Perumpamaan Orang-orang Munafik Seperti Orang Yang Menyalakan Api dan Ditimpa Hujan
Firman Allah
“Perumpamaan mereka adalah seperti orangyangmenyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). ” (Al-Baqarah: 17-18).
Allah mengumpamakan musuh-musuh-Nya, yaitu orang-orang munafik seperti sekumpulan orang yang menyalakan api sebagai penerang bagi mereka dan agar mereka bisa memanfaatkannya. Ketika api itu menyala di sekeliling mereka dan mereka dapat melihat dengan sinarnya apa yang bermanfaat dan apa yang bermudharat bagi mereka, maka mereka pun dapat melihat jalan yang sebelumnya mereka dalam keadaan bingung dan linglung. Mereka seperti sekumpulan musafir yang tersesat jalan, lalu mereka menyalakan api yang menerangi jalan yang mesti dilalui.
Ketika cahaya menyinari sekeliling dan mereka dapat melihat dan memandang, tiba-tiba cahaya api itu padam, sehingga mereka berada dalam kegelapan dan tidak dapat melihat. Tiga pintu petunjuk telah ditutup bagi mereka.
Sesungguhnya petunjuk itu masuk ke dalam diri hamba melalui tiga pintu, yaitu dari apa yang didengar dengan telinganya, dari apa yang dilihat dengan matanya, dan dari apa yang dipikirkan dengan hatinya.
Pintu-pintu petunjuk ini telah ditutup bagi mereka, sehingga hati mereka tidak bisa mendengar apa pun, tidak dapat melihatnya dan juga tidak dapat memikirkan apa yang bermanfaat baginya. Ada yang berpendapat, karena mereka tidak bisa mengambil manfaat dengan pendengaran, penglihatan dan hati mereka, maka mereka dilorotkan ke kedudukan orang yang tidak memiliki pendengaran, penglihatan dan akal. Dua pendapat ini saling terkait.
Allah befirman dalam mensifati mereka, “Maka tidaklah mereka akan kembali". Sebab tadinya mereka sudah dapat melihat dalam cahaya api dan mereka sudah melihat petunjuk. Ketika cahaya itu padam, maka mereka tidak bisa kembali seperti keadaan sebelumnya ketika mereka dapat melihat dan memandang.
Firman Allah, “ Dzahaba Allahu binuurihim”, dan tidak dikatakan, “ 'Dzahaba nuruhum”, di sini terkandung rahasia yang mengagumkan, yaitu terputusnya kebersamaan yang khusus, kebersamaan orang-orang Mukmin dengan Allah, karena Allah beserta orang-orang Mukmin.
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. ”(Al-Baqarah: 153).
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. ”(An-Nahl: 128).
Perbuatan Allah yang menghilangkan cahaya itu berarti merupakan pemutusan kebersamaan yang dikhususkan-Nya bagi para wali-Nya. Allah memutuskan kebersamaan antara Diri-Nya dengan orang-orang munafik, sehingga tidak ada yang menyisa bagi mereka setelah dihilangkannya cahaya dan kebersamaan mereka. Maka mereka tidak mendapat bagian dari firman-Nya,
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Adlah beserta kita. ”(At-Taubah: 40).
Tidak pula dari firman-Nya,
“Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberipetunjuk kepadaku. ”(Asy-Syu’ara’: 62).
Perhatikan firman Allah, “Api itu menerangi sekelilingnya”, bagaimana Allah menjadikan cahaya api itu keluar secara terpencar? Sekiranya cahaya api hanya mengenai diri dan samar-samar, maka dia tidak bisa beranjak. Tapi yang terjadi, cahayanya berpencar mengelilingi, tidak samar-samar dan tidak kabur. Cahaya itu muncul dan kegelapan yang tetap seperti sedia kala. Lalu cahaya kembali ke asalnya dan kegelapan juga kembali ke asalnya. Masing-masing kembali ke asalnya yang sesuai dengannya.
Hujjah dari Allah telah berlaku. Ini merupakan hikmah yang agung, yang tentu diketahui orang-orang yang berpikir dari hamba-hamba-Nya. Perhatikan firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dan tidak dikatakan, “Api mereka”, untuk menyesuaikan dengan permulaan ayat. Sebab api mengandung penerangan dan juga bisa membakar. Allah menghilangkan penerangan yang terkandung di dalamnya, yaitu cahaya dan membiarkan sifat api yang bisa membakar.
Perhatikan pula firman Allah, “Cahaya”, dan tidak dikatakan, “Sinar”, yang menyertai firman-Nya, “Menerangi (menyinari) sekelilingnya”. Sebab sinar merupakan tambahan dalam cahaya. Sekiranya Allah befirman, “Allah hilangkan sinar mereka”, tentu akan menimbulkan anggapan bahwa yang dihilangkan-Nya hanyalah tambahannya saja, tanpa yang asalnya. Karena cahaya merupakan asal sinar, maka itu berarti penghilangan sesuatu dan tambahannya.
Hal ini juga lebih mantap dalam penafiannya dari mereka dan bahwa mereka adalah orang-orang yang ada dalam kegelapan yang tidak memiliki cahaya. Di samping itu, Allah juga menamakan Kitab-Nya dengan An-Nur, cahaya, begitu pula Rasul-Nya, asma’-Nya dan shalat, yang semua dinamakan cahaya. Maka perbuatan Allah yang menghilangkan cahaya berarti penghilangan semua ini.
Perhatikan kesesuaian perumpamaan ini dengan ayat sebelumnya dari firman Allah,
“Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapatpetunjuk. ”(Al-Baqarah: 16).
Lihatlah kesesuaian antara perniagaan yang merugi ini, yang mendatangkan kesesatan dan keridhaan kepadanya, dengan dikeluarkannya petunjuk untuk kebalikannya dan kedatangan kegelapan yang juga merupakan kesesatan dan keridhaan kepadanya, sebagai ganti dari cahaya yang merupakan petunjuk dan cahaya. Mereka mengeluarkan petunjuk dan cahaya, lalu menggantinya dengan kegelapan dan kesesatan. Sungguh itu merupakan perniagaan yang amat merugi dan tepukan tangan yang mengecoh.
Perhatikan firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, di mana cahaya di sini merupakan kata tunggal, lalu befirman, “Dan membiarkan mereka dalam kegelapan” dimana kegelapan di sini merupakan kata jama’.
Sesungguhnya kebenaran itu adalah satu, yaitu ash-shiraath al-mustaqiim, yang tidak ada jalan lain yang dapat menghantarkan kepada-Nya. Jalan ini ialah menyembah Allah semata tanpa menyekutukan-Nya, menurut cara yang disyariatkan lewat lisan Rasul-Nya, bukan menurut hawa nafsu, bid’ah dan bukan melewati jalan orang-orang yang keluar dari apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, berupa petunjuk dan agama yang haq, yang berbeda dengan jalan-jalan kebatilan yang banyak dan bercabang-cabang.
Karena itulah Allah menunggalkan kebenaran dan menjama’kan kebatilan, seperti firman-Nya,
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan, orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah thaghut, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). ”(A1-Baqarah: 257).
“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalahj alan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. ” (Al-An’am: 153).
Allah menjama’kan jalan kebatilan dan menunggalkan jalan kebenaran. Hal ini tidak bertentangan dengan firman-Nya,
“Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kejalan keselamatan. ”(A1-Maidah: 16).
Jalan di dalam ayat ini dijama’kan. Itu adalah jalan-jalan keridhaan-Nya, yang kemudian dihimpun jalan-Nya yang satu, yaitu jalan-Nya yang lurus. Sebab semua jalan keridhaan-Nya kembali ke satu jalan, yaitu jalan-Nya, yang tiada satu jalan pun kepada-Nya kecuali dari jalan ini.
Disebutkan dalam riwayat shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau pernah membuat satu garis lurus seraya bersabda,
“Ini adalah jalan Allah” .
Kemudian beliau membuat beberapa garis lain di kanan kiri beliau, seraya bersabda,
“Ini adalah jalan-jalan. Di atas setiap jalan ada syetan yang menyeru kepadanya.”
Kemudian beliau membaca ayat,
“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (Al-An’am: 153).
Ada yang berpendapat, yang demikian ini merupakan perumpamaan bagi orang-orang munafik yang menyalakan api cobaan di tengah orang-orang Muslim. Hal ini mirip dengan firman Allah,
“Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya.” (A1-Maidah: 64).
Sehingga firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, senada dengan firman-Nya, “Allah memadamkannya”. Kekecewaan dan kegagalan keinginan mereka ialah mereka dibiarkan dalam kegelapan dan kebingungan, mereka tidak mendapat petunjuk untuk melepaskan diri dari keadaan mereka, mereka tidak dapat melihat jalan, bahkan mereka bisu, tuli dan buta.
Pandangan ini, kalau memang itu benar, sebagai maksud dari ayat ini, perlu dipertimbangkan. Sebab ditilik dari kontekstual kalimat, maksudnya adalah lain, yang tidak sejalan dengan firman Allah, “Maka setelah api itu mengelilingi sekelilingnya". Nyala api peperangan sama sekali tidak bisa menyinari sekelilingnya. Juga tidak pas dengan firman-Nya, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka". Nyala api peperangan tidak ada cahayanya. Juga tidak pas dengan firman Allah, “Dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”.
Hal ini menimbulkan satu pemahaman, bahwa mereka beralih dari cahaya ma’rifat dan bashirah ke kegelapan keragu-raguan dan kufur. Menurut Al-Hasan, yang dimaksudkan adalah orang munafik, yang melihat kemudian buta, yang mengetahui kemudian mengingkari. Karena itulah dikatakan, “Maka tidaklah mereka akan kembali" Artinya, mereka tidak kembali ke cahaya yang sebelumnya mereka tinggalkan. Allah befirman tentang orang-orang kafir,
“Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (Al-Baqarah: 171).
Dicabutnya akal dari orang-orang kafir, karena mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki bashirah dan iman. Sementara pencabutan dari orang-orang munafik ialah tidak bisa kembali, karena mereka beriman, kemudian kufur, sehingga mereka tidak bisa kembali ke iman lagi.
Kemudian Allah membuat perumpamaan lain yang berunsur air bagi orang-orang munafik. Firman-Nya,
“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan, Allah meliputi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah:19).
Allah menyerupakan keadaan orang-orang munafik dalam mensikapi cahaya dan kehidupan yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, laiknya orang yang menyalakan api, lalu api itu padam, sehingga dia justru lebih membutuhkan api itu dari sebelumnya. Cahayanya padam dan dia berada dalam kegelapan, kebingungan dan linglung, tidak bisa melihat jalan dan tidak mengetahui rute. Allah juga menyerupakan mereka dengan keadaan orang yang ditimpa hujan, yang turun dengan deras.
Allah mengumpamakan petunjuk yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya dengan hujan. Sebab hati bisa hidup dengan petunjuk itu seperti tanah yang hidup dengan air hujan. Allah mengumpamakan sikap orang-orang munafik terhadap petunjuk dengan keadaan orang yang tidak mendapatkan dari hujan itu selain dari kegelapan, guruh dan kilat, sehingga tidak ada hasil apa pun yang diperoleh di balik semua itu dari bagian hujan, seperti kehidupan bagi tanah, manusia, pepohonan dan binatang.
Kegelapan yang menyertai hujan, guruh dan kilat dimaksudkan untuk sesuatu yang lain, yaitu sebagai sarana untuk menyempurnakan manfaat hujan itu. Orang bodoh tentu tidak bisa menangkap apa yang terkandung dalam kegelapan, guruh dan kilat serta keadaan yang menyertainya, seperti hawa dingin, penundaan perjalanan bagi musafir dan penghentian pekerjaan bagi pekerja. Dia tidak akan memiliki pengetahuan yang memungkinkannya menangkap makna dari masalah hujan ini, berupa kehidupan dan manfaat secara umum. Memang begitulah keadaan orang yang terbatas pandangannya dan lemah akalnya.
Pandangannya hanya tertuju ke masalah yang tidak disenangi dan yang kasat mata, sehingga tidak melihat apa yang disenangi di balik semua itu. Inilah keadaan mayoritas manusia, kecuali orang yang memiliki bashirah. Jika orang yang lemah bashirah-nya melihat keletihan, kepayahan, kesulitan, kematian dan luka dalam jihad, melihat celaan orang yang suka mencela dan penentangan orang yang takut, tentu dia tak mau bergabung dalam jihad, karena dia tidak menyaksikan akibat yang terpuji di balik jihad dan tujuan-tujuan yang diinginkan orang-orang yang suka berkompetisi.
Mereka saling berlomba dan berkompetisi untuk mendapatkan tujuan-tujuan itu. Begitu pula orang yang hendak pergi menunaikan haji ke Baitullah Al-Haram, yang tidak melihat dari perjalanannya itu selain dari kesulitan dalam perjalanan, harus berpisah dengan keluarga dan meninggalkan tempat kelahiran, harus menghadapi berbagai kesusahan, meninggalkan hal-hal yang disukai. Pandangannya tidak menangkap kesudahan dari perjalanan itu dan akibatnya yang baik. Akhirnya dia batal pergi dan tidak lagi berhasrat menunaikan haji.
Inilah keadaan orang-orang yang lemah bashirah dan imannya, yang hanya melihat ancaman dan peringatan di dalam Al-Qur’an, larangan dan hardikan, perintah-perintah yang berat bagi jiwa, yang mencegahnya dari hal-hal yang disukainya, yang menyapihnya dari air susu syahwatnya, seperti anak kecil yang berat untuk disapih.
Sementara akal semua manusia seperti anak kecil, kecuali orang yang sudah beranjak dewasa akalnya dan berpikir, yang mengetahui kebenaran dari segi ilmu, amal dan ma’rifat, yang bisa melihat apa yang ada di balik hujan, berupa guruh dan kilat serta petir, yang mengetahui bahwa semua itu merupakan kehidupan bagi alam.
Ada seseorang yang berkata di hadapan Az-Zamakhsyary, bahwa dia menyerupakan Islam dengan hujan. Sebab hati manusia dapat hidup dengannya seperti tanah yang bisa hidup dengan air hujan. Dia juga menyerupakan hal-hal yang berkait dengannya, seperti penyerupaan kufur dengan kegelapan, peringatan dan ancaman dengan guruh dan kilat, keadaan yang menimpa orang-orang kafir, menyerupakan ketakutan akan ditimpa bencana dan cobaan dari pihak orang-orang Muslim dengan suara petir. Artinya seperti orang yang ditimpa hujan lebat.
Dengan kata lain seperti sekumpulan orang yang ditimpa langit berdasarkan sifat ini, sehingga mereka menerima akibat seperti yang mereka terima. Maka Az-Zamakhsyary berkata menanggapi perkataan orang itu,
“Yang benar menurut para pakar ilmu bayan dan tak lebih dari makna ini, bahwa dua perumpamaan ini ditilik dari tamsil-tamsil yang saling terangkum tanpa pemisahan, antara yang satu dengan yang lainnya tidak saling menanggung menurut kadar keserupaan di dalam tamsil itu."
Penjelasan dari pendapat yang cukup berani ini ialah, bahwa bangsa Arab biasa memahami berbagai hal secara sendiri-sendiri, sebagian terpisah dari sebagian yang lain, tidak memahami yang ini menurut ikatan yang itu. Maka penyerupaannya dengan hal lain yang sebanding seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, berupa penyerupaan keadaan dari himpunan beberapa hal, bisa menciptakan kohesi dan kombinasi, sehingga antara satu hal dengan lainnya yang semisal menjadi seperti satu, seperti firman Allah,
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. ”(Al-Jumu’ah: 5).
Maksudnya ialah menyerupakan keadaan orang-orang Yahudi yang tidak mengetahui kandungan Taurat di tangan mereka dan ayat-ayatnya yang nyata, dengan keadaan keledai yang bodoh tentang beban yang dibawanya, berupa kitab-kitab yang tebal penuh hikmah.
Dua keadaan ini sama bagi keledai, apakah dia memikul kitab-kitab hikmah ataukah memikul beban selain kitab-kitab hikmah. Sementara dia tidak merasakan hal itu selain dari payah dan letih yang bertambah-tambah. Begitu pula firman Allah,
“Dan, berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin.”(Al-Kahfi: 45).
Dengan kata lain, minimnya kekekalan gemerlap dunia seperti minimnya kekekalan tumbuh-tumbuhan ini. Jika yang dimaksudkan adalah penyerupaan individu dengan individu tanpa memaksudkannya sebagai sebagian dengan sebagian yang lain dan menjadikannya sesuatu yang satu, maka hal ini tidak bisa diterima, karena di sini ada penggambaran keadaan orang-orang munafik dalam kesesatannya, keadaan mereka yang bingung dan kaget, lalu kebingungan dan kekalutan mereka diserupakan dengan orang yang menyalakan api di tengah kegelapan malam lalu cahayanya padam.
Begitu pula keadaan orang yang berada di bawah langit pada malam yang gelap gulita, yang disertai guruh dan kilat, yang ketakutan karena petir yang menyambar. Az-Zamakhsyary berkata, “Jika kau tanyakan, mana yang lebih mantap dari dua perumpamaan ini?" Saya jawab, yang kedua. Karena keadaan ini lebih pas untuk menggambarkan kebingungan dan kekalutan. Begitu pula orang-orang yang terlibat di dalamnya juga mengalami peningkatan dari keadaan yang mudah ke keadaan yang sulit.”
Dua perumpamaan ini mengandung banyak hikmah yang agung, di antaranya:
Pertama: Orang yang mencari penerangan dengan api berarti mencari penerangan dari cahaya yang datang dari arah selain dirinya, bukan dari dirinya sendiri.
Jika api itu lenyap, maka dia berada dalam kegelapan. Ketika orang munafik membuat pernyataan dengan lisannya tanpa disertai keyakinan dan cinta dengan hatinya serta pembenaran yang kuat, maka cahaya yang dimilikinya seperti barang pinjaman.
Kedua*: Sinar api memerlukan materi lain untuk menunjang kelangsungannya.
Materi sinar ini tak ubahnya makanan bagi hewan. Begitu pula cahaya iman yang memerlukan materi lain seperti ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, yang harus senantiasa dilaksanakan dan dijaga kelangsungannya. Jika materi iman tidak ada, maka iman itu akan padam sebagaimana api yang bisa padam karena kehilangan materinya.
Ketiga: Kegelapan itu ada dua macam: Kegelapan berkelanjutan yang sama sekali tidak ada cahayanya, dan kegelapan yang terjadi setelah ada cahaya.
Yang kedua ini terasa lebih gelap dan lebih menyiksa. Kegelapan orang munafik adalah kegelapan setelah ada sinar. Keadaannya diserupakan dengan keadaan orang yang menyalakan api, lalu dia berada dalam satu kegelapan setelah ada sinar. Sedangkan orang kafir berada dalam berbagai kegelapan dan dia sama sekali tidak bisa keluar dari sana.
Keempat: Di dalam perumpamaan ini terkandung pemberitahuan dan peringatan tentang keadaan mereka di akhirat, bahwa mereka diberi cahaya yang nyata, seperti cahaya yang diberikan kepada mereka di dunia.
Kemudian cahaya itu dipadamkan, padahal mereka sangat memerlukannya, karena tidak ada materi yang membuat cahaya itu tetap bertahan. Mereka berada dalam kegelapan di atas jembatan dan tidak bisa menyeberang. Sebab tidak mungkin seseorang dapat menyeberanginya kecuali dengan cahaya yang kuat dan yang menyertainya, hingga dia bisa melewati jembatan itu.
Cahaya itu memerlukan materi berupa ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan cahaya yang justru lebih dia butuhkan dari sebelumnya. Perumpamaan keadaan mereka di dunia mirip dengan keadaan mereka di akhirat, ketika cahaya itu dibagi-bagikan. Dari sini dapat diketahui rahasia yang terkandung di dalam firman Allah, "Dzahaba Allahu binuurihim”, dan tidak dikatakan, “Adzhaba Allahu nurahum”
Jika engkau ingin mendapatkan tambahan penjelasan dan keterangan, perhatikan riwayat Muslim di dalam Shahih-nya, dari hadits Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma, ketika dia ditanya tentang saat kembali. Maka dia menjawab, “Kita datang pada hari kiamat di atas permukaan tanah yang lebih tinggi dari manusia.”
Dia berkata, “Berbagai umat dipanggil dengan berhala-berhalanya dan apa yang dijadikan sesembahan. Yang awal lalu disusul berikutnya. Kemudian Rabb kita mendatangi kita setelah itu, seraya bertanya,
“Siapakah yang kalian tunggu?”
Mereka menjawab, “Kami menunggu Rabb kami.”
Dia befirman, “Aku adalah Rabb kalian.”
Mereka berkata, “Kami tetap menunggu Engkau. ”
Maka Allah menampakkan Diri di hadapan mereka sambil tersenyum. Maka Allah bertolak bersama mereka dan mereka pun mengikuti-Nya. Setiap orang di antara mereka, yang munafik maupun yang Mukmin diberi cahaya lalu mereka mengikutinya.
Di atas jembatan Jahannam ada kalalib (besi bengkok ujungnya) dan duri yang mengenai siapa pun yang dikehendaki Allah. Kemudian cahaya orang-orang munafik padam, sedangkan orang-orang Mukmin selamat.
Kelompok yang pertama selamat, yang wajah mereka seperti rembulan pada malam purnama. Mereka berjumlah tujuh puluh ribu orang tanpa dihisab. Kemudian menyusul berikutnya seperti sinar bintang di langit. Kemudian menyusul yang semisal dengan itu. Kemudian diperkenankan syafaat dan mereka pun diberi syafaat hingga siapa pun yang mengucapkan la ilaha illallah keluar dari neraka, meskipun di dalam hatinya hanya ada kebaikan seberat biji gandum. Mereka diletakkan di serambi surga. Para menghuni surga memercikkan air pada mereka.” Lalu dia menyebutkan kelanjutan hadits ini.
Perhatikan perkataan, “Maka Allah bertolak bersama mereka dan mereka pun mengikuti-Nya. Setiap orang di antara mereka, yang munafik maupun yang Mukmin diberi cahaya”.
Setelah itu perhatikan firman Allah , “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat".
Perhatikan keadaan mereka ketika cahaya dipadamkan, lalu mereka berada dalam kegelapan. Sementara orang-orang Mukmin pergi dalam cahaya iman mereka, dan mereka mengikuti Allah Azza wa Jalla. Perhatikan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Agar setiap umat mengikuti apa yang disembah. Maka setiap orang musyrik mengikuti sesembahan yang disembahnya.”
Orang yang mengesakan Allah berhak mengikuti Allah Yang Mahabenar, yang menganggap semua sesembahan selain-Nya adalah batil. Perhatikan firman Allah berikut,
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa.”(Al-Qalam: 42).
Ayat ini disebutkan dalam hadits tentang syafaat, yang juga berkait dengan masalah ini. Apa yang disebutkan di dalam hadits, “Lalu betisnya disingkap”, menjelaskan maksud betis yang disebutkan di dalam ayat ini. Kemudian perhatikan kepergian Allah dan orang-orang Mukmin yang mengikuti-Nya setelah itu. Hal ini membukakan pintu rahasia-rahasia tauhid bagimu, pemahaman Al-Qur’an dan perlakuan Allah terhadap ahli tauhid yang menyembah-Nya semata dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.
Perlakuan yang berbeda diberikan kepada orang-orang musyrik, yang setiap umat pergi bersama sesembahannya masing-masing, yang pergi ke neraka dan mereka mengikutinya. Sesembahan Yang Maha besar pergi dan diikuti para wali-Nya dan orang-orang yang menyembah-Nya. Mahasuci Allah Rabb semesta alam. Hati ahli tauhid merasa senang di dunia dan di akhirat, dan mereka berbeda dengan manusia lain dalam masalah tauhid ini, padahal mereka sangat membutuhkannya.
==bersambung==