Simpang siurnya informasi pada awal kemunculan Covid-19 ini menjadikan kepanikan luar biasa di masyarakat. Padahal sebagian besar informasi berasal dari para pejabat yang ditayangkan oleh media massa (Bernie, 2020). Pemerintah, pada masa awal Covid-19 terkesan menganggap remeh adanya Covid-19 ini, Padahal di negara-negara lainnya, Covid-19 ini dianggap masalah serius. Bahkan, pemerintah dalam hal ini menteri kesehatan, mengklaim bahwa Covid-19 merupakan penyakit yang dapat sembuh secara alamiah (Nathaniel, 2020). Selain itu, ketidakcocokan data yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga menjadi problem yang menjadikan masyarakat kecewa dan bahkan tidak percaya terhadap pemerintah (Hayat, 2020).
Sebenarnya masih banyak lagi problem-problem komunikasi pemerintah yang buruk dalam menangani Covid-19 ini. Hal ini secara tak langsung mengakibatkan problem lain, yakni maraknya berita bohong atau hoax. Hoax di internet memang berbahaya, terlebih mengenai Covid-19 ini. Dari temuan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyebutkan 30 orang di seluruh Indonesia yang diduga tersangka menyebarkan informasi palsu mengenai wabah COVID-19 (Jakarta Post, 2020). Bahkan, Menkominfo mengatakan pemerintah telah menindak tegas sekitar 77 orang yang menyebar berita hoaks selama pandemi Covid-19 di Indonesia. Sekitar 12 orang sudah ditahan akibat menyebar hoaks Covid-19 (Taher, 2020).
Keputusan untuk menindak penyebar informasi palsu ini memang dirasa tepat. Hal ini karena informasi yang salah tentang penyakit ini dapat membahayakan nyawa banyak orang. Namun, di internet muncul pertarungan wacana mengenai Covid-19 yang nampaknya justru bukan mengenai bagaimana pencegahan atau solusi yang tepat melainkan teori konspirasi. Teori konspirasi biasanya berkembang dalam situasi sosial dan politik yang serba tidak pasti, dari perang, krisis politik, krisis ekonomi, bencana alam, atau pandemi. Tak heran jika teori konspirasi muncul di masa penyebaran COVID-19 (Nathaniel, Tirto, 2020).
Mungkin, teori konspirasi saat ini dapat dianggap sepele, namun, apabila hal ini tidak ditangani dengan tepat, ini akan menimbulkan bahaya. Seluruh publik saat ini menilai bagaimana kinerja pemerintah dalam menangani Covid-19 ini. Segala kekeliruan data, anggapan sepele dan kebohongan yang dibuat intitusi pemerintah menjadikan sebagian publik kecewa dan tidak percaya. Inkonsistensi seperti ini akan memicu kegagalan komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya (Hayat, 2020). Dalam kondisi seperti ini, yang diperlukan pemerintah adalah terbuka dan mendengar. Terbuka terhadap segala akses informasi terkait Covid-19 dan mendengar masukan para ahli di bidangnya. Hal ini guna mengurangi dampak yang ditimbulkan serta mengembalikan kepercayaan publik dengan kebijakan yang tepat. Namun, selain itu, pemerintah juga harus menindak tegas para penyebar berita bohong atau hoax sehingga tak menimbulkan goncangan di publik. Negara harus memastikan tidak ada warganya yang harus menanggung risiko maut akibat kebuntuan komunikasi (Hayat, 2020).
Referensi
Bernie, M. (2020). Tirto. Retrieved from Tirto.id: Semrawutnya Kanal Informasi Pemerintahan Jokowi soal Corona
Hayat, N. (2020). Remotivi. Retrieved from remotivi.or.id: COVID-19: Apa yang Membuat Kegagalan Komunikasi Pemerintah? - Remotivi
Nathaniel, F. (2020). Retrieved from Kala Terawan Gagal Menenangkan Masyarakat soal COVID-19
Nathaniel, F. (2020). Tirto. Retrieved from Tirto.id: Sesat Pikir Teori Konspirasi Deddy, Young Lex, dan Jerinx
Jakarta Post. (2020). TheJakartaPost. Retrieved from thejakartapost.com: COVID-19: National Police to take legal action against 41 people over internet hoaxes - National - The Jakarta Post
Taher, A. P. (2020). Tirto. Retrieved from Tirto.id: Pemerintah Sebut 77 Orang Jadi Tersangka Penyebaran Hoaks Covid-19