Bagaimana Tafsir Ibnu Al-Qayyim terkait dengan Surat Al-Baqarah ?

Surah Al-Baqarah adalah surah ke-2 dalam Al-Qur’an. Surah ini terdiri dari 286 ayat, 6.221 kata, dan 25.500 huruf dan tergolong surah Madaniyah. Surah ini merupakan surah dengan jumlah ayat terbanyak dalam Al-Qur’an. Surah ini dinamai al-Baqarah yang artinya Sapi Betina sebab di dalam surah ini terdapat kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67-74). Surah ini juga dinamai Fustatul Qur’an (Puncak Al-Qur’an) karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surah yang lain.

Bagaimana Tafsir Ibnu Al-Qayyim terkait dengan Surat Al-Baqarah ?

Hati Orang Kafir Yang Dikunci Mati dan Hati Orang Munafik Yang Ada Penyakitnya

Firman Allah,

“Allah telah mengunci mati hati mereka. ”(Al-Baqarah: 7).

Al-Khatm asal maknanya menurut Al-Azhary adalah tutupan atau segel. Jika dikatakan, "Khatama al-badzrfil-ardhi” (dia menutupi biji di atas permukaan tanah). Menurut Abu Ishaq, makna khatama dan thaba’a adalah sama menurut bahasa, yaitu tutupan di atas sesuatu dan peneguhannya, sehingga tidak dimasuki sesuatu yang lain, sebagaimana firman-Nya,

“Ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24).

“Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah. "(An-Nahl: 108).

Kami katakan, al-khatm dan ath-thab’ saling bersekutu tentang apa yang disebutkan di sini dan berbeda dalam makna lain Ath-Thab’ adalah penguncian atau penutupan terhadap tabiat. Ini merupakan pengaruh yang tidak bisa dihindarkan.

Adapun tentang penyakit, Allah telah befirman,

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. (Al-Baqarah: 10).

Firman-Nya yang lain,

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. ”(A1-Ahzab: 32).

“Supaya orang-orang yang diber iAl-Kitab menjadi yakin dan supayaorang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang Mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’” (Al-Muddatstsir:31).

Sakitnya hati ialah keluarnya hati dari kesehatan dan kenormalannya. Sehatnya hati ialah dengan mengetahui Al-Haqq (Allah), mencintai dan mementingkan-Nya dari yang lain. Adapun sakitnya bisa karena keraguraguan atau karena mementingkan selain Allah.

Penyakitnya orang-orang munafik ialah penyakit keragu-raguan dan kebimbangan. Penyakitnya orang-orang yang durhaka ialah penyakit kesesatan dan syahwat. Allah menamakan kedua-duanya sebagai penyakit.

Menurut Ibnu Al-Anbary, asal makna al-maradh menurut bahasa ialah al-fasad (kerusakan). Apabila dikatakan,“ Maridha Fulan ”, artinya badannya rusak dan keadaannya berubah. Apabila dikatakan, “Maridhat bil-maradhi", artinya berubah dan rusak. Laila Al-Ukhailiyah berkata di dalam sya’irnya,

Jika para hujjaj singgah di daerah yang berpenyakit
dicarilah kesembuhan dan obat yang mujarab

Penyair lain berkata,

Tidakkah engkau tahu bahwa bumi menjadi sakit
karena kematian Al-Husain dan bumipun bergetar

Penyakit itu berkisar pada empat perkara: Kerusakan, kelemahan, kekurangan dan kekelaman. Jika seseorang sakit pada bagian tertentu, berarti dia lemah pada bagian tersebut. Mata yang sakit untuk melihat, berarti mata itu lemah.

Angin yang sakit, artinya jika angin itu berhembus pelan, seperti yang dikatakan dalam sebuah kalimat, “Angin mengaso di empat penjuru mata angin karena sakit. ” Artinya sakit di sini ialah melemah dan lembut, sehingga pengaruhnya tidak terasakan.

Menurut Ibnul-A’raby, asal makna al-maradh adalah kekurangan. Contohnya, jika dikatakan, “Badan mariidh ”, artinya badan yang kurang kekuatannya. Hati yang sakit berarti yang kurang agamanya. Menurut Al-Azhary dari Al-Mundziry, dari sebagian rekannya, sakit adalah mengelamkan tabiat dan mengeruhkannya setelah keadaannya bening. Jadi penyakit adalah kekelaman.

Lalu dia berpantun,

Suatu malam kala kelam datang dari segala penjuru
yang tidak disinari cahaya matahari dan rembulan

Inilah asal maknanya menurut bahasa. Sedangkan keraguan, kebodohan, kebingungan, kesesatan dan hasrat melakukan kekejian di dalam hati, kembali kepada empat perkara ini. Seorang hamba melaku-kan sebabsebab penyakit hingga dia benar-benar terkena penyakit. Lalu Allah menyiksanya dengan menambahkan penyakit kepadanya, karena dia mementingkan sebab-sebabnya dan juga melaksanakannya

Perumpamaan Orang-orang Munafik Seperti Orang Yang Menyalakan Api dan Ditimpa Hujan

Firman Allah

“Perumpamaan mereka adalah seperti orangyangmenyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). ” (Al-Baqarah: 17-18).

Allah mengumpamakan musuh-musuh-Nya, yaitu orang-orang munafik seperti sekumpulan orang yang menyalakan api sebagai penerang bagi mereka dan agar mereka bisa memanfaatkannya. Ketika api itu menyala di sekeliling mereka dan mereka dapat melihat dengan sinarnya apa yang bermanfaat dan apa yang bermudharat bagi mereka, maka mereka pun dapat melihat jalan yang sebelumnya mereka dalam keadaan bingung dan linglung. Mereka seperti sekumpulan musafir yang tersesat jalan, lalu mereka menyalakan api yang menerangi jalan yang mesti dilalui.

Ketika cahaya menyinari sekeliling dan mereka dapat melihat dan memandang, tiba-tiba cahaya api itu padam, sehingga mereka berada dalam kegelapan dan tidak dapat melihat. Tiga pintu petunjuk telah ditutup bagi mereka.

Sesungguhnya petunjuk itu masuk ke dalam diri hamba melalui tiga pintu, yaitu dari apa yang didengar dengan telinganya, dari apa yang dilihat dengan matanya, dan dari apa yang dipikirkan dengan hatinya.

Pintu-pintu petunjuk ini telah ditutup bagi mereka, sehingga hati mereka tidak bisa mendengar apa pun, tidak dapat melihatnya dan juga tidak dapat memikirkan apa yang bermanfaat baginya. Ada yang berpendapat, karena mereka tidak bisa mengambil manfaat dengan pendengaran, penglihatan dan hati mereka, maka mereka dilorotkan ke kedudukan orang yang tidak memiliki pendengaran, penglihatan dan akal. Dua pendapat ini saling terkait.

Allah befirman dalam mensifati mereka, “Maka tidaklah mereka akan kembali". Sebab tadinya mereka sudah dapat melihat dalam cahaya api dan mereka sudah melihat petunjuk. Ketika cahaya itu padam, maka mereka tidak bisa kembali seperti keadaan sebelumnya ketika mereka dapat melihat dan memandang.

Firman Allah, “ Dzahaba Allahu binuurihim”, dan tidak dikatakan, “ 'Dzahaba nuruhum”, di sini terkandung rahasia yang mengagumkan, yaitu terputusnya kebersamaan yang khusus, kebersamaan orang-orang Mukmin dengan Allah, karena Allah beserta orang-orang Mukmin.

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. ”(Al-Baqarah: 153).

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. ”(An-Nahl: 128).

Perbuatan Allah yang menghilangkan cahaya itu berarti merupakan pemutusan kebersamaan yang dikhususkan-Nya bagi para wali-Nya. Allah memutuskan kebersamaan antara Diri-Nya dengan orang-orang munafik, sehingga tidak ada yang menyisa bagi mereka setelah dihilangkannya cahaya dan kebersamaan mereka. Maka mereka tidak mendapat bagian dari firman-Nya,

“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Adlah beserta kita. ”(At-Taubah: 40).

Tidak pula dari firman-Nya,

“Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberipetunjuk kepadaku. ”(Asy-Syu’ara’: 62).

Perhatikan firman Allah, “Api itu menerangi sekelilingnya”, bagaimana Allah menjadikan cahaya api itu keluar secara terpencar? Sekiranya cahaya api hanya mengenai diri dan samar-samar, maka dia tidak bisa beranjak. Tapi yang terjadi, cahayanya berpencar mengelilingi, tidak samar-samar dan tidak kabur. Cahaya itu muncul dan kegelapan yang tetap seperti sedia kala. Lalu cahaya kembali ke asalnya dan kegelapan juga kembali ke asalnya. Masing-masing kembali ke asalnya yang sesuai dengannya.

Hujjah dari Allah telah berlaku. Ini merupakan hikmah yang agung, yang tentu diketahui orang-orang yang berpikir dari hamba-hamba-Nya. Perhatikan firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dan tidak dikatakan, “Api mereka”, untuk menyesuaikan dengan permulaan ayat. Sebab api mengandung penerangan dan juga bisa membakar. Allah menghilangkan penerangan yang terkandung di dalamnya, yaitu cahaya dan membiarkan sifat api yang bisa membakar.

Perhatikan pula firman Allah, “Cahaya”, dan tidak dikatakan, “Sinar”, yang menyertai firman-Nya, “Menerangi (menyinari) sekelilingnya”. Sebab sinar merupakan tambahan dalam cahaya. Sekiranya Allah befirman, “Allah hilangkan sinar mereka”, tentu akan menimbulkan anggapan bahwa yang dihilangkan-Nya hanyalah tambahannya saja, tanpa yang asalnya. Karena cahaya merupakan asal sinar, maka itu berarti penghilangan sesuatu dan tambahannya.

Hal ini juga lebih mantap dalam penafiannya dari mereka dan bahwa mereka adalah orang-orang yang ada dalam kegelapan yang tidak memiliki cahaya. Di samping itu, Allah juga menamakan Kitab-Nya dengan An-Nur, cahaya, begitu pula Rasul-Nya, asma’-Nya dan shalat, yang semua dinamakan cahaya. Maka perbuatan Allah yang menghilangkan cahaya berarti penghilangan semua ini.

Perhatikan kesesuaian perumpamaan ini dengan ayat sebelumnya dari firman Allah,

“Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapatpetunjuk. ”(Al-Baqarah: 16).

Lihatlah kesesuaian antara perniagaan yang merugi ini, yang mendatangkan kesesatan dan keridhaan kepadanya, dengan dikeluarkannya petunjuk untuk kebalikannya dan kedatangan kegelapan yang juga merupakan kesesatan dan keridhaan kepadanya, sebagai ganti dari cahaya yang merupakan petunjuk dan cahaya. Mereka mengeluarkan petunjuk dan cahaya, lalu menggantinya dengan kegelapan dan kesesatan. Sungguh itu merupakan perniagaan yang amat merugi dan tepukan tangan yang mengecoh.

Perhatikan firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, di mana cahaya di sini merupakan kata tunggal, lalu befirman, “Dan membiarkan mereka dalam kegelapan” dimana kegelapan di sini merupakan kata jama’.

Sesungguhnya kebenaran itu adalah satu, yaitu ash-shiraath al-mustaqiim, yang tidak ada jalan lain yang dapat menghantarkan kepada-Nya. Jalan ini ialah menyembah Allah semata tanpa menyekutukan-Nya, menurut cara yang disyariatkan lewat lisan Rasul-Nya, bukan menurut hawa nafsu, bid’ah dan bukan melewati jalan orang-orang yang keluar dari apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, berupa petunjuk dan agama yang haq, yang berbeda dengan jalan-jalan kebatilan yang banyak dan bercabang-cabang.

Karena itulah Allah menunggalkan kebenaran dan menjama’kan kebatilan, seperti firman-Nya,

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan, orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah thaghut, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). ”(A1-Baqarah: 257).

“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalahj alan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. ” (Al-An’am: 153).

Allah menjama’kan jalan kebatilan dan menunggalkan jalan kebenaran. Hal ini tidak bertentangan dengan firman-Nya,

“Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kejalan keselamatan. ”(A1-Maidah: 16).

Jalan di dalam ayat ini dijama’kan. Itu adalah jalan-jalan keridhaan-Nya, yang kemudian dihimpun jalan-Nya yang satu, yaitu jalan-Nya yang lurus. Sebab semua jalan keridhaan-Nya kembali ke satu jalan, yaitu jalan-Nya, yang tiada satu jalan pun kepada-Nya kecuali dari jalan ini.

Disebutkan dalam riwayat shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau pernah membuat satu garis lurus seraya bersabda,

“Ini adalah jalan Allah” .

Kemudian beliau membuat beberapa garis lain di kanan kiri beliau, seraya bersabda,

“Ini adalah jalan-jalan. Di atas setiap jalan ada syetan yang menyeru kepadanya.”

Kemudian beliau membaca ayat,

“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (Al-An’am: 153).

Ada yang berpendapat, yang demikian ini merupakan perumpamaan bagi orang-orang munafik yang menyalakan api cobaan di tengah orang-orang Muslim. Hal ini mirip dengan firman Allah,

“Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya.” (A1-Maidah: 64).

Sehingga firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, senada dengan firman-Nya, “Allah memadamkannya”. Kekecewaan dan kegagalan keinginan mereka ialah mereka dibiarkan dalam kegelapan dan kebingungan, mereka tidak mendapat petunjuk untuk melepaskan diri dari keadaan mereka, mereka tidak dapat melihat jalan, bahkan mereka bisu, tuli dan buta.

Pandangan ini, kalau memang itu benar, sebagai maksud dari ayat ini, perlu dipertimbangkan. Sebab ditilik dari kontekstual kalimat, maksudnya adalah lain, yang tidak sejalan dengan firman Allah, “Maka setelah api itu mengelilingi sekelilingnya". Nyala api peperangan sama sekali tidak bisa menyinari sekelilingnya. Juga tidak pas dengan firman-Nya, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka". Nyala api peperangan tidak ada cahayanya. Juga tidak pas dengan firman Allah, “Dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”.

Hal ini menimbulkan satu pemahaman, bahwa mereka beralih dari cahaya ma’rifat dan bashirah ke kegelapan keragu-raguan dan kufur. Menurut Al-Hasan, yang dimaksudkan adalah orang munafik, yang melihat kemudian buta, yang mengetahui kemudian mengingkari. Karena itulah dikatakan, “Maka tidaklah mereka akan kembali" Artinya, mereka tidak kembali ke cahaya yang sebelumnya mereka tinggalkan. Allah befirman tentang orang-orang kafir,

“Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (Al-Baqarah: 171).

Dicabutnya akal dari orang-orang kafir, karena mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki bashirah dan iman. Sementara pencabutan dari orang-orang munafik ialah tidak bisa kembali, karena mereka beriman, kemudian kufur, sehingga mereka tidak bisa kembali ke iman lagi.

Kemudian Allah membuat perumpamaan lain yang berunsur air bagi orang-orang munafik. Firman-Nya,

“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan, Allah meliputi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah:19).

Allah menyerupakan keadaan orang-orang munafik dalam mensikapi cahaya dan kehidupan yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, laiknya orang yang menyalakan api, lalu api itu padam, sehingga dia justru lebih membutuhkan api itu dari sebelumnya. Cahayanya padam dan dia berada dalam kegelapan, kebingungan dan linglung, tidak bisa melihat jalan dan tidak mengetahui rute. Allah juga menyerupakan mereka dengan keadaan orang yang ditimpa hujan, yang turun dengan deras.

Allah mengumpamakan petunjuk yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya dengan hujan. Sebab hati bisa hidup dengan petunjuk itu seperti tanah yang hidup dengan air hujan. Allah mengumpamakan sikap orang-orang munafik terhadap petunjuk dengan keadaan orang yang tidak mendapatkan dari hujan itu selain dari kegelapan, guruh dan kilat, sehingga tidak ada hasil apa pun yang diperoleh di balik semua itu dari bagian hujan, seperti kehidupan bagi tanah, manusia, pepohonan dan binatang.

Kegelapan yang menyertai hujan, guruh dan kilat dimaksudkan untuk sesuatu yang lain, yaitu sebagai sarana untuk menyempurnakan manfaat hujan itu. Orang bodoh tentu tidak bisa menangkap apa yang terkandung dalam kegelapan, guruh dan kilat serta keadaan yang menyertainya, seperti hawa dingin, penundaan perjalanan bagi musafir dan penghentian pekerjaan bagi pekerja. Dia tidak akan memiliki pengetahuan yang memungkinkannya menangkap makna dari masalah hujan ini, berupa kehidupan dan manfaat secara umum. Memang begitulah keadaan orang yang terbatas pandangannya dan lemah akalnya.

Pandangannya hanya tertuju ke masalah yang tidak disenangi dan yang kasat mata, sehingga tidak melihat apa yang disenangi di balik semua itu. Inilah keadaan mayoritas manusia, kecuali orang yang memiliki bashirah. Jika orang yang lemah bashirah-nya melihat keletihan, kepayahan, kesulitan, kematian dan luka dalam jihad, melihat celaan orang yang suka mencela dan penentangan orang yang takut, tentu dia tak mau bergabung dalam jihad, karena dia tidak menyaksikan akibat yang terpuji di balik jihad dan tujuan-tujuan yang diinginkan orang-orang yang suka berkompetisi.

Mereka saling berlomba dan berkompetisi untuk mendapatkan tujuan-tujuan itu. Begitu pula orang yang hendak pergi menunaikan haji ke Baitullah Al-Haram, yang tidak melihat dari perjalanannya itu selain dari kesulitan dalam perjalanan, harus berpisah dengan keluarga dan meninggalkan tempat kelahiran, harus menghadapi berbagai kesusahan, meninggalkan hal-hal yang disukai. Pandangannya tidak menangkap kesudahan dari perjalanan itu dan akibatnya yang baik. Akhirnya dia batal pergi dan tidak lagi berhasrat menunaikan haji.

Inilah keadaan orang-orang yang lemah bashirah dan imannya, yang hanya melihat ancaman dan peringatan di dalam Al-Qur’an, larangan dan hardikan, perintah-perintah yang berat bagi jiwa, yang mencegahnya dari hal-hal yang disukainya, yang menyapihnya dari air susu syahwatnya, seperti anak kecil yang berat untuk disapih.

Sementara akal semua manusia seperti anak kecil, kecuali orang yang sudah beranjak dewasa akalnya dan berpikir, yang mengetahui kebenaran dari segi ilmu, amal dan ma’rifat, yang bisa melihat apa yang ada di balik hujan, berupa guruh dan kilat serta petir, yang mengetahui bahwa semua itu merupakan kehidupan bagi alam.

Ada seseorang yang berkata di hadapan Az-Zamakhsyary, bahwa dia menyerupakan Islam dengan hujan. Sebab hati manusia dapat hidup dengannya seperti tanah yang bisa hidup dengan air hujan. Dia juga menyerupakan hal-hal yang berkait dengannya, seperti penyerupaan kufur dengan kegelapan, peringatan dan ancaman dengan guruh dan kilat, keadaan yang menimpa orang-orang kafir, menyerupakan ketakutan akan ditimpa bencana dan cobaan dari pihak orang-orang Muslim dengan suara petir. Artinya seperti orang yang ditimpa hujan lebat.

Dengan kata lain seperti sekumpulan orang yang ditimpa langit berdasarkan sifat ini, sehingga mereka menerima akibat seperti yang mereka terima. Maka Az-Zamakhsyary berkata menanggapi perkataan orang itu,

“Yang benar menurut para pakar ilmu bayan dan tak lebih dari makna ini, bahwa dua perumpamaan ini ditilik dari tamsil-tamsil yang saling terangkum tanpa pemisahan, antara yang satu dengan yang lainnya tidak saling menanggung menurut kadar keserupaan di dalam tamsil itu."

Penjelasan dari pendapat yang cukup berani ini ialah, bahwa bangsa Arab biasa memahami berbagai hal secara sendiri-sendiri, sebagian terpisah dari sebagian yang lain, tidak memahami yang ini menurut ikatan yang itu. Maka penyerupaannya dengan hal lain yang sebanding seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, berupa penyerupaan keadaan dari himpunan beberapa hal, bisa menciptakan kohesi dan kombinasi, sehingga antara satu hal dengan lainnya yang semisal menjadi seperti satu, seperti firman Allah,

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. ”(Al-Jumu’ah: 5).

Maksudnya ialah menyerupakan keadaan orang-orang Yahudi yang tidak mengetahui kandungan Taurat di tangan mereka dan ayat-ayatnya yang nyata, dengan keadaan keledai yang bodoh tentang beban yang dibawanya, berupa kitab-kitab yang tebal penuh hikmah.

Dua keadaan ini sama bagi keledai, apakah dia memikul kitab-kitab hikmah ataukah memikul beban selain kitab-kitab hikmah. Sementara dia tidak merasakan hal itu selain dari payah dan letih yang bertambah-tambah. Begitu pula firman Allah,

“Dan, berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin.”(Al-Kahfi: 45).

Dengan kata lain, minimnya kekekalan gemerlap dunia seperti minimnya kekekalan tumbuh-tumbuhan ini. Jika yang dimaksudkan adalah penyerupaan individu dengan individu tanpa memaksudkannya sebagai sebagian dengan sebagian yang lain dan menjadikannya sesuatu yang satu, maka hal ini tidak bisa diterima, karena di sini ada penggambaran keadaan orang-orang munafik dalam kesesatannya, keadaan mereka yang bingung dan kaget, lalu kebingungan dan kekalutan mereka diserupakan dengan orang yang menyalakan api di tengah kegelapan malam lalu cahayanya padam.

Begitu pula keadaan orang yang berada di bawah langit pada malam yang gelap gulita, yang disertai guruh dan kilat, yang ketakutan karena petir yang menyambar. Az-Zamakhsyary berkata, “Jika kau tanyakan, mana yang lebih mantap dari dua perumpamaan ini?" Saya jawab, yang kedua. Karena keadaan ini lebih pas untuk menggambarkan kebingungan dan kekalutan. Begitu pula orang-orang yang terlibat di dalamnya juga mengalami peningkatan dari keadaan yang mudah ke keadaan yang sulit.”

Dua perumpamaan ini mengandung banyak hikmah yang agung, di antaranya:

Pertama: Orang yang mencari penerangan dengan api berarti mencari penerangan dari cahaya yang datang dari arah selain dirinya, bukan dari dirinya sendiri.

Jika api itu lenyap, maka dia berada dalam kegelapan. Ketika orang munafik membuat pernyataan dengan lisannya tanpa disertai keyakinan dan cinta dengan hatinya serta pembenaran yang kuat, maka cahaya yang dimilikinya seperti barang pinjaman.

Kedua*: Sinar api memerlukan materi lain untuk menunjang kelangsungannya.

Materi sinar ini tak ubahnya makanan bagi hewan. Begitu pula cahaya iman yang memerlukan materi lain seperti ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, yang harus senantiasa dilaksanakan dan dijaga kelangsungannya. Jika materi iman tidak ada, maka iman itu akan padam sebagaimana api yang bisa padam karena kehilangan materinya.

Ketiga: Kegelapan itu ada dua macam: Kegelapan berkelanjutan yang sama sekali tidak ada cahayanya, dan kegelapan yang terjadi setelah ada cahaya.

Yang kedua ini terasa lebih gelap dan lebih menyiksa. Kegelapan orang munafik adalah kegelapan setelah ada sinar. Keadaannya diserupakan dengan keadaan orang yang menyalakan api, lalu dia berada dalam satu kegelapan setelah ada sinar. Sedangkan orang kafir berada dalam berbagai kegelapan dan dia sama sekali tidak bisa keluar dari sana.

Keempat: Di dalam perumpamaan ini terkandung pemberitahuan dan peringatan tentang keadaan mereka di akhirat, bahwa mereka diberi cahaya yang nyata, seperti cahaya yang diberikan kepada mereka di dunia.

Kemudian cahaya itu dipadamkan, padahal mereka sangat memerlukannya, karena tidak ada materi yang membuat cahaya itu tetap bertahan. Mereka berada dalam kegelapan di atas jembatan dan tidak bisa menyeberang. Sebab tidak mungkin seseorang dapat menyeberanginya kecuali dengan cahaya yang kuat dan yang menyertainya, hingga dia bisa melewati jembatan itu.

Cahaya itu memerlukan materi berupa ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan cahaya yang justru lebih dia butuhkan dari sebelumnya. Perumpamaan keadaan mereka di dunia mirip dengan keadaan mereka di akhirat, ketika cahaya itu dibagi-bagikan. Dari sini dapat diketahui rahasia yang terkandung di dalam firman Allah, "Dzahaba Allahu binuurihim”, dan tidak dikatakan, “Adzhaba Allahu nurahum

Jika engkau ingin mendapatkan tambahan penjelasan dan keterangan, perhatikan riwayat Muslim di dalam Shahih-nya, dari hadits Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma, ketika dia ditanya tentang saat kembali. Maka dia menjawab, “Kita datang pada hari kiamat di atas permukaan tanah yang lebih tinggi dari manusia.

Dia berkata, “Berbagai umat dipanggil dengan berhala-berhalanya dan apa yang dijadikan sesembahan. Yang awal lalu disusul berikutnya. Kemudian Rabb kita mendatangi kita setelah itu, seraya bertanya,

“Siapakah yang kalian tunggu?”

Mereka menjawab, “Kami menunggu Rabb kami.”

Dia befirman, “Aku adalah Rabb kalian.”

Mereka berkata, “Kami tetap menunggu Engkau. ”

Maka Allah menampakkan Diri di hadapan mereka sambil tersenyum. Maka Allah bertolak bersama mereka dan mereka pun mengikuti-Nya. Setiap orang di antara mereka, yang munafik maupun yang Mukmin diberi cahaya lalu mereka mengikutinya.

Di atas jembatan Jahannam ada kalalib (besi bengkok ujungnya) dan duri yang mengenai siapa pun yang dikehendaki Allah. Kemudian cahaya orang-orang munafik padam, sedangkan orang-orang Mukmin selamat.

Kelompok yang pertama selamat, yang wajah mereka seperti rembulan pada malam purnama. Mereka berjumlah tujuh puluh ribu orang tanpa dihisab. Kemudian menyusul berikutnya seperti sinar bintang di langit. Kemudian menyusul yang semisal dengan itu. Kemudian diperkenankan syafaat dan mereka pun diberi syafaat hingga siapa pun yang mengucapkan la ilaha illallah keluar dari neraka, meskipun di dalam hatinya hanya ada kebaikan seberat biji gandum. Mereka diletakkan di serambi surga. Para menghuni surga memercikkan air pada mereka.” Lalu dia menyebutkan kelanjutan hadits ini.

Perhatikan perkataan, “Maka Allah bertolak bersama mereka dan mereka pun mengikuti-Nya. Setiap orang di antara mereka, yang munafik maupun yang Mukmin diberi cahaya”.

Setelah itu perhatikan firman Allah , “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat".

Perhatikan keadaan mereka ketika cahaya dipadamkan, lalu mereka berada dalam kegelapan. Sementara orang-orang Mukmin pergi dalam cahaya iman mereka, dan mereka mengikuti Allah Azza wa Jalla. Perhatikan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Agar setiap umat mengikuti apa yang disembah. Maka setiap orang musyrik mengikuti sesembahan yang disembahnya.”

Orang yang mengesakan Allah berhak mengikuti Allah Yang Mahabenar, yang menganggap semua sesembahan selain-Nya adalah batil. Perhatikan firman Allah berikut,

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa.”(Al-Qalam: 42).

Ayat ini disebutkan dalam hadits tentang syafaat, yang juga berkait dengan masalah ini. Apa yang disebutkan di dalam hadits, “Lalu betisnya disingkap”, menjelaskan maksud betis yang disebutkan di dalam ayat ini. Kemudian perhatikan kepergian Allah dan orang-orang Mukmin yang mengikuti-Nya setelah itu. Hal ini membukakan pintu rahasia-rahasia tauhid bagimu, pemahaman Al-Qur’an dan perlakuan Allah terhadap ahli tauhid yang menyembah-Nya semata dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.

Perlakuan yang berbeda diberikan kepada orang-orang musyrik, yang setiap umat pergi bersama sesembahannya masing-masing, yang pergi ke neraka dan mereka mengikutinya. Sesembahan Yang Maha besar pergi dan diikuti para wali-Nya dan orang-orang yang menyembah-Nya. Mahasuci Allah Rabb semesta alam. Hati ahli tauhid merasa senang di dunia dan di akhirat, dan mereka berbeda dengan manusia lain dalam masalah tauhid ini, padahal mereka sangat membutuhkannya.

==bersambung==

Kelima: Perumpamaan yang pertama mengandung akibat kegelapan, yaitu berupa kesesatan dan kebingungan, kebalikan dari petunjuk. Sedangkan perumpamaan yang kedua mengandung akibat rasa takut, kebalikan dari rasa aman, tanpa rasa aman dan petunjuk. Firman Allah,

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82).

Ibnu Abbas dan lain-lainnya dari kalangan salaf berkata, “Perumpamaan diri mereka dalam kemunafikannya seperti orang yang menyalakan api pada malam yang gelap gulita di tengah padang yang luas, lalu ada sinar dan dia pun dapat melihat sekelilingnya, sehingga dia dapat menghindari apa yang ditakutkannya. Selagi dia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba api itu padam, sehingga dia dalam kegelapannya, dalam keadaan takut dan bingung. Begitu pula keadaan orang-orang munafik yang menampakkan kata-kata iman, sehingga harta dan anak-anak mereka aman, mereka dapat saling menikah dengan orang-orang Mukmin dan saling mewarisi serta membagi harta rampasan. Itulah cahaya mereka. Jika mereka meninggal dunia, mereka kembali kepada kegelapan dan ketakutan.”

Menurut Mujahid, sinar yang menimpa mereka adalah kembalinya mereka kepada orang-orang Mukmin dan petunjuk, sedangkan hilangnya cahaya mereka ialah kembalinya mereka kepada orang-orang musyrik dan kesesatan. Sinar dan hilangnya cahaya itu ditafsiri sebagai sinar dan cahaya di dunia.

Ada pula yang menafsirinya di alam Barzakh dan ada yang menafsirinya pada hari kiamat. Yang benar, hal itu terjadi di tiga alam. Karena mereka mengalaminya di dunia, maka keadaan ini berlanjut di Barzakh dan di akhirat. Itu merupakan balasan yang pas buat mereka, dan Allah tidak berbuat zhalim terhadap hamba.

Yang disebut Ma’ad ialah kembalinya apa yang dilakukan hamba di dunia kepada dirinya di akhirat, yang juga disebut Yaumul-jaza '.

“Dan, barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan telah tersesat darijalan (yang benar). ”(A1-Isra’: 72).

“Dan, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. "(Maryam: 76).

Siapa yang takut untuk mendurhakai Allah di dunia ini, maka ketakutannya kepada Allah di Barzakh dan hari kiamat lebih besar lagi. Siapa yang hatinya senang di dunia, maka hatinya pun senang pada saat meninggal, pada hari kebangkitan dan pada hari kiamat. Hamba meninggal menurut keadaan hidupnya dan dia dibangkitkan menurut keadaan saat meninggal. Amalnya akan kembali kepadanya, sehingga dia mendapatkan kenikmatan lahir dan batin, yang menghasilkan kesenangan, kegembiraan, kenikmatan, kesenangan hati dan kelapangan hidup, yang merupakan kenikmatan paling nyata dan paling baik. Adakah kenikmatan yang mengalahkan ketenangan jiwa, kesenangan hati dan kegembiraannya?

Di samping ini semua, dari amal-amalnya itu muncul apa yang diinginkan jiwanya, dan dia mendapatkan apa pun yang disenangi jiwa dan digemari hati. Jenis kesenangan, kesempurnaan dan apa yang didapatkannya, tergantung pada kesempurnaan amal dan keikhlasannya, yang pencapaiannya ke tingkat kebaikan tergantung juga daripada keragaman amal. Siapa yang memiliki keragaman amal yang dicintai dan diridhai di dunia ini, maka bagian-bagian yang dinikmatinya di akhirat juga beragam, yang banyaknya tergantung pada banyaknya amal di dunia.

Kenikmatannya tergantung pada tambahan amal dan yang diikuti di dunia ini. Allah telah menjadikan pengaruh dan balasan bagi setiap amal yang dicintai-Nya dan yang dibenci-Nya. Pengaruh dan balasannya di akhirat tidak bisa diserupakan. Karena itulah kesenangan para penghuni surga beraneka macam, dan penderitaan para penghuni neraka juga beraneka
macam.

Kebaikan dan siksaan di hari akhirat bermacam-macam. Kenikmatan yang diperoleh dari setiap sesuatu yang diridhai Allah dengan nilai satu saham dan dia mengambil satu bagian darinya, tidak sama dengan kenikmatan satu saham dan bagiannya dalam satu jenis tertentu. Namun tidak ada penderitaan dalam sesuatu yang dimurkai Allah dengan satu bagian seperti penderitaan orang yang mendapatkan satu saham dari kemurkaan Allah.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengisyaratkan bahwa kesempurnaan kenikmatan yang dirasakan hamba di akhirat tergantung pada kesempurnaan amal serupa yang dilakukan di dunia. Suatu kali beliau pernah melihat tandan yang digantung di masjid untuk shadaqah. Maka beliau bersabda,

“Orang yang memiliki tandan ini makan korma yang paling jelek di hari kiamat.”

Beliau mengabarkan bahwa balasannya adalah dari jenis amalnya. Shadaqah itu akan dibalasi dengan balasan yang sejenis, yaitu korma yang jelek. Pintu ini membuka beberapa pintu yang besar untuk memahami hari pembalasan, yang keadaan manusia saat itu berbeda-beda, begitu pula apa yang terjadi di sana. Allah befirman, “Dzahaba Allahu binuurihim ”, dan tidak dikatakan, “Binaarihim ”, api mereka, sebab api memiliki sifat membakar dan menerangi. Allah menghilangkan sifat api yang bercahaya dan menyinari dan membiarkan sifat api yang membakar dan menyiksa. Begitu pula keadaan orang-orang munafik. Cahaya iman mereka lenyap karena kemunafikan dan di dalam hati mereka tersisa panasnya kekufuran, keragu-raguan dan kebimbangan, yang menggelegak di dalam hati mereka, sebagaimana lautan hati mereka, racun dan gelombangnya yang bergolak ketika di dunia. Maka Allah mengobarkan api yang menjilatjilat pula di akhirat, yang membakar hati mereka.

Inilah perumpamaan orang yang tidak mendapat cahaya iman di dunia. Bahkan cahaya iman itu keluar dan meninggalkannya, setelah ia menyinarinya. Yang demikian itu merupakan keadaan orang munafik, yang mengetahui lalu mengingkari, yang mengakui lalu membangkang, sehingga dia berada dalam berbagai kegelapan, dalam keadaan bisu, tuli dan buta, sebagaimana firman Allah tentang saudaranya dari kalangan orang-orang kafir,

“Dan, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, bisu dan berada daiam gelap gulita. "(Al-An’am: 39).

“Dan, perumpamaan (orangyangmenyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. ” (Al-Baqarah : 171).

Allah menyerupakan keadaan orang-orang munafik tentang keluarnya mereka dari cahaya, setelah mereka disinari cahaya itu, seperti keadaan orang yang menyalakan api. Hilangnya cahaya itu setelah ia menyinari sekelilingnya. Sebab orang-orang munafik hidup di tengahtengah kaum Muslimin, shalat bersama mereka, puasa, mendengarkan Al-Qur’an, terlibat dalam pengibaran panji-panji Islam bersama mereka.

Mereka menyaksikan cahaya dengan mata kepala sendiri. Karena itu Allah befirman tentang mereka, “Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). "Sebab mereka meninggalkan Islam setelah bercampur dengannya dan mencari cahaya darinya. Mereka tidak akan kembali ke Islam.

Sementara tentang orang-orang kafir, Allah befirman, “Maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. ” Sebab mereka memang tidak memikirkan Islam, tidak masuk ke dalam Islam dan tidak mencari cahaya dengannya, sehingga mereka selalu berada dalam kegelapan-kegelapan kufur, dalam keadaan bisu, tuli dan buta.

Mahasuci Allah yang telah menjadikan kalam-Nya sebagai obat penawar bagi dada, yang menyeru kepada hakikat-hakikat iman, yang mengajak kepada kehidupan yang abadi dan kenikmatan yang kekal serta ke jalan petunjuk. Penyeru iman bisa memperdengarkan telinga yang sadar. Nasihat-nasihat Al-Qur’an bisa menyembuhkan hati yang kosong. Tapi di sana ada angin syubhat dan syahwat yang menghembus hati, sehingga pelitanya menjadi padam. Di sana ada tangan-tangan kelalaian dan kebodohan yang terjulur sehingga menutup pintu petunjuknya dan mengenyahkan kuncinya. Karena itu tidak ada gunanya perkataan di dalamnya, karena hati itu mabuk oleh syahwat kesesatan dan syubhat kebatilan.

Ia telah mati di lautan kebodohan dan kelalaian, ditawan hawa nafsu dan syahwat. Lalu apalah artinya luka bagi jasad yang sudah mati? Adapun tuli dan bisu dalam firman Allah, “Tuli, bisu dan buta ”, dan firman-Nya,

“Dan, sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. ”(Al-A’raf: 179).

Begitu pula firman-Nya,

“Dan, orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh. ”(Fushshilat: 44).

Ibnu Abbas berkata, “Artinya di telinga mereka ada sumbatan sehingga mereka tidak bisa mendengar Al-Qur’an. Al-Qur’an ini membuat mereka buta. Allah membutakan hati mereka sehingga mereka tidak bisa memahami. Mereka dipanggil dari tempat yang jauh, seperti binatang ternak yang tidak bisa memahami kecuali seruan dan panggilan.”

Menurut Mujahid, Al-Qur’an itu jauh dari hati mereka. Menurut AlFarra’, engkau bisa mengatakan kepada orang yang tidak paham, “Engkau dipanggil dari tempat yang jauh.” Masih menutut dia, disebutkan di dalam tafsir, seakan-akan mereka dipanggil dari langit, sehingga mereka tidak mendengarnya.

Maknanya, mereka tidak mendengar dan tidak paham, seperti or- ang yang dipanggil dari tempat yang jauh, yang tidak mendengar dan tidak paham.

Al-Bukm dalam firman Allah, Shummun bukmun ‘umyun”, bahwa al-bukm jama’ dari abkam, yaitu orang yang tidak bisa bicara alias bisu. Al-Bakam (kebisuan) ada dua macam: Kebisuan hati dan kebisuan lisan, sebagaimana pembicaraan juga ada dua macam: Pembicaraan hati dan pembicaraan lisan.

Yang paling parah di antara keduanya ialah kebisuan hati, sebagaimana ketulian dan kebutaan hati lebih parah daripada ketulian telinga dan kebutaan mata. Allah mensifati mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak memahami kebenaran dan lisan mereka tidak bisa mengucapkannya.

Ilmu dapat masuk dari tiga pintu: Pendengaran, penglihatan dan hati. Tiga pintu ini tertutup atas diri mereka. Pendengaran tertutup oleh ketulian, penglihatan tertutup oleh kebutaan dan hati tertutup oleh kebisuan. Yang serupa dengan keadaan ini ialah firman Allah,

“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami(ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). ”(A1-A’raf: 179).

Allah telah menghimpun tiga pintu ini dalam firman-Nya,

“Dan, Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit jua pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah. ”(A1-Ahqaf: 26).

Jika Allah menghendaki untuk memberikan petunjuk kepada se- orang hamba, maka Dia bukakan hati, pendengaran dan penglihatannya. Jika Allah menghendaki untuk menyesatkannya, maka Dia membuatnya bisu, tuli dan buta. Hanya dari Aliahlah datangnya taufiq.

Tentang firman Allah,

“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertaigelapgulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anakjarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan, Allah meliputi orang-orang kafir. ” (Al-Baqarah: 19).

Makna ash-shayyib adalah hujan yang turun dengan cepat dan deras dari langit. Ini merupakan perumpamaan Al-Qur’an, yang dengan hujan ini hati menjadi hidup, seperti air hujan yang menghidupkan tanah, tanaman dan binatang. Orang-orang Mukmin mengetahui hal ini dari Al-Qur’an, dan mereka mengetahui kehidupan yang berasal dari hujan itu dan tidak mendatangkan bahaya. Tidak ada yang menghalangi mereka untuk mengetahuinya, meskipun di dalamnya ada guruh dan kilat, yaitu peringatan dan siksaan yang disampaikan Allah kepada orang yang menyalahi perintah-Nya. Allah juga mengabarkan bahwa siksaan itu bagi orang yang mendustakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Di dalam perintah Allah juga terdapat hal-hal yang berat, seperti berperang melawan musuh dan sabar dalam urusan ini, atau ada pula perintah yang berat bagi jiwa karena harus menentang keinginan jiwanya. Hal ini seperti kegelapan, guruh dan kilat. Tapi siapa yang mengetahui tempat yang terkena hujan dan hasil di kemudian hari, yaitu berupa kehidupan, maka dia tidak akan takut meskipun ada dalam kegelapan yang disertai guruh dan kilat. Bahkan dia merasa senang dan tenang karena keadaan itu, karena dia mengharapkan kehidupan dan kesuburan di belakangnya.

Adapun orang munafik, maka hatinya buta dan pandangannya tak mampu menembus kegelapan, tidak dapat melihat kecuali kilat yang seakan menyambar pandangannya dan guruh serta kegelapan. Karena itu dia merasa takut dalam keadaan seperti itu, sambil menutupkan jari tangan di kedua telinganya, agar dia tidak bisa mendengar suara guruh. Dia gemetar ketika melihat kilat dan kilaunya. Dia takut kalau-kalau kilat itu menyambar pandangannya. Sebab pandangannya terlalu lemah untuk bertahan dengan kilauan kilat. Ketika mendengar suara guruh yang bergemuruh itu dia berada dalam kegelapan, lalu melihat kilat yang menyambar. Jika ada kilat yang menerangi sekitarnya, maka dia berjalan di bawah cahayanya. Jika cahayanya hilang, maka dia berdiri dalam keadaan bingung, tidak tahu ke arah mana dia harus beranjak. Karena kebodohannya, dia tidak tahu bahwa hal itu merupakan kelaziman dari hujan, yang sebenarnya hujan ini merupakan kehidupan bagi bumi dan tanaman, bahkan bagi kehidupan dirinya sendiri.

Dia tidak tahu selain dari guruh, kilat dan kegelapan. Dia tidak mempunyai perasaan apa pun di balik semua itu. Maka tidak heran jika ketakutan menghantuinya, gemetar dan kalut. Tapi bagi orang yang sudah biasa dengan hujan dan mengetahui kebaikan, kehidupan dan manfaat di balik hujan, mengetahui bahwa hujan itu tentu disertai guruh, kilat dan kegelapan karena awan, tentu dia akan biasa-biasa saja dan tidak takut serta tidak ada yang menghalanginya untuk mengambil bagian dari hujan itu. Ini merupakan perumpamaan yang pas bagi hujan yang diturunkan Jibril dari sisi Allah ke dalam hati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, untuk menghidupi seluruh hati dan alam.

Telah ditetapkan hikmah Allah untuk menyertakan awan, guruh dan kilat dengan hujan yang menurunkan air. Ini merupakan hikmah yang tinggi dan sebab yang besar, yang telah diatur sedemikian rupa oleh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sementara bagian orang munafik dari hujan itu adalah guruh dan kilatnya saja. Dia tidak mengetahui apa di balik hujan itu, sehingga dia takut terhadap sesuatu yang justru didapatkan orang-orang Muslim, dia gemetar oleh sesuatu yang justru membuat orang-orang yang berilmu merasa tenang, dia ragu-ragu terhadap sesuatu yang membuat orang-orang yang memiliki ma’rifat merasa yakin.

Pandangan orang munafik dalam perumpamaan yang berunsur api seperti pandangan kelelawar di siang hari bolong. Sementara pendengarannya dalam perumpamaan yang berunsur air seperti orang yang meninggal karena mendengar suara guruh. Dikisahkan ada sebagian binatang yang mati karena mendengar suara guruh. Jika akal, pendengaran dan penglihatan ini bertemu dengan syubhat syetan, hayalan yang rusak dan anggapan-anggapan dusta, maka syubhat dan hayalan hayalan itu akan berputar-putar di dalam dirinya, berdiri dan duduk, menguasai seluruh sisinya, banyak bisikan yang menghantui pendengarannya.

Ternyata, banyak juga orang yang memenuhi seruannya, melaksanakan panggilannya, berperang di bawah benderanya dan memperbanyak kelompoknya. Karena cobaan dan bencana yang diakibatkan orang-orang munafik sudah menyebar dan banyak hati yang terasuki bisikan mereka, maka Allah menyibak tabir mereka di dalam Al-Qur’an secara nyata, menjelaskan tanda-tanda, perbuatan dan perkataan mereka. Allah seringkah menyatakan, “Di antara mereka, di antara mereka, di antara mereka”, hingga urusan mereka benar-benar tersingkap, rahasia mereka terkuak dan hakikat mereka tersebar.

Balasan bagi Orang-orang Yang Beriman

Allah befirman,

“Dan, sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang berimandan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, ‘Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu ’. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. ”(Al-Baqarah: 25).

Perhatikan kemuliaan pemberi berita gembira, kedudukan, kebenaran dan keagungannya, serta keagungan Dzat yang mengutusnya kepadamu dengan membawa berita gembira ini, yang menjaminnya bagimu, yang menjadikannya sesuatu yang amat mudah dan sederhana bagimu.

Dalam berita gembira ini Allah menghimpun antara kenikmatan badan berupa surga dan isinya yang berupa sungai dan buah-buahan, dengan kenikmatan jiwa berupa istri-istri yang suci dan kenikmatan hati serta kesenangan karena mengetahui kekekalan kehidupan ini dan yang tidak akan terputus. Al-Azwajjama’ dari zauj (pasangan, istri).

Wanita adalah zauj bagi laki-laki, dan laki-laki merupakan zauj bagi wanita. Inilah bahasa yang paling fasih, merupakan bahasa Quraisy. Al-Qur’an turun juga dengan menggunakan kata ini, seperti firman-Nya,

“Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini.” (Al-Baqarah: 35).

Di antara orang Arab ada juga yang mengatakan zaujah. Tapi bentuk kata ini jarang dipakai dan bahkan mereka hampir tidak pernah menggunakannya dalam percakapan. Tentang kata al-muthahharah, meskipun menunjukkan sifat untuk satu, tapi sebenarnya ia menunjukkan sifat untuk banyak atau untuk kelompok, seperti firman Allah, "Wa masaakin thayyibah”, tempat tinggal-tempat tinggal yang baik, atau seperti perkataan mereka, “Kekuatan-kekuatan yang nyata.”

Al-Muthahharah, yang suci ialah yang suci dari haid, air besar, air kecil, nifas, ludah dan segala kotoran yang keluar dari badan atau gangguan yang dialami wanita di dunia. Termasuk pula suci batinnya dari akhlak yang buruk dan sifat yang tercela. Lisannya juga suci dari ucapan yang tak senonoh dan jorok, tidak tertarik kepada selain suaminya, suci pakaiannya dari kotoran dan najis.

Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Kami diberitahu Syu’bah, dari Qatadah, dari Abu Nadhrah, dari Abu Sa’id, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, tentang firman Allah,

“Di dalamnya ada istri-istri yang suci”, beliau bersabda, “Dari haid, air besar, dahak dan ludah.”

Menurut Abdullah bin Mas’ud, suci artinya tidak haid, tidak berhadats dan tidak pula najis. Menurut Ibnu Abbas, suci dari kotoran dan penyakit, mereka tidak buang air kecil dan air besar, tidak mengeluarkan madzi dan mani, tidak haid, tidak meludah, tidak berdahak dan tidak melahirkan.

Menurut Qatadah, suci dari dosa dan penyakit. Allah mensucikan mereka dari segala air kecil dan besar, kotoran dan dosa. Menurut Abdurrahman bin Zaid, suci artinya tidak haid. Sementara istri di dunia tidak suci. Bukankah mereka mengeluarkan darah, meninggalkan shalat dan puasa? Begitu pula penciptaan Hawa’, sehingga dia durhaka. Ketika Hawa’ durhaka, Allah befirman kepadanya,

“Sesungguhnya Aku menciptakanmu dan Aku membuatmu mengalirkan darah, sebagaimana Aku membuat pohon ini mengalirkan getah.” Firman Allah,

“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui". (Al-Baqarah: 30).

Allah mengetahui apa yang bersemayam di dalam hati Iblis, berupa kufur, takabur dan kedengkian, yang tidak diketahui para malaikat. Ketika Allah memerintahkan mereka bersujud, maka tampaklah apa yang ada di dalam hati para malaikat, berupa ketaatan, cinta, rasa takut dan ketundukan. Maka mereka pun langsung melaksanakan perintah itu. Tampak pula apa yang ada di dalam hati musuh-Nya, berupa takabur, kedustaan dan kedengkian. Dia enggan dan sombong, dan dia termasuk orang-orang yang kafir.

Seperti yang sudah disinggung di atas, al-azwa jama’ dari zauj. Ada pula yang menyebut zaujah. Yang pertama yang lebih pas dan ini pula yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti yang difirmankan Allah kepada Adam dan juga tentang Nabi Zakaria. Yang menguatkan kata zaujah ialah perkataan Ibnu Abbas tentang Aisyah Radhiyallahu Anha,

“Sesungguhnya dia adalah istri nabi kalian di dunia dan akhirat.”

Al-Farazdaq berkata di dalam syairnya,

Orang yang benar-benar ingin merusak istriku
seperti orang yang merangkaki jalan bukit yang berliku

Bentuk jama’nya adalah 'zaujaat; yang berarti zaujah. Sebab jama’ zauj adalah azwaj. Firman Allah,

"Mereka dan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.”(Yasin: 56).

‘Masuklah kalian ke dalam surga, kalian dan istri-istri kalian digembirakan.” (Az-Zukhruf: 70).

Di dalam Al-Qur’an disebutkan pengabaran tentang orang-orang yang beriman, dengan lafazh zauj, tunggal maupun jama’, seperti yang sudah disebutkan dan firman-Nya berikut,

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6).

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu…” (Al-Ahzab: 28).

Adapun pengabaran tentang orang-orang musyrik disebutkan dengan lafazh al-mar’ah (wanita). Firman Allah tentang Abu Lahab dan istrinya,

"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. ”(Al-Lahab: 4).

Firman Allah tentang Fir’aun,

"Dan, Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman. ”(At-Tahrim: 11).

Karena Fir’aun orang musyrik dan istrinya wanita yang beriman, maka Allah tidak menyebutkan dengan lafazh zauj, istri bagi Fir’aun. Begitu pula firman Allah tentang istri Nuh dan Luth,

“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. ”(At-Tahrim: 10).

Karena istri Nuh dan Luth merupakan dua wanita musyrik, maka digunakan lafazh al-mar’ah bagi mereka. Sementara untuk istri Adam, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan orang-orang Mukmin digunakan kata zauj.

Segolongan orang, di antaranya As-Suhaily dan lain-lainnya berpendapat, Allah tidak menyatakannya bagi istri-istri itu, karena istri-istri itu bukan merupakan istri bagi suami-suami mereka di akhirat. Sebab pernikahan merupakan pelaksanaan yang berdasarkan syariat dan termasuk urusan agama.

Wanita kafir harus dipisahkan dari suami Mukmin, sebagaimana istri Nuh dan Luth yang dipisahkan dari Nuh dan Luth. Kemudian As-Suhaily menyebutkan perkataan Zakaria yang melemahkan pendapat ini,

“Sedang istriku adalah seorang yang mandul. ”(Maryam: 5).

Begitu pula firman Allah tentang Ibrahim,

“Kemudian istrinya datang memekik… ”(Adz-Dzariyat: 29).

Dia (As-Suhaily) menjawabnya sendiri, bahwa penyebutan imra’ah lebih pas untuk masalah ini, sebab permasalahannya berkaitan dengan penyebutan kehamilan dan kelahiran. Maka dengan disebutkannya lafazh imra’ah menjadi lebih pas. Sebab sifat kewanitaan merupakan kelaziman bagi kehamilan dan kelahiran, bukan karena statusnya sebagai istri.

Kami katakan, ada yang berpendapat, bahwa rahasia penyebutan orang-orang Mukmin dan istri-istri mereka dengan lafazh zauj karena lafazh ini mengindikasikan keserupaan, kebersamaan dan kesetaraan, seperti yang bisa dipahami dari ungkapan “Lebih pas” . Sebab yang disebut zaujain (sepasangan) merupakan dua hal yang serupa, sebentuk dan mirip. Maka firman Allah,

“(Kepada malaikat diperintahkan), Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman sejawat mereka. "(Ash-Shaffat: 22).

Menurut Umar bin Al-Khaththab, makna kata azwajd dalam ayat ini ialah yang serupa dan yang mirip dengan mereka. Makna ini pula yang dinyatakan Al-Imam Ahmad. Firman Allah lain yang senada dengan ini,

“Dan, apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh). ”(At-Takwir:7).

Artinya disandingkan antara setiap bentuk dengan bentuk yang sama dalam nikmat dan adzab. Menurut Umar bin Al-Khaththab tentang ayat ini, orang yang shalih dipertemukan dengan orang yang shalih pula di surga, dan orang yang jahat dipertemukan dengan orang yang jahat pula di neraka. Ini juga merupakan pendapat Al-Hasan, Qatadah dan ulama lainnya. Ada yang berpendapat, roh orang-orang Mukmin dipertemukan dengan para bidadari yang bermata jeli, dan roh orang-orang kafir dipertemukan dengan syetan-syetan.

Pendapat ini juga dikembalikan ke pendapat yang pertama. Tentang firman Allah,

“Delapan binatangy ang berpasangan”. (Al-An’am: 142), ditafsiri dengan kelanjutannya, “Sepasang dari domba dan sepasang dari kambing… dan sepasang dari onta dan sepasang dari lembu.”(Al-An’am: 142-143).

Allah menjadikan zaujain merupakan dua individu dari satu jenis. Yang senada dengan hal ini ialah perkataan manusia, “Sepasang sandal dan sepasang merpati.” Tidak dapat diragukan bahwa
Allah memotong keserupaan dan kesamaan antara orang-orang kafir dan orang-orang Mukmin. Firman-Nya,

“Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga. ”(Al-Hasyr: 20).

Firman Allah tentang Ahli Kitab yang Mukmin dan kafir,

“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat). ” (Ali Imran:113).

Allah memotong kebersamaan di antara keduanya dalam hukum-hukum dunia, sehingga mereka tidak bisa saling mewarisi dan menikah, yang satu tidak bisa menolong yang satunya lagi. Karena hubungan diantara keduanya sudah putus dalam makna, maka juga harus ada pemutusan dalam sebutan.

Allah menyertakan lafazh al-mar’ah kepada keduanya yang menunjukkan kewanitaan secara murni, tanpa ada keserupaan dan kesamaan. Jika engkau memperhatikan makna ini, tentu engkau akan mendapatkan kesesuaian sekian banyak lafazh di dalam Al-Qur’an dan maknamaknanya. Karena itu lafazh al-mar’ah bisa berlaku untuk wanita yang menjadi istri orang kafir dan wanita kafir yang menjadi istri orang Mukmin, dan bukan lafazh zaujah, sebagai pengejawantahan dari makna ini.

Makna ini lebih pas daripada perkataan orang yang menyatakan, “Istri Abu Lahab disebut dengan lafazh imra ’atuhu, dan tidak disebut zaujatuhu. Sebab pernikahan orang-orang kafir yang dikukuhkan hukum yang benar, berbeda dengan pernikahan orang-orang Muslim.

Berarti pendapat ini batil untuk sebutan al-mar’ah bagi istri Nuh dan istri Luth, karena pernikahan keduanya sah. Perhatikan makna ini dalam ayat tentang waris-mewarisi dan penyebutan yang digunakan Allah dengan lafazh zaujah dan bukan 'al-mar’ah, seperti dalam firman-Nya,

“Dan, bagi kalian (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian.”(An-Nisa’: 12).

Ini merupakan pemberitahuan bahwa pewarisan ini terjadi karena ada pernikahan yang mengharuskan adanya kesesuaian dan kesamaan. Sementara orang Mukmin dan orang kafir tidak memiliki kesamaan dan kesesuaian, sehingga di antara keduanya tidak boleh ada waris-mewarisi. Rahasia kosa kata Al-Qur’an dan susunan kalimatnya jauh lebih unggul dari akal orang-orang yang pandai sekalipun.

Diperuntukkan bagi Siapakah Perintah Turun dari Surga?

Firman Allah,

“Kami befirman, ‘Turunlah kalian semua dari surga itu!’” (Al-Baqarah: 38).

Az-Zamakhsyary beranggapan bahwa perintah turun dari surga ini diperuntukkan bagi Adam dan Hawa’ secara khusus. Allah mengungkap keduanya dengan bentuk jama’, karena keduanya diikuti oleh anak keturunannya. Menurut pendapatnya, dalil yang menguatkan hal ini adalah firman Allah,

“Allah befirman, 'Turunlah kamu berdua dari surga itu bersama-sama, sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain” (Thaha: 123).

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Adapun orang-orangyang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. ’’ (Al-Baqarah: 38-39).

Padahal ini merupakan hukum yang berlaku secara umum untuk semua manusia. Sedangkan makna “Sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain”, merupakan kebiasaan manusia yang saling bermusuhan dan yang sebagian suka menyesatkan sebagian yang lain.

Pendapat yang dipilih Az-Zamakhsyary ini merupakan satu dari sekian banyak pendapat yang paling lemah. Pemusuhan yang disebutkan Allah di sini adalah antara Adam dan Iblis serta keturunan di antara keduanya, sebagaimana firman-Nya,

“Sesungguhnya syetan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian)." (Fathir:6).

Allah menegaskan masalah permusuhan antara syetan dengan manusia ini dan mengulang-ulang penyebutannya di dalam Al-Qur’an, karena memang manusia sangat perlu mewaspadai musuh yang satu ini. Adapun tentang istri Adam, ia diciptakan bagi Adam agar merasa senang kepadanya, lalu menjadikan rasa kasih dan sayang di antara keduanya. Jadi rasa kasih dan sayang itu antara laki-laki dan wanita, sedangkan permusuhan antara syetan dan manusia. Sebelumnya sudah disebutkan Adam, istrinya dan Iblis, yang berarti berjumlah tiga orang. Lalu mengapa kata ganti hanya kembali kepada sebagian yang sudah disebutkan ini, dengan pemisahan jalan pernyataan dan tidak menyatukannya?

Padahal lafazh dan maknanya mengharuskan penyatuan. Berarti Az-Zamakhsyary belum berbuat apa-apa. Tentang firman Allah di dalam surat Thaha: 123,

“Allah befirman, ‘Turunlah kamu berdua dari surga itu bersama-sama, sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain ",

ini merupakan seruan yang ditujukan kepada Adam dan Hawa’ , dan Allah menjadikan sebagian mereka sebagai musuh bagi sebagian yang lain. Kata ganti dalam firman-Nya, “Turunlah kamu berdua dari surga itu”, bisa kembali kepada Adam dan istrinya, atau kepada Adam dan Iblis. Istri tidak disebutkan karena ia mengikuti suami.

Atas dasar ini, permusuhan yang disebutkan kepada dua orang yang diseru agar turun ialah Adam dan Iblis. Dengan begitu masalah ini menjadi jelas. Berdasarkan pendapat yang pertama, yaitu seruan yang kembali kepada Adam dan istrinya, karena ayat ini mengandung dua hal:

  1. Perintah Allah kepada Adam dan istrinya agar turun.
  2. Pengabaran Allah tentang permusuhan antara Adam dan istrinya dengan Iblis.

Karena itulah disebutkan kata ganti jama’ untuk pendapat yang kedua tanpa yang pertama. Iblis harus masuk dalam hukum permusuhan ini secara pasti, seperti firman-Nya,

“Sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu.” (Thaha: 117).

Sementara firman Allah kepada anak keturunannya,

“Sesungguhnya syetan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian). " (Fathir:6).

Perhatikan bagaimana beberapa masalah yang di dalamnya disebutkan dengan kata ganti jama’, yang sesuai dengan kata ganti jama’ dan bukan tatsniyah (jumlah ganda). Adapun tentang turun, terkadang disebutkan dengan lafazh jama’, terkadang disebutkan dengan lafazh tatsniyah, dan terkadang dengan lafazh tunggal, seperti firman-Nya, “Turunlah kamu dari surga itu! ”Yang ditujukan kepada Iblis semata. Jika disebutkan dengan lafazh jama’, berarti ditujukan kepada Adam, istrinya dan Iblis. Sebab kisahnya berkisar pada diri mereka.

Jika disebutkan dengan lafazh tatsniyah, berarti boleh jadi ditujukan kepada Adam dan istrinya, karena keduanyalah yang memakan dari pohon dan yang melakukan kedurhakaan, dan boleh jadi ditujukan kepada Adam dan Iblis, karena keduanya merupakan ayah dari dua jenis penghuni dunia dan asal-usul keturunan.

Keadaan dan kesudahan keduanya diceritakan, agar dapat menjadi pelajaran bagi anak keturunannya. Ada yang menjelaskan bahwa kata ganti dalam firman Allah, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama ”, ditujukan kepada Adam dan Iblis, bahwa ketika Allah menyebutkan kedurhakaan, maka kedurhakaan itu hanya dilakukan Adam secara sendiri tanpa keterlibatan istrinya. Firman Allah,

“Dan, durhakalah Adam kepada Rabbnya dan sesatlah ia. Kemudian Rabbnya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. Allah befirman, ‘Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama’. "(Thaha: 121-123).

Hal ini menunjukkan bahwa yang diseru untuk turun adalah Adam dan Iblis, yang juga digambarkan sebagai pelaku kedurhakaan. Sedangkan istri hanya mengikuti. Maksudnya ialah pengabaran Allah kepada penghuni dunia tentang apa yang terjadi pada ayah mereka, yang durhaka dan menyalahi perintah.

Penyebutan dua ayah ini lebih mengena maknanya daripada penyebutkan ayah manusia saja. Allah juga mengabarkan bahwa istri makan bersama Adam. Allah juga mengabarkan bahwa Dia menurunkan Adam dan mengeluarkannya dari surga, karena perbuatannya yang makan dari pohon.

Dengan begitu dapat diketahui bahwa hukum bagi istri juga sama dan dia juga harus menanggung resiko seperti yang ditanggung Adam. Maka perhatian terhadap penyebutan keadaan dua ayah, lebih mengena daripada penyebutan satu manusia dan ibunya. Perhatikanlah baik-baik hal ini.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa firman Allah, Turunlah kalian, sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain”, sudah jelas bentuk jama’nya, sehingga tidak perlu ditakwili untuk dua orang seperti firman-Nya, “Turunlah Kamu berdua ".

Hati Orang-orang Yahudi Yang Tertutup

Firman Allah,

“Dan, mereka berkata, ‘Hati kami tertutup’. Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka. ”(A1-Baqarah:88).

Ada perbedaan pendapat tentang firman Allah, “Hati kami tertutup ”. Ada yang berpendapat, hati kami merupakan bejana untuk hikmah dan ilmu. Lalu ada apa dengannya sehingga ia tidak bisa memahami apa yang engkau sampaikan atau tidak membutuhkanmu? Atas dasar pengertian inilah disebut ghulf, jama’ dari ghilaaf.

Yang benar adalah pendapat mayoritas mufasir, bahwa artinya hati kami tidak bisa memahaminya dan tidak bisa memahami apa yang dikatakannya. Bentuk sejenis ialah aghlaf seperti ahmar dan humur. Menurut Abu Ubaidah, segala sesuatu yang berada dalam tutupan disebut aghlaf, seperti perkataan saifun aghlaf (pedang yang disarungkan), Ajausun aghlaf (busur panah yang dibungkus) dan rajulun aghlaf (pria yang tidak dikhitan).

Menurut Ibnu Abbas dan Qatadah, artinya di atas hati kami ada tutupan, yang berarti ia berada di dalam bejana, sehingga tidak bisa mengetahui dan memahami apa yang dikatakannya. Inilah yang benar tentang makna ayat ini. Bentuk sejenis seringkali diulang di dalam Al-Qur’an, seperti firman-Nya di dalam surat Fushshilat:5, “Qulubunaa fi akinnatin” (hati kami berada dalam tutupan).

Firman-Nya yang lain,

“Yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku. ’(Al-Kahfi: 101).

Tentang pendapat orang yang mengatakan, “Hati kami merupakan bejana untuk hikmah dan ilmu”, di dalam lafazh ini tidak ada sesuatu yang menunjukkan kepada makna ini sama sekali, dan di dalam Al-Qur’an juga tidak ada padanan yang menjurus kepada makna ini. Lafazh seperti ini tidak bisa dinyatakan untuk memuji seseorang karena ilmu dan hikmah.

Di mana kalian bisa mendapatkan pengertian seperti ini dari perkataan seseorang, “Hatiku tertutup dan hati orang-orang Mukmin di seluruh dunia tertutup", yang berarti hati mereka merupakan bejana untuk ilmu?

Al-Ghilaaf bisa berarti bejana untuk sesuatu yang baik dan buruk. Tapi tidak mesti keberadaan hati sebagai bejana, sehingga di dalamnya ada ilmu dan hikmah. Hal ini sudah jelas.

Apabila ada yang bertanya, “Apa makna penggunaan kata bal (tetapi) untuk pernyataan ini yang kalian kukuhkan itu? Untuk pendapat yang terakhir, permasalahannya sudah jelas. Artinya, hati kalian bukan merupakan tempat untuk ilmu dan hikmah, tapi hati itu tertutup.”

Dapat dijawab sebagai berikut: Sebenarnya penggunaan kata ini sudah jelas. Mereka berhujjah bahwa Allah tidak membuka jalan bagi mereka untuk memahami dan mengetahui apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tapi menjadikan hati mereka masuk dalam tutupan sehingga tidak bisa memahaminya.

Bagaimana hal ini justru menjadi hujjah yang memberatkan mereka? Seakan-akan mereka sudah mengaku bahwa hati mereka diciptakan dalam tutupan, sehingga mereka merasa punya alasan untuk tidak beriman. Maka hal ini didustakan Allah dengan firman-Nya, “Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka"

Di ayat lain disebutkan,

“Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya. ”(An-Nisa’: 155).

Allah mengabarkan bahwa penguncian dan penyingkirannya dari taufiq serta karunia Allah terjadi karena kekufuran mereka, yang kekufuran itulah yang mereka pilih untuk dirinya sendiri dan yang lebih mereka pentingkan daripada iman. Maka Allah menyiksa mereka dengan penguncian dan laknat.

Artinya, Allah tidak menciptakan hati mereka tertutup, yang tidak bisa mengetahui dan memahami, kemudian memerintahkan mereka untuk beriman dan mereka tidak memahaminya. Tapi mereka sendiri yang melakukan amalan, sehingga hati mereka dikunci mati dan ditutup.

Makna Menginginkan Kematian

Firman Allah tentang orang-orang Yahudi,

“Maka inginilah kematianjika kalian memang benar. ”(Al-Baqarah:94).

Ada pernyataan yang sudah terkenal di kalangan manusia tentang ayat ini. Menurut mereka, bahwa ayat ini merupakan mukjizat bagi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk menohok orang-orang Yahudi, yang menyeru agar mereka menginginkan kematian. Sementara beliau mengabarkan bahwa sebenarnya mereka tidak menginginkannya sama sekali.

Ini termasuk salah satu dari tanda-tanda nubuwah beliau. Sebab tidak ada orang yang bisa mengetahui apa yang bersemayam di dalam hati kecuali ada pengabaran dari Dzat yang mengetahui hal gaib. Ada pula yang berpendapat, ketika orang-orang Yahudi membual bahwa mereka mempunyai kampung akhirat di sisi Allah, yang khusus bagi mereka sendiri, bukan untuk orang lain, bahwa mereka adalah anak-anak Allah, orang-orang dicintai-Nya dan yang dimuliakan-Nya, maka Allah mendustakan bualan mereka, seraya befirman,

“Jika memang kalian orang-orang yang benar, maka inginilah kematian, agar kalian masuk surga, tempat yang penuh kenikmatan.”

Sebab seorang kekasih tentu ingin bertemu orang yang dicintainya. Kemudian Allah mengabarkan bahwa sebenarnya mereka sama sekali tidak menginginkan kematian itu, karena dosa dan kesalahan mereka yang bertumpuk-tumpuk, sehingga menjadi penghalang antara diri mereka dengan apa yang mereka katakan. Maka firman Allah,

“Dan, sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). ”(Al-Baqarah: 95).

Ada pula yang berpendapat, di antaranya Muhammad bin Ishaq dan lain-lainnya, bahwa ini termasuk ayat mubahalah. Saat mereka ingkar, menolak petunjuk langsung di depan mata dan menyembunyikan kebenaran, maka beliau mengajak mereka melakukan sesuatu yang dapat menuntaskan masalah antara mereka dengan beliau. Caranya, mereka berdoa agar kematian ditimpakan kepada pihak yang berdusta dan yang membual. Tamanny di sini berarti memohon dan berdoa. Fatamannau al-mauta artinya mintalah kematian dan berdoalah agar kematian itu ditimpakan kepada orang yang berdusta dan batil.

Berdasarkan pengertian ini, yang dimaksudkan bukan menginginkan kematian bagi diri kalian sendiri, seperti yang dikatakan dua golongan yang pertama. Tapi mintalah kematian dan inginilah ia bagi pihak yang batil. Hal ini lebih pas untuk menegakkan hujjah, merupakan penjelasan yang adil dan lebih bisa menghindari serangan balik dari mereka dengan berkata, “Kalian juga harus menginginkan kematian itu kalau memang kalian benar dalam dakwaan kalian, bahwa kalian adalah para penghuni surga, untuk mendapatkan pahala Allah dan kemuliaan-Nya.”

Sebab mereka adalah orang yang paling gencar untuk menentang kebenaran. Meskipun mereka memahami apa yang disebutkan itu, toh mereka tetap mengingkarinya. Di samping itu, kita juga menyaksikan banyak di antara mereka yang benar-benar menginginkan kematian karena kemiskinan atau karena musibah yang menimpa serta kondisi hidupnya yang sulit. Dalam keadaan seperti ini mereka benar-benar mengharapkan kematian.

Hal ini berbeda dengan harapan dan doa para pendusta, yang tidak akan dilakukan dan sama sekali tidak pernah terjadi pada masa kehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena mereka tahu persis kebenaran nubuwah beliau dan kekufuran mereka kepada beliau karena kedengkian dan kesesatan. Mereka tidak mengharapkan kematian karena merekasadar bahwa mereka adalah para pendusta. Pendapat ini pula yang kami pilih. Namun Allahlah yang lebih tahu tentang apa yang disebutkan di dalam Kitab-Nya.

Serupa dalam Iman

Firman Allah,

"Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya. …”(Al-Baqarah: 137).

Padahal iman mereka tidak bisa diserupakan. Maka bagaimana hal ini? Jawabannya bisa dari beberapa sisi:

  1. Maksudnya adalah celaan. Dengan kata lain, mereka telah mendapatkan agama lain yang serupa, dan ini adalah tidak mungkin.
  2. Kata mitsli di sini berarti hubungan.
  3. Kalian beriman kepada Al-Furqan tanpa memutar balik dan mengubah. Jika mereka beriman kepada Taurat tanpa memutar balik dan tidak mengubahnya, berarti mereka mendapat petunjuk.
  4. Maksudnya, jika mereka beriman seperti iman kalian, tentu mereka akan menjadi orang-orang Mukmin.

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah kalau memang mereka beriman seperti kalian telah beriman kepada-Nya’.”

Abdul-Jabbar berkata, “Tidak boleh meninggalkan bacaan yang sudah mutawatir.”

Tandingan-tandingan Selain Allah

Firman Allah,

“Dan, di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (Al-Baqarah: 165).

Allah mengabarkan bahwa siapa yang mencintai sesuatu selain Allah sebagaimana cintanya kepada Allah, maka dia termasuk orang-orang yang mengambil tandingan-tandingan selain Allah.

Ini merupakan tandingan dalam cinta, bukan dalam penciptaan dan Rububiyah. Sebab tak seorang pun dari penghuni bumi yang bisa dikukuhkan sebagai tandingan dalam hal ini. Berbeda dengan tandingan dalam cinta. Mayoritas penghuni bumi telah mengambil tandingan selain Allah dalam cinta dan pengagungan.

Kemudian Allah befirman,

“Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. ” (Al-Baqarah: 165).

Untuk mengukur ayat ini ada dua pendapat:

  1. Orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah daripada cinta orang-orang yang mengambil tandingan terhadap tandingan-tandingannya, begitu pula cinta mereka kepada sesembahannya dan pengagungan mereka kepada selain Allah.
  2. Orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah daripada cinta orang-orang musyrik kepada tandingan-tandingan Allah. Sebab cinta orang-orang Mukmin merupakan cinta yang tulus, sedangkan cinta orang-orang yang menyembah tandingan bisa lenyap karena lenyapnya sebagian tandingan itu. Cinta yang tulus lebih kuat daripada cinta yang bersekutu.

Dua pendapat ini merupakan dua tingkatan di atas dua pernyataan di dalam firman Allah, “Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah’’. Dalam hal ini ada dua pendapat pula:

  1. Mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Berarti Allah menetapkan cinta kepada Allah pada diri mereka, tapi itu merupakan cinta, yang karenanya mereka menyekutukan tandingan-tandingan beserta Allah.

  2. Maknanya, mereka mencintai tandingan-tandingan mereka sebagaimana orang-orang Mukmin mencintai Allah. Kemudian Allah menjelaskan bahwa cinta orang-orang Mukmin kepada Allah lebih kuat daripada cinta para penyembah tandingan kepada tandingan-tandingannya.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah lebih menguatkan pendapat pertama, seraya berkata, “Mereka dicela karena mereka menyekutukan antara Allah dengan tandingan-tandingan mereka dalam cinta dan tidak memurnikannya bagi Allah, seperti cinta orang-orang Mukmin kepada- Nya.

Persamaan yang disebutkan di dalam firman-Nya ini merupakan hikayah tentang diri mereka. Ketika berada di neraka, mereka berkata kepada sesembahan dan tandingan-tandingannya, saat mereka semua dihadirkan di dalam siksa,

“Demi Allah, sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kalian dengan Rabb semesta alam.” (Asy-Syu’ara’: 97-98).

Sebagaimana yang sudah diketahui, mereka tidak bisa menyamakan sesembahan-sesembahan itu dengan Rabb semesta alam dalam penciptaan dan Rububiyah, tapi mereka menyamakannya dalam cinta dan pengagungan.

Keadaan hati orang Mukmin adalah pengesaan Allah dan mengingat Rasul-Nya. Dua perkara ini tertulis di dalam hatinya, yang tidak bisa dihapus dan dienyahkan. Karena senantiasa mengingat sesuatu bisa memupuk kekekalan cinta dan melupakannya merupakan sebab hilangnya cinta atau melemahkannya, maka Aliahlah yang paling berhak mendapatkan puncak cinta dan pengagungan dari hamba-hamba-Nya.

Bahkan syirik yang tidak akan diampuni Allah bagi hamba-Nya ialah syirik dalam cinta dan pengagungan kepada-Nya, di mana dia mencintai selain Allah dan mengagungkan makhluk-makhluk selain-Nya, sebagaimana dia mencintai Allah dan mengagungkan-Nya. Firman Allah,

“Dan, di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. ”(A1-Baqarah: 165).

Allah mengabarkan bahwa orang musyrik sangat mencintai tandingan sebagaimana dia mencintai Allah. Sementara orang Mukmin lebih mencintai Allah daripada segala apa pun. Sementara para penghuni neraka berkata ketika mereka berada di neraka,

“Demi Allah, sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kalian dengan Rabb semesta alam. ”(Asy-Syu’ara’: 97-98).

Sebagaimana yang diketahui, mereka menyamakan Allah dengan tandingan-tandingan itu dalam cinta, penyembahan dan penuhanan. Jika tidak, maka seseorang tidak akan berkata, “Berhala atau selainnya dari berbagai tandingan sama dengan Allah Rabb semesta alam dalam sifat dan perbuatannya, dalam penciptaan langit dan bumi, juga dalam penciptaan penyembahnya.”

Jadi penyamaan ini dalam cinta dan penyembahan. Orang yang paling sesat dan yang paling buruk keadaannya di antara mereka ialah yang menyamakan segala sesuatu dengan Allah dalam wujudnya, dan menjadikan Allah sebagai wujud segala sesuatu yang wujud, baik yang sempurna maupun yang kurang.

Jika Allah telah memutuskan kesesatan dan kesengsaraan bagi orang yang menyamakan antara Dia dengan berhala-berhala dalam cinta, dengan disertai keyakinan adanya perbedaan antara Allah dengan makhluk-Nya dalam dzat, sifat dan perbuatan, maka bagaimana dengan orang yang menyamakan Allah dengan segala wujud dalam hal-hal itu?

Bahkan bagaimana dengan orang yang menjadikan Rabb-nya adalah segala wujud ini? Orang yang menyembah batu atau pohon atau hewan beranggapan bahwa dia tidak menyembah selain Allah dalam setiap apa pun yang disembah.

Perumpamaan Orang-orang Kafir

Firman Allah,

“Dan, perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. ”(Al-Baqarah: 171).

Perumpamaan ini meliputi naa ’iq, orang yang memanggildomba atau binatang lainnya, dan man’uuq bihi, binatang yang dipanggil. Ada yang berpendapat, an-naa ’iq ialah orang yang memanggil berhala. Sedangkan berhala adalah al-man ’uuq bihi yang dipanggil.

Keadaan orang kafir ketika memanggil seperti keadaan orang yang memanggil sesuatu yang tidak dapat mendengar. Ini pendapat satu golongan, di antaranya Abdurrahman bin Zaid dan lainnya. Pengarang Al-Kasysyaf dan segolongan orang yang sependapat dengannya menganggap musykil pendapat ini. Firman Allah, “Tidak mendengar selain panggilan dan seruan”, tidak menolong pendapat mereka. Sebab berhala tidak bisa mendengar panggilan dan seruan.

Tentang anggapan adanya kemusykilan ini dapat ditanggapi dengan tiga macam jawaban:

  1. Kata “Selain” merupakan tambahan. Maknanya, dengan sesuatu yang tidak bisa mendengar panggilan dan seruan. Al-Ashma’y mengindikasikan makna ini dalam perkataan seorang penyair, “Banyak kesalahan yang tidak mampu memisahkan kecuali tempat tinggal.” Artinya, ia tidak bisa dipisahkan dari tempat tinggalnya. Tapi ini merupakan tanggapan yang tidak pas. Sebab kata “Selain” tidak ditambahkan kepada perkataan yang sudah pasti dan tetap.
  2. Penyerupaan berlaku untuk kemutlakan panggilan dan bukan pada kekhususan yang dipanggil.
  3. Maknanya, perumpamaan orang-orang yang memanggil sesembahan mereka yang tidak bisa memahami panggilan itu seperti orang yang memanggil binatang gembalaannya, yang panggilannya itu tidak berguna sama sekali. Begitu pula orang musyrik yang tidak mendapatkan manfaat dari doa dan ibadahnya setelah dia mati, kecuali kepenatan.

Ada pula yang berpendapat, maknanya, perumpamaan orang-orang kafir seperti binatang ternak yang tidak memahami apa yang dikatakan penggembala selain dari suara. Penggembala adalah orang yang memanggil orang-orang kafir, dan orang-orang kafir adalah binatang ternak yang dipanggil.

Sibawaih berkata, “Maknanya, perumpamaanmu wahai Muhammad dan orang-orang kafir, seperti orang yang memanggil dengan orang yang dipanggil.”

Berdasarkan perkataannya ini, berarti perumpamaan orang-orang kafir dengan orang yang memanggil mereka ialah seperti domba dan penggembala yang memanggilnya. Engkau bisa menjadikan penyerupaan ini sebagai penyerupaan yang bersusun dan juga penyerupaan yang terpisah. Jika engkau menjadikannya sebagai penyerupaan yang tersusun, maka penyerupaan orang-orang kafir karena keadaan mereka yang tidak bisa memahami dan tidak bisa mengambil manfaat, seperti domba yang dipanggil oleh penggembalanya, namun ia tidak bisa memahami perkataannya sedikit pun, selain dari sekedar suara semata, yang berupa panggilan dan seruan.

Jika engkau menjadikannya sebagai penyerupaan yang terpisah, maka orang-orang kafir sama kedudukannya dengan binatang ternak. Seruan kepada mereka untuk mengikuti jalan dan petunjuk seperti binatang ternak yang diseru dan diajak kepada petunjuk. Kalau pun mereka mengetahui panggilan dan seruan, maka itu sama dengan binatang ternak yang juga mengetahui adanya suara panggilan dari penggembalanya.

Hikmah Hukum Qishash

Firman Allah,

“Dan, dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. ”(Al-Baqarah: 179).

Dalam seruan ini terkandung pernyataan laiknya jawaban dari pertanyaan, yang kira-kira berbunyi sebagai berikut: “Meniadakan bangunan yang mulia ini, mencela napas ini, dan tidak mau menerima hukuman yang sama untuk korban pembunuhan, justru akan memperbanyak tindak
pembunuhan”.

Untuk hikmah macam apa Allah mengeluarkan ketetapan ini, yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, yang hikmah-Nya mempesonakan akal manusia? Seruan ini menjawab pernyataan itu dengan firman- Nya, ‘‘Dan, dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian’’.

Pasalnya, jika seseorang yang akan membunuh membayangkan bahwa dia juga akan dibunuh sebagai hukum qishash baginya, tentu dia akan mengurungkan niatnya untuk membunuh dan jadi takut sendiri.

Tentunya dia lebih mementingkan hidupnya sendiri dan masih menyayangi nyawanya. Sehingga hal ini menjadi sebab kehidupannya dan kehidupan orang yang hendak dibunuhnya. Di sisi lain, jika dia membunuh seseorang, padahal korbannya mempunyai keluarga, sanak saudara dan kabilah, tentu mereka akan membunuh keluarga pembunuh atau bahkan kabilahnya. Hal ini tentu akan mendatangkan kerusakan yang tak terperikan bahayanya dan dampaknya bisa melebar kemana-mana. Karena itulah Allah mensyariatkan qishash, agar tidak ada korban-korban lain kecuali pelakunya, sehingga hal ini merupakan kehidupan bagi keluarga dan kerabatnya.

Kehidupan dalam qishash ini bukan karena pelaku pembunuhan juga dibunuh, tapi karena adanya ketetapan qishash itu sendiri. Hanya pembunuhlah yang dijatuhi hukuman mati dan bukan yang lainnya. Sehingga qishash mengandung kehidupan dari dua sisi.

Perhatikan keagungan dan redaksi yang singkat di dalam lafazh-lafazh yang mulia, di samping kefasihan dan makna yang agung di dalamnya. Ayat ini dimulai dengan lafazh wa lakum. Ini merupakan pengabaran bahwa manfaat qishash dikhususkan bagi kalian dan kembali kepada kalian. Pensyariatannya merupakan rahmat dan kemurahan bagi kalian, manfaat dan kemaslahatannya bagi kalian, kecuali bagi orang yang tidak bisa menangkap manfaat dan mudharatnya.

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya, “Dalam qishash”. Ini merupakan pengabaran bahwa kehidupan yang diperoleh hanya ada dalam keadilan, yaitu hukuman yang dijatuhkan sama dengan apa yang diperbuat terhadap korban.

Qishash menurut bahasa berarti al-mumaatsalah, yang hakikatnya kembali kepada ittibaa’ (mengikuti), seperti firman-Nya,

“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan, ‘Ikutilah dia ’. ”(Al-Qashash: 11).

Artinya, ikutilah jejaknya. Begitu pula firman-Nya,

“Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. ”(Al-Kahfi: 64).

Begitu pula jika dikatakan, “Qushsha al-hadits wa iqtishashuhu", berarti hadits yang diikuti, karena sebagian mengikuti sebagian yang lain dalam penyebutannya. Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan juga disebut qishash, karena jejaknya diikuti, sehingga dia dihukum seperti perbuatan yang dilakukannya. Hal ini dijadikan dalil mengapa hukuman yang setimpal dijatuhkan kepada pelaku kejahatan menurut apa yang dilakukannya, sehingga dia dijatuhi hukuman mati seperti bagaimana dia membunuh korbannya, untuk mengejawantahkan makna qishash ini.

Berjima’ pada Malam Bulan Ramadhan

Firman Allah,

“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian.” (Al-Baqarah: 187).

Syu’bah meriwayatkan dari Mujahid, dia berkata, “Apa yang dicari di dalam ayat ini ialah anak.” Ini juga merupakan pendapat A-Hakam, Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashry, As-Saddy dan Adh-Dhahhak.

Ada hadits marfu’ tentang hal ini, yang diriwayatkan Muhammad bin Hurr, dari ayahnya, aku diberitahu pamanku, dari ayahnya, aku diberitahu ayahku dari kakekku, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, “Maksudnya adalah anak.” Menurut Ibnu Zaid, maksudnya adalah jima’. Qatadah berkata, “Carilah keringanan yang ditetapkan Allah bagi kalian.” Ada riwayat lain dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Maksudnya adalah lai!atul-qadar.

Yang pasti dapat dikatakan bahwa karena Allah telah memberi keringanan kepada umat ini, dengan memperbolehkan jima’ pada malam puasa hingga terbit fajar, yaitu ketika pikiran orang yang berjima’ dikuasai syahwat dan birahi, hingga tidak ada yang melintas dalam pikirannya kecuali keinginan ini, maka Allah memberikan petunjuk agar mereka mencari keridhaan-Nya seperti dalam kenikmatan ini.

Hendaknya mereka tidak mengumpuli istri hanya karena dorongan syahwat, tapi karena mencari pahala yang ditetapkan Allah bagi mereka, begitu pula anak yang keluar dari tulang sulbi mereka, yang nantinya agar menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.

Hendaklah mereka mencari apa yang diperbolehkan bagi mereka, berupa rukhshah, dengan tetap mencintai-Nya karena rukhshah itu. Sebab Allah suka jika rukhshah-nya dilaksanakan, sebagaimana Dia benci jika ada kedurhakaan kepada-Nya. Di antara hal yang ditetapkan Allah bagi mereka ialah lailatul qadar. Maka mereka diperintahkan untuk mencarinya.

Tapi hal ini menyisakan pertanyaan, apa hubungan Iailatul-qadar itu dengan diperbolehkannya bercampur dengan istri?

Dapat dijawab sebagai berikut: Di sini terkandung petunjuk, agar mereka tidak disibukkan oleh sesuatu yang diperbolehkan bagi mereka, sehingga mereka lupa mencari lailatul-qadar; yang lebih baik daripada seribu bulan. Seakan-akan Allah befirman, “Silahkan kalian bercampur dengan istri kalian pada malam puasa Ramadhan, dan janganlah kalian hanya sibuk melakukan hal itu hingga lalai mencari apa yang ditetapkan Allah bagi kalian, yaitu malam yang dikaruniakan bagi kalian.” Hanya Allahlah yang lebih tahu.

Rahasia Pensyariatan Berperang

Firman Allah,

“Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui. ”(Al-Baqarah: 216).

Di dalam ayat ini terkandung beberapa hukum dan rahasia serta kemaslahatan bagi hamba. Jika hamba tahu bahwa sesuatu yang dibenci bisa datang dari sesuatu yang disukai, dan sesuatu yang disukai bisa datang dari sesuatu yang dibenci, maka dia merasa tidak aman bahwa datangnya mudharat bisa dari sisi yang menyenangkan, namun dia juga tidak putus asa jika ada sesuatu yang menyenangkan datang dari sisi yang mendatangkan mudharat, karena dia tidak tahu bagaimana kesudahannya.

Allah mengetahui apa yang tidak diketahui hamba. Hal ini menghadirkan beberapa hal bagi hamba, di antaranya:

  1. Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hamba kecuali mengikuti perintah Rabb-nya, meskipun pada mulanya perintah itu terasa berat. Sebab kesudahannya adalah kebaikan dan menggembirakan, kenikmatan dan kesenangan. Meskipun jiwanya tidak suka, tapi hal itu lebih baik dan bermanfaat baginya. Sebaliknya, tidak ada yang lebih mudharat bagi dirinya selain dari melakukan apa yang dilarang, meskipun diinginkan jiwanya dan ia cenderung kepadanya, yang akibatnya adalah penderitaan dan kesedihan, keburukan dan musibah.
    Kekhususan orang yang berakal ialah sabar menghadapi sedikit penderitaan, karena kesudahannya adalah kenikmatan yang besar dan kebaikan yang melimpah, dan juga menjauhi kesenangan yang sedikit karena mendatangkan penderitaan yang besar dan berkelanjutan di kemudian hari. Pandangan orang yang bodoh tidak sampai ke tujuan dari permulaan.
    Sedangkan orang berakal yang perkasa senantiasa memandang ke tujuan dari balik tabir p>ermulaan. Sehingga dari balik tabir itu dia bisa melihat berbagai tujuan yang terpuji dan yang tercela. Dia melihat larangan seperti makanan yang rasanya lezat namun dicampur dengan racun mematikan. Setiap kali muncul keinginan untuk mencicipi makanan yang lezat itu, maka dia menahan diri, karena tahu di dalamnya ada racun. Dia melihat perintah seperti obat yang pahit rasanya, tapi mendatangkan kesembuhan dan kesehatan. Ketika muncul keinginan untuk menolak obat itu karena rasa pahitnya, maka dia terdorong untuk memakannya karena manfaatnya. Tapi hal ini membutuhkan tambahan ilmu, hingga tujuan bisa diketahui sejak semula. Dibutuhkan pula kesabaran di dalam dirinya untuk melalui jalan yang sulit, sambil menyisipkan harapan tentang kesudahan yang baik. Jika keyakinan dan kesabaran sirna, maka kesulitan itu akan terasa berat. Namunjika keyakinan dan kesabarannya kuat, maka segala kesulitan akan ditanggung demi mendapatkan kebaikan dan kenikmatan yang kekal.

  2. Di antara rahasia ayat ini, keharusan bagi hamba untuk menyerahkan diri kepada siapa yang lebih mengetahui kesudahan segala urusan, ridha terhadap pilihan dan ketetapannya dan tidak sekedar mengharapkan kesudahan yang baik semata.

  3. Tidak selayaknya hamba membuat usulan terhadap Allah, menetapkan pilihan dan meminta sesuatu yang dia tidak memiliki pengetahuan atas sesuatu itu. Sebab boleh jadi di dalamnya terdapat kehancuran baginya, sementara dia tidak mengetahuinya. Tidak seharusnya dia membuat pilihan atas Rabtniya, tapi dia meminta kepada-Nya pilihan yang terbaik baginya dan hendaknya dia ridha terhadap pilihan-Nya. Sebab tidak ada yang lebih bermanfaat bagi dirinya selain dari hal itu.

  4. Jika hamba menyerahkan kepada Rabb-nya dan ridha kepada pilihan-Nya, tentu Dia akan membantunya dengan kekuatan, semangat dan kesabaran, menyingkirkan bencana yang biasanya menyertai pilihan hamba bagi dirinya sendiri. Lalu Dia juga memperlihatkan kesudahan yang baik dari pilihan-Nya itu, yang tidak akan diperolehnya jika dia menentukan pilihan sendiri.

  5. Allah akan membuatnya tenang dari berbagai pikiran yang biasa menyertai berbagai macam pilihan dan mengosongkan hatinya dari berbagai pertimbangan, yang grafiknya cenderung semakin meningkat di belakang hari lalu berakhir pada sesuatu yang berbeda. Meskipun begitu dia tidak bisa keluar dari apa yang telah ditetapkan baginya. Sekiranya dia ridha terhadap pilihan Allah, maka takdir tetap berlaku baginya dan dia dalam keadaan terpuji dan disyukuri serta dikasihani. Jika tidak, maka takdir tetap berlaku baginya dan dia dalam keadaan tercela dan tidak
    dikasihani.

Selagi penyerahan diri dan ridhanya benar, maka dia akan dikelilingi kasih sayang dan kelemahlembutan tentang apa yang ditakdirkan baginya, sehingga dia berada di antara kasih sayang Allah dan kelemahlembutan-Nya. Kasih sayang Allah melindunginya dari apa yang harus dihindari,dan kelemahlembutan-Nya membuat dia mengabaikan apa yang ditakdirkan baginya.

Jika takdir terjadi pada diri hamba, maka di antara sebab terbesar terjadinya takdir itu ialah alasan untuk menolak takdir tersebut. Maka tidak ada yang lebih bermanfaat baginya kecuali berserah diri ke tangantangan takdir, laiknya mayat yang tidak bisa berbuat apa-apa. Sesungguhnya binatang buas pun tidak suka memakan bangkai.

Ila’ terhadap Istri dan Meminang Wanita

Firman Allah,

“Kepada orang-orang yang meng-ila ’istrinya, diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 226).

Allah menutup hukum fai’, sebagai tanda rujuk dan kembali kepada keridhaan istri dan kebajikan kepadanya dengan pernyataan bahwa sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, kembali kepada hamba dengan ampunan dan rahmat-Nya. Balasan berasal dari jenis amal.

Kembalinya hamba kepada sesuatu yang lebih baik, maka Allah akan kembali kepadanya dengan ampunan dan rahmat. Firman-Nya setelah ayat ini,

“Dan, jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 227).

Talak harus berupa lafazh yang bisa didengar. Jika seorang hamba bermaksud menalak istrinya, maka Allah menyertai dengan lafazh “Maha Mendengar”, dan ketika dia benar-benar sudah menalaknya, maka disertai dengan lafazh “Maha Mengetahui”, dengan segala kandungannya.

####Firman Allah tentang pinangan,

“Dan, tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kalian menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hati kalian. Allah mengetahui bahwa kalian akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma ’ruf. Dan, janganlah kalian berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan, ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kalian, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. ”(Al-Baqarah: 235).

Allah menyebutkan sindiran ketika meminang wanita, yang menunjukkan bahwa di dalam hati orang yang meminang ada rasa senang dan cinta kepada wanita yang dipinangnya, dan hal itu mendorongnya untuk berterus terang mengatakan keinginan untuk menikahinya. Karena itu Allah membebaskan dosa karena sindiran ini dan kecenderungan hati kepada cinta. Penafian janji kepada wanita mengandung rahasia tersendiri.

Ada yang berpendapat, yang dimaksudkan sindiran di sini ialah nikah. Dengan kata lain, janganlah kalian berterus terang kepada wanita untuk menikahinya, selain dari suatu sindiran yang disampaikan. Inilah pendapat yang terkenal.

Ada pula yang berpendapat, maksudnya ialah menikahi wanita pada masa iddahnya secara diam-diam, dan jika masa iddahnya sudah habis, maka dia mengumumkan pernikahannya. Pendapat ini ditunjukkan firman Allah, “Dan, janganlah kalian berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya

Orang yang menguatkan pendapat pertama berkata, bahwa ayat ini merupakan pembolehan sindiran dan dinafikannya dosa serta pengharaman berterus terang, yang disertai larangan berjanji secara diam-diam untuk mengawini wanita serta pengharaman menikahi wanita sebelum habis masa iddahnya. Kalau pun makna berjanji secara rahasia adalah merahasiakan akad nikah, maka itu hanya sekedar pengulangan.

Kemudian hal ini dilanjutkan dengan firman-Nya, “Dan, ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kalian, maka takutlah kepada-Nya" Artinya takutlah kalian sekiranya melanggar ketetapan-Nya, karena Allah mengetahui apa yang kalian tampakkan dan apa yang kalian rahasiakan.

Kemudian Allah befirman, “Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. Kalau bukan karena ampunan dan santunan-Nya, tentu kalian akan menderita. Sesungguhnya Allah melihat kalian, mengetahui apa yang bersemayam di dalam hati kalian dan mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. Sekiranya kalian melakukan sesuatu yang dilarang-Nya, maka segeralah kembali kepada-Nya, memohon ampunan dan bertaubat. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

Memberi Pinjaman Kepada Allah

Firman Allah,

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipatgandakanpembayaran kepadanya dengari lipatgandayang banyak. Dan, Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan. ”(Al-Baqarah: 245).

Begitu pula firman-Nya,

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Al-Hadid: 11).

Allah menurunkan ayat ini dengan jenis percakapan yang sangat lembut, yaitu berupa kalimat tanya yang mengandung makna permintaan. Ini merupakan permintaan yang lebih mendalam daripada bentuk perintah.

Maknanya, adakah seseorang yang mau mengeluarkan pinjaman yang baik ini, agar dia diberi balasan yang berlipat ganda?

Infak disebut dengan pinjaman yang baik, sebagai dorongan bagi jiwa dan agar dapat membangkitkannya sehingga dia mau menafkahkan harta. Sebab jika orang yang menafkahkan harta tahu bahwa pokok uangnya akan kembali kepadanya lagi, dan itu pasti, akan membuat hatinya tenang dan membuatnya mudah mengeluarkan hartanya. Jika dia tahu bahwa yang diberi pinjaman adalah Dzat yang suka berbuat baik dan memenuhi hak, maka hal ini lebih melapangkan jiwanya dan membuatnya suka dengan perbuatannya.

Jika dia tahu Dzat yang dipinjami menggunakan uang pinjaman itu untuk niaga dan dikembangkan hingga jumlahnya menjadi berlipat ganda dari jumlah semula, maka dia semakin tenang dengan pinjamannya itu.

Jika dia tahu bahwa di samping semu itu masih ada tambahan dari karunia dan pemberian-Nya sebagai balasan lain di luar jenis pinjaman, berarti itu merupakan balasan yang besar dan pemberian yang mulia. Maka tidak ada yang menghalanginya untuk memberi pinjaman selain dari adanya ketidakberesan di dalam dirinya, seperti kikir dan bakhil atau tidak percaya dengan jaminan yang diberikan. Berarti hal itu menunjukkan lemahnya iman. Karena itu shadaqah merupakan bukti akurat tentang orang yang mengeluarkannya.

Semua masalah ini ada di bawah lafazh-lafazh yang terkandung di dalam ayat ini. Allah menyebutnya pinjaman dan mengabarkan bahwa Dia adalah peminjam yang sebenarnya tidak membutuhkan pinjaman. Tapi itu merupakan pinjaman sebagai kemurahan kepada orang yang meminjamkan dan seruan untuk bermu’amalah dengan-Nya, agar dia tahu keuntungan yang akan didapat. Aliahlah yang memberikan harta kepadanya dan menyeru agar bermu’amalah dengan-Nya melalui harta itu.

Kemudian Allah mengabarkan harta yang akan kembali kepadanya lewat pinjaman itu, yang jumlahnya berlipat ganda. Kemudian Allah mengabarkan tambahan yang berlipat ganda dari apa yang diberikannya, dan itu merupakan pahala yang mulia.

Pinjaman ini disebutkan di dalam Al-Qur’an dengan batasan sebagai pinjaman yang baik. Hal ini menghimpun tiga hal:

  1. Pinjaman itu harus berasal dari hartanya yang baik, bukan dari harta yang buruk atau hasil kejahatan.

  2. Dia harus mengeluarkannya dengan suka rela, mantap ketika mengeluarkannya dan dimaksudkan untuk mencari ridha Allah.

  3. Tidak menyebut-nyebut shadaqahnya itu di hadapan orang lain dan tidak menyakiti perasaan orang yang diberi.

Yang pertama berkaitan dengan harta. Yang kedua berkaitan dengan orang yang mengeluarkan shadaqah, antara dirinya dengan Allah. Yang ketiga antara dirinya dengan orang yang menerima shadaqah.

Perumpamaan Harta Yang Dinafkahkan

Firman Allah,

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan, Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 261).

Allah menyerupakan nafkah yang dikeluarkan orang yang menafkahkan di jalan-Nya, baik yang dimaksudkan di sini adalah jihad atau seluruh jalan kebaikan, sama dengan orang yang menabur benih, yang setiap biji benih menumbuhkan tujuh bulir, dan setiap bulir berisi seratus biji.

Allah bisa melipatgandakan yang lebih banyak dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya, tergantung pada keadaan orang yang mengeluarkan infaq, imannya, keikhlasannya, kebaikannya, manfaat infaqnya, nilainya dan ketepatan sasarannya.

Pahala infaq berbeda-beda, tergantung pada keterlibatannya dengan hati, berupa iman dan keikhlasan serta keteguhan ketika mengeluarkan infaq, yaitu mengeluarkannya dengan hati yang teguh. Jika dadanya lapang ketika mengeluarkannya, dilakukan dengan sepenuh jiwa dan berasal dari hatinya sebelum dari tangannya, berarti dia adalah orang yang teguh hati ketika mengeluarkannya, tidak gundah dan tidak khawatir, tidak pula dengan keberatan jiwa, yang membimbangkan tangan dan sanubarinya.

Pahala infaq juga berbeda-beda, tergantung pada manfaat infaq itu, ketepatan sasaran yang diberinya dan kesenangan orang yang diberi. Di bawah pemahaman perumpamaan ini, Allah menyerupakan infaq dengan benih. Orang yang menginfaqkan hartanya yang baik karena Allah dan bukan karena selain-Nya, sama dengan menanam di tanah yang subur. Hasil yang diperoleh tergantung pada benihnya, kesuburan tanah, penyiraman benih, penjagaannya dari gangguan dan tumbuhan-tumbuhan liar yang mengganggunya. Jika semua ini terpenuhi dan tanaman tidak terbakar api serta tidak ada bencana yang datang, semacam letusan gunung umpamanya, maka perumpamaan hal itu seperti kebun yang terletak di dataran tinggi, suatu tempat yang mendapat sinar matahari yang memadai dan hembusan angin, sehingga pertumbuhan tanaman di sana sangat baik.

Hujan turun ke tempat itu secara terus-menerus, sehingga menyirami dan menumbuhkannya. Maka hasilnya menjadi berlipat ganda dari tempat lain, karena senantiasa ada hujan yang deras. Kalau pun tidak ada hujan yang deras, maka cukup dengan hujan rintik-rintik. Karena dengan hujan yang rintik-rintik ini pun sudah cukup untuk menumbuhkannya.

Disebutkannya dua macam hujan, yang lebat dan rintik-rintik, mengandung isyarat tentang dua macam infaq, yang banyak dan sedikit. Sebab di antara manusia ada yang infaqnya seperti hujan deras, dan di antara mereka ada yang infaqnya seperti hujan gerimis yang rintik-rintik. Allah tidak akan menyia-nyiakan meskipun hanya seberat dzarrah.

Jika orang yang melakukan pekerjaan ini berbuat sesuatu yang bisa membakar amalnya dan menggugurkan kebaikan-kebaikannya, maka dia seperti orang yang difirmankan Allah,

“Apakah ada salah seorang di antara kalianyang ingin mempunyai kebun korma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dalam kebun itu dia mempunyaisegala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu, sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. ”(Al-Baqarah: 266).

Jika sudah tiba hari pembalasan amal dan pemberian pahala, maka orang yang melakukan amal itu mendapatkan seperti yang didapatkan pemilik kebun ini. Kerugiannya lebih besar daripada kerugian yang diderita pemilik kebun.

Ini merupakan perumpamaan yang diberikan Allah tentang kerugian dengan dicabutnya nikmat, justru pada saat nikmat itu sangat dibutuhkan, ditambah lagi dengan besarnya manfaat nikmat itu. Apa yang lepas dari tangannya itu justru terjadi pada saat dia sudah tua dan lemah.

Dia benar-benar dalam kondisi yang sangat membutuhkan nikmat itu. Sementara anak-anaknya masih kecil, belum mampu memberinya nafkah dan kemaslahatan, dan justru mereka masih memerlukan pertolongannya. Kebutuhannya kepada kebunnya sangat mendesak, karena keadaan dirinya yang lemah, begitu pula anak-anaknya. Bagaimana keadaan orang semacam ini jika kebunnya amat luas dan berisi berbagai tanaman serta buah-buahan, padahal buah-buahan itu merupakan buah-buahan yang paling besar manfaatnya, yaitu korma dan anggur, yang nilainya bisa mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan anak keturunannya?

Tapi suatu hari dia mendapatkan kebunnya terbakar seperti terbakarnya ranting-ranting kering. Lalu kerugian macam apa yang lebih mengenaskan dari kerugian semacam ini?

Menurut Ibnu Abbas, ini merupakan perumpamaan orang yang mengakhiri hidupnya dengan kerusakan. Menurut Mujahid, ini merupakan perumpamaan orang yang mengabaikan ketaatan kepada Allah hingga akhir hayatnya. Menurut As-Saddy, ini merupakan perumpamaan bagi orang yang suka memamerkan infaq yang dikeluarkannya untuk selain Allah, yang manfaatnya habis pada saat dia sangat membutuhkannya.

Suatu hari Umar bin Al-Khaththab bertanya kepada beberapa orang shahabat tentang ayat ini.

Maka mereka menjawab, “Allahlah yang lebih tahu maknanya.”

Mendengar jawaban ini Umar menjadi marah. Dia berkata, “Kita mengetahui atau tidak mengetahui.”

Lalu Ibnu Abbas berkata, “Aku punya sedikit pengertian tentang ayat ini wahai Amirul-Mukminin.”

“Katakanlah wahai anak saudaraku dan janganlah engkau merendahkan dirimu,” kata Umar.

Ibnu Abbas berkata, “Allah membuat perumpamaan tentang suatu amal.”

“Amal orang macam apa?” tanya Umar.

“Orang kaya yang melakukan berbagai macam kebaikan, lalu Allah mengutus syetan kepadanya, lalu orang kaya itu melakukan kedurhakaan, hingga membakar semua amalnya," jawab Ibnu Abbas.

Al-Hasan berkata, “Ini merupakan perumpamaan, dan demi Allah, sedikit sekali orang yang mau memikirkannya. Perumpamaan ini ialah berupa orang yang sudah tua dan lemah fisiknya serta banyak anaknya. Dia kehilangan kebun yang justru sangat dia butuhkan. Demi Allah, sesungguhnya salah seorang di antara kalian sangat membutuhkan amalnya ketika dia meninggalkan dunia.”

Amal shadaqah ini bisa disusupi hal-hal yang menggugurkannya, seperti menyebut-nyebutnya di hadapan manusia, menyakiti orang yang diberi dan riya’. Riya’ mencegah sebab yang mendatangkan pahala. Menyebut-nyebutnya dan menyakiti hati orang yang diberi menggugurkan pahala, yang sebelumnya menjadi sebab kehidupannya, seperti pemilik kebun itu.

Keguguran amalnya seperti batu licin yang di atasnya ada tanah. Ketika batu itu ditimpa hujan lebat, maka tak ada sesuatu yang menyisa di atasnya.

Perhatikanlah bagian-bagian yang ada dalam perumpamaan ini dan kesesuaiannya dengan bagian-bagian yang diumpamakan, agar engkau bisa mengetahui seberapa jauh keagungan dan kemuliaan Al-Qur’an.

Batu serupa dengan hati orang yang riya’, menyebut-nyebut shadaqahnya dan menyakiti perasaan orang yang diberi. Hatinya terlalu keras untuk diisi iman, keikhlasan dan kebajikan, seperti kerasnya batu itu. Sementara amal yang dilakukannya untuk selain Allah serupa dengan tanah yang ada di atas batu itu. Kekerasan batu menghalanginya untuk ditumbuhi tanaman atau keteguhannya, ketika turun hujan lebat. Ia tidak mempunyai materi yang berkaitan dengan sesuatu yang bisa menerima air dan menumbuhkan tanaman.

Begitu pula orang yang riya’, tidak mempunyai keteguhan ketika turun perintah dan larangan, qadha’ dan qadar. Jika turun hujan wahyu kepadanya, maka sedikit lapisan tanah di atasnya langsung lenyap, lalu di bawahnya tampak batu yang keras, tanpa ada tanaman apa pun. Ini merupakan perumpamaan yang diberikan Allah tentang amal orang yang riya’ dan infaq yang dikeluarkannya. Pada hari kiamat dia tidak mendapatkan pahala sedikit pun dari amalnya, padahal saat itu dia sangat membutuhkannya. Hanya dari Allahlah datangnya taufiq.

Firman Allah,

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji”, seakan-akan ayat ini merupakan penafsiran dan penjelasan tentang nilai kelipatan yang diberikan kepada orang yang memberi pinjaman (kepada Allah).

Allah membuat perumpamaan ini untuk menghadirkan gambaran kelipatan di dalam benak, dengan satu biji yang ditabur di atas tanah, lalu menumbuhkan tujuh bulir, dan di setiap bulir ada seratus biji. Dengan begitu seakan-akan hati bisa melihat kelipatan ini dengan bashirah-nya, sebagaimana mata yang dapat melihat bulir-bulir yang berasal dari satu biji. Sehingga orang yang menyaksikan dengan mata kepala tergiring kepada kesaksian iman yang terkandung di dalam Al-Qur’an.

Dengan begitu iman orang yang berinfaq semakin kuat dan jiwanya menjadi lapang karena infaq itu.

Perhatikan bagaimana jama’ kata sunbulah berbentuk sanabil, yang merupakan himpunan dari jumlah yang banyak, karena kedudukannya memang merupakan pembanyakan dan kelipatan. Sementara jama’ sunbulah berbentuk sunbulaat dalam firman Allah, ^

“Tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering.” (Yusuf: 43).

Ini merupakan bentuk jama’ yang sedikit. Sebab tujuh hanya sedikit dan tidak mengharuskan pembanyakan. Firman Allah, “Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki”, ada yang berpendapat, artinya Allah melipatgandakan dengan kelipatan ini bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya, bukan bagi setiap orang yang berinfaq. Kelipatan ini hanya dikhususkan bagi siapa yang mendapat rahmat-Nya dari orang yang dikehendaki-Nya. Sebab
keadaan infaq berbeda-beda, tergantung pada sifat orang yang berinfaq, keadaannya, kebutuhan kepadanya, besarnya manfaatnya dan ketepatan sasarannya.

Ada yang berpendapat, Allah melipat-gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki di atas kelipatan itu dan tidak membatasinya pada tujuh ratus kali, tapi kelipatannya bisa lebih banyak lagi, jauh lebih banyak dari nilai ini.

Ada perbedaan pendapat dalam mengukur ayat ini. Ada yang berpendapat, perumpamaan nafkah yang dikeluarkan orang-orang yang berinfaq di jalan Allah seperti sebutir biji. Ada yang berpendapat, perumpamaan orang-orang yang mengeluarkan infaq di jalan Allah seperti orang yang menabur sebutir benih, agar ada keselarasan antara orang yang diumpamakan dengan apa yang diumpamakan.

Di sini ada empat hal: Orang yang berinfaq, infaq, orang yang menabur benih dan benih.

Allah menyebutkan setiap belahannya merupakan dua bagian yang seingat penting. Allah menyebutkan belahan orang yang diumpamakan ialah orang yang mengeluarkan infaq. Sebab yang dimaksudkan ialah menyebutkan keadaannya. Sementara infaq tidak disinggung-singgung karena sudah ada penunjukan lafazhnya. Sedangkan belahan sesuatu yang diumpamakan ialah benih, karena dari benih inilah terjadinya kelipatan.

Allah tidak menyinggung orang yang menanam benih, sebab pinjaman tidak berkait dengan penyebutannya. Maka perhatikanlah susunan kalimat ini dan kefasihannya, yang mengandung penjelasan yang jelas dan akurat. Yang demikian ini banyak disebutkan dalam perumpamaan Al-
Qur’an, bahkan secara umum serupa dengan pola ini.

Kemudian Allah menutup ayat ini dengan dua asma’-Nya, sesuai dengan susunan kalimat ayat ini, yaitu Al-Waasi’ (Mahaluas karunia-Nya) dan Al-Aliim (Yang Maha Mengetahui). Hal ini dimaksudkan agar hamba tidak menganggap mustahil kelipatan ini, sebab Dzat yang melipatgandakan adalah Mahaluas karunia-Nya, luas kekayaan dan rahmat-Nya serta mampu mencegah siapa yang memang bukan orang yang layak berdasarkan hikmah dan ilmu-Nya.

Kemudian Allah melanjutkan ayat ini dengan firman-Nya,

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti ('perasaan Si Penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. ” (Al-Baqarah: 262).

Ini merupakan penjelasan tentang pinjaman yang baik. Apa itu?

Yaitu, hendaknya pinjaman tersebut di jalan Allah atau dalam keridhaan- Nya dan pada jalan yang bisa menghubungkan kepada-Nya. Yang paling bermanfaat ialah untuk jihad. Sabilillah bersifat khusus dan umum. Yang khusus merupakan satu bagian dari jalan yang umum. Di samping itu, hendaknya infaq atau shadaqah itu tidak disertai dengan menyebut-nyebutnya dan tidak menyakiti perasaan orang yang menerima. Menyebut-nyebut di sini ada dua macam:

  1. Menyebut-nyebut di dalam hati tanpa mengatakannya secara terus terang dengan lisannya. Kalau pun hal ini tidak menggugurkan pahala shadaqah, toh itu akan mengurangi anugerah Allah dalam pemberian hartanya, menghilangkan taufiq Allah baginya ketika dia mengeluarkan infaq dan juga bagi orang lain. Sebab Allah mempunyai anugerah atas dirinya dari segala sisi.

  2. Menyebut-nyebut infaq dengan lisannya, sehingga dampaknya merembet kepada orang yang disantuninya dan dia memperlihatkan kepadanya bahwa dia telah melakukan hal itu, sehingga dia membebankan hak kepada orang itu. Karena itu dia bisa berkata, “Bukankah aku pernah memberimu begini dan begitu?” Katanya sambil menghitung-hitung simpanannya pada orang itu. Sufyan berkata, “Orang itu bisa berkata, ‘Aku telah memberikan sesuatu kepadamu namun engkau tidak berterima kasih’.” Abdurrahman bin Ziyad berkata, “Ayahku pernah berkata, ‘Jika engkau memberikan sesuatu kepada seseorang, dan engkau melihat ucapan salammu kepadanya membuatnya merasa tidak enak, maka ucapkanlah salam di dalam hati kepadanya’.” Banyak orang berkata, “Jika kalian pernah berbuat sesuatu, maka lupakanlah ia, dan jika ada orang lain berbuat sesuatu kepadamu, maka janganlah engkau lupakan hal itu.”

Dikatakan dalam sebuah syair,

Ada seseorang memberikan hadiah kepada orang fakir
suatu kali dia menyebut-nyebutnya di hadapan orang kikir

Ada yang berpendapat, Shafwan adalah orang yang suka memberi peminta-minta namun dia menyebut-nyebut pemberiannya dan tidak mau memberi orang yang mau menerimanya dan dia kikir. Allah melarang hamba-hamba-Nya menyebut-nyebut pemberiannya dan mengkhususkannya sebagai sifat bagi Diri-Nya, karena Dialah yang memperingatkan hamba, dan dari Aliahlah datangnya karunia.

Pada saat yang sama, Dialah yang memberi nikmat dan layak diingat, sedangkan hamba hanya sekedar perantara dan hakikatnya Aliahlah yang memberikan nikmat kepada hamba.

Menyebut-nyebut pemberian infaq sama dengan memperbudak dan menundukkan orang yang diberinya infaq. Padahal ketundukkan hanya layak diberikan kepada Allah semata. Dengan menyebut-nyebut infaq yang diberikan ini membuat pemberi ingin semacam bukti bahwa dia adalah orang yang memiliki karunia, , kenikmatan dan yang berhak mengeluarkannya.

Padahal hakikat itu adalah hak Allah. Dengan perbuatan itu pelakunya melihat dirinya lebih tinggi dari orang yang diberinya infaq, merasa lebih kaya dan lebih mulia, lalu dia melihat kehinaan orang yang diberinya infaq dan kebutuhannya kepada dirinya. Padahal yang demikian itu tidak layak dilakukan seorang hamba. Di samping itu pemberi akan merasa bahwa pahala Allah akan dikembalikan kepadanya sekian kali lipat dari apa yang pernah dikeluarkannya. Sehingga pengganti dari apa yang pernah dikeluarkannya ada di sisi Allah.

==bersambung==

Perumpamaan Harta Yang Dinafkahkan (…lanjutan)

Lalu hak macam apa yang menyisa baginya dari pihak orang yang pernah diberinya?

Padahal jika ada masalah antara dirinya dengan orang yang diberinya, maka dia akan berbuat zhalim dan mengambil kembali hak yang pernah diberikannya sebelum itu. Dari sini dapat diketahui bahwa shadaqahnya menjadi gugur karena dia menyebut-nyebutnya. Mengingat penggantian dan muamalahnya dengan Allah dan pengganti dari shadaqah itu ada di sisi-Nya, maka dia pun tidak ridha kepadanya.

Dia memperhatikan pengganti dari orang yang pernah diberinya dan muamalah dengannya. Jika dia menyebut-nyebutnya, maka gugurlah muamalahnya dengan Allah dan muamalah Allah dengannya. Perhatikan baik-baik nasihat Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya ini dan pembuktiannya tentang Rububiyah Allah dan Ilahiyah-Nya. Allah akan menggugurkan amal orang yang menandinginya dalam sebagian dari Rububiyah-Nya. Padahal tidak ada Ilah selain Allah dan tidak pula Rabb selain-Nya.

Setelah itu Allah memperingatkan dengan firman-Nya, “Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan Si Penerima)".

Meskipun dua tindakan ini dilakukan sekian lama setelah shadaqah dikeluarkan, toh hal itu tetap mendatangkan mudharat terhadap pelakunya dan dia tidak mencapai maksud dari shadaqah. Karena antara dua tindakan ini digunakan wawu, maka ada anggapan tentang pembatasannya dengan suatu keadaan. Sekiranya dua tindakan yang sudah sekian lama ini menggugurkan, tentunya juga mencegah pahala dari infaq yang dikeluarkan.

Memang penyertaan itu lebih pas dan lebih mengena. Perhatikan bagaimana Allah meniadakan huruf fa’ dalam pengabaran ini, seraya befirman, “Lahum ajruhum ‘inda rabbihim ” (tidak disebutkan dengan lafazh falahum). Namun ada penyertaan huru fa ’
dalam firman-Nya yang lain (Al-Baqarah: 274), “Falahum ajruhum ‘inda rabbihim".

Huruf fa’ yang masuk dalam khabar al-mubtada’ yang bersambung atau yang disifati, dipahami dengan makna syarat dan balasan, dan Dialah yang menjamin apa yang terkandung dalam mubtada’ berupa hubungan dan sifat. Karena di sini mengharuskan penjelasan pembatasan yang berhak memberi balasan tanpa yang lainnya, maka Allah meniadakan huruf fa 'dalam khabar. Dengan kata lain, siapa yang menafkahkan hartanya karena Allah, tidak menyebut-nyebut dan tidak pula menyakiti perasaan orang yang diberi, berhak mendapatkan pahala yang sudah disebutkan itu, tidak seperti orang yang menafkahkan hartanya untuk selain Allah, yang menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan orang yang diberi.

Jadi kedudukannya bukan sebagai syarat dan balasan, tapi merupakan kedudukan penjelasan siapa yang berhak, tanpa yang lain.

Dalam ayat lain Allah menyebutkan infaq pada malam dan siang hari secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Allah menyebutkan keumuman waktu dan keumuman keadaan, lalu disebutkan huruf fa’ dalam khabar-nya, untuk menunjukkan bahwa infaq bisa dikeluarkan kapan pun dari waktu siang atau malam hari, dan seperti apa pun keadaannya, secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan.

Ini merupakan sebab pahala untuk setiap keadaan, agar hamba segera melaksanakannya dan tidak menunggu-nunggu hingga keluar dari waktu dan keadaannya, tidak menunda nafkah yang bisa dikeluarkannya pada malam hari hingga datang siang hari, atau menunda nafkah yang bisa dikeluarkan pada siang hari hingga malam hari, tidak menunggu-nunggu nafkah yang bisa dikeluarkan secara terang-terangan hingga tiba waktunya secara sembunyi-sembunyi dan tidak menunda nafkah yang bisa dikeluarkan secara sembunyi-sembunyi hingga tiba waktunya secara terang-terangan.

Nafkah yang dikeluarkan pada waktu apa pun dan dalam keadaan seperti apa pun yang ada merupakan sebab balasan dan pahalanya. Perhatikanlah rahasia di dalam Al-Qur’an ini, supaya hal ini bermanfaat bagimu ketika engkau membacanya dalam berbagai tafsir. Anugerah dan karunia itu hanya milik Allah semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Kemudian Allah befirman,

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari shadaqah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan Si Penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun. ”(A1-Baqarah: 263).

Allah mengabarkan bahwa perkataan yang ma’ruf (perkataan yang bisa diterima hati dan tidak diingkarinya) dan memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, lebih baik daripada shadaqah yang disertai sesuatu yang menyakitkan perasaan orang yang menerima shadaqah. Perkataan yang baik merupakan kebajikan. Shadaqah dengan perkataan dan memberi maaf juga merupakan kebajikan, tanpa memperhatikan pengambilan dan penerimaan. Ini merupakan dua jenis dari berbagai jenis kebajikan.

Shadaqah yang disertai dengan perkataan yang menyakitkan, merupakan kebaikan yang disertai dengan sesuatu yang menggugurkannya. Tidak dapat diragukan bahwa dua jenis kebaikan di atas lebih baik daripada kebaikan yang gugur.

Yang termasuk dalam maaf ini ialah maaf bagi orang yang meminta, jika ada kesalahan dan kekeliruan darinya, karena penolakannya untuk memberi. Maafnya ini lebih baik daripada dia bershadaqah dan menyakiti perasaannya. Inilah pendapat yang lebih masyhur tentang ayat ini.

Pendapat lainnya, bahwa maaf itu dari Allah. Dengan kata lain, ada maaf dari Allah bagi kalian karena perkataan yang ma’ruf dan penolakan secara baik. Hal ini lebih baik daripada shadaqah yang disertai perkataan yang menyakitkan.

Ada pula pendapat ketiga, bahwa ampunan itu datang dari peminta. Sebab penolakan dan halangan dari orang yang dimintai, lebih baik daripada dia menerima shadaqah yang disertai perkataan yang menyakitkan perasaannya.

Yang paling kuat adalah pendapat pertama lalu disusul pendapat kedua. Sedangkan pendapat ketiga adalah lemah sekali. Sebab percakapan hanya ditujukan kepada orang yang mengeluarkan shadaqah yang diminta dan bukan kepada peminta yang mengambil. Maknanya, perkataan yang ma’ruf di hadapannya dan maaf lebih baik daripada dia mengeluarkan shadaqah yang disertai perkataan yang menyakitkan perasaannya. Kemudian Allah menutup ayat ini dengan dua sifat yang sesuai dengan kandungan ayat, “Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun. "Dalam hal ini terkandung dua makna:

  1. Allah Mahakaya, tidak membutuhkan kalian, tidak menerima sedikit pun dari shadaqah kalian, tapi Dia memberikan bagian yang lebih banyak bagi kalian dalam shadaqah itu, yang manfaatnya kembali kepada kalian, bukan kepada Allah. Maka bagaimana mungkin orang yang bershadaqah menyebut-nyebut shadaqahnya dan menyakiti perasaan orang yang diberi shadaqah, sementara Dia tidak membutuhkan shadaqah itu dan juga tidak membutuhkan selain-Nya? Meskipun begitu Allah Maha Penyantun, karena tidak langsung menghukum orang yang menyebut-nyebut shadaqahnya. Jadi di sini terkandung ancaman dan peringatan.

  2. Dengan kekayaan Allah yang sempurna, yang disifati dengan penyantun, luas pemberian dan shadaqah-Nya, maka bagaimana mungkin Dia menyakiti seseorang di antara kalian dengan penyebutan-Nya? Kemudian Allah befirman,

“Hai orang-orang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan Si Penerima), seperti orangyang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan harikemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. ”(Al-Baqarah: 264).

Ayat ini mengandung pengabaran bahwa menyebut-nyebut shadaqah yang dikeluarkan dan menyakiti perasaan orang yang menerimanya bisa menggugurkan pahala shadaqah. Ayat ini merupakan dalil bahwa kebaikan bisa gugur karena keburukan, seperti firman Allah yang lain,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian lebih dari suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalan kalian, sedangkan kalian tidak menyadari. ”(Al-Hujurat: 2).

Dapat dikatakan bahwa menyebut-nyebut shadaqah dan menyakiti perasaan orang yang menerimanya yang menyertai shadaqah, adalah faktor yang menggugurkan pahala shadaqah itu, tanpa sesuatu yang menyusul setelah itu. Hanya saja di dalam lafazh ini tidak ada yang menunjukkan pembatasan ini, dan hubungan kalimat menunjukkan kegugurannya secara mutlak.

Dapat dikatakan pula, bahwa perumpamaannya dengan orang yang riya’ dan tidak beriman kepada Allah serta hari kemudian menunjukkan bahwa menyebut-nyebut shadaqah dan menyakiti perasaan Si Penerima yang menggugurkan itu adalah penyertanya, seperti riya’ dan tidak beriman.

Jika riya’ itu dilakukan setelah sekian lama dari amal, maka ia tidak menggugurkannya. Hal ini dapat dijawab dengan dua macam jawaban:

  1. Penyerupaan ini terjadi dalam kondisi, yang suatu amal menjadi gugur karenanya, yaitu keadaan orang yang riya’, menyebut-nyebut shadaqah dan menyakiti perasaan Si Penerima, yang setiap keadaan ini membuat amalnya gugur.

  2. Riya’ tidak terjadi kecuali sebagai penyerta amal. Sebab riya’ itu merupakan perbuatan yang dilakukan seseorang agar orang-orang melihat amalnya, dan hal ini tidak bisa ditunda-tunda setelah sekian lama. Hal ini berbeda dengan menyebut-nyebut shadaqah dan menyakiti perasaan Si Penerima, yang berfungsi sebagai penyerta secara langsung dan juga bisa dilakukan setelah sekian lama. Firman Allah, “Seperti orangyang menafkahkan hartanya ”, boleh jadi maknanya seperti gugurnya orang yang menafkahkan harta, sehingga pengguguran diserupakan dengan pengguguran pula, atau boleh jadi maknanya tidak seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia, sehingga penyerupaannya berlaku antara orang yang menafkahkan dengan orang yang menafkahkan pula.

Firman Allah, “Famatsaluhu”, artinya perumpamaan orang yang menafkahkan, yang pahala nafkahnya gugur, seperti shafwan, yaitu batu yang licin. Ada dua pendapat tentang lafazh ini.

Pertama, shafwan adalah bentuk tunggal.
Kedua, jama’ dari shafwah, Wabil, adalah hujan lebat, yang turun mengenai batu itu dan membuatnya bersih, tanpa ada sesuatu pun di atasnya, berupa tanaman atau yang lainnya.
Ini merupakan perumpamaan yang paling mengena dan paling baik, karena ia mencakup perumpamaan hati orang yang menafkahkan harta secara riya’, yang infaqnya itu tidak muncul dari keimanan kepada Allah dan Hari Kemudian, yang diserupakan dengan batu, karena kekerasan, kekasaran dan tidak ada manfaatnya.

Ia juga mengandung penyerupaan sesuatu yang dikaitkan dengannya, berupa pengaruh shadaqah, dengan tanah yang dikaitkan dengan batu itu, yang kemudian batu itu ditimpa hujan dan membuatnya bersih. Artinya, orang yang menafkahkan itu tidak mendapatkan pahalanya karena pahala itu sudah gugur dan lenyap.

Di sini ada makna lain, bahwa orang yang menafkahkan hartanya untuk selain Allah, dilihat dari zhahirnya adalah orang yang melakukan suatu amal yang kemudian mendatangkan pahala dan pahalanya itu berlipat ganda, seperti benih yang ditabur di atas tanah yang subur lalu menumbuhkan tujuh bulir, dan di setiap bulir ada seratus biji.

Padahal di balik infaqnya itu ada penghalang kelipatannya, sebagaimana batu yang ada di bawah tanah, yang menghalangi tumbuhnya tanaman dan benih yang ditabur di atasnya, sehingga ia tidak bisa menumbuhkan dan tidak mengeluarkan apa-apa. Kemudian Allah befirman,

"Dan, perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan, Allah Maha Melihat apa yang kalian perbuat. ”(Al-Baqarah: 265).

Ini merupakan perumpamaan yang sumber infaqnya adalah ikhlas dan kebenaran. Mencari keridhaan Allah adalah keikhlasan, sedangkan keteguhan hati adalah kebenaran dalam menafkahkan. Ketika seseorang menafkahkan hartanya, maka dia akan menghadapi dua kendala, yang jika dia selamat dari dua kendala ini, maka perumpamaan dirinya seperti yang disebutkan di dalam ayat ini. Dua kendala itu ialah:

  1. Dengan infaqnya itu dia mencari pujian, sanjungan dan tujuan duniawi. Ini merupakan keadaan mayoritas orang yang menafkahkan hartanya.
  2. Kelemahan hati, keragu-raguan dan kebimbangannya, apakah dia jadi menafkahkan atau tidak?

Kendala pertama akan sirna dengan niat mencari keridhaan Allah, dan kendala kedua akan sirna dengan keteguhan hati, karena keteguhan hati bisa mendorong dan menguatkannya untuk menafkahkan harta. Inilah kebenaran hati dan pencarian keridhaan Allah, sebagai suatu keinginan untuk mencari Wajah Allah semata, dan itulah keikhlasannya jika sumber infaq itu muncul dari keadaan itu.

Perumpamaan orang tersebut seperti jannah, kebun yang banyak pepohonannya, rindang dan bukan merupakan area yang kosong dan gersang. Al-Jannah birabwah adalah kebun yang terletak di dataran tinggi, yang lebih baik daripada kebun di dataran rendah. Dengan ketinggiannya itu ia mendapat udara dan hembusan angin yang memadai, mendapat cahaya matahari saat terbit, tengah hari dan tenggelamnya.

Buahnya lebih matang, lebih bagus dan lebih banyak. Buah ini semakin tambah bagus karena cahaya matahari dan hembusan angin. Berbeda dengan buah yang ada di tempat terlindung. Jika ada kekhawatiran terhadap kebun di dataran tinggi, karena kekurangan air, maka Allah menurunkan hujan yang lebat kepadanya, sehingga mampu menghasilkan buahnya, mendatangkan barakahnya dan mengeluarkan buahnya dua kali lipat.

Inilah keadaan orang-orang dahulu yang didekatkan kepada Allah. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis pun sudah mencukupi. Hujan gerimis itu sudah mencukupi karena tanahnya yang subur dan tanamannya yang bagus. Inilah keadaan orang yang berbuat bajik dan sederhana dalam nafkah. Jadi mereka memiliki beberapa derajat di sisi Allah.

Orang-orang yang diumpamakan dengan hujan yang lebat adalah yang paling tinggi derajatnya. Mereka adalah orang-orang yang menafkahkan hartanya pada siang dan malam hari secara sembunyisembunyi dan terang-terangan. Mereka lebih mendahulukan kepentingan orang lain meskipun mereka dalam kesempitan. Sedangkan orang-orang yang diumpamakan dengan hujan gerimis ialah mereka yang menafkahkan hartanya secara sederhana.

Allah mengumpamakan keadaan orang-orang dari dua golongan ini dan amal mereka seperti kebun di dataran tinggi, dan infaq mereka yang banyak dengan hujan lebat dan hujan gerimis. Sebagaimana keadaan masing-masing dari dua hujan ini pasti menghasilkan buah yang baik dan berlipat, maka begitu pula infaq mereka, dalam jumlah yang banyak atau sedikit, yang dikeluarkan karena mencari keridhaan Allah dan dari hati yang teguh. Maka infaq itu menjadi baik dan berlipat ganda di sisi Allah.

Ada perbedaan pendapat tentang dhi’fain, dua kali lipat.

Ada yang berpendapat, dua kali lipat dari sesuatu artinya dua hal yang semisal dengannya sebagai tambahan darinya. Dhi’fuhu artinya semisal dengannya. Ada pula yang berpendapat, dhi’fuhu artinya dua semisal dengannya, dan dhi’faahu artinya tiga semisal dengannya. Tsalaatsatu adh’afihi artinya empat semisal dengannya.

Setiap kali ada tambahan satu kelipatan, berarti ada tambahan yang semisal. Yang mendorong orang berpendapat seperti ini ialah karena dia ingin menghindar dari kesetaraan pembuktian bilangan tunggal dan bilangan ganda. Dia melihat kelipatan sesuatu adalah tambahan yang serupa dengannya. Jika ada tambahan kepada hal yang semisal, berarti ada dua semisal. Inilah yang disebut kelipatan.

Jika dikatakan, “Lahaa dhi’faani”, maka tidak ada perbedaan antara bilangan tunggal dan bilangan ganda, Dhi’faani menurutnya adalah dua semisal yang ditambahkan ke asal. Maka jika dikatakan tsalaatsatu adh’aaf berarti tiga semisal yang ditambahkan ke asal.

Yang benar, dhi’fain adalah dua semisal saja, yaitu yang asal dan yang semisal dengannya. Hal ini ditunjukkan firman-Nya, “Fa aatat ukulahaa dhi’fain ”, kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat”. Begitu pula firman-Nya yang lain,

"… niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. "(Al-Ahzab: 30).

Karena itu dikatakan tentang pahala kebaikan,

"… niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat.” (Al-Ahzab: 31).

Tentang anggapan kesetaraan pembuktian bilangan tunggal dan bilangan ganda, muncul dari perkiraan bahwa kelipatan adalah yang semisal dengan yang asal. Padahal tidak begitu. Semisal mempunyai dua ungkapan. Jika merupakan ungkapannya semata, maka itu merupakan satu kelipatan. Jika merupakan ungkapan dengan sesuatu yang serupa dengannya, maka disebut dhi’fani.

Ada perbedaan pendapat tentang posisi lafazh fathallun (hujan gerimis). Ada yang berpendapat, lafazh ini merupakan mubtada’, yang khabar-nya tidak tampak. Ada pendapat lain, lafazh ini merupakan khabar dari mubtada’ yang tidak ditampakkan. Gambaran lengkapnya: Yang mengairi dan yang mengenainya adalah hujan gerimis.

Kemudian Allah befirman,

“Apakah ada salah seorang di antara kalian yang ingin mempunyai kebun korma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu, sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian memikirkannya.” (Al-Baqarah: 266).

Menurut Al-Hasan, ini merupakan perumpamaan, dan demi Allah, sedikit sekali orang yang mau memikirkannya. Perumpamaan ini ialah berupa orang yang sudah tua dan lemah fisiknya serta banyak anaknya. Dia kehilangan kebun yang justru sangat dia butuhkan. Demi Allah, sesungguhnya salah seorang di antara kalian sangat membutuhkan amalnya ketika dia meninggalkan dunia.

Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan dari Ubaid bin Umair, dia berkata,

“Suatu hari Umar bertanya kepada para shahabat, tentang apa mereka melihat ayat ini turun?

Dan, selanjutnya seperti yang sudah dikemukakan di atas.

Firman Allah, “Apakah ada salah seorang di antara kalian yang ingin… "dengan lafazh tunggal untuk mencakup makna pengingkaran secara umum, seperti ucapanmu, “Apakah ada seseorang yang melakukan kebaikan ini?”

Ini lebih pas untuk pengingkaran daripada ucapan, “Apakah mereka ingin. . . ?”

Firman Allah, “Ayawaddu” lebih mengena untuk pengingkaran daripada lafazh, “Ayuridu”. Sebab kecintaan keadaan yang disebutkan ini dan harapannya lebih buruk dan lebih diingkari daripada sekedar kehendak.

Firman Allah, “Mempunyai kebun korma dan anggur”, dikhususkan pada dua jenis buah ini, karena keduanya merupakan jenis buah-buahan yang paling baik dan paling banyak manfaatnya. Dua jenis buah-buahan ini dapat dijadikan makanan pokok dan lauk, obat, minuman, buah-buahan segar, manisan, asinan, keduanya dapat dimakan dalam keadaan segar dan kering, dan masih banyak manfaat lain.

Ada perbedaan pendapat tentang mana yang lebih bermanfaat di antara dua macam buah ini. Ada golongan yang memilih pohon korma, dan ada pula golongan yang memilih pohon anggur. Masing masing mengemukakan alasan untuk menguatkan pendapatnya.

Allah telah memberlakukan kebiasaan, bahwa dominasi salah satu di antaranya tidak ada pada yang lain. Selagi tanah yang ditanami menunjang dominasi pohon korma, maka pohon anggur tidak akan mampu menandinginya, sedikit atau banyak. Anggur biasa tumbuh di tanah yang lembik, gembur, sedang dan tidak becek penuh air. Di tanah seperti ini ia akan tumbuh subur dan banyak.

Sedangkan pohon korma bisa tumbuh subur dan banyak di tanah yang panas namun banyak kandungan airnya. Tanah ini tidak cocok untuk pohon anggur. Pohon korma yang tumbuh di tempat yang memang cocok untuknya, lebih baik dan lebih banyak manfaatnya daripada pohon anggur di tempat yang sama. Wallahu a ’lam.

Tapi bukan berarti buah-buahan lain tidak kalah baiknya dan kurang menarik. Daya tarik dan manfaat tetap ada dalam setiap buah. Tapi yang paling banyak manfaatnya adalah korma dan anggur. Disebutkannya korma dan anggur bukan berarti menafikan segala macam buah-buahan di dalamnya. Yang serupa dengan ini adalah firman-Nya,

“Dan, berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kamijadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan yang besar.”(Al-Kahfi: 32-34).

Ada yang berpendapat, buah-buahan di dalam surat Al-Kahfi dan surat Al-Baqarah adalah hal-hal yang bermanfaat dan harta benda. Tapi hubungan kalimatnya menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah buah sebagaimana yang dikenal dan bukan yang lain. Hal ini ditunjukkan di dalam firman-Nya, “Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan.”

Kemudian firman Allah, “Kemudian datanglah masa tua pada orang itu”. Ini merupakan isyarat tentang kebutuhannya yang besar kepada kebunnya dan ketergantungan hati kepadanya, yang dapat dilihat dari beberapa sisi:

  1. Usianya sudah lanjut, sehingga dia tidak mampu lagi bekeija, berniaga atau menangani pekerjaan lainnya.

  2. Ketika Bani Adam masuk usia lanjut, maka kemauannya semakin banyak.

  3. Dia mempunyai anak-anak, sementara dia ingin kelangsungan kebunnya untuk menutup kebutuhan dirinya dan kebutuhan anak-anaknya.

  4. Anak-anaknya itu masih kecil dan lemah, sehingga mereka menjadi beban di pundaknya. Mereka belum bisa memberikan manfaat kepadanya dengan kekuatan dan perbuatan mereka.

  5. Nafkah mereka ada dalam tanggungannya, karena mereka masih kecil dan lemah.

Ini merupakan puncak ketergantungan hati kepada kebun itu, karena dia melihat bahaya yang mengintai dirinya, kebutuhannya dan juga anak-anaknya kepada kebun itu. Jika engkau menggambarkan keadaan dan kebutuhan orang itu, maka seperti apa musibah yang menimpanya jika kebun itu ditiup angin kencang, angin yang berputar-putar di permukaan bumi, membentuk lingkaran seperti tiang ke udara, yang di dalamnya terkandung api? Angin kencang yang mengandung api itu melewati kebun tersebut dan membakarnya hingga hangus berdebu. Benar apa yang dikatakan Al-Hasan, “Ini merupakan perumpamaan, dan demi Allah, sedikit sekali orang yang mau memikirkannya”. Karena itu Allah mengingatkan besarnya perumpamaan ini dan menggugah hati untuk memikirkan nasib orang itu, karena besarnya kebutuhan kepada kebun tersebut. Maka firman Allah, “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat- Nya kepada kalian supaya kalian memikirkannya.

Sekiranya orang yang berakal mau memikirkan perumpamaan ini dan menjadikannya sebagai kiblat hatinya, maka hal ini sudah cukup baginya. Begitu pula seorang hamba, jika dia melakukan suatu ketaatan kepada Allah kemudian dia menyertainya dengan sesuatu yang membatalkan ketaatan itu dan membakarnya dengan kedurhakaan kepada Allah, maka kedurhakaan itu seperti api yang membakar kebun yang ditanami dengan tanaman ketaatan dan amal shalih.

Sekiranya orang yang beramal menggambarkan kedurhakaan kepada Allah setelah ketaatannya dengan penggambaran yang hakiki dan memperhatikannya sebagaimana layaknya, maka demi Allah dia tidak akan berani berbuat semaunya terhadap diri sendiri, dengan membakar amal shalihnya dan membuangnya, kecuali jika dia kehilangan ilmu ketika melakukan kedurhakaan, sehingga dia layak disebut orang jahil.

Padahal setiap orang yang durhaka kepada Allah adalah orang jahil. Jika ada yang bertanya, “Apakah huruf wawu dalam firman Allah, “Wa ashaabahu al-kibaru ”, merupakan wawu keadaan ataukah wawu sambung?

Kalau itu merupakan wawu sambung, lalu disambungkan dengan apa sesudah itu?”

Dapat kami jawab: Hal ini dapat dilihat dari dua sisi:

  1. Itu adalah wawu keadaan. Ini merupakan pendapat yang dipilih Az- Zamakhsyary. Maknanya, apakah salah seorang di antara kalian ingin mempunyai sebuah kebun yang keadaannya begini dan begitu ketika dia sudah tua dan anak-anaknya masih kecil?

  2. Harus disambungkan kepada suatu makna. Keinginan dalam firman Allah, “Apakah ada salah seorang di antara kalian yang ingin… ” lebih banyak dimaksudkan untuk sesuatu yang sudah lalu. Jadi maknanya: Apakah ada orang yang ingin mempunyai kebun korma dan anggur, yang keadaannya seperti yang telah disebutkan itu ketika dia sudah berusia lanjut?

Perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan bagi orang yang menafkahkan harta karena riya’, yang tidak infaqnya itu tidak keluar dari iman, dengan batu licin yang di atasnya ada tanah, yang tidak bisa menumbuhkan apa pun. Bahkan benih yang ditabur di atasnya lenyap, karena tidak adanya iman dan keikhlasan.

Kemudian Allah membuat perumpamaan bagi orang yang melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas, dengan niat karena Allah, kemudian dia melakukan sesuatu yang menggugurkan pahalanya, dengan sebuah kebun yang bagus, subur dan bagus tanamannya, kemudian ia dilahap api hingga musnah. Memang tadinya amalnya itu mendatangkan hasil dan tumbuh, tapi kemudian ia terbakar. Selagi belum memperoleh hasil apa pun, kebun itu keburu terbakar.

==bersambung==

Perumpamaan Harta Yang Dinafkahkan (…lanjutan)

Mahasuci Allah yang telah menjadikan kalam-Nya sebagai kehidupan bagi hati, kesembuhan bagi dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang Mukmin. Kemudian Allah befirman,

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalianyang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian, dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian nafkahkan daripadanya. ”(Al-Baqarah: 267).

Allah mengaitkan hasil usaha kepada mereka, meskipun Dia yang menciptakan perbuatan mereka, karena hasil itu merupakan perbuatan mereka. Sedangkan yang mengeluarkan hasil bumi disandarkan kepada Allah, karena hal itu bukan merupakan perbuatan mereka dan juga di luar kesanggupan mereka. Apa yang sanggup mereka kerjakan dikaitkan kepada mereka, dan perbuatan Allah yang ada di luar kesanggupan mereka dikaitkan kepada Allah. Di sini terkandung bantahan terhadap orang yang menyamakan antara dua jenis ini, yang mencabut kesanggupan hamba, perbuatan dan pengaruhnya secara keseluruhan.

Allah mengkhususkan dua jenis ini, yaitu yang keluar dari bumi dan yang dihasilkan dari usaha berdagang, tanpa yang lainnya dari jenis usaha. Boleh jadi hal ini mengikuti kenyataan hidup yang ada, karena dua jenis usaha inilah yang lebih sering menghasilkan harta pada saat itu. Kaum Muhajirin adalah orang-orang yang ahli dalam berdagang dan berniaga, sedangkan kaum Anshar adalah orang-orang yang ahli dalam bercocok tanam.

Karena itu hanya dua jenis usaha inilah yang disebutkan, karena kebutuhan mereka kepada penjelasan hukum keduanya dan keumuman keberadaannya. Atau boleh jadi karena keduanya merupakan pangkal harta, dan usaha lainnya berasal dari keduanya. Hasil usaha bisa masuk dalam semua jenis perdagangan, dengan berbagai jenis dan tingkatannya, seperti pakaian, makanan, hewan, perkakas, perhiasan dan segala apa pun yang berhubungan dengan perdagangan.

Sedangkan yang keluar dari bumi bisa berupa biji-bijian, buah-buahan dan tambang. Jadi dua jenis ini merupakan sumber harta dan yang paling dominan di bumi. Maka penyebutan keduanya lebih dipentingkan.

Kemudian Allah befirman, “Janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian nafkahkan daripadanya". Allah melarang menafkahkan hasil usaha yang buruk-buruk secara sengaja, seperti kebiasaan kebanyakan jiwa manusia, yang suka menahan hasil usaha yang baik dan memberikan hasil yang buruk kepada orang miskin. Larangan Allah ini untuk perbuatan secara sengaja. Maka lafazh “Memilih” di sini menyerupai maaf bagi siapa yang melakukan hal itu tidak secara sengaja, atau berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak dan dihadiri masing-masing pihak, atau berupa harta yang sejenis.

Yang demikian ini bukan berarti memilih yang buruk, tapi memilih untuk mengeluarkan sebagian yang diberikan Allah kepadanya. Posisi lafazh minhu tunfiquun adalah sebagai hal (keterangan keadaan), artinya janganlah kalian sengaja menafkahkan dari yang buruk itu.

Kemudian firman-Nya, “Padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya". Artinya, sekiranya kalian mempunyai hak untuk menerima hasil yang buruk itu, lalu ia diberikan kepada kalian, tentulah kalian tidak mau menerimanya meskipun ada hak terhadapnya, kecuali kalian harus mempertimbangkan tenggang rasa untuk mengambilnya dan meminta keringanan dalam masalah ini.

Makna ini berasal dari perkataan manusia, “Fulan memejamkan mata dari sebagian haknya. ” Maka biasa dikatakan kepada penjual, “Pejamkan matamu”, artinya agar engkau tidak bisa menghitung, seakan-akan engkau tidak dapat melihat. Hakikatnya adalah memejamkan sebagian kelopak mata. Seakan-akan orang yang melihat tidak mau melihat dengan sepenuh penglihatannya, karena kebenciannya kepada apa yang dilihat. Yang serupa dengan ini dinyatakan dalam perkataan seorang penyair,

Kami tidak pernah diuji dengan keganjilan manusia
terhadap kezhaliman manusia hanya memicingkan mata

Dalam hal ini ada dua makna:

  1. Bagaimana mungkin kalian menafkahkan dan menghadiahkan kepada Allah sesuatu yang kalian pun tidak suka jika ia diberikan kepada kalian, dan salah seorang di antara kalian juga tidak ridha menerimanya dari orang lain? Allah lebih berhak memilih sesuatu yang lebih baik dan lebih beharga bagi-Nya.

  2. Bagaimana mungkin kalian memilihkan bagi Allah sesuatu yang kalian pun tidak suka kepadanya, padahal Dia adalah baik dan tidak menerima kecuali yang baik?

Kemudian Allah menutup dua ayat ini dengan dua sifat yang sesuai dengan hubungan kalimatnya, dengan befirman, “Dan, ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. ” Kekayaan Allah dan pujian-Nya enggan untuk menerima sesuatu yang buruk. Sebab orang yang mau menerima hal yang buruk adalah orang yang buruk pula, entah karena dia membutuhkannya atau entah karena tanpa keengganan hatinya karena ia tidak memiliki kesempurnaan dan kemuliaan. Orang yang kaya, tehormat dan mulia tentu tidak mau menerima hal-hal yang buruk.

Kemudian Allah befirman,

“Syetan menjanjikan kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan; sedang Allah menjanjikan untuk kalian ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan, Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. ”(Al-Baqarah: 268).

Ayat ini mengandung anjuran dan dorongan untuk berinfaq, dengan lafazh yang mendalam dan dengan makna yang amat bagus. Ayat ini mencakup penjelasan orang yang mengajak kepada kikir dan orang yang mengajak kepada infaq dan kedermawanan, di samping penjelasan tentang sarana yang digunakan penyeru kekikiran dan sarana yang digunakan penyeru infaq, serta penjelasan tentang apa yang menjurus kepada dua perkara ini.

Allah mengabarkan bahwa orang yang mengajak manusia kepada kebakhilan dan kekikiran ialah syetan. Dia juga mengabarkan bahwa ajakannya itu ialah sesuatu yang dijanjikannya kepada mereka dan sesuatu yang mereka takutkan, yaitu kemiskinan jika mereka menafkahkan hartanya.

Inilah pendorong yang paling dominan atas manusia.

Salah seorang di antara mereka hendak bershadaqah dan menginfaqkan hartanya. Tapi kemudian dia merasakan bisikan di dalam hati, “Jika engkau mengeluarkan harta ini, maka sebenarnya harta itu engkau perlukan setelah engkau menginfaqkannya. Maka menahannya adalah lebih baik bagimu, agar engkau tidak keleleran seperti orang miskin. Jika engkau yang kaya akan lebih baik daripada dia yang kaya.”

Jika di dalam hatinya membayang gambaran ini, maka syetan akan menyuruhnya kepada kejahatan, yaitu kikir. Inilah yang dijanjikan syetan dan yang diperintahkannya. Padahal syetan ini adalah dusta janjinya dan jahat perintahnya. Maka siapa yang memenuhi ajakannya, dia adalah orang yang tertipu, dia adalah orang yang mencibuk dari tipuan dan kedustaannya, lalu akan menyeret ke kesudahan yang buruk, seperti yang dikatakan dalam syair,

Dengan tipuannya ia menuntun dan menjerembabkan mereka
kepada keburukan bagi orang-orang yang bisa ditipunya

Apa yang dijanjikannya berupa kemiskinan ini bukan merupakan belas kasihan syetan kepadanya dan bukan pula merupakan nasihat, sebagaimana seseorang yang menasihati saudaranya. Hal ini bukan pula ungkapan rasa cinta syetan agar orang itu tetap dalam keadaan kaya.

Bahkan tidak ada yang lebih disukainya selain daripada kemiskinan dan kefakirannya. Kemiskinan yang dijanjikan syetan itu dan perintahnya agar orang itu kikir dan bakhil, agar dia berburuk sangka kepada Rabb-nya dan meninggalkan apa yang disukai-Nya, yaitu berinfaq untuk mencari Wajah-Nya.

Dengan begitu dia tidak akan mendapatkan anugerah dari- Nya. Sedangkan Allah menjanjikan ampunan bagi hamba-Nya, karena dosa-dosanya. Di samping itu, Dia akan mengganti yang lebih banyak dari apa yang dinafkahkannya, bahkan sekian kali lipat lebih banyak, baik di dunia maupun di akhirat.

Inilah janji Allah dan itulah janji syetan. Maka hendaklah orang yang bakhil dan orang yang suka berinfaq meneliti kembali mana di antara dua janji ini yang lebih kuat? Ke mana hatinya lebih condong dan hatinya lebih merasa senang?

Allah memberikan taufiq kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya dan menghinakan siapa pun yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Dia Mahaluas (karunia-Nya) dan Maha Mengetahui.

Perhatikan penutup ayat ini, yang diakhiri dengan dua asma’-Nya,

Dan, Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Sesungguhnya pemberian Allah sangat luas dan Dia mengetahui siapa yang berhak atas karunia-Nya dan siapa yang berhak atas keadilan-Nya. Dia memberi hamba ini dengan karunia-Nya dan menahan dari orang ini dengan keadilan-Nya, dan Dia mengetahui atas segala sesuatu.

Perhatikan baik-baik beberapa ayat ini dan jangan menganggap panjang uraiannya, karena ia memiliki kepentingan tersendiri yang tidak dipikirkan kecuali orang yang memikirkan perkataan Allah dan memahami maksud-Nya.

"Dan, perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. ”(Al-Ankabut: 43).

==bersambung==

Perumpamaan Harta Yang Dinafkahkan (…lanjutan)

Kemudian perhatikan pula penutup surat Al-Baqarah ini, yang merupakan puncak Al-Qur’an, berisi hukum-hukum harta, pembagian-pembagian orang kaya dan keadaan mereka, yang dibagi menjadi tiga golongan:

1. Muhsin

Muhsin adalah orang-orang yang mengeluarkan shadaqah.

Allah menyebutkan pahala mereka dan kelipatannya, perbuatan mereka yang meminjamkan harta mereka kepada Allah, yang kemudian Allah memperingatkan mereka tentang hal-hal yang bisa menggugurkan pahala shadaqah mereka dan yang bisa membakarnya, berupa perkataan yang menyebut-nyebut shadaqah itu dan yang menyakiti perasaan orang yang menerimanya.

Allah juga memperingatkan mereka tentang sesuatu yang bisa menghalangi pengaruhnya semenjak awal, yaitu riya’ . Kemudian Allah memerintahkan agar mereka mendekat kepada-Nya dengan harta yang paling baik, tidak berkeinginan memilih harta yang buruk untuk dinafkahkan.

Kemudian Allah memperingatkan agar mereka tidak memenuhi ajakan orang kepada kikir dan bakhil. Allah mengabarkan bahwa jika mereka memenuhi seruan Allah dan yakin kepada janji-Nya, maka itulah yang lebih baik bagi mereka.

Allah juga mengabarkan bahwa hal ini merupakan hikmah-Nya yang diberikan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Siapa yang diberi-Nya, maka dia telah mendapat kebaikan yang banyak, diberi sesuatu yang lebih baik daripada dunia dan seisinya. Sebab Allah mensifati dunia ini sebagai sesuatu yang sedikit dan hanya sementara. Maka firman-Nya,

“Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia itu hanya sebentar’. ”(An-Nisa’:76).

“Dan, barangsiapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. ”(Al-Baqarah: 269).

Ini menunjukkan bahwa hikmah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, lebih baik baginya daripada dunia dan seisinya. Tidak setiap orang mau memikirkan hal ini. Bahkan orang yang memiliki otak yang encer dan bersih pun belum tentu mau memikirkan hal ini.

Firman Allah, “Dan, hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran. ”

Kemudian Allah mengabarkan bahwa infaq yang mereka nafkahkan atau nadzar yang mereka gunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya, tidak hilang sia-sia di sisi-Nya.

Dia juga mengetahui apa yang dimaksudkan untuk mencari Wajah-Nya, sehingga Dia sendiri yang mengutusi balasan yang berasal dari keluasan karunia-Nya dan menyerahkan balasan amal yang dimaksudkan untuk selain-Nya kepada pelakunya, dan dia adalah orang yang berbuat aniaya terhadap diri sendiri, sedang dia tidak mempunyai seorang penolong pun.

Kemudian Allah mengabarkan keadaan orang-orang yang bershadaqah karena mengharap Wajah-Nya, dan Dia akan memberikan pahala karena shadaqah itu, baik yang dilakukan secara terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi, setelah dilakukannya secara ikhlas karena-Nya.

“Jika kalian menampakkan shadaqah (kalian), maka itu adalah baik sekali. ”(Al-Baqarah: 271).

Artinya, itu adalah sesuatu yang baik. Ini merupakan pujian bagi shadaqah karena keberadaannya yang nyata. Orang yang melakukannya tidak perlu bimbang bahwa pahalanya akan gugur, lalu kebimbangan ini menghalanginya untuk mengeluarkan shadaqah dan menunggu saat yang tepat untuk merahasiakannya, agar tidak ada penghalang antara amalnya dengan hatinya.

Tidak seharusnya dia menangguhkan shadaqah yang akan dia keluarkan secara terang-terangan ketika tiba saatnya mengeluarkan secara terang-terangan, agar dia dapat mengeluarkannya secara sembunyi-sembunyi. Begitulah yang dilakukan para sahabat. Kemudian

Allah befirman,

“Dan, jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian. ”(Al-Baqarah: 271).

Allah mengabarkan bahwa memberikan infaq kepada fakir miskin secara sembunyi-sembunyi, lebih baik bagi pelakunya daripada menampakkannya. Perhatikan pembatasan yang ditetapkan Allah untuk merahasiakan pemberian kepada fakir miskin secara khusus, dan Allah tidak mengatakan, “Jika kalian menyembunyikannya, maka hal itu lebih baik bagi kalian”.

Sebab di antara shadaqah ada yang tak mungkin disembunyikan, seperti menyediakan perlengkapan pasukan perang, membangun jembatan, pembutaan sungai dan lain sebagainya. Tapi ketika memberikannya kepada fakir miskin, maka ada beberapa manfaat untuk menyembunyikannya, seperti menutupi aibnya, tidak membuatnya malu di hadapan manusia, tidak melecehkannya, manusia tidak melihat tangannya selalu menengadah di bawah, karena dia tidak mempunyai apa-apa, sehingga tidak membuatnya minder dalam muamalah.

Yang demikian ini merupakan nilai tambahan dari ihsan kepada fakir miskin hanya karena shadaqah, di samping niat yang ikhlas, tidak untuk riya’ dan mencari pujian di antara manusia. Maka menyembunyikan shadaqah kepada fakir miskin menjadi lebih baik daripada menampakkannya kepada manusia. Karena itulah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memuji shadaqah secara sembunyi-sembunyi dan beliau juga memuji pelakunya.

Beliau juga mengabarkan bahwa orang semacam ini termasuk tujuh orang yang ada dalam lindungan ‘Arsy Ar-Rahman pada hari kiamat. Karena itulah Allah menjadikan shadaqah ini lebih baik bagi pelakunya, dan Dia juga mengabarkan bahwa infaq ini bisa menghapus sebagian dari kesalahan-kesalahannya.

Allah tidak akan menutup mata terhadap amal dan niat mereka, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui tentang apa yang kalian perbuat. Kemudian Allah mengabarkan bahwa manfaat infaq ini kembali kepada dirinya sendiri, kembali kepadanya pada saat yang justru sangat ia butuhkan. Maka bagaimana mungkin seseorang bakhil terhadap dirinya sendiri, tidak ingin mendapatkan manfaat yang justru akan kembali kepadanya?

Infaq yang dikeluarkan orang-orang Mukmin harus dilakukan karena mencari Wajah Allah semata. Sebab infaq itu muncul dari iman mereka, yang kemudian kembali secara utuh kepada mereka, dan Allah tidak berbuat aniaya meskipun hanya seberat dzarrah.

Inti dari uraian ini, bahwa Allah adalah pemberi petunjuk dan taufiq bagi orang yang bermu’amalah dengan-Nya dan yang mementingkan keridhaan-Nya. Yang berhak memberi hidayah bukanlah Rasul-Nya, tetapi Rasul hanya bertugas menyampaikan kepada mereka. Allahlah yang memberi taufiq bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya, yaitu yang mengharapkan keridhaan-Nya.

Orang-orang yang berhak mendapatkan shadaqah. Firman Allah,

“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” (Al-Baqarah: 273).

Allah mensifati orang-orang yang berhak mendapatkan infaq dengan enam sifat:

  1. Fakir miskin.

  2. Mereka terikat oleh jihad fi sabilillah, memerangi musuh-musuh Allah dan menolong agama-Nya. Asal kata al-hashr berarti mencegah atau menghalangi. Artinya, mereka terhalang untuk aktif dalam pekerjaan duniawi dan hanya memusatkan aktifitas untuk bekorban untuk Allah dan berjihad di jalan-Nya.

  3. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk bepergian mencari mata pencaharian dan mengadakan perjalanan di muka bumi. Firman Allah,

    “Dia mengetahui bahwa akan ada diantara kalian orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah. ”(Al-Muzzammil: 20).

    “Dan, apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tiadalah mengapa kalian mengqashar shalat kalian. ”(An-Nisa’: 101).

  4. Mampu menahan diri dan bersabar serta menampakkan dirinya bukan sebagai orang yang fakir. Sehingga orang yang bodoh menganggap mereka orang yang benar-benar kaya karena sifat ini. Mereka tidak menampakkan dirinya sebagai orang-orang yang memerlukan pertolongan.

  5. Mereka dapat dikenali karena sifat-sifat mereka, ciri-ciri khusus yang menunjukkan keadaan mereka seperti yang digambarkan Allah. Hal ini tidak bertentangan dengan anggapan orang yang bodoh, bahwa mereka tampak sebagai orang-orang yang kaya. Sebab orang yang bodoh hanya melihat dari penampakan zhahir, sedangkan orang yang arif atau mutawassim (orang yang biasa memperhatikan tanda-tanda) ialah yang melihat manusia dari sifat-sifatnya. Mutawassimin adalah orang-orang Mukmin yang khusus. Firman Allah,

    “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. ”(Al-Hijr: 75).

  6. Mereka tidak mau meminta-minta kepada orang lain, apalagi dengan cara mendesak. Artinya, mereka tidak meminta-minta dan tidak pula meminta secara mendesak. Tidak pula mereka meminta-minta meskipun dalam keadaan mendesak. Ini seperti peringatan bahwa yang tercela dari meminta-minta ialah meminta dengan cara mendesak. Adapun meminta menurut porsi kebutuhan tanpa mendesak tidak apa-apa. Tapi yang lebih bagus ialah tidak perlu meminta-minta, meskipun hukumnya tidak haram.

Inilah enam sifat bagi orang-orang yang berhak mendapatkan shadaqah. Namun banyak orang yang mengabaikannya, dan mereka cenderung melihat kondisi kemiskinan dan pakaian yang dikenakan, tanpa melihat hakikatnya. Seluruh sifat ini mencerminkan kemuliaan orang yang digambarkan. Orang yang melihat keadaan mereka juga tak kalah mulianya.

Sesungguhnya Allah mengkhususkan taufiq-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Begitulah orang-orang yang berbuat baik (muhsinun) terhadap hartanya.

2. Orang-orang yang zhalim.

Mereka ini kebalikan dari golongan yang pertama. Mereka tega menyembelih orang yang kepepet dan yang membutuhkan. Jika ada orang fakir yang didesak kebutuhan hidup lalu meminta kepada mereka, maka mereka tidak peduli terhadap kesulitan orang fakir itu dan hanya memberi sedikit tambahan dari apa yang mestinya mereka keluarkan.

Mereka ini adalah orang-orang yang biasa menerapkan riba. Maka ciri-ciri mereka disebutkan Allah sesudah itu. Sementara firman Allah kepada orang-orang Mukmin tentang masalah riba,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. ”(Al-Baqarah: 278).

Ayat ini disampaikan sebagai perintah untuk bertakwa kepada-Nya, dan Dia juga memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba setelah turunnya ayat ini. Sementara yang sudah terlanjur dipegang di tangan sebelum ada pengharaman riba ini dimaafkan. Jika tidak, maka apa yang sudah mereka pegang sebelum ada pengharaman juga dikembalikan.

Ketaatan memenuhi perintah ini dibatasi dengan keberadaan iman. Sesuatu yang dibatasi dengan suatu syarat, menjadi tidak berlaku jika syarat itu tidak ada. Kemudian Allah menegaskan pengharaman terhadap mereka dengan nada yang lebih keras, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi orang yang melakukan riba. Maka firman-Nya,

“Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.” (Al-Baqarah: 279).

Yang termasuk dalam cakupan ancaman ini, bahwa orang yang melakukan riba adalah orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Allah telah memperkenankan Rasul-Nya untuk memerangi orang yang melakukan riba. Ancaman ini tidak disebutkan kecuali dalam masalah riba, pemotong jalan dan yang membuat kerusakan di muka bumi. Sebab masing-masing di antara mereka sama-sama membuat kerusakan di muka bumi.

Pemotong jalan adanya perampok adalah orang yang memaksa manusia, yang membebani manusia dengan kesulitan, padahal keadaan mereka pun sudah sulit. Jika mereka tidak meninggalkan riba, maka dia sudah mendapat perkenan dari Allah dan Rasul-Nya untuk diperangi.

Kemudian Allah befirman,

“Dan, jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian. ”(Al-Baqarah: 279).

Artinya, jika kalian meninggalkan riba dan bertaubat kepada Allah dari riba itu, padahal sebelumnya kalian melakukannya, maka pokok harta kembali kepada kalian lagi dan tidak boleh ada tambahan yang lain, agar kalian tidak zhalim kepada pihak lain yang mengambil harta pokok itu. Harta itu juga tidak boleh kurang sehingga ada kezhaliman terhadap dirimu.

Jika yang berhutang dalam keadaan sulit, maka harus ditunggu hingga keadaannya lapang. Jika kalian menshadaqahkan kepadanya dan kalian membebaskannya dari hutang, maka itulah yang lebih utama dan lebih baik bagi kalian.

Jika kalian tidak menghendaki kecuali dengan pembayaran yang sama atau dengan lebihan sekedarnya, maka ingatlah suatu hari ketika kalian kembali kepada Allah, agar Dia yang membatasi amal kalian, dan balasan itu amat kalian butuhkan pada saat itu.

3. Orang-orang yang adil.

Mereka disebutkan dalam ayat tentang hutang-piutang,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka … ”(Al-Baqarah:282).

Tujuan dari ayat ini ialah peringatan dan isyarat. Di sini Allah menyebutkan orang yang adil, yaitu orang yang mengambil pokok harta dari orang yang berhutang kepadanya tanpa ada tambahan dan pengurangan.

Kemudian Allah menutup surat ini dengan penutup yang agung, yang berasal dari simpanan di bawah ‘Arsy-Nya, dan syetan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan ayat-ayat penutup surat Al-Baqarah ini. Di dalamnya juga terkandung ilmu, ma’rifat, kaidah-kaidah Islam dan dasar-dasar iman serta beberapa kedudukan ihsan, yang uraiannya membutuhkan satu kitab tersendiri.