia Timur. Begitu pula ketika dia menulis karya “Saksi Mata”, tampak bahwa karya-karyanya juga menjadi sebuah etnografi.

Dengan kata lain, pengalaman etnografis setiap orang akan melahirkan sebuah karya besar. Catatan pribadi di lapangan seorang etnograf dapat menjadi embrio kelahiran karya sastra. Sastrawan tinggal merampingkan dan memolesnya dengan bahasa kias agar karyanya tidak dituduh sebagai laporan jurnalistik semata. Dari pengalaman saya menelusuri etnografi para pelaku penghayat kepercayaan, kiranya banyak hal-hal metafisika yang dapat diekspresikan menjadi karya sastra spektakuler.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf