Bagaimana suatu negara mengimplementasikan Revolution In Military Affairs RMA?

Konsep RMA menurut Krevinevich (2007), adalah bahwa Revolution In Military Affairs RMA muncul pada saat penggunaan teknologi baru ke dalam sistem militer yang digabungkan dengan konsep operasional yang inovatif dan adaptasi organisasional yang merubah secara mendasar karakter dan terjadinya sebuah konflik.

Hal ini terjadi dengan menghasilkan peningkatan yang dramatis dalam kekuatan pertempuran dan efektivitas militer suatu angkatan bersenjata.

Bagaimana suatu negara mengimplementasikan Revolution In Military Affairs RMA ?

image

Mempelajari bagaimana suatu negara dalam mengimplementasikan RMA, dapat dilihat pada berbagai pengalaman negara AS, Australia, Kanada dan Singapura. Negara-negara tersebut mewakili negara besar dan negara berkembang yang mencontoh penerapan RMA di negaranya dan menjadikan RMA bukan hanya sebagai teori dan perdebatan lagi. Fenomena negara-negara tersebut dalam menerapkan RMA seringkali disebut dengan US-led phenomenon RMA.

Mempelajari pengalaman AS, munculnya dokumen “Perubahan Mendasar” atau fundamental change menandai dimulainya upaya implementasi RMA pada tahun 1990 oleh Kantor Menteri Pertahanan AS (Office of Secretary of Defense).

Angkatan Darat, Angkatan Laut, Korps Marinir, dan Angkatan Udara AS kemudian mengajukan proposal transformasi dengan menciptakan laboratorium medan perang, merancang eksperimen-eksperimen, dan melakukan permainan simulasi perang. Hal ini mendapat dukungan dari Kongres AS dan menyatakan bahwa penerapan RMA ini sebagai transformasi pertahanan.

Pada tahun 1998, Kongres AS meminta Menteri Pertahanan untuk mendirikan Defense Science Board Task Force untuk memeriksa persiapan transformasi militer. Badan tersebut kemudian mendefinisikan transformasi pertahanan sebagai

bold new ways of conducting military operations to meet new security challenges of the 21st century”(Raska, 2011).

Badan ini juga mengamati bahwa empat matra angkatan di AS memulai eksperimen mengenai konsep perang yang baru. Pada akhir tahun 2001, kesiapan untuk melakukan transformasi pertahanan semakin nyata dengan dibentuknya Office of Force Transformation dengan tugas untuk membangun dan mengimplementasikan gagasan perubahan dalam hal RMA yang salah satu hasilnya adalah network centric warfare.

Sedangkan cara yang ditempuh oleh Australia dalam memulai penerapan RMA adalah dengan membentuk Office of Revolution in Military Affairs pada tahun 1999. Kantor yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan ini bertugas untuk melakukan tinjauan pengembangan teknologi dan mengeksplorasi strategi-strategi untuk menerapkan implementasi RMA, khususnya dalam kemitraannya dengan AS.

Berdasarkan laporan dari Australia, empat komponen dikembangkan sebagai respon terhadap RMA, yaitu daya bunuh senjata (weapon lethality), proyeksi kekuatan (force projection), pemrosesan informasi (information processing), dan pengumpulan informasi intelijen (intelligence collection) (Bitzinger, 2004).

Sebagai hasil praktis, Australia meningkatkan pengembangan mobilitas, daya gempur (firepower), dan kesinambungan (sustainability) dari Angkatan Bersenjata Australia (ADF) dengan memperluas keterpaduan antar matra, meningkatkan dukungan logistik, dan memperkuat kapabilitas amfibi dan ekspedisi, serta melakukan peningkatan pada serangan presisi (precision strike) dan pengumpulan informasi intelijen, pengamatan dan pengintaian.

ADF juga menekankan penggunaan network centric warfare (NCW) untuk memunculkan efek pelipatgandaan kekuatan (force multiplier), dan dengan maksud menjaga keunggulan teknologi dan kekuatan dari negara pesaing potensial di kawasan seperti halnya Indonesia. NCW juga digunakan oleh ADF untuk meningkatkan kerjasama dan interoperability antara Australia dan dengan pasukan AS.

Australia memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari cara bagaimana meningkatkan kompetensi teknologi tinggi sendiri melalui kerjasama program senjata dengan AS, seperti halnya yang terjadi pada proyek Jindalee Over the Horizon Radar

Kebijakan pertahanan yang merefleksikan penerapan RMA, juga telah dilaksanakan oleh Kanada. Kanada memulai RMA dengan penyusunan buku putih pertahanan pada tahun 1994 yang menyatakan bahwa Kanada harus memiliki angkatan bersenjata yang dapat berperang bersama pasukan yang terbaik dan dapat melawan pasukan terbaik (fight alongside the best and against the best).

Departemen Pertahanan Nasional Kanada (DND) pada tahun 1998 kemudian membentuk Defence Management Committee untuk mengarahkan perspektif Kanada tentang RMA. Beberapa konferensi, kajian, dan paper mengenai RMA juga dilakukan untuk membahas mengenai implikasi teknologi, doktrin, dan organisasi terhadap Angkatan Bersenjata Kanada.

Beberapa konklusi dan rekomendasi juga dihasilkan dari pembahasan-pembahasan tersebut yang kemudian menghasilkan kebijakan pertahanan bernama Shaping the Future of the Canadian Forces: A Strategy for 2020 pada tahun 1999 yang dilengkapi dengan panduan kebijakan pertahanan berupa Defence Planning Guidance 2000 yang merefleksikan visi 2020 dan penerapan RMA secara konsisten (Sloan, 2000).

Langkah yang ditempuh oleh Kanada dalam menerapkan RMA terbagi menjadi dua:

  1. RMA Technology
    Langkah ini dilakukan dengan menginvestasikan atau mengakuisisi peralatan yang berkaitan dengan RMA. Contohnya adalah pengadaan pesawat tempur yang dapat melakukan serangan dan pengeboman secara presisi. Peralatan sensor infra merah, laser designator dan amunisi presisi berpandu laser (laser-guidance precision munition) melengkapi pesawat tempur Kanada.

    Hal ini kemudian membawa Kanada bergabung dalam operasi NATO di Kosovo pada tahun 1999.

    Langkah lain dalam hal teknologi adalah dengan melakukan investasi dalam kapabilitas C4I (Command, Control, Communication, Computing, and Intelligence). Hal ini dilakukan Kanada dengan meluncurkan satelit komunikasi militer, digitalisasi medan perang dan peningkatan kemampuan komunikasi kapal perang. Namun demikian, dari sumber tersebut Kanada masih mendapat kendala anggaran dalam investasi teknologi ISR (intelligence, surveillance, and reconaisance).

  2. RMA Doctrine and Organizational Changes
    Angkatan Bersenjata Kanada juga mengambil langkah-langkah dalam pengembangan doktrin berdasarkan RMA. Hal ini dilakukan Kanada dengan penggabungan markas menjadi satu markas dengan membuat organisasi tersebut memiliki kapabilitas C4I dalam operasional perang.

    Doktrin yang dikembangkan lainnya adalah “Jointness” atau keterpaduan antar matra angkatan bersenjata (AD, AL, dan AU), pengembangan pasukan dengan mobilitas tinggi, serta perubahan fokus operasi AL bukan hanya pada laut terbuka, tapi juga perairan litoral dangkal yang berbahaya.

Sedangkan Implementasi RMA di Singapura dikaitkan dengan kondisi negara yang memiliki kelemahan strategis. Kementerian Pertahanan Singapura melihat bahwa teknologi informasi adalah kritikal, dan sangat mungkin menentukan dalam konflik di masa depan.

Upaya Singapura dilakukan dengan cara membentuk doktrin Integrated Knowledge-based Command and Control (IKC2). Konsep doktrin ini menekankan akuisisi, pengembangan, dan integrasi teknologi dalam komando dan pengendalian dengan sistem ISR (intelligence, Surveilance, dan Reconaisance), serta senjata presisi berpandu.

Area RMA yang juga dikembangkan oleh Kementerian Pertahanan Singapura adalah peralatan elektronik yang maju, pemroses signal, keamanan sistem informasi, sistem kendali yang maju, komunikasi, peperangan elektronik, sensor dan kendaraan nir awak.

Dari segi kebijakan, Singapura telah membentuk Future System Directorate, dan Center for Military Experimentation. Kedua lembaga ini akan melakukan tugas menerapkan konsep IKC2 sebagai upaya Singapura dalam menerjemahkan RMA.

Lingkungan strategis keamanan, strategi pertahanan, dan persepsi ancaman menjadikan perubahan konsep keamanan juga menjadi keniscayaan di Israel. Dengan pengalaman beberapa kali berperang dengan negara lain serta ancaman low intensity conflict sampai saat ini, membuat Israel harus hidup dengan persiapan untuk berperang, atau memperkirakan secara serius mengenai perang.

Sebagai hasil dari keadaan tersebut, angkatan bersenjata Israel (Israel Defense Force/IDF), telah mengeluarkan peta jalan kepada perubahan doktrin, organisasi, dan material yang didasarkan kepada RMA dengan tujuan untuk memelihara dan memperbaharui posisi strategis Israel.

Referensi :

  • Mark D. Mandeles, Military Transformation Past and Present, Historical Lesson for 21st Century, (Connecticut: Praeger Security International, 2007).
  • Elinor Sloan, “Canada and the Revolution in Military Affairs: Current Response and Future Opportunities” Canadian Military Journal, Autumn 2000,

Sumber :

  • R. Mokhamad Luthfi, Implementasi Revolution in Military Affairs (RMA) Dalam Kebijakan Pertahanan Indonesia, 2012

image

Tersebarnya konsep RMA dan interaksi negara yang mengadopsi RMA dengan negara lain, telah membuat berbagai negara tertarik untuk menerapkannya dalam organisasi militer mereka.

Menurut Raska (2011), perjalanan yang ditempuh oleh negara untuk menerapkan RMA meliputi :

  1. Paths: emulations, adaptation, and innovation
  2. Patterns: speculation, experimentation, and implementation
  3. Magnitude: exploration, modernization, and transformation

Penjelasan mengenai paths, menurut Raska (2011)48 mengutip Farrel dan Terrif, meliputi military emulation. Yaitu kegiatan melibatkan impor peralatan dan cara-cara baru perang, melalui imitasi organisasi militer yang lain. Sedangkan adaptasi didefinisikan melalui penyesuaian sarana militer yang ada dan metode di mana beberapa adaptasi dari waktu ke waktu dapat menyebabkan inovasi. Inovasi militer adalah bagaimana mengembangkan teknologi militer, taktik, strategi, dan struktur organisasi yang baru.

Farrel, sebagaimana dikutip Raska menyebutkan bahwa dengan mengadaptasi konsep berorientasi RMA, teknologi, organisasi lain, dan organisasi militer dapat mengubah taktik, konsep, dan teknologi senjata yang ada saat ini. Pada saat yang sama, organisasi militer mungkin mengekplorasi RMA dengan mengembangkan cara dan tujuan operasi militer yang baru. Farrel juga menyatakan bahwa jika eksplorasi RMA menuju ke doktrin inovatif atau perubahan struktural, maka telah melewati ambang batas dari inovasi.

Dalam hal patterns (pola), Mahnken dalam Raska (2011) menjelaskan bahwa institusi militer mengembangkan pendekatan kedalam pertempuran dalam tiga pola yang berbeda namun seringkali tumpang tindih. Spekulasi adalah menggunakan cara baru untuk memecahkan masalah operasional yang ada, atau mengetahui adanya potensi dari kemunculan teknologi.

Jika spekulasi ini berkembang menjadi kewaspadaan, institusi militer akan membangun organisasi eksperimen, laboratorium perang, teknologi senjata, dan metode perang. Dengan proses eksperimen yang dalam dan luas, konsensus dapat muncul antara pemimpin militer dan matra-matra angkatan bersenjata untuk memutuskan mengadopsi, mengadaptasi, dan memperbaiki konsep operasional yang terpilih. Yaitu pada taktik bertempur, struktur dan organisasi pasukan, atau sistem senjata dan teknologi yang baru.

Tahap implementasi dapat berupa sejumlah indikator: pembangunan organisasi militer yang baru, revisi doktrin untuk mengakomodasi cara perang yang baru, konsep baru alokasi sumber daya pendukung, membangun strategi transformasi baru secara formal, mendirikan unit militer yang inovatif, membangun markas-markas cabang (branches) dengan peta karir yang baru, dan pelatihan lapangan baru yang menggunakan doktrin, organisasi dan sistem senjata yang baru.

Magnitude atau tingkat yang dicapai oleh negara dalam menerapkan RMA, dibentuk oleh karakter strategis faktor penggerak, peluang dan ancaman yang memberikan motif dan pemicu. Menurut Raska (2011), hal ini juga mungkin termasuk aktor pendorong dalam realisme struktural seperti yang Raska nyatakan:

these may include structural realist drivers such as the emergence of new strategic and operational challenges, existing security dillemas and predicament that may be required to meet new alliance obligations. Economic drivers include the interest of military industrial complexes that may specific defense industrial innovation processes, as well as defense policies and military practices, to adopt selected RMA concepts and technologies.

Faktor pendorong yang berasal dari teknologi menegaskan keunggulan komparatif dalam mengadopsi dan beradaptasi pada teknologi komersial sipil ke dalam bidang militer. Sedangkan faktor penggerak kelembagaan menekankan peran birokrasi dalam menginterpretasi RMA seperti juga halnya norma-norma, kondisi, dan berbagai praktik yang didapat dari luar negeri. Selain itu, ada faktor penggerak budaya yang memperkuat peran budaya strategis dan pembelajaran dalam hubungan sipil-militer yang lebih luas dan dampaknya kepada penggunaan kekerasan.

Raska (2011), bersumber dari Mahnken (1999); Farrel, Terriff (2002); Ross (2010), mengonseptualisasikan perjalanan negara untuk menerapkan RMA tersebut kedalam grafik sebagai berikut:

image

Referensi :

  • Theo Farrell, “Improving in War: Military Adaptation and the British in Helmand (2006-
  • 2009)”, Journal of Strategic Studies 33, No. 4 (2010), hal. 567–94, dan Stephen P. Rosen, “New Ways of War: Understanding Military Innovation”, International Security 13, No. 1
  • (1988).
  • Thomas Mahnken, “Uncovering Foreign Military Innovation”, Journal of Strategic Studies
  • 22, No. 4 (1999).
  • R. Mokhamad Luthfi, Implementasi Revolution in Military Affairs (RMA) Dalam Kebijakan Pertahanan Indonesia