Bagaimana Tanggungjawab Suatu Negara Terhadap Orang Asing?

Tanggungjawab Suatu Negara Terhadap Orang Asing

Bagaimana Tanggungjawab Suatu Negara Terhadap Orang Asing ?

Tanggungjawab Suatu Negara Terhadap Orang Asing


Pada dasarnya hak dan kewajiban negara terhadap warga, baik warga negara maupun orang asing, ditentukan oleh negara tersebut dan kewarganegaraan dari orang yang bersangkutan. Setiap orang tersebut tunduk pada kekuasaan negara dan harus mentaati hukum yang berlaku di wilayah negara tersebut, terkecuali bagi orang asing dengan pembatasan-pembatasan tertentu, seperti dalam hak politik, jabatan dalam pemerintahan. Kewarganegaraan seseorang berhubungan erat dengan negaranya, karena menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal - balik. Negara wajib melindungi warga negaranya di manapun berada, dan setiap warga negara tetap tunduk atas kekuasaan negaranya serta mentaati hukum yang berlaku di negaranya. Bagi warga negaranya yang berada di luar negeri, berlakunya kekuasaan negara dan aturan hukum baginya, dibatasi oleh kekuasaan dan hukum negara dimana ia berada. Praktek negara-negara dalam memperlakukan orang asing yang berada di wilayah negaranya selalu disertai dengan pembatasanpembatasan tertentu, seperti dalam bidang perpajakan, hak untuk pekerjaan tertentu , tempat tinggal, kepemilikan harta benda, privilege dan imunitas sipil dan keimigrasian.

Dalam doktrin hukum internasional terdapat beberapa pendapat berkenaan dengan masuknya orang asing pada wilayah suatu negara :

  1. Suatu negara wajib memberikan ijin kepada semua orang asing.

  2. Suatu negara wajib memberikan ijin kepada semua orang asing, dengan syarat bahwa negara tersebut boleh menolak golongangolongan tertentu, misalnya pecandu obat bius, orang mengidap penyakit berbahaya .

  3. Suatu negara terikat untuk mengijinkan orang asing masuk tetapi dengan mengenakan syarat-syarat pada ijin masuk.

  4. Suatu negara sepenuhnya berhak melarang semua orang asing menurut kehendaknya.

Praktek negara-negara dalam hal pemberian ijin masuk orang asing di wilayah negaranya, selalu disertai dengan persyaratanpersyaratan tertentu yang diatur dalam hukum nasional masing-masing negara. Tindakan ini sesuai dengan pencerminan dari prinsip kedaulatan negara yang dianut oleh suatu negara, bahkan praktek pengadilan di Amerika dan Inggris menegaskan bahwa larangan masuk orang asing yang dilakukan oleh suatu negara sebagai suatu peristiwa kedaulatan teritorial. Pengecualian terhadap larangan masuk orang asing ke wilayah suatu negara, dapat ditentukan dalam perjanjian internasional yang mengikat bagi negara-negara tersebut. Dalam hukum internasional sendiri tidak mempunyai kewajiban untuk mengijinkan masuknya orang asing secara bebas dan tidak menetapkan jangka waktu tertentu bagi orang asing yang masuk dalam wilayah suatu negara .

Suatu negara bertanggungjawab terhadap warga negara asing dan harta miliknya yang berada di wilayah negaranya. Perjanjian internasional multilateral dan regional atau melalui hukum nasional menetapkan hak dan kewajiban negara terhadap orang asing yang berada dalam wilayah suatu negara, pelanggaran terhadap kewajiban itu menyebabkan negara harus bertanggungjawab terhadap orang asing tersebut. Selain itu, ada juga alasan munculnya pertanggungjawaban negara sebagai akibat tindakan yang dilakukan oleh organ atau pejabatnya berupa melakukan perbuatan mistreatment terhadap orang asing dan tindakan atau kelalaian yang merugikan secara ekonomis dan fisik yang dilakukan oleh negara terhadap orang asing.

Ada 2 pendapat berkenaan dengan perlakuan terhadap orang asing :

1. International Minimum Standard . Pandangan ini dianut oleh negaranegara maju, menurut pendapat ini maka memperlakukan orang asing di dalam negeri harus memenuhi standar minimum internasional, yaitu sesuai dengan hukum internasional dan perlindungan yang efektif menurut hukum internasional. Apabila syarat ini tidak terpenuhi , maka pertanggungjawaban negara timbul. Penerapan prinsip ini tampak dalam perkara The Neer Claim tahun 1926. Terhadap perkara ini, pengadilan berpendapat bahwa suatu perlakuan terhadap orang asing dalam suatu kejahatan Internasional apabila perlakuan tersebut merupakan suatu kebiadaban, itikad buruk, kelalaian yang disengaja atau kurangnya tindakan dari pemerintah.

2. National Treatment Standard . Pandangan ini dianut oleh negaranegara berkembang, menurut prinsip ini orang asing harus diperlakukan sama seperti halnya negara memperlakukan warga negarannya. Penerapan standar ini dapat ditemukan pada pasal 9 Konvensi Montevideo 1933.

Dengan adanya perbedaan pandangan dari dua kepentingan yang berbeda tersebut, maka sebagai jalan tengah, Garcia Amandor mengemukakan pendapatnya mengenai tanggungjawab negara khususnya berkenaan dengan perlakuan terhadap orang asing, sebagai laporannya pada Komisi Hukum Internasional tahun 1957, sebagai berikut:

  1. Orang asing menikmati hak dan jaminan yang sama dengan warga negara tempat ia tinggal, tidak kurang dari jaminan untuk menikmati hak-hak fundamental manusia yang telah ditetapkan dan diakui oleh hukum internasional.

  2. Apabila hak-hak tersebut dilanggar, akan melahirkan tanggungjawab negara terhadap pelaku. Dalam hal ini negara asal dapat melakukan perlindungan diplomatik. Untuk itu negara asal perlu memahami prinsip hukum yang berlaku di negara tempat warga negara tinggal.

Sehubungan dengan pertanggungjawaban negara terhadap orang asing juga dikenal Denial of Justice , dalam arti luas berati kerugian yang timbul bagi orang asing diluar negeri karena pelanggaran keadilan internasional yang dilakukan oleh pejabat eksekutif, yudikatif, legislatif. Dalam arti sempit berarti penyalahgunaan proses peradilan atau pemberian keadilan yang tidak selayaknya, misalnya dalam kasus Chattin Claim tahun 1972, United States-Mexico General Claims Commission berpendapat bahwa :

“Ketidakberesan proses perkara pengadilan terbukti dengan adanya pemeriksaan-pemeriksaan yang tidak semestinya, tidak memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengetahui semua gugatan yang diajukan kepadanya, penundaan perkara yang tidak semestinya, pemeriksaan terbuka di pengadilan hanya formalitas saja”.

Tiga persoalan yang terkait dengan pertanggungjawaban negara terhadap perlakuan orang asing, yakni Nationality of Claims, Exhaustion of Local Remedies dan Ekspropriasi, berikut penjelasannya:

1. Nationality of Claims , negara memberikan perlindungan hukum kepada warganegaranya di luar negeri apabila timbul perbuatan yang merugikan warganya oleh negara lain. Dalam penentuan nasionalitas warganya yang mengalami kerugian, ditentukan oleh hukum nasional negara yang mengajukan tuntutan.

2. Exhaustion of Local Remedies , dimaksudkan untuk meminta pertanggungjawaban negara yang sudah melalui seluruh mekanisme hukum nasional negara setempat . Jadi orang asing yang terlibat dalam suatu perkara di negara lain, terlebih dahulu harus mengunakan mekanisme hukum nasional setempat. Dalam kasus Ambatioles Arbitration, Pihak Inggris menolak tuntutan warga negara Turki, yang diwakili negaranya, karena warga Turki tersebut belum menggunaknan seluruh upaya hukum yang berlaku di negara Inggris. Doktrin Calvo , klausul ini sering dimuat dalam kontrak-kontrak antar pemerintah-pemerintah Amerika Tengah dan Selatan dengan pihak-pihak perusahaan asing atau orang-orang yang mempunyai konsesi-konsesi atau hak-hak berdasarkan kontrak tersebut. Tujuan di masukannya klausul ini untuk menjamin bahwa sengketa-sengketa hukum yang timbul dari kontrak tersebut akan dilimpahkan pada pengadilan setempat dari negara yang memberikan konsensi dan untuk menghapus yurisdiksi-yurisdiksi pengadilan arbitrase internasional atau mencegah permintaan tindakan diplomatik kepada negara asal perusahaan atau individu yang menikmati konsesi itu.

3. Ekspropriasi yang diartikan sebagai pengambilalihan kepemilikan swasta oleh negara. Menurut Resolusi PBB mengenai Kedaulatan Permanen Atas Sumber-Sumber Alam yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1962 dinyatakan bahwa :

“Ekspropriasi harus dilakukan berdasarkan kepentingan yang luas dan kompensasi yang adil. Ekspropirasi tidak boleh diskriminatif dan tidak ditujukan kepada kebangsaan tertentu”.

Suatu ekspropriasi tidak berdasarkan hukum apabila dilakukan secara diskriminatif, hanya ditujukan pada kebangsaan tertentu, ketidakmampuan negara untuk kompensasi yang adil dan tidak berdasarkan pada alasan kebijakan publik. Apabila ekspropirasi tidak sesuai dengan hukum, maka ganti kerugian disebut sebagai kerusakan bukan kompensasi . Ganti kerugian ini didasarkan atas standar perhitungan standar normal, bahkan meliputi kerugian yang akan datang, seperti dalam kasus Amoco Finance Case 1985.

Praktek negara-negara, terdapat beberapa lembaga perlindungan hukum yang dapat dipergunakan oleh orang asing dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum :

  1. Perjanjian antar negara asal dengan negara tempat ia berada untuk mengatur perlindungan warganegaranya masing-masing dan harta bendanya.

  2. Lembaga perlindungan penanaman modal asing, termasuk jaminan dari pemerintah lokal ( host state ) apabila timbul tindakan nasionalisasi, seperti Perjanjian antara Indonesia dengan Belgia tentang Dorongan dan Perlindungan Timbal-Balik Bagi Penanaman Modal pada tanggal 15 Januari 1972.

  3. Perjanjian Jaminan Asuransi yang beranggotakan negara penerima modal dan penanam modal pada Convention Establising the Multilateral Investment Guarantee Agency di bawah naungan Bank Dunia.

  4. Upaya hukum setempat ( Exhaustion of local remedy ), yang berupa suatu tindakan hukum dari orang asing yang dirugikan melalui tuntutan dihadapan pengadilan setempat.

  5. Melalui perlindungan Diplomatik. Upaya ini dilakukan karena adanya pelanggaran terhadap hukum internasional melalui perundingan atau tuntutan di pengadilan atas nama warga negaranya., dengan demikian apabila tindakan perlindungan diplomatik telah diambil, maka yang menjadi pihak berperkara adalah negara, demikian pendapat Mahkamah Internasional Permanent dalam perkara Mavrommatis Palestine Concession 1924.

  6. Penuntutan melalui forum pengadilan di negara ketiga, apabila objek yang disengketakan berada di wilayah hukum negara forum, contoh perkara tembakau di pengadilan Bremen antara Pemerintah Indonesia dengan pemilik perusahaan tembakau milik warga negara Belanda, karena barang yang disengketakan berada di wilayah Jerman.