Bagaimana sistem kedaulatan negara menurut filusuf Islam ?

Kedaulatan negara

Kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi dari suatu negara yang tidak dibatasi oleh hukum. Ini tidak berarti kedaulatan negara tidak ada batasnya. Kedaulatan negara ini hanya berlaku terhadap orang, benda, dan peristiwa di dalam batas-batas teritorial negara yang bersangkutan.

Bagaimana sistem kedaulatan negara menurut filusuf Islam ?

Wacana kedaulatan dalam dunia Islam mendapatkan perhatian yang cukup besar. Hal ini terlihat dengan beberapa intelektual muslim dari zaman klasik sampai zaman kontemporer yang mendefinisikan kedaulatan. Antara lain Ibn Arabi, Al Ghazali, Ibn Sina, Fazlur Rahman, Abu A’la al Maududi, Ayatullah Khomeini, dll.

Kalau kita runut dari sejarah negara Islam, di mulai pada periode Madinah. Di kota inilah, nabi Muhammad meletakkan sendi-sendi negara Islam. Pada periode ini Islam belum mendeklarasikan diri sebagai komunitas yang berubah menjadi negara. Umat Islam masih menjadi sebuah komunias yang berada di Madinah bersama dengan suku-suku yang ada di Madinah sebelumnya yakni Auz dan Khazraj yang sudah masuk Islam.

Seiring dengan perjalanan waktu, Islam menjadi sebuah komunitas yang mempunyai kekuatan yang besar, hal ini terlihat dengan kekuaatan militer yang dimiliki Islam mampu menguasai wilayah semenanjung Arab. Kondisi ini tidak berubah sampai kepemimpinan khulâfa’ ar-rasyidûn . Setelah periode khulâfa’ ar- rasyidûn timbullah dinasti-dinasti Islam yang ada di wilayah Arab, Persia, Afrika Selatan dan Eropa.

Kedualatan Tuhan


Beberapa filsuf Islam berpendapat bahwa dalam negara Islam yang bedaulat adalah Tuhan yakni Allah SWT. Salah satunya Nizam al Mulk al Tusi berpendapat bahwa raja memerintah atas darsar anugrah Allah untuk membuat kebijakan agar masyarakat yang dipimpinnya mendapatkan kebahagiaan di dunia. Sedangkan W. Montgomery Watt sebagaimana di kutip Harun Nasution menyatakan bahwa untuk khalifah Bani Umayyah dengan sebutan Khalifatullâh (wakil Tuhan) dan untuk Bani Abbasiyah dengan sebutan Zhillullâh fi al-Ard (bayang-bayang Tuhan di bumi).

Abul A’la al-Maududi mengatakan bahwa dalam politik islam yang cocok adalah Kerajaan Tuhan ( Kingdom of God ) atau dalam bahasa politiknya Teodemokrasi. Dalam pandangan al-Maududi, konsep teodemokrasi Islam berbeda dengan teokrasi yang pernah ada di Eropa yang dikuasai oleh sekelompok orang (baca; pendeta) yang memaksakan kekuasaan ketuhanan kepada rakyat. Islam dalam penyelenggaran pemerintahan dilakukan oleh seluruh rakyat dengan berpegang kepada kitabullah dan sunnah.

Teokrasi atau Teo-Demokrasi dalam istilah al-Maududi, dengan pengertian suatu sistem pemerinahan demokrasi ilahiah , karena dibawah naungannya kaum muslimin telah diberi kadaulatan rakyat yang terbatas dibawah pengawasan Tuhan.

Ayatullah Khomeini berpendapat bahwa pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional. Kontitusional disini mempunyai pengertian suatu subjek dari kondisi-kondisi tertentu yang berlaku dalam kegiatan pemerintahan dan mengatur negara yang dijalankan oleh pemimpin, yaitu kondisi yang telah dinyatakan dalam oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Karakteristik pemerintahan Islam dalam pandangan Khomeini, kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang dan wewenang menegakkan hukum secara eksklusif hanya milik Allah SWT.

Kedualatan Raja


Pemimpin negara atau sering di sebut dengan khalifah, dalam paham kedaulatan raja menjadi simbol kekuasaan kerajaan atau dinasti. Pada umumnya filsuf muslim menjadikan raja sebagai wakil Tuhan di bumi. Namun tidak bagi al-Farabi, menurut al-Farabi kedaulatan sebuah negara berada dalam tangan raja. Dalam pandangan al-Farabi, pemegang kedualatan harus satu yakni orang yang mempunyai bakat dan dapat membimbing orang lain. Selain itu al-Farabi mengkritik filsuf Yunani yang menggagas cita-cita ideal sebuah negara yang sangat sulit untuk dipenuhi, hal ini mengakibatkan orang harus memilih Tuhan sebagai penguasa.

Kedualatan Hukum


Konsep kedualatan hukum dalam Islam sama dengan kedaulatan hukum yang dipahami oleh para filsuf Barat. Bahwa kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara adalah hukum. Filsuf Islam yang menganut paham ini adalah Majid Khadduri. Dalam pandangan Khadduri, sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan Nomokrasi bukan Teokrasi sebagaimana asumsi sebagian besar masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan nomokrasi adalah sebuah sebuah pemerintahan yang berdasarkan undang-undang resmi, aturan hukum dalam suatu masyarakat.

Pemahaman Khadduri ini tidak lepas dari konsep syari’ah merupakan hukum perjanjian antara Tuhan dan manusia. Dari konsep ini kemudian muncul konsep single contract dan two contract . Single contract merupakan perjanjian antara sesama manusia yang membentuk sebuah institusi masyarakat. Sedangkan two contract , mengasumsikan bahwa manusia yang tergabung dalam masyarakat mengangkat seorang pemimpin atau raja untuk memerintah dengan segala kondisi dan keterbatasan yang ada dalam pemerintahannya.

Kedualatan Rakyat


Kedaulatan rakyat pada era saat ini sangat-lah populer dibandingkan dengan paham kedaulatan lainnya. Pemikir-pemikir Islam baik klasik maupun kontemporer telah menggagas kedaulatan rakyat. Filsuf klasik yang terkenal dengan gagasan kedaulatan rakyat adalah Ibn Sina dan al-Mawardi. Gagasan Ibn Sina dapat dilihat dari konsep pemilihan kepala negara yakni dengan dua cara, pertama kepala negara di calonkan oleh kepala negara sebelumnya, atau kedua melalui pemilihan yang dilakukan oleh para tokoh yang di percaya oleh rakyat. Pendapat al-Mawardi hampir sama dengan Ibn Sina, dalam pemilihan kepala ada dua cara, pertamapemilihan yang dilakukan oleh ahl hal wal ‘aqd , kedua dengan penunjukan kepala negara sebelumnya. Ibn Khaldun menegaskan akan pentingnya pemilihan kepala negara. Ia berpendapat bahwa masyarakat memerlukan seorang wazi’ atau pemimpin untuk melaksanakan kekuasaan dan memperbaiki kehidupan masyarakat dan mencegah perbuatan aniaya diantara sesama.

Ahl hal wal ‘aqd merupakan lembaga semcam legislatif dalam dunia tata negara modern, yang mempunyai fungsi mewakili rakyat dalam urusan negara.

Mengenai kedaulatan rakyat, intelektual muslim kontemporer Hasan al Banna menyatakan bahwa dalam ajaran Islam tanggung jawab negara ada pada para pemimpin negara. Konsep kontrak sosial dalam Islam juga menunjukkan bahwa kedaulatan ada dalam tangan rakyat. Dalam konsep kontrak sosial bahwa kekuasaan ada melalui perjanjian masyarakat. Dengan kata lain bahwa kekuasaan rakyat di serahkan kepada sebuah lembaga negara atau seseorang. Dan apabila seseorang telah terpilih sebagai pemimpin negara, al-Baqillani pemimpin tersebut tidak mempunyai hak membatalkan perjanjian yang telah disepakati.

Mehdi Hadavi menjelaskan bahwa manusia mempunyai kehendak dan seluruh tindakannya merupakan fenomena ilmiah. Seperti saat mansuia memilih tempat tinggal, ia dapat memilih tempat tinggal secara bebas. Saat manusia telah menetapkan sebuah tempat untuk ditinggali, maka ia mempunyai hak kepemilikan atas rumah yang ia tempati. Begitu juga dengan kepemilikan bersama sebuah lingkungan yang lebih besar, seperti kepemilikan bersama sebuah negara – karena manusia hidup bersama dalam sebuah lingkungan yang lebih besar. Hal ini mendorong individu-individu mewakilkan seseorang atau sekolompok orang untuk membaktikan diri demi kehidupan yang damai.

Referensi
  • J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Perkembangan, Cet. IV (Jakarta : Rajawali, 1999).
  • Imam al-Mawardi, al Ahkâm al Sulthâniyah wa al Wilâyat al Diniyah , terj.Abdul Hayyei al-Kattani & Kamaluddin N (Jakarta : Gema Insani Press, 2000).
  • Ibn Khaldun, Muqaddimat , (Beirut : al Maktabah al ‘Ashriyyah, 2003).
  • Majid Khadduri, War & Peace In The Law Of Islam , terj. Koswanto (Yogyakarta : Terawang Press, 2002).
  • al-Imam al-Mujâhid al-Sayyid Ruhullâh al-Khomeini, al-Hukûmat al-Islâmiyyah , (Teheran : al-Maktabah al-Islâmiyah al-Kubrâ,tt).
  • M. Hasbi Amirudin, Konsep Negara Islam,.
  • Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, cet. IV (Bandung : Mizan, 1995).