Bagaimana struktur keagamaan Suku Dayak dan interaksinya dengan agama lain?

Agama Kaharingan pada dasarnya memuja roh-roh gaib, roh leluhur, dan roh-roh lainnya yang ada di sekeliling tempat tinggal mereka. Mereka juga percaya bahwa seluruh benda-benda dan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekelilingnya, selain berjiwa dapat pula berperasaan seperti manusia. Ada pula diantara benda-benda tersebut yang mereka percayai mempunyai kekuatan sakti, ada empat unsur sebagaimana yang di populerkan oleh Koentjaraningrat, masing-masing adalah:

  • Emosi Keagamaan, atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia itu bertindak atas nama agama.
  • Sistem kepercayaan atau bayangan manusia tentang bentuk alam gaib, hidup, mati, bentuk dunia, alam dan sebagainya.
  • Upacara keagamaan yang bertujuan untuk mencari hubungan antara manusia dan dunia gaib.
  • Kelompok Keagamaan atau kesatuan sosial yang mengaktualisasikan agama dan upacara-upacara keagamaan

Sebagai agama kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Bedasarkan BPS, pada tahun 2007, di Kalimantan Tengah yang terdiri dari 13 Kabupaten dan 1 Kotamadya terdapat 223.349 orang penganut agama kepercayaan tersebut.

Kaharingan yang disimbolkan dengan Pohon Kehidupan memiliki rincian makna filosofis sebagai berikut: pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan.

Simbol pada Buah Batang Garing, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sementara Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.

Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan. Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbangan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.

Interaksi Kepercayaan Orang Dayak dengan Agama-Agama Lain

Sebelum abad 20, secara keseluruhan Suku Dayak belum mengenal agama ‘samawi’, baik itu Islam maupun yang lainnya. Yang menjadi kepercayaan mereka hanyalah kepada leluhur, binatang-binatang, batu-batuan, serta isyarat alam yang mereka tafsirkan mirip seperti agama Hindu kuno. Dalam kehidupan sehari-harinya, mereka mempercayai macam-macam pantangan sesuai dengan ‘tanda’ dari alam. Mereka mempunyai pantangan untuk berbaur dengan kehidupan masyarakat dari suku lain. Sehingga mereka selalu hidup dengan dihantui rasa ketidaktenangan yang membuat mereka selalu berpindah-pindah, dari hutan satu ke hutan yang lainnya. Dari goa satu ke goa yang lainnya dan seterusnya.

Diantara Suku Dayak yang paling ‘eksklusif’ bahkan bisa dibilang sangat primitif adalah Suku Dayak Punan. Suku yang satu ini bahkan sulit berkomunikasi dengan masyarakat umum. Kebanyakan dari mereka tinggal di hutan yang lebat atau di dalam goa. Sebetulnya, ini juga bukan murni ‘kesalahan’ mereka. Mereka hanya mengikuti pantangan dari ‘leluhur’ yang mereka takut jika melanggar pantangan tersebut, akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Masyarakat Dayak tertarik ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing kedaerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan,dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, dikunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka.