Bagaimana Teknik Self Management dalam Konseling Individu?

Teknik Self Management sebagai suatu Teknik dalam Konseling Individu

Bagaimana Teknik Self Management sebagai suatu Teknik dalam Konseling Individu ?

Menurut Ulfa, Eddy & Sugiyo (Ulfa, Eddy & Sugiyo, 2015) Self Management merupakan suatu teknik yang mengarah kepada pikiran dan perilaku individu untuk membantu konseli dalam mengatur dan merubah perilaku ke arah yang lebih efektif melalui proses belajar tingkah laku baru. Teknik Self Management menunjuk pada suatu teknik dalam terapi kognitif-behavior yang dirancang untuk membantu konseli mengontrol dan mengubah tingkah lakunya sendiri kearah yang lebih efektif.

Dalam penelitian ini, teknik Self Management akan membantu meningkatkan kontrol diri siswa pengguna sosial media yang dilihat dari tiga aspek dalam kontrol diri, aspek tersebut antara lain kontrol perilaku (behavior control ), kontrol pikiran ( cognitive control ) dan kontrol pengambilan keputusan ( Decisional Control ). Menurut Averill, sebagaimana dikutip oleh Ghufron & Risnawita (Ghufron & Risnawita, 2011) Kontrol Perilaku ( Behavior control ) merupakan kesiapan tersedianya suatu respons yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemudian, Kontrol kognitif ( Cognitive control ) merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan.

Selanjutnya, Mengontrol keputusan ( Decisional control ) merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau yang disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi, baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

Menurut Sukadji, sebagaimana yang dikutip oleh Komalasari (Komalasari, 2011) dalam penerapan teknik pengelolaan diri ( Self Management ) tanggung jawab keberhasilan keberhasilan konseling berada di tangan konseli. Konselor berperan sebagai pencetus gagasan, fasilitator yang membantu merancang propgram serta motivator bagi konseli.

Dalam pelaksanaan teknik Self Management diikuti dengan pengaturan lingkungan untuk mempermudah terlaksananya teknik tersebut. Pengaturan lingkungan dimaksudkan untuk menghilangkan faktor penyebab dan dukungan untuk perilaku yang akan dikurangi. Pengaturan lingkungan tersebut dapat berupa:

  1. Mengubah lingkungan fisik sehingga perilaku yang tidak tidak muncul kembali,

  2. Mengubah lingkungan sosial sehingga lingkungan sosial ikut mengontrol tingkah laku konseli, dan

  3. Mengubah lingkungan atau kebiasaan sehingga menjadi perilaku yang tidak dikehendaki hanya dapat dilakukan pada waktu dan tempat tertentu saja (Komalasari, 2011).

Tahap-tahap konseling individu dengan teknik Self Management menurut Komalasari dkk (Komalasari, 2011) adalah prosedur dimana individu mengatur perilakunya sendiri. Pada teknik ini individu terlibat pada beberapa atau keseluruhan komponen dasar yaitu: pemantauan diri ( Self monitoring ), Menurut Komalasari, Wahyuni & Karsih (Komalasari, Wahyuni & Karsih, 2011) tahap pemantauan diri ( self monitoring ) yaitu konseli dengan sengaja mengamati tingkah lakunya sendiri serta mencatatnya dengan teliti. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh konseli dalam mencatat tingkah laku adalah frekuensi, intensits dan durasi tingkah laku. Dalam proses ini konseli mengamati dan mencatat segala sesuatu tentang dirinya sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan.

Dalam pemantauan diri ini biasanya konseli mengamati dan mencatat perilaku masalah, mengendalikan penyebab terjadinya masalah ( antecedent ) dan menghasilkan konsekuensi.

Menurut Nurzakiyah dan Budiman (Nurzakiyah dan Budiman, 2013) Pemantauan diri biasanya digunakan konseli untuk mengumpulkan base line data dalam suatu proses treatment . Konseli harus mampu menemukan apa yang terjadi sebelum menerapkan suatu strategi pengubahan diri, sedangkan konselor harus mengetahui apa yang tengah berlangsung sebelum melakukan tindakan. Pada tahap ini konseli mengumpulkan dan mencatat data tentang perilaku yang hendak diubah, anteseden perilaku, dan konsekuensi perilaku. Konseli juga mencatat seberapa banyak atau seringkah perilaku itu sering terjadi.

Thorensen& Mahoney, sebagaimana yang dikutip oleh Nurzakiyah dan Budiman (Nurzakiyah dan Budiman, 2013) Dalam pelaksanaannya, pemantauan diri dilakukan melalui enam tahapan yaitu:

  1. Menjelaskan rasional pemantauan diri

    Pada langkah menjelaskan rasional pemantauan diri ini, konselor menjelaskan rasional pemantauan diri kepada klien. Sebelum menggunakan teknik ini, klien harus memahami apakah teknik pemantauan diri yang hendak digunakan itu dan bagaimana teknik itu akan dapat rnembantu klien memecahkan masalahnya. Singkatnya, pada langkah ini konselor menjelaskan tujuan dan gambaran prosedur pemantauan diri seeara garis besar.

  2. Mendiskriminasikan respon

    Ketika klien melakukan pemantauan diri diperlukan adanya pengamatan yang teratur. Kapanpun diskriminasian respons itu terjadi klien harus mampu mengidentifikasi ada atau tidaknya perilaku baik yang tersamar maupun yang tampak jelas. Mendiskriminasikan respons mencakup pemberian bantuan kepada klien untuk mengidentifikasi tentang apa yang seharusnya dipantau. Untuk memutuskan apa yang harus dipantau ini seringkali klien memerlukan bantuan konselor.

  3. Mencatat respons

    Setelah klien belajar mendiskriminasikan respons, konselor menjelaskan dan memberi contoh tentang metode yang digunakan untuk mencatat respons yang diamati. Sebagian besar klien kemungkinan belum pernah mencatat perilakunya secara sistematis. Pencatatan secara sistematis sangat penting bagi keberhasilan pemantauan diri. Oleh sebab itu, suatu keharusan bagi klien untuk memahami dan menyadari akan pentingnya pencatatan respons. Dengan demikian, klien mernerlukan penjelasan dan contoh-contoh dari konselor tentang waktu rnencatat, cara mencatat, dan alat atau format untuk mencatatnya.

    Mengenai format pencatatan respons, Cormier dan Cormier, sebagaimana yang dikutip oleh Nurzakiyah dan Budiman (Nurzakiyah dan Budiman, 2013) menyarankan penggunaan self-monitoring log . Adapun bentuk formatnya adalah sebagaimana tertera pada table dibawah.
    image

  4. Memetakan respon

    Data yang terah dicatat oleh klien perlu dipindahkan ke dalam suatu sistem pencatatan yang lebih permanen secara grafis atau pada suatu peta yang memungkinkan klien untuk melihat data pemantauan dirinya itu secara visual. Pedoman visual ini menurut Kanfer, sebagaimana yang dikutip oleh Nurzakiyah dan Budiman (Nurzakiyah dan Budiman, 2013) dapat memberikan kesempatan bagi terjadinya dukungan-diri. untuk keperluan ini klien diberi penjelasan secara lisan atau tertulis bagaimana cara memetakan secara grafis hari demi hari perilaku sasaran yang diinginkan. Jika klien menggunakan pemantauan diri untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan, maka garis grafiknya harus naik secara gradual.

  5. Menayangkan data

    Setelah grafik atau peta dibuat konselor harus mendorong klien untuk menayangkan peta itu secara lengkap. Manakala data ditayangkan secara terbuka, dapat memberikan dukungan lingkungan ( environmental reinforcement ), suatu bagian amat penting dari pengelolaan diri yang efektif.

  6. Analisis Data

    Jika data telah dicatat, dipetakan dalam bentuk grafik, dan ditayangkan oreh klien tidak dianalisis, maka dapat menimburkan pikiran pada klien bahwa semui itu ternyata sebagai latihan belaka. oleh sebab itu, pada langkah ini klien diharuskan membawa data pada sesi konseling untuk ditinjau kembali dan dianalisis. Dalam menganalisis data, konselor mendorong klien untuk membandingkan data perilakunya dengan tujuan atau standard yang diharapkan. Klien dapat menggunakan data yang ada untuk mengevaluasi-diri dan memantau apakah data itu menunjukkan perilaku di dalam ataukah di luar batas-batas yang diinginkan. Konselor juga dapat membantu klien untuk menginterpretasikan data dengan benar.

Kemudian, tahap reinforcement yang positif ( self reward ), Digunakan untuk membantu konseli mengatur dan memperkuat perilakunya melalui konsekuensi yang dihasilkan sendiri. Menurut Ratna (2012) reinforcement positif ( self reward ) yaitu tahap untuk mengubah setting dan antecedent untuk mengarahkan perilaku ke arah yang dinginkan. Ganjaran ini digunakan untuk menguatkan atau meningkatkan perilaku yang diinginkan. Asumsi dasar teknik ini adalah bahwa dalam pelaksanannya, ganjaran diri pararel dengan ganjaran yang dihadirkan diri sendiri sama dengan ganjaran yang mendesak perilaku sasaran. Ganjaran tersebut bisa berbentk ganjaran positif maupun ganjaran negatif.

Dari dua bentuk ganjar-diri positif dan negatif, menurut Cormier dan Cormier (Cormier dan Cormier, 1985) berdasarkan kajian terhadap hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ganjar-diri positif lebih efektif untuk mengubah atau mengembangkan perilaku sasaran.

Masih dalam kaitannya dengan pemilihan ganjaran, Cormier dan Cormier (Cormier dan Cormier, 1985) mengajukan rambu-rambu untuk membantu klien menentukan beberapa ganjar-diri yang dapat digunakan secara efektif:

  1. Ganjaran hendaknya bersifat individual;

  2. Hendaknya menggunakan ganjaran yang mudah diperoleh dan nyaman digunakan;

  3. Menggunakan beberapa ganjaran secara silih-berganti untuk mencegah terjadinya kejenuhan dan hilangnya nilai ganjarannya;

  4. Memilih tipe-tipe ganjaran yang berbeda (verbal/simbolik, material, imajinal, lumrah, dan potensial);

  5. Menggunakan ganjaran yang ampuh;

  6. Menggunakan ganjaran yang tidak menghukum yang lain; dan

  7. Menyeimbangkan ganjaran dengan perilaku sasaran yang diiginkan.

Selanjutnya tahap kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri ( self contracting ). Menurut Ratna (Ratna, 2012) kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri merupakan tahap untuk mengubah perilaku dengan melihat konsekuensi atau tujuan yang diinginkan.

Ada beberapa langkah dalam self contracting ini yaitu:

  1. Konseli membuat perencanaan untuk mengubah pikiran, perilaku dan perasaan yang diinginkannya

  2. Konseli menyakini semua yang ingin diubahnya

  3. Konseli bekerja sama dengan teman atau keluarga untuk program Self Management nya

  4. Konseli akan menanggung resiko dengan program Self Management yang dilakukannya

  5. Pada dasarnya, semua yang konseli harapkan mengenai perubahan pikiran, perilaku dan perasaan adalah untuk konseli itu sendiri.

  6. Konseli menuliskan peraturan untuk dirinya sendiri selama menjalani proses Self Management .

Kemudian tahap penguasaan terhadap rangsangan ( stimulus control ), Menurut Komalasari, Wahyuni & Karsih (Komalasari, Wahyuni & Karsih, 2011) tahap penguasaan terhadap rangsangan ( self control ) merupakan tahap untuk mengevaluasi penggunaan manajemen diri pada perilaku yang ditargetkan pada akhir periode. Teknik ini menekankan untuk mempertahankan perilaku baru yang diinginkan. Dari tahaptahap tersebut, jika dilaksanakan dengan baik, maka akan dapat membantu siswa dalam mengendalikan pikiran, perasaan dan ucapannya dengan baik dan benar.

Kelebihan dari teknik Self Management antara lain mempelajari tingkah laku yang lebih efektif, individu menjadi lebih mandiri dan meningkatkan kepercayaan diri individu dalam mengembangkan perilaku yang lebih baik (Ratna, 2012). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mutohharoh & Kusumaputri (Mutohharoh & Kusumaputri, 2014) memperoleh hasil bahwa teknik pengelolaan diri ( Self Management ) memiliki pengaruh yang signifikan dalam menurunkan kecanduan internet pada mahasiswa dengan memberikan sumbangan efektif sebesar 2,8 %. Selain itu, ada perbedaan yang signifikan antara hasil skor pre test dan post test yang dilakukan oleh penelitian ini.

Kemudian, tujuan akhir dari teknik Self Management adalah untuk memperdayakan klien untuk dapat menguasai dan mengelola perilaku mereka sendiri. Dengan adanya pengelolaan pikiran, perasaan dan perbuatan akan mendorong pada pengurangan terhadap hal-hal yang tidak baik dan benar (Ratna, 2012).

Dengan adanya treatmen konseling individu dengan teknik self manag ement diharapkan dapat meningkatkan kontrol diri siswa pengguna sosial media agar dalam menggunakan sosial media tidak telalu berlebihan sehingga para siswa dapat menjalankan tugas perkembangannya secara optimal.