Bagaimana tahapan perkembangan moral manusia?

Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik , sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.

Bagaimana tahapan perkembangan moral manusia ?

Konsep perkembangan moral pertama kali dikemukakan oleh Piaget (1923) dalam bukunya yang berjudul The Moral Judgement of the Child yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif.

Teori Piaget kemudian menjadi inspirasi bagi Kohlberg. Hal yang menjadi kajian Kohlberg adalah tertumpu pada argumentasi anak dan perkembangan argumentasi itu sendiri.

Pada tahun 1969, Kohlberg melakukan penelusuran perkembang pemikiran remaja. Kohlberg meneliti cara berpikir anak-anak melalui pengalaman mereka yang meliputi pemahaman konsep moral, misalnya konsep justice, rights, equality, dan human welfare. Riset Kohlberg dilakukan pada tahun 1963 pada anak usia 10-16 tahun. Riset tersebut memfokuskan pada pengembangan moral kognitif anak muda yang menguji proses kualitatif pengukuran respon verbal.

Menurut prospektif pengembangan moral kognitif, kapasitas moral individu menjadi lebih rumit dan komplek jika individu tersebut mendapatkan tambahan struktur moral kognitif pada setiap peningkatan level pertumbuhan perkembangan moral.

Pertumbuhan eksternal berasal dari rewards dan punishment yang diberikan, sedangkan pertumbuhan internal mengarah pada prinsip dan keadilan universal (Herwinda,2010).

Tahapan perkembangan moral seseorang adalah sebagai berikut :

Level 1: Pre-Convetional

Tingkat 1: Orientasi ketaatan dan hukuman (punishment and obedience orientation)

Tingkat 2 : Pandangan individualistic (instrumental relativist orientation)

Menghindari pelanggaran aturan untuk menghindari hukuman atau kerugian. Kekuatan otoritas
superior menentukan “right”. Mengikuti aturan ketika aturan tersebut sesuai dengan kepentingan
pribadi dan membiarkan pihak lain melakukan hal yang sama.

Level 2: Conventional

Tingkat 3: Mutual ekspektasi interpersonal, hubungan dan kesesuaian. (“good boy or good girl” orientation)

Tingkat 4: Sistem sosial dan hati nurani. (law and order orientation)

Memperlihatkan stereotipe perilaku yang baik. Berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan pihak
lain. Mengikuti aturan hukum dan masyarakat (sosial, legal, dan sistem keagamaan) dalam usaha untuk memelihara kesejahteraan.

Level 3: Post Conventional

Tingkat 5: Kontrak sosial dan hak individual. (Social-contract legal orientation)

Tingkat 6: Prinsip etika universal (Universal ethical principle orientation)

Mempertimbangkan pandangan personal, tetapi masih menekankan aturan dan hukum. Bertindak sesuai dengan pemilihan pribadi, prinsip etika, keadilan, dan hak (perspektif rasionalitas individu yang mengakui sifat moral).

Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai benar dan salah. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal, yang mengatur aktivitas seseorang ketika dia tidak terlibat dalam interaksi social dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi social dan penyelesaian konflik (Santrock J. W., 2007).

Perkembangan moral berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Santrock J. W., 2002).

Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil (Yusuf LN, 2004).

Perkembangan moral bergantung pada perkembangan kecerdasan.

Ia terjadi dalam tahapan yang dapat diramalkan yang berkaitan dengan tahapan dalam perkembangan kecerdasan. Dengan berubahnya kemampuan menangkap dan mengerti, anak-anak bergerak ke tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi. Sementara urutan tahapan perkembangan moral tetap, usia anak mencapai tahapan ini berbeda menurut tingkat perkembangan kecerdasan mereka (Hurlock, 1990).

Perkembangan Penalaran Moral


Kohlberg berpendapat bahwa cara berfikir tentang moral berkembang dalam tahapan. Tahapan ini menurut Kohlberg bersifat universal. Kohlberg sampai pada pandangannya ini setelah selama 20 tahun menggunakan wawancara unik terhadap anak. Dalam wawancara ini, anak diberi serangkaian cerita dimana karakter ceritanya menghadapi dilemma moral (Santrock J. W., 2007, hal.118).

Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan penalaran moral menjadi tiga tingkat, yaitu :

Tingkat I. Moralitas Prakonvensional

Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran perbaikan).

  • Tahap 1 Kepatuhan dan orientasi hukuman.
    Anak-anak berasumsi bahwa otoritas-otoritas yang penuh kuasa yang menurunkan seperangkat aturan baku yang harus mereka patuhi tanpa protes. Kohlberg menyebut tahap ini pra-konvensional karena anak-anak masih bisa bicara sebagai anggota masyarakat, mereka melihat moralitas sebagai sesuatu yang eksternal – sesuatu yang orang dewasa katakan dan harus mereka lakukan (Crain, 2007).

    Pada tahap ini akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya, dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yangmelandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas (Kohlberg, 1995).

  • Tahap 2. Individualisme dan Pertukaran.
    Di tahap ini anak-anak mulai menyadari bahwa bukan hanya ada satu saja pandangan benar yang diturunkan otoritas-otoritas. Individu yang berbeda-beda memiliki sudut pandang yang berbeda pula. Kita mungkin bisa memerhatikan kalau anak-anak di tahap 1 dan 2 selalu membicarakan penghukuman. Namun begitu, cara mereka memandangnya berbeda.

    Di tahap 1, hukuman berkaitan erat dengan pikiran anak tentang kesalahan; hukuman ‘membuktikan’ bahwa ketidakpatuhan itu keliru. Sedangkan di tahap 2 hukuman hanyalah sebuah resiko yang secara alamiah ingin dihindari setiap orang (Crain, 2007).

    Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antara manusia dipandang seperti hubungan dipasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, akan tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal “jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan (Kohlberg, 1995).

Tingkat II. Moralitas Konvensional

Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri, tanpa mengindahkan tindakan yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung, dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat.

  • Tahap 3. Hubungan-hubungan Antar-Pribadi yang Baik.
    Di tahap ini, anak-anak (yang sekarang biasana memasuki usia remaja) melihat moralitas lebih daripada urusan-urusan sederhana. Mereka percaya menusia mestinya hidup menurut harapan keluarga dan komunitas, dan bertindak dengan cara-cara yang ‘baik’. Tingkah laku yang baik berarti memiliki motif dan perasaan antar-pribadi yang baik seperti kasih, empati, rasa percaya, dan kepedulian pada orang lain (Crain, 2007).

    Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”. (Kohlberg, 1995)

  • Tahap 4. Memelihara Tatanan Sosial.
    Penalaran pada tahap 3 bekerja baik pada hubungan-hubungan dua pribadi di dalam anggota- anggota keluarga atau teman dekat, dimana mereka dapat membuat upaya nyata untuk mengetahui perasaan dan kebutuhan oranglain dan berusaha membantu mereka. Karena subyek pada tahap 4 membuat keputusan moral dari perspektif masyarakat secara menyeluruh, merekapun berfikir menurut perspektif sebagai anggota masyarakat yang mematuhi seluruh aturan (Crain, 2007).

    Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang yang baik adalah semata- mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib social yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri. (Kohlberg, 1995)

Tingkat III. Moralitas Pasca-Konvensional

Pada tahap ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai- nilai dan prinsip moral yang memiliki keabasahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut (Kohlberg, 1995, hal. 233)

  • Tahap 5. kontrak Sosial dan Hak-Hak individual.
    Pada tahap 5, anak-anak remaja mulai bertanya “apa yang membuat masyarakat menjadi baik?” mereka mulai memikirkan masyarakat dengan cara yang sangat teoritis, menengok ke belakang masyarakat mereka sendiri, dan mengkaji hak-hak dan nilai-nilai yang mestinya dipegang sebuah masyarakat. Mereka kemudian mengevaluasi masyarakat- masyarakat lain menurut pemahaman ini. Mereka bisa dikatakan mengambil perspektif yang mendahului masyarakat (Crain, 2007).

    Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak atau ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan dan kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan dengan pertimbangan sosial mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hokum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4). Di luar bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur pangkat kewajiban. (Kohlberg, 1995)

  • Tahap 6. Prinsip-prinsip Universal.
    Para responden 5 bergerak menuju konsepsi masyarakat yang baik. Mereka menyatakan bahwa kita perlu (a) melindungi hak-hak individual tertentu, dan (b) menyelesaikan perselisihan melalui proses-proses demokratis saja tidak selalu menghasilkan sesuatu yang kita anggap adil secara intuitif (Crain, 2007).

    Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperative kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret. Pada hakikatnya ini adalah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual (Kohlberg, 1995).