Menurut Siti salah satu perwakilan YLBHI mengatakan, dalam sepekan terakhir ini, dimulai dari Senin (27/11) sampai hari ini, kebijakan PT Angkasa Pura 1 mengosongkan lahan dan rumah milik warga petani terdampak NYIA dinilainya melanggar sejumlah aspek.
Pertama adalah, YLBHI menilai studi Amdal sebagai bekal penerbitan Izin Lingkungan pada 17 Oktober 2017 cacat secara hukum.
“Dari aspek pelingkupan saja, muatan tentang kesesuaian lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan rencana tata ruang sesuai ketentuan peraturan perundangan jelas tidak terpenuhi. Belum lagi bicara deskripsi rona lingkungan hidup awal (environmental setting) yang pada dasarnya merupakan kawasan rawan bencana alam tsunami (kawasan lindung geologi), makin tidak layaklah NYIA dibangun di Temon, Kulon Progo,” jelasnya.
Ditambahkannya, proses studi Amdal juga sebagai pra syarat penerbitan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara Untuk Pengembangan Bandara Baru di DIY (IPL).
Yang kedua adalah terkait PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Perpres 28/2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali, hingga peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Perda DIY 2/2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY tahun 2009-2029) tidak ada satu klausula yang mewasiatkan pembangunan bandar udara baru di Kulon Progo.
Yang ketiga, NYIA Kulon Progo diklaim sebagai proyek untuk kepentingan umum, adalah sarana transportasi udara yang akan memiliki risiko bahaya amat tinggi terutama bagi calon pengguna transportasi penerbangan. Sebabnya, bandara ini berdiri di atas kawasan rawan bencana tsunami.
Menyangkut hal ini dapat dilihat di dalam Perpres 28/2012 di mana Kabupaten Kulon Progo jadi salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai zona rawan bencana alam geologi (pasal 46 ayat 9 huruf d).
Selain itu, Perda DIY 2/2010 menyebutkan sepanjang pantai di Kabupaten Kulon Pogo telah ditetapkan sebagai kawasan rawan tsunami (Pasal 51 huruf g). Bahkan Perda Kulon Progo 1/2012 Tentang RTRW, lebih detail menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah satunya meliputi Kecamatan Temon (pasal 39 ayat 7 huruf a).
“Jelas ada pelanggaran Pasal 28A UUD 1945 tentang jaminan hak dasar manusia untuk hidup," sebutnya.
Dalam kasus ini penggusuran paksa yg dilakukan oleh aparat karena lahan tersebut dibuat untuk bandara. Bagaimana tanggapan anda tentang penggusuran paksa di Jogja?