Bagaimana sistem pemilu dan partai pada masa orde baru?

Zaman Orde Baru yang juga bisa dikenal dengan Zaman Demokrasi Pancasila (!965) MPRS melakukan tindakan yaitu mencabut kembali ketetapan No III/1963 tentang penetapan Presiden Soekarno sebagai presiden sumur hidup. Tindakan lain yang dilakukan oleh orde baru adalah pembubaran PKI melalui TAP MPRS No. XXV/1966, sedangkan partindo yang telah menjalin hubungan erat dengan PKI, dibekukan pada tahun yang sama.

Pada saat pemerintahan orde baru dibahas tentang sistem pemilu yang akan dilakukan yakni yang pertama sistem perwakilan berimbang ata sistem proporsional dan yang kedua sistem distrik yang umumnya belum dikenal di Indonesia. Sistem yang pertama dipakai oleh Belanda sedangkan yang kedua sudah dipakai oleh Inggris dan Amerika.

Partai-partai kecil menolak dengan sistem distrik karena ada kemungkinan terjadinya penyederhanaan partai secara alamiah (aratinya tanpa paksaan) karena jumlah partai kecilmungkin akan berkurang, sekurang-kurangnya mereka akan terdorong untuk bekerja sama satu sama lain. akhirnya pada tanggal 27 Juli 1967 pemerintah dan partai-partai mencapai sesuatu kompromi dengan menjadikan pemilihan umum menjadi sistem prporsional dengan modifikasi dimana tiap kabupaten akan dijamin sekurang-kurangnya satu kursi sehingga perwakilan dan daerah di luar Jawa akan seimbang dengan perwakilan dari Jawa.

Di pihak lain, partai-partai mengalah dengan diterimanya ketentuan bahwa 100 anggota parlemen dari jumlah total 460 akan diangkat dari golongan ABRI (75%) dan non ABRI (25%) dengan ketentuan bahwa golongan militer tidak akan menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih.

Pada pemilu tahun 1971 jumlah partai yang mengikuti masih 10 partai namun pada tahun 1977-1997 menggunakan mengelompokkan partai-partai menjadi 3 golongan. Pada saat itu peranan golongan militer bertambah kuat yang menimbulkan rezim otoriter. Usaha penyederhanaan partai dilanjutkan dengan cara yang sedikit banyak radikal.

Didepan seluruh partai termasuk Golkar, Soeharto mengemukakan sarannya agar partai megelompokkan diri untuk mempermudah kampanye pemilihan umum tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan sama sekali. pengelompokan ini mencakup tiga kelompok yaitu Golongan Nasional, Golongan Sipil dan Gologan Karya.

Mulai tahun 1977 pemilihan umum diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai. Golkar selalu menang secara meyakinkan dan meraih kedudukan mayoritas mutlak. pada zaman Orde baru ini dinilai bahwa pemilu-pemilu berlangsung tidak demokratis dan bahkan manipulatif. meskipun rezim orde baru menyelenggarakan pemilu secara berkala lima tahun sekali, melalui berbagai cara intimidasi dan represi, rezim Soekarno mempertahankan kekuasaan dengan memenangkan Golkar dalam setiap pemilu.

Kebobrokan sistem pemilu dan partai pada saat itu adalah sebagian anggota DPR dan DPRD diangkat dari unsur ABRI dan sebagian besar angggota MPR diangkat oleh presiden. Golkar sendiri yang diciptakan oleh sayap-sayap TNI AD bertujuan untuk menghimpun kekuatan-kekuatan non partai yang anti komunis dalam rangka mengimbangi ormas-ormas underbow yang dibentuk oleh PKI.

ABRI yang memiliki konsep dwifungsi diakui sebagai bagian dari kekuatan sosial politik yang tidak hanya berhak menjadi anggota parlemen melalui pengangkatan, melainkan juga berhak menduduki posisi eksekutif, baik sebagai menteri, pejabat eselon I di kementerian, maupun sebagai gubernur, bupati dan walikota. tidak mengherankan jika pemilihan-pemilihan kepala daerah oleh DPRD selama rzim orde baru hanyalah formalitas belaka karena pemerintah telah “merestui” orang tertentu dengan pangkat tertentu untuk menduduki berbagai posisi, entah sebegai gubernur, bupati maupun walikota.

Sumber
Haris, Syamsudin, 2014, Partai, Pemilu dan Parlemen: Era Reformasi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Budiarjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama