Bagaimana Soft Diplomacy di Republik Rakyat Tiongkok?

Soft Diplomacy di Republik Rakyat Tiongkok

Dalam beberapa tahun terakhir, pembahasan terkait penerapan Soft Power dalam diplomasi yang diwujudkan dalam Soft Diplomacy di RRT telah menjadi perbincangan hangat tidak hanya bagi para petingginya dan elit politiknya, melainkan juga telah mejadi perbincangan di kalangan ilmuwannya.

Bagaimana Soft Diplomacy di Republik Rakyat Tiongkok?

Dalam beberapa tahun terakhir, pembahasan terkait penerapan Soft Power dalam diplomasi yang diwujudkan dalam Soft Diplomacy di RRT telah menjadi perbincangan hangat tidak hanya bagi para petingginya dan elit politiknya, melainkan juga telah mejadi perbincangan di kalangan ilmuwannya. Sejak awal kemunculan konsep Soft Power yang diperkenalkan oleh Joseph Nye melalui bukunya yang berjudul Soft Power : The Means to Success in World Politics , berbagai negara tidak hanya Amerika Serikat mulai melakukan perkembangan terkait potensi Soft Power yang nantinya diimplementasikan ke dalam Soft Diplomacy mereka.

Konsep Soft Diplomacy sendiri menjadi perhatian khusus bagi berbagai media dan publikasi di RRT sejak banyaknya wacana bahwa RRT telah memulai untuk memperhatikan Soft Diplomacy nya. Tetapi, yang menjadi pertanyaan oleh berbagai ilmuwan di RRT saat ini ialah sejauh mana kapasitas RRT dalam mengaplikasikan Soft Diplomacy nya dan bagaimana mereka mengaplikasikannya.

Berdasarkan sejarah, konsep Soft Diplomacy di RRT bermula pada dekade awal di abad 21 ini tepatnya bermula pada tahun 1993 ketika Wang Huning, salah satu anggota dari Partai Komunis Cina dan Kepala Bagian Penelitian dan Kebijakan, memperkenalkan teori yang diperkenalkan oleh Joseph Nye ke RRT. Pada tahun 1992 ketika RRT mulai menyadari bahwa adanya inflitrasi yang dilakukan oleh pihak Amerika Serikat dalam bentuk inflitrasi ideologi melalui “Paham Amerika” atau “Nilai – Nilai” berbasis Amerika. Paham tersebut dipercaya menyaingi “Nilai – Nilai” yang dianut oleh RRT dalam beberapa dekade terakhir.

Nilai yang dimaksud oleh Wang Huning yaitu nilai tradisional Konfusius yang merupakan pedoman dasar masyarakat RRT dalam menjalani kehidupan sehari – harinya termasuk dalam kehidupan berkeluarga ataupun kehidupan dalam politik dan pemerintahan. Penggunaan Soft Diplomacy dalam interaksinya dengan negara lain dipercaya karena adanya kesadaran rakyat maupun pemerintah RRT untuk mewujudkan kembali kepercayaan Konfusius bahwa setiap orang tiongkok dapat menjadi orang yang budiman, tahu aturan dan santun serta dapat menciptakan suasanan pemerintahan yang baik.

Pemahaman Konfusius kemudian menjadi landasan dari Soft Diplomacy RRT dan yang juga mendorong munculnya Peaceful Rise yang mengutamakan kebijakan yang tidak menciptakan konflik dan mendorong terbangunnya kebudayaan RRT. Nilai – nilai Konfusius yang menjadi pedoman dari pelaksanaan Soft Diplomacy RRT tersebut meliputi:

  1. Ren , yang merupakan cinta kasih yang secara universal dan tidak mementingkan diri sendiri melainkan orang lain

  2. Yi , yang merupakan jiwa kebenaran atau pribadi luhur

  3. Li , yang merupakan unsur kesusilaan, sopan santun, dan budi pekerti

  4. Ci , yang merupakan jiwa kebijaksanaan, pengertian dan kearifan

  5. Xin , yang merupakan jiwa kejujuran, kepercayaan dan loyal.

Ke-lima poin tersebut juga menjelaskan pola perilaku RRT sejak masa pemerintahan Deng Xiaoping hingga Xi Jinping. Pemerintah mulai menjaga Image mereka dengan menciptakan suasana damai dengan negara lain utamanya Amerika. Salah satu cara untuk menjaga image dan hubungan mereka dengan negara lain ialah menunjukkan kualitas Soft Diplomacy nya yang berlandaskan dengan nilai Konfusius tersebut.

Secara historis, Pembahasan Soft Diplomacy RRT dalam jajaran pemerintahan RRT dan pengembangan kebudayaannya, pertama kali dibahas pada konggres ke 16 Partai Komunis Cina pada tahun 2002 yang bertemakan " Build a Well-off Society in an All-Round Way and Create a New Situation in Building Socialism with Chinese Characteristics " dimana isu budaya sangat penting dalam peningkatan Soft Diplomacy RRT. Pada konggres tersebut, Presiden Jiang Zemin mengatakan bahwa:

Socialist spiritual civilization is an important attribute of socialism with Chinese characteristics. Basing ourselves on China’s realities, we must carry forward the fine tradition of our national culture and absorb the achievements of foreign cultures in building socialist spiritual civilization. We should unceasingly upgrade the ideological and ethical standards as well as the scientific and cultural qualities of the entire people so as to provide a strong motivation and intellectual support for the modernization drive .”

Dalam penjelasannya, Jiang Zemin mengatakan bahwa perkembangan dan reformasi budaya sangatlah diperlukan karena pembangunan budaya berkarateristik RRT dapat mendorong perkembangan RRT dan peningkatan standar dalam bidang budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi sangatlah penting dalam era modernisasi ini. Pidato yang dibawakan oleh Jiang Zemin ini menggambarkan komitmen RRT untuk meningkatkan kualitas Soft Diplomacyrnya sejak saat itu. Hal ini merupakan bukti Soft Diplomacy RRT karena jika dikaitkan dengan konsepsi Joseph Nye, dapat dikatakan bahwa Soft Diplomacy juga merupakan suatu pendekatan yang tidak melalui langkah koersif melainkan pendekatan yang dapat mengambil hati masyarakat. Jika kita mengaitkan konteks tersebut dengan pidato Jiang Zemin, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari Soft Diplomacy RRT sejak budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah bagian dari pendekatan Hard Diplomacy yang meliputi militer dan ekonomi.

Lebih lanjut, pembahasan terkait Soft Diplomacy di RRT juga disampaikan oleh Presiden Hu Jintao Konggres Nasional Partai Komunis Cina pada tahun 2007 dimana beliau mengatakan bahwa:

In the present era, culture has become a more and more important source of national cohesion and creativity and a factor of growing significance in the competition in overall national strength, and the Chinese people have an increasingly ardent desire for a richer cultural life. We must keep to the orientation of advanced socialist culture, bring about a new upsurge in socialist cultural development, stimulate the cultural creativity of the whole nation, and enhance culture as part of the Soft Power of our country to better guarantee the people’s basic cultural rights and interests, enrich the cultural life in Chinese society and inspire the enthusiasm of the people for progress .”

Dalam pidatonya tersebut, Hu Jintao menjelaskan bahwa nilai – nilai yang dianut oleh masyarakat RRT yaitu sosialis, komunis dan konfusius adalah hal yang sangat penting dan dalam perkembangan RRT saat ini diperlukannya usaha untuk mempromosikan budaya RRT kedunia. Untuk menjunjang hal tersebut, diperlukannya kretifitas yang dimiliki oleh rakyat RRT untuk mencapai kepentingan RRT.

Dalam kaitannya dengan Soft Diplomacy RRT, dalam laporan tersebut Hu Jintao secara eksplisit mengutakaran serta membuat referensi terhadap konsepsi Soft Diplomacy dengan mengatakan “ enhance culture as part of the Soft Power of our country to better guarantee the people’s basic cultural rights and interests ”.

Penjelasan tersebut membuat dokumen yang dihasilkan pada konggres Nasional Partai Komunis Cina ke – 17 sebagai referensi dasar peneliti dan menandakan awal penggunaan terminologi “ Soft Diplomacy ” dalam sejarah RRT. Penjelasan lebih detail terkait kebijakan Soft Diplomacy RRT kemudian dijelaskan dalam sebuah artikel yang diekeluarkan oleh Liu Yunshan yang merupakan Kepala Departemen Publikasi Partai Komunis Cina setelah diadakannya konggres ke-17 tersebut. Dalam artikelnya, Liu Yunshan menjelaskan bahwa kebijakan Soft Diplomacy RRT haruslah berdasarkan dua (2) elemen yaitu nilai dasar sosialis dan nilai dasar konfusius. Berdasarkan penjelasan dari Liu Yunshan tersebut, memperkuat asumsi bahwa dalam menjalankan politik luar negerinya, RRT menjadikan Konfusius sebagai dasar pemikiran.

Melihat nilai sosialis yang dimaksudkan oleh Hu Jintao dan Jiang Zemin, timbul berbagai perbedaan pendapat antara para pemikir di RRT. Tetapi pada konggres Nasional Partai Komunis Cina ke – 18 pada tahun 2012, Hu Jintao menjelaskan bahwa:

socialist core values include prosperity, democracy, civilisation harmony as important for nation-building; freedom, equality, justice, rule of law as important for the construction of an ideal society; and patriotism, respect for work, faith, friendship as moral standards for nationals .”

Penjelasan tersebut kemudian memberikan gambaran yang jelas bahwa sosialis yang diterapkan di RRT ialah sosialis yang menjunjung tinggi nilai kesejahteraan rakyat, demokrasi, keadilan dan keharmonisan dalam bernegara. Dalam kaitannya dengan nilai yang dianut oleh Amerika Serikat, nilai sosialis tersebut tampak lebih sempurna dan seharusnya RRT tidak harus menaruh perhatian lebih atau ketakutannya terhadap Amerika dengan nilai tersebut.

Dalam arena internasional, kompetisi Soft Diplomacy sesungguhnya tidak hanya berbicara terkait kompetisi budaya melainkan nilai. Dalam proses perkembangan Soft Diplomacy RRT, RRT tidak hanya berjuang untuk membangun Soft Diplomacynya tetapi juga berusaha melemahkan Soft Diplomacy negara – negara barat. Menurut beberapa peneliti layaknya Zhan Dexiong, nilai sosialis dan konfusius RRT merupakan kebalikan dari paham milik Amerika. Menurut pandangan Liu Jia, nilai komunis ataupun sosialis yang juga dipegang oleh RRT tidak dapat bersaing bahwa tidak memiliki relevansi dengan perkembangan dunia saat ini. Sulit berkembangnya nilai tersebut saat ini menjelaskan bahwa satu – satunya sumber Soft Diplomacy RRT ialah budaya meskipun menurut Joseph Nye, nilai politik dan kebijakan luar negeri juga merupakan unsur yang penting dalam Soft Diplomacy . Liu Jia melanjutkan bahwa nilai kebudayaan yang dimiliki oleh RRT yaitu Konfusius telah memiliki pengaruh yang besar tidak hanya di Jepang dan Korea melainkan di Asia Tenggara dan negara yang bertetangga dengan RRT.

Nilai lain yang menjadi Soft Diplomacy RRT selain sosialis dan konfusius, ialah paham marxis. Banyak yang berpendapat bahwa paham marxis yang tidak relevan dengan Soft Diplomacy sejak Joseph Nye telah menekankan bahwa Soft Diplomacy bukanlah pendekatan yang koersif yang menggunakan militer ataupun ekonomi dan jika kita kaitkan, marxis merupakan suatu paham yang sangat dekat dengan ekonomi.

Tetapi, berdasarkan beberapa artikel, RRT memiliki versinya tersendiri dalam mengonsepsikan marxis. Hal ini telah dibuktikan dalam pencapaian RRT dengan tingginya angka pertumbuhan ekonomi dan standar hidup masyarakatnya serta menjadi Negara terbesar dalam kekuatan ekonomi kedua setelah Amerika Serikat, memainkan peran penting dalam krisis ekonomi tahun 2008 dan berhasi menyukseskan Olympic Games di tahun 2008 dan Shanghai Expo di tahun 2010.

Berdasarkan Liu Jia, Marxisme yang dimiliki oleh RRT tidak hanya berfokus pada ekonomi tetapi juga terfokus ke budaya. Karena hal ini telah menjadi pedoman Partai Komunis Cina untuk mepertahankan konsistensi serta menumbuhkan nilai moral serta edukasi dalam membangun RRT. Melalui nilai marxis yang pegang oleh Partai Komunis Cina, mereka juga berusaha menumbuhkan nilai dinamisme dalam bermasyarakat dan nilai keterbukaan untuk belajar dan berkembang.

Melihat adanya tantangan yang akan dihadapi utamanya yang berasal dari Amerika Serikat, pada Oktober 2010, Partai Komunis Cina merumuskan rencana 5 tahunannya yang ke – 12 yang mencakup tahun 2011 – 2015 dimana dalam artikel 9, rumusan tersebut memperhatikan adanya pentingnya perkembangan kebudayaan yang dimiliki RRT dan peningkatan Soft Diplomacy RRT melalui budaya tradisional, inovasi, produk budaya dan media.

Perkembangan yang dialami oleh RRT dalam konteks Soft Diplomacynya merupakan bukti konkrit bahwa RRT telah melakukan perubahan yang sangat besar sejak era reformasi di tahun 1978 dimana RRT lebih menggunakan militer dan ekonomi dalam dunia diplomasinya. Tetapi konsep Soft Diplomacy sesungguhnya bukanlah hal baru di RRT karena ide yang membentuk Soft Diplomacy yaitu pendekatan yang tidak bersifat koersif, telah dijalaskan dalam beberapa filosofi RRT diantaranya Konfisius dan salah satu pemikir terdahulu RRT yaitu Mencius.

Dalam perkembangannya, Soft Diplomacy RRT tidak hanya didasari oleh nilai – nilai tradisional yang dianut oleh masyarakat RRT, melainkan adanya dorongan berupa komitmen RRT untuk menciptakan lingkungan dunia yang aman dan damai sejak tahun 1974. Komitmen RRT dalam menjaga perdamaian dunia, ini diawali dengan adanya pernyataan Deng Xiaoping dalam Rapat Dewan Umum PBB tahun 1974 menyatakan bahwa:

If one day China should…play the tyrant in the world, and everywhere subject others to her bullying, aggression and exploitation, the people of the world should…expose it, oppose it and work together with the Chinese people to overthrow it .”

Pernyataan tersebut menggambarkan komitmen RRT tidak hanya untuk memperbaiki Image tetapi juga untuk menjaga perdamaian dan hubungan baik RRT dengan negara lain. Penjagaan hubungan baik ini dibuktikan dengan dibangunnya hubungan baik RRT dengan negara lain serta menghidari kebijakan yang dapat menimbulkan konflik.

Perkembangan RRT menuju perilaku yang damai dan non-konfrontatif, dimulai ketika munculnya diskusi terkait konsep China’s Rise pada tahun1995. Konsep China’s Rise sendiri, merupakan dasar dari munculnya konsep baru yang dikenal dengan Peaceful Rise yang kemudian menjadi acuan utama dalam melihat kebijakan luar negeri RRT. Peaceful Rise ini menggambarkan komitmen RRT untuk mengembangkan Soft Diplomacy nya serta komitmen RRT untuk menciptakan dunia yang harmoni dan damai.

Peaceful Rise pada awalnya secara resmi diperkenalkan pada tahun 2003 dimana Zheng Bijian mengemukakan idenya terkait Peaceful Rise di Boao Forum saat itu. Kemunculan Peaceful Rise ini disambut baik oleh para pemimpin RRT dan kemudian dikenal juga dengan istilah Peaceful Development . Dalam penjelasannya Zheng Bijian mengemukakan bahwa keberadaan Peaceful Rise ini menunjukkan konsistensi RRT untuk menjaga perdamaian dunia dan tidak akan menimbulkan rasa takut serta ancaman ke negera lain. Wen Jiabao pada tahun 2004 juga mengemukakan bahwa China’s Rise “will not come at the cost of any other country, will not stand in the way of any other country, nose a threat to any other country ”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa Peaceful Rise yang menjadi salah satu landasan Soft Diplomacy RRT, sejalan dengan pemikiran para pemikir RRT serta pandangan Joseph Nye terkait hal tersebut. Keberadaan konsep ini juga memperkuat kedudukan RRT dalam pengembangan Soft Diplomacynya dengan berbagai macam usaha yang telah berusaha dicapai oleh RRT hingga hari ini.

Berdasarkan Think Tanks yang ada di Shanghai, Peaceful Rise sesungguhnya merupakan tahap lanjut dari Three Represents Theory yang diciptakan Jiang Zemin pada tahun 2001. Dimana hal tersebut selain menggambarkan perkembangan perekonoman RRT, juga menggambarkan perilaku damai masyarakat RRT yang dilandasi oleh nilai – nilai tradisional RRT yaitu perdamaian, kasih sayang dan budaya. Dalam bukunya berjudul Peaceful Rise of China yang dipublikasikan pada tahun 2004 oleh Xia liping dan Jiang Xiyuan, nilai tradisional RRT kembali ditekankan sebagai nilai yang penting dalam membangun RRT kedepannya. Dalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa RRT harus memiliki landasan dalam kebijakan luar negerinya yang berbasis pada budayanya. Landasan tersebut haruslah mengandung nilai – nilai yang menjunjung perbedaan, perdamaian dan kemanusiaan sebagaimana paham yang diperkenalkan oleh Konfusius.

Menurut pendapat Xia Liping, elemen yang sesungguhnya menjadi dasar dari Peaceful Rise tersebut ialah nilai – nilai budaya yang tertanam dalam diri rakyat RRT. Pendapat tersebut didasari oleh adanya nilai kerjasama, pembangunan dan budaya yang menjadi elemen utama yang membentuk Peaceful Rise tersebut. Konsep Peaceful Rise kemudian menjadi konsep yang diterima dengan baik oleh Rakyat RRT. Penerimaan ini dilandasi oleh tujuan dan dasar dari konsep tesebut yang menjunjung tinggi nilai budaya tradisional RRT, yaitu Konfusius. Pengaruh dari Konfusius ini dapat kita perhatikan memilik pengaruh yang sangat besar dalam hidap rakyat RRT dimana segala konsep pemerintahan hidup mereka, haruslah berlandaskan nilai – nilai dasar konfusius yang berpegang teguh pada nilai perdamaian dan kasih sayang kepada sesama.

Hal terakhir yang menjadi landasan dasar RRT dalam mengembangkan Soft Diplomacy nya ialah adanya ketakutan RRT terhadap perkembangan Amerika Serikat setelah perang dingin. Ketakutan ini dipercaya dikarenakan paham –paham yang yang dianut oleh Amerika Serikat dapat menginfiltrasi nilai – nilai RRT yang berdampak pada berkurangnya nasionalisme dan kurangnya masyarakat RRT yang kemudian mempercayai nilai – nilai layaknya konfusius sebagai landasannya. Melihat besarnya perkembangan Soft Diplomacy Amerika Serikat, RRT juga terdorong untuk mengembangkan kapasitas Soft Diplomacy nya untuk menghadapi pengaruh Amerika Serikat