Bagaimana Struktur Kerajaan Bone?

Struktur Kerajaan Bone

Bagaimana Struktur Kerajaan Bone ?

Struktur Kerajaan Bone


Struktur kerajaan penting untuk dikemukan dalam kajian ini, untuk menggambarkan hirarki politik Kerajaan Bone pra-Islam dan apakah terjadi perombakan atau perubahan struktur kerajaan setelah diterimanya Islam sebagai agama resmi kerajaan, khususnya dalam proses akulturasi Islam dalam kehidupan politik. Struktur pemerintahan Kerajaan Bone pra-Islam tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di jazirah Sulawesi Selatan. Persamaan ini disebabkan karena konsep kehadiran dan prosesi kedatangan To Manurung bagi kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar juga sama. Adapun Struktur pemerintahan Kerajaan Bone, adalah sebagai berikut:

1. Arung Mangkau

Arung Mangkau atau raja merupakan sentral kegiatan politik pemerintahan, kemasyarakatan dan upacara keagamaan. Karena masyarakat menganggap To Manurung dan keturunan yang berhak menduduki jabatan tersebut dan yang memiliki kekuatan kharismatik seperti yang dijelaskan oleh Ahmad M. Sewang, To Manurung merupakan simbol yang sangat dimuliakan dan hidup dalam lingkungan sosial yang terpisah dari masyarakat kebanyakan. Karena Arung Mangkau hidup dalam lingkungan yang terpisah dari masyarakat, kebanyakan hidup di istana, maka di istananya pun dilengkapi dengan para petugas istana serta dayang-dayang dan dikelilingi oleh anak-anak bangsawan dan kaum kerabatnya.

Arung Mangkau atau raja di Kerajaan Bone bergelar Arumpone (raja di pusat Bone), biasa juga ia digelar dengan “ Petta Mangkaue ” (raja yang berkuasa dan duduk di atas tahta kerajaan). Raja diangkat atas dasar musyawarah dan mufakat oleh Ade Pitue setelah dibentuk sesuai dengan sistem aristokrasi, akan tetapi sebelum dibentuknya Ade Pitue raja Bone dipilih raja sebelumnya dan dari keturunannya. Di Kerajaan Bone raja tidak hanya diperuntukkan kepada seorang laki-laki, tetapi terbuka untuk perempuan. Oleh karena darah dan keturunan yang lebih diperhatikan, maka sepanjang sejarah Kerajaan Bone pernah dipimpin oleh tujuh raja perempuan. Hal ini membuktikan, bahwa darah sangat memegang peran penting dalam menunjuk siapa yang berhak menjadi raja. Darah bangsawan menjadi pilihan utama. Oleh karena itu, meskipun seseorang itu masih kecil atau belum cukup umur, ia akan tetap dilantik menjadi raja, seperti Raja Bone III La Saliu Karampeluwa. Dalam Lontara Akkarungnge ri Bone, dikatakan bahwa beliau dilantik sehari setelah beliau lahir.

Arung Mangkau atau Raja Bone tidak hanya diduduki oleh putra mahkota secara turun temurun dari ayah kepada anaknya, tetapi bila ditelaah lebih rinci lagi banyak Raja Bone yang digantikan oleh sepupu, keponakan, dan saudaranya. Ini menandakan syarat terpenting bagi seseorang untuk menduduki tahta kerajaan adalah kemurnian darahnya. Persyaratan itu dianggap sebagai suatu hal yang tidak dapat diganggu gugat, karena mereka adalah putra-putri keturunan To Manurung.

2. To Marilaleng

To Marilaleng artinya orang di dalam. Jabatan To Marilaleng dapat disejajarkan dengan Perdana Menteri sekarang ini dalam struktur pemerintahan. Struktur ini dibentuk pada masa pemerintahan Raja Bone X We Tenri Tuppu Matinroe ri Sidenreng (±1602-1611 M), dalam lontara Attoriolong dikatakan bahwa Arumpone (raja Bone) membentuk To Marilaleng dan memasukkan Arung Pitue dalam struktur To Marilaleng dengan alasan beliau sebagai perempuan yang harus dijaga dan selalu dibimbing dalam menjalankan pemerintahannya.

To Marilaleng bertugas mengatur semua urusan mengenai pengadilan dan urusan rumah tangga pemerintahan. Seseorang yang menduduki jabatan ini haruslah keturunan bangsawan. Arung Ujung yang juga annggota Ade Pitue merangkap sebagai To Marilaleng Malolo, yang mengepalai seluruh palili atau raja kecil. Semua perintah raja disampaikan palili lewat To Marilaleng Malolo.

3. Ade Pitue

Ade Pitue awalnya adalah Matowa Pitue dari tujuh unit kerajaan pada saat terbentuknya Kerajaan Bone. Ade Pitue yang juga lazim disebut Arung Pitue, dibentuk oleh Raja Bone ke X We Tentituppu Matinroe ri Seidenreng, seperti yang dijelaskan dalam Lontara Attoriolong:

Inilah raja, mendirikan Arung Pitue, yaitu Matowa Tobojong menjadi Arung Tibojong, Matowa Ta menjadi Arung Ta, Matowa Tanete Riattang menjadi Arung Tanete Rianttang, Matowa Tanete Riawang menjadi Arung Tanete Riawang, Matowa Macege menjadi Arung Macege, Matowa Ujung menjadi Arung Ujung, Matowa Ponceng menjadi Arung Ponceng.

Adapun mengenai tugas dari Ade Pitue, lebih lanjut lontara menyebutkan sebagai berikut:

Berkata Arung Pone, saya mengangkat engkau Arung Pitu, dengan maksud untuk membantu saya dalam menjalankan pemerintahan, mengawasi pertanian, mengatur dan menerima tamu Kerajaan None sebab saya perempuan, begitu pula untuk mencari dan memelihara harta benda istana yang terpencar-pencar, akan tetapi engkau sama sekali tidak berhak memindahkan jabatan, yang engkau pangkau kepada anak cucumu sebelum mendapat persetujuan dari kita semua anak keturunan Mappajungnge dan mendapatkan persetujuan dari Raja Bone yang berkuasa pada waktu itu.

Perubahan Dewan Matowa Pitue menjadi Ade Pitue pada dasarnya bukan saja perubahan istilah, tetapi perubahan yang menyangkut tentang intensifikasi pemusatan kekuasaan dalam satu bentuk kesatuan. Sebelumnya Matowa Pitue merangkap sebagai anggota Dewan dalam Kawerang (pusat kerajaan) Bone dan juga kapala wanua, maka ketika menjadi Ade Pitue peranannya sebagai kepala wanua dilepaskan dan berperan sepenuhnya sebagai pejabat kekuasaan pusat kerajaan. Ade Pitue yang merupakan Dewan Menteri yang disebut Pampawa Ade atau Pakkatenni Ade.

Arung Pitue ini merupakan jabatan turun temurun dan mereka menjalankan beberapa bidang pekerjaan demi kepentingan raja dan rakyat banyak. Mereka ini membawahi beberapa sektor, kecuali yang berhubungan dengan perdagangan, perhubungan laut, beacukai, keagamaan, dan perkawinan. Dalam menjalankan tugasnya mereka masing-masing memiliki seorang pembantu yang disebut Sulewetang atau Arung Palili yang juga memiliki pembantu yang disebut Mado. Tugas mereka adalah sebagai pengganti apabila yang bersangkutan berhalangan untuk menghadiri undangan atau persidangan.

Tugas Ade Pitue sangat penting dalam struktur Kerajaan Bone, mereka akan dimintai pertimbangannya ketika raja ingin memutuskan sesuatu dan bahkan Ade Pitue bisa memberhentikan dan mencari pengganti raja, apabila raja dianggap memutuskan sesuatu yang tidak sesuai keinginan rakyat dan pertimbangan mereka. Hal ini terungkap ketika Ade Pitue bermufakat ketika Raja La Teriruwa (1611) menginginkan agama Islam dianut oleh rakyatnya dan sebagai agama resmi kerajaan, yang diserukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Pertimbangan Ade Pitue dan kekukuhan Raja La Tenriruwa untuk menerima Islam, maka Ade Pitue memutuskan untuk memberhentikan Latenriruwa sebagai raja dan menggatikannya dengan La Tenripale (±1611-1626 M).

Ade Pitue sebagai pejabat istana yang mengurusi hal-hal peradilan dalam arti luas, meliputi seluruh segi pelanggaran pangngadereng. Dalam melakukan peranannya dalam peradilan juga disebut To Mabbicara dan diartikan sebagai hakim. Secara struktural To Mabbicara dalam pemerintahan sangat penting. Demikian pentingnya, sehingga dalam Latoa banyak sekali ditekankan masalah kesejahteraan rakyat dan keselamatan negara sehubungan dengan jabatan dan tanggung jawab To Mabbicara.

To Mabbicara sebagai orang kedua dalam tampuk kekuasaan negara, juga menjadi berkewajiban untuk mendidik putera-puteri raja, sehingga mereka mengerti dan menghayati pangngadereng. To Mabbicara selalu bermusyawarah dengan para pancennangeng (penyelenggara tugas-tugas dalam istana) untuk penyerap aspirasi dari orang bawahan, mereka juga menuntun rakyat untuk memahami dan menghayati pangngadereng sebaik-baiknya, dan juga menjaga agar rakyat tidak terjerumus ke dalam bencana.

Inti tugas To Mabbicara pada umumnya adalah menghayati pangngadereng, menyelenggarakan dan mempertahankannya. Ade’ harus dipelihara, harus dihormati, karena ade’ adalah manifestasi keberadaan manusia sendiri. To Mabbicara sebagai penyelenggara pangngadereng yang berdiri di atas kepentingan raja dan rakyat, melindungi kepentingan yang lemah dan mematahkan kesewenang-wenangan dari kuat.

Pelras yang mengutip laporan James Brooke, menjelaskan tentang struktur Kerajaan Bone sangat sentralistik dan otoriter, meskipun pemilihan raja (Arung Mangkaue) dan perdana menteri (To Marilaleng) tetap diputuskan oleh sebuah dewan bernama Arung Pitue. Pada mulanya Kerajaan Bone juga berbentuk konfederasi, akan tetapi meski wanua sudah memiliki arung, organisasi, serta hukum sendiri, namun kekuasaan pusat terhadap wanua bawahannya lebih besar jika dibandingkan dengan kerajaan Bugis mana pun, kecuali Kerajaan Luwu. Perubahan struktur Kerajaan Bone, dikarenakan terbentuknya dewan ade pitue yang mempunyai banyak peran dalam struktur kerajaan dan anggota ade pitue berasal dari penguasa tujuh wanua dari tujuh daerah cikal bakal terbentuknya Kerajaan Bone.

Struktur Kerajaan Bone

Struktur kerajaan penting untuk dikemukan dalam kajian ini, untuk menggambarkan hirarki politik Kerajaan Bone pra-Islam dan apakah terjadi perombakan atau perubahan struktur kerajaan setelah diterimanya Islam sebagai agama resmi kerajaan, khususnya dalam proses akulturasi Islam dalam kehidupan politik. Struktur pemerintahan Kerajaan Bone pra-Islam tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di jazirah Sulawesi Selatan. Persamaan ini disebabkan karena konsep kehadiran dan prosesi kedatangan To Manurung bagi kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar juga sama. Adapun Struktur pemerintahan Kerajaan Bone, adalah sebagai berikut:

  1. Arung Mangkau

Arung Mangkau atau raja merupakan sentral kegiatan politik pemerintahan, kemasyarakatan dan upacara keagamaan. Karena masyarakat menganggap To Manurung dan keturunan yang berhak menduduki jabatan tersebut dan yang memiliki kekuatan kharismatik30 seperti yang dijelaskan oleh Ahmad M. Sewang, To Manurung merupakan simbol yang sangat dimuliakan dan hidup dalam lingkungan sosial yang terpisah dari masyarakat kebanyakan. Karena Arung Mangkau hidup dalam lingkungan yang terpisah dari masyarakat, kebanyakan hidup di istana, maka di istananya pun dilengkapi dengan para petugas istana serta dayang-dayang dan dikelilingi oleh anak-anak bangsawan dan kaum kerabatnya.

Arung Mangkau atau raja di Kerajaan Bone bergelar Arumpone (raja di pusat Bone), biasa juga ia digelar dengan “Petta Mangkaue” (raja yang berkuasa dan duduk di atas tahta kerajaan). Raja diangkat atas dasar musyawarah dan mufakat oleh Ade Pitue setelah dibentuk sesuai dengan sistem aristokrasi, akan tetapi sebelum dibentuknya Ade Pitue raja Bone dipilih raja sebelumnya dan dari keturunannya. Di Kerajaan Bone raja tidak hanya diperuntukkan kepada seorang laki-laki, tetapi terbuka untuk perempuan. Oleh karena darah dan keturunan yang lebih diperhatikan, maka sepanjang sejarah Kerajaan Bone pernah dipimpin oleh tujuh raja perempuan. Hal ini membuktikan, bahwa darah sangat memegang peran penting dalam menunjuk siapa yang berhak menjadi raja. Darah bangsawan menjadi pilihan utama. Oleh karena itu, meskipun seseorang itu masih kecil atau belum cukup umur, ia akan tetap dilantik menjadi raja, seperti Raja Bone III La Saliu Karampeluwa. Dalam Lontara Akkarungnge ri Bone, dikatakan bahwa beliau dilantik sehari setelah beliau lahir. Arung Mangkau atau Raja Bone tidak hanya diduduki oleh putra mahkota secara turun temurun dari ayah kepada anaknya, tetapi bila ditelaah lebih rinci lagi banyak Raja Bone yang digantikan oleh sepupu, keponakan, dan saudaranya. Ini menandakan syarat terpenting bagi seseorang untuk menduduki tahta kerajaan adalah kemurnian darahnya. Persyaratan itu dianggap sebagai suatu hal yang tidak dapat diganggu gugat, karena mereka adalah putra-putri keturunan To Manurung.

  1. To Marilaleng

To Marilaleng artinya orang di dalam. Jabatan To Marilaleng dapat disejajarkan dengan Perdana Menteri sekarang ini dalam struktur pemerintahan. Struktur ini dibentuk pada masa pemerintahan Raja Bone X We Tenri Tuppu Matinroe ri Sidenreng (±1602-1611 M), dalam lontara Attoriolong dikatakan bahwa Arumpone (raja Bone) membentuk To Marilaleng dan memasukkan Arung Pitue dalam struktur To Marilaleng dengan alasan beliau sebagai perempuan yang harus dijaga dan selalu dibimbing dalam menjalankan pemerintahannya.

To Marilaleng bertugas mengatur semua urusan mengenai pengadilan dan urusan rumah tangga pemerintahan. Seseorang yang menduduki jabatan ini haruslah keturunan bangsawan. Arung Ujung yang juga annggota Ade Pitue merangkap sebagai To Marilaleng Malolo, yang mengepalai seluruh palili atau raja kecil. Semua perintah raja disampaikan palili lewat To Marilaleng Malolo.

  1. Ade Pitue

Ade Pitue awalnya adalah Matowa Pitue dari tujuh unit kerajaan pada saat terbentuknya Kerajaan Bone. Ade Pitue yang juga lazim disebut Arung Pitue, dibentuk oleh Raja Bone ke X We Tentituppu Matinroe ri Seidenreng. Perubahan Dewan Matowa Pitue menjadi Ade Pitue pada dasarnya bukan saja perubahan istilah, tetapi perubahan yang menyangkut tentang intensifikasi pemusatan kekuasaan dalam satu bentuk kesatuan. Sebelumnya Matowa Pitue merangkap sebagai anggota Dewan dalam Kawerang (pusat kerajaan) Bone dan juga kapala wanua, maka ketika menjadi Ade Pitue peranannya sebagai kepala wanua dilepaskan dan berperan sepenuhnya sebagai pejabat kekuasaan pusat kerajaan. Ade Pitue yang merupakan Dewan Menteri yang disebut Pampawa Ade atau Pakkatenni Ade.

Arung Pitue ini merupakan jabatan turun temurun dan mereka menjalankan beberapa bidang pekerjaan demi kepentingan raja dan rakyat banyak. Mereka ini membawahi beberapa sektor, kecuali yang berhubungan dengan perdagangan, perhubungan laut, beacukai, keagamaan, dan perkawinan. Dalam menjalankan tugasnya mereka masing-masing memiliki seorang pembantu yang disebut Sulewetang atau Arung Palili yang juga memiliki pembantu yang disebut Mado. Tugas mereka adalah sebagai pengganti apabila yang bersangkutan berhalangan untuk menghadiri undangan atau persidangan.

Tugas Ade Pitue sangat penting dalam struktur Kerajaan Bone, mereka akan dimintai pertimbangannya ketika raja ingin memutuskan sesuatu dan bahkan Ade Pitue bisa memberhentikan dan mencari pengganti raja, apabila raja dianggap memutuskan sesuatu yang tidak sesuai keinginan rakyat dan pertimbangan mereka. Hal ini terungkap ketika Ade Pitue bermufakat ketika Raja La Teriruwa (1611) menginginkan agama Islam dianut oleh rakyatnya dan sebagai agama resmi kerajaan, yang diserukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Pertimbangan Ade Pitue dan kekukuhan Raja La Tenriruwa untuk menerima Islam, maka Ade Pitue memutuskan untuk memberhentikan Latenriruwa sebagai raja dan menggatikannya dengan La Tenripale (±1611-1626 M).

Ade Pitue sebagai pejabat istana yang mengurusi hal-hal peradilan dalam arti luas, meliputi seluruh segi pelanggaran pangngadereng.40 Dalam melakukan peranannya dalam peradilan juga disebut To Mabbicara dan diartikan sebagai hakim. Secara struktural To Mabbicara dalam pemerintahan sangat penting. Demikian pentingnya, sehingga dalam Latoa banyak sekali ditekankan masalah kesejahteraan rakyat dan keselamatan negara sehubungan dengan jabatan dan tanggung jawab To Mabbicara.

To Mabbicara sebagai orang kedua dalam tampuk kekuasaan negara, juga menjadi berkewajiban untuk mendidik putera-puteri raja, sehingga mereka mengerti dan menghayati pangngadereng. To Mabbicara selalu bermusyawarah dengan para pancennangeng (penyelenggara tugas-tugas dalam istana) untuk penyerap aspirasi dari orang bawahan, mereka juga menuntun rakyat untuk memahami dan menghayati pangngadereng sebaik-baiknya, dan juga menjaga agar rakyat tidak terjerumus ke dalam bencana.

Inti tugas To Mabbicara pada umumnya adalah menghayati pangngadereng, menyelenggarakan dan mempertahankannya. Ade’ harus dipelihara, harus dihormati, karena ade’ adalah manifestasi keberadaan manusia sendiri. To Mabbicara sebagai penyelenggara pangngadereng yang berdiri di atas kepentingan raja dan rakyat, melindungi kepentingan yang lemah dan mematahkan kesewenang-wenangan dari kuat