Bagaimana Undang-undang pengadilan anak di Indonesia?

Pengadilan Anak adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak. Batas umur anak yang dapat diajukan ke Pengadilan Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pengadilan Anak merupakan salah satu Pengadilan Khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum yang disahkan pada tahun 2012 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Bagaimana Undang-undang pengadilan anak di Indonesia ?

Aspek Kebijakan Publik

Permasalahan publik yang diangkat dan diformulasikan dalam bentuk kebijakan publik dalam UU No. 3 Tahun 1997 :

Permasalahan yang berkaitan dengan anak yang melakukan perbuatan menyimpang atau perbuatan pidana yang harus mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan orang dewasa.

Kelompok Sasaran Anak khususnya ANAK NAKAL

Yang dimaksud dengan anak nakal :
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. (Pasal 1 angka ke-2 UU Pengadilan Anak).

Batasan Usia

Batasan usia Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah:

  1. Sekurang-kurangnya umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 dan belum pernah kawin, atau
  2. Pada saat diajukan ke sidang anak telah melampaui umur tersebut tetapi belum mencapai umur 21 tahun. (Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Pengadilan Anak)

Terhadap anak yang belum berumur 8 tahun yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. Dari hasil Penyelidikan tersebut :

  1. Apabila Penyidik berpendapat anak masih dapat dibina orang tua, wali atau orang tua asuhnya maka anak tersebut diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
  2. Apabila Penyidik berpendapat anak tersebut sudah tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya maka anak tersebut diserahkan kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakat (Pasal 5 UU No. 3 Tahun 1997).

Kebijakan publik yang ada di dalam UU No.3 Tahun 1997:

  1. Bersifat dinamis;
  2. tercakup komponen beragam;
  3. tercakup peran masing-masing sub struktur yang berbeda;
  4. Bersifat memutuskan;
  5. sebagai pedoman umum;
  6. Untuk mengambil tindakan;
  7. diarahkan pada masa depan;
  8. Terutama dilakukan oleh lembaga-lembaga Pemerintah;
  9. Secara formal untuk mencapai suatu tujuan (lihat Konsiderans dan Penjelasan Umum dari UU No. 3 Tahun 1997).
  10. Diarahkan untuk kepentingan umum
  11. Dilakukan dengan cara yang sebaik mungkin
  12. Bersifat kompleks.29

KONSIDERANS UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

  1. Untuk memberikan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang kepada anak sebagai bagian dari generasi muda sebagai salah satu SDM yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus.

  2. Perlu adanya dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak.

  3. Untuk melaksanakan apa yang diamanatkan oleh Penjelasan Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Pasal 8 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang menyatakan, bahwa pengkhususan pengadilan anak berada di lingkungan peradilan umum dengan dasar UU.30

PENJELASAN UMUM
UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

Latar Belakang / Tujuan dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 1997 :

  1. Untuk menghadapi permasalahan dan tantangan anak dalam masyarakat dengan adanya berbagai faktor yang berdampak negatif pada perkembangan anak yang berakibat anak melakukan perbuatan menyimpang atau perbuatan melanggar hukum seperti :
    a. Perkembangan pembangunan yang cepat;
    b. Arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi;
    c. Kemajuan ilmu pengetahuan;
    d. Perubahan gaya hidup dan cara hidup sebagian orang tua, wali atau orang tua asuh;
    e. Tidak memperoleh kesempatan mendapatkan perhatian secara fisik, mental maupun sosial sehingga secara sengaja atau tidak sengaja sering melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat.
    f. Tidak atau kurang memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku penyesuaian diri serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh sehingga mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.

  2. adalah merupakan tanggung jawab orang tua dan masyarakat sekelilingnya terhadap pembinaan, pendidikan, pengembangan perilaku anak.

  3. adalah merupakan kebijakan untuk melakukan differensiasi / spesialisasi terhadap sidang anak dengan maksud :
    a. Untuk memberi kesempatan kepada anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak berlangsung secara sehat dan wajar sehingga perlu diadakan pemisahan dengan pelaku orang dewasa.
    b. Untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
    c. Untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk mengembankan dirinya sebagai Warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara.

INSTRUMEN NASIONAL DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL

Instrumen-instrumen Nasional

  1. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
  2. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
  3. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
  4. UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
  5. UU No.20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja.
  6. UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
  7. Keppres No.36 Tahun 1990 tentang Pengesahan “Convention On The Rights of The Child” (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak).
  8. Keppres No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
  9. Keppres No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.
  10. Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (“Trafficking”) Perempuan dan Anak.
  11. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
  12. PP No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah.

Instrumen-instrumen Internasional

  1. Deklarasi Jenewa tentang Hak-Hak Anak Tahun 1942 yang dikukuh kan dalam Resolusi MU – PBB No. 1386 (XIV) tanggal 20 Nopember 1959 tentang “Declaration of The Rights of The Child”
  2. Resolusi MU – PBB No. 40/33 tanggal 29 Nopember 1985 tentang “United Nations Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice” / “The Beijing Rules”.
  3. Resolusi MU – PBB No.40/35 tanggal 29 Nopember 1985 tentang “The Prevention of Juvenile Delinquency”
  4. Resolusi MU – PBB No. 41/85 tentang “Declaration on Social and Legal Principles Relating to The Protection and Welfare of Children, with Special Reference to Foster Placement and Adoption Nationally and Internationally” (tgl. 3 Desember 1986).
  5. Resolusi MU – PBB No.43/121 tgl. 8 Desember 1988 tentang “Use of Children In The Illicit Traffic In Narcotict Drugs”
  6. Resolusi MU – PBB No.44/25 tgl. 20 Nopember 1989 tentang
    “Convention on The Rights of The Child”.
  7. Ecosoc PBB 1990/33 tanggal 24 Mei 1990 tentang “The Prevention of Drugs Consumption Among Young Persons”
  8. Resolusi MU – PBB No. 45/112 tanggal 14 Desember 1990 tentang
    “United Nations Guidelines for The Prevention of Juvenile Delinquency”
    / “The Riyadh Guidelines”
  9. Resolusi MU – PBB No.45/113 tgl. 14 Desember 1990 tentang “United Nations Rules for The Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty”.
  10. Resolusi MU – PBB No.45/115 tgl. 14 Desember 1990 tentang “The Intstrumental Use of Children In Criminal Activities.”
  11. Resolusi Komisi HAM – PBB (Commission On Human Rights) 1993/80 tgl. 10 Maret 1993 tentang “The Application of International Standards Concerning The Human Rights of Detained Juveniles”.
  12. Resolusi Komisi HAM – PBB 1994/90 tgl. 9 Maret 1994 tentang ”The Need To Adopt Effective International Measures for The Prevention and Eradication of The Sale of Chidren, Child Prostitution and Child Pornography”.
  13. Resolusi Komisi HAM – PBB 1994/92 tanggal 9 Maret 1994 tentang “The Special Rapporteur On The Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography”.
  14. Resolusi Komisi HAM – PBB 1994/93 tgl. 9 Maret 1994 tentang “The Flight of Street Children”.
  15. Resolusi Komisi HAM – PBB 1994/93 tgl. 9 Maret 1994 tentang “The Effects of Armed Conflicts On Children’s Lives”.
  16. Kongres PBB Ke-IX Tahun 1995 tentang “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders”, diajukan 2 resolusi :
    a. Application of United Nations Standards and Norms in Juvenile Justice.
    b. Elimination of Violence Against Children.

Sumber : Bambang Dwi Baskoro, Hukum Acara Pidana Lanjut, Universitas Diponegoro