Mempelajari bagaimana suatu negara dalam mengimplementasikan RMA, dapat dilihat pada berbagai pengalaman negara AS, Australia, Kanada dan Singapura. Negara-negara tersebut mewakili negara besar dan negara berkembang yang mencontoh penerapan RMA di negaranya dan menjadikan RMA bukan hanya sebagai teori dan perdebatan lagi. Fenomena negara-negara tersebut dalam menerapkan RMA seringkali disebut dengan US-led phenomenon RMA.
Mempelajari pengalaman AS, munculnya dokumen “Perubahan Mendasar” atau fundamental change menandai dimulainya upaya implementasi RMA pada tahun 1990 oleh Kantor Menteri Pertahanan AS (Office of Secretary of Defense).
Angkatan Darat, Angkatan Laut, Korps Marinir, dan Angkatan Udara AS kemudian mengajukan proposal transformasi dengan menciptakan laboratorium medan perang, merancang eksperimen-eksperimen, dan melakukan permainan simulasi perang. Hal ini mendapat dukungan dari Kongres AS dan menyatakan bahwa penerapan RMA ini sebagai transformasi pertahanan.
Pada tahun 1998, Kongres AS meminta Menteri Pertahanan untuk mendirikan Defense Science Board Task Force untuk memeriksa persiapan transformasi militer. Badan tersebut kemudian mendefinisikan transformasi pertahanan sebagai
“bold new ways of conducting military operations to meet new security challenges of the 21st century”(Raska, 2011).
Badan ini juga mengamati bahwa empat matra angkatan di AS memulai eksperimen mengenai konsep perang yang baru. Pada akhir tahun 2001, kesiapan untuk melakukan transformasi pertahanan semakin nyata dengan dibentuknya Office of Force Transformation dengan tugas untuk membangun dan mengimplementasikan gagasan perubahan dalam hal RMA yang salah satu hasilnya adalah network centric warfare.
Sedangkan cara yang ditempuh oleh Australia dalam memulai penerapan RMA adalah dengan membentuk Office of Revolution in Military Affairs pada tahun 1999. Kantor yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan ini bertugas untuk melakukan tinjauan pengembangan teknologi dan mengeksplorasi strategi-strategi untuk menerapkan implementasi RMA, khususnya dalam kemitraannya dengan AS.
Berdasarkan laporan dari Australia, empat komponen dikembangkan sebagai respon terhadap RMA, yaitu daya bunuh senjata (weapon lethality), proyeksi kekuatan (force projection), pemrosesan informasi (information processing), dan pengumpulan informasi intelijen (intelligence collection) (Bitzinger, 2004).
Sebagai hasil praktis, Australia meningkatkan pengembangan mobilitas, daya gempur (firepower), dan kesinambungan (sustainability) dari Angkatan Bersenjata Australia (ADF) dengan memperluas keterpaduan antar matra, meningkatkan dukungan logistik, dan memperkuat kapabilitas amfibi dan ekspedisi, serta melakukan peningkatan pada serangan presisi (precision strike) dan pengumpulan informasi intelijen, pengamatan dan pengintaian.
ADF juga menekankan penggunaan network centric warfare (NCW) untuk memunculkan efek pelipatgandaan kekuatan (force multiplier), dan dengan maksud menjaga keunggulan teknologi dan kekuatan dari negara pesaing potensial di kawasan seperti halnya Indonesia. NCW juga digunakan oleh ADF untuk meningkatkan kerjasama dan interoperability antara Australia dan dengan pasukan AS.
Australia memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari cara bagaimana meningkatkan kompetensi teknologi tinggi sendiri melalui kerjasama program senjata dengan AS, seperti halnya yang terjadi pada proyek Jindalee Over the Horizon Radar
Kebijakan pertahanan yang merefleksikan penerapan RMA, juga telah dilaksanakan oleh Kanada. Kanada memulai RMA dengan penyusunan buku putih pertahanan pada tahun 1994 yang menyatakan bahwa Kanada harus memiliki angkatan bersenjata yang dapat berperang bersama pasukan yang terbaik dan dapat melawan pasukan terbaik (fight alongside the best and against the best).
Departemen Pertahanan Nasional Kanada (DND) pada tahun 1998 kemudian membentuk Defence Management Committee untuk mengarahkan perspektif Kanada tentang RMA. Beberapa konferensi, kajian, dan paper mengenai RMA juga dilakukan untuk membahas mengenai implikasi teknologi, doktrin, dan organisasi terhadap Angkatan Bersenjata Kanada.
Beberapa konklusi dan rekomendasi juga dihasilkan dari pembahasan-pembahasan tersebut yang kemudian menghasilkan kebijakan pertahanan bernama Shaping the Future of the Canadian Forces: A Strategy for 2020 pada tahun 1999 yang dilengkapi dengan panduan kebijakan pertahanan berupa Defence Planning Guidance 2000 yang merefleksikan visi 2020 dan penerapan RMA secara konsisten (Sloan, 2000).
Langkah yang ditempuh oleh Kanada dalam menerapkan RMA terbagi menjadi dua:
-
RMA Technology
Langkah ini dilakukan dengan menginvestasikan atau mengakuisisi peralatan yang berkaitan dengan RMA. Contohnya adalah pengadaan pesawat tempur yang dapat melakukan serangan dan pengeboman secara presisi. Peralatan sensor infra merah, laser designator dan amunisi presisi berpandu laser (laser-guidance precision munition) melengkapi pesawat tempur Kanada.
Hal ini kemudian membawa Kanada bergabung dalam operasi NATO di Kosovo pada tahun 1999.
Langkah lain dalam hal teknologi adalah dengan melakukan investasi dalam kapabilitas C4I (Command, Control, Communication, Computing, and Intelligence). Hal ini dilakukan Kanada dengan meluncurkan satelit komunikasi militer, digitalisasi medan perang dan peningkatan kemampuan komunikasi kapal perang. Namun demikian, dari sumber tersebut Kanada masih mendapat kendala anggaran dalam investasi teknologi ISR (intelligence, surveillance, and reconaisance).
-
RMA Doctrine and Organizational Changes
Angkatan Bersenjata Kanada juga mengambil langkah-langkah dalam pengembangan doktrin berdasarkan RMA. Hal ini dilakukan Kanada dengan penggabungan markas menjadi satu markas dengan membuat organisasi tersebut memiliki kapabilitas C4I dalam operasional perang.
Doktrin yang dikembangkan lainnya adalah “Jointness” atau keterpaduan antar matra angkatan bersenjata (AD, AL, dan AU), pengembangan pasukan dengan mobilitas tinggi, serta perubahan fokus operasi AL bukan hanya pada laut terbuka, tapi juga perairan litoral dangkal yang berbahaya.
Sedangkan Implementasi RMA di Singapura dikaitkan dengan kondisi negara yang memiliki kelemahan strategis. Kementerian Pertahanan Singapura melihat bahwa teknologi informasi adalah kritikal, dan sangat mungkin menentukan dalam konflik di masa depan.
Upaya Singapura dilakukan dengan cara membentuk doktrin Integrated Knowledge-based Command and Control (IKC2). Konsep doktrin ini menekankan akuisisi, pengembangan, dan integrasi teknologi dalam komando dan pengendalian dengan sistem ISR (intelligence, Surveilance, dan Reconaisance), serta senjata presisi berpandu.
Area RMA yang juga dikembangkan oleh Kementerian Pertahanan Singapura adalah peralatan elektronik yang maju, pemroses signal, keamanan sistem informasi, sistem kendali yang maju, komunikasi, peperangan elektronik, sensor dan kendaraan nir awak.
Dari segi kebijakan, Singapura telah membentuk Future System Directorate, dan Center for Military Experimentation. Kedua lembaga ini akan melakukan tugas menerapkan konsep IKC2 sebagai upaya Singapura dalam menerjemahkan RMA.
Lingkungan strategis keamanan, strategi pertahanan, dan persepsi ancaman menjadikan perubahan konsep keamanan juga menjadi keniscayaan di Israel. Dengan pengalaman beberapa kali berperang dengan negara lain serta ancaman low intensity conflict sampai saat ini, membuat Israel harus hidup dengan persiapan untuk berperang, atau memperkirakan secara serius mengenai perang.
Sebagai hasil dari keadaan tersebut, angkatan bersenjata Israel (Israel Defense Force/IDF), telah mengeluarkan peta jalan kepada perubahan doktrin, organisasi, dan material yang didasarkan kepada RMA dengan tujuan untuk memelihara dan memperbaharui posisi strategis Israel.
Referensi :
- Mark D. Mandeles, Military Transformation Past and Present, Historical Lesson for 21st Century, (Connecticut: Praeger Security International, 2007).
- Elinor Sloan, “Canada and the Revolution in Military Affairs: Current Response and Future Opportunities” Canadian Military Journal, Autumn 2000,
Sumber :
- R. Mokhamad Luthfi, Implementasi Revolution in Military Affairs (RMA) Dalam Kebijakan Pertahanan Indonesia, 2012