Bagaimana sistem demokrasi pada masa orde baru ?

Demokrasi

Orde baru merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut masa pemerintahan Presiden Soeharto. Presiden Soeharto memimpin Indonesia selama kurang lebih 32 tahun.

Bagaimana sistem demokrasi pada masa orde baru ?

Pelaksanaan demokrasi selama masa demokrasi terpimpin adalah penyimpangan terhadap aturan dasar hidup bernegara (Pancasila dan UUD 1945). Oleh sebab itu, Pemerintahan Orde Baru mengawali jalannya pemerintahan dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Seluruh kegiatan pemerintahan negara dan hidup bermasyarakat dan berbangsa harus dijalankan sesuai dengan tata aturan yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Namun, dalam perkembangannya Pemerintah Orde Baru mengarah pada pemerintahan yang sentralistis. Lembaga kepresidenan menjadi pusat dari seluruh proses politik dan menjadi pembentuk dan penentu agenda nasional, pengontrol kegiatan politik dan pemberi legacies bagi seluruh lembaga pemerintah dan negara.

Masa demokrasi di era Orde Baru berlangsung sekitar 32 tauh, yaitu antara tahun 1966-1998, yang disebut dengan Demokrasi Pancasila. Demokrasi pancasila merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Landasan formal periode ini adalah pancasila, UUD 1945 dan Tap MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin, dalam perkembangannya, peran presiden semakin dominant terhadap lembaga-lembaga Negara yang lain. Melihat praktek demokrasi pada masa ini, nama pancasila hanya digunakan sebagai legitimasi politik penguasa saat itu sebab kenyataannya yang dilaksanakan tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila.

Pada tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan pemerintahan Orde Baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal pemerintahan orde hampir seluruh kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan melenyapkan rezim lama. Soeharto kemudian melakukan eksperimen dengan menerapkan demokrasi Pancasila. Inti demokrasi pancasila adalah menegakkan kembali azas Negara hukum dirasakan oleh segenap warga Negara, hak azasi manusia baik dalam aspek kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional.

Sekitar 3 sampai 4 tahun setelah berdirinya Orde Baru menunjukkan gejala-gejala yang menyimpang dari cita-citanya semula. Kekuatan-kekuatan sosial-politik yang bebas dan benar-benar memperjuangkan demokrasi disingkirkan. Kekuatan politik dijinakkan sehingga menjadi kekuatan yang tidak lagi mempunyai komitmen sebagai kontrol sosial.

Pada masa orde baru budaya feodalistik dan paternalistik tumbuh sangat subur. Kedua sikap ini menganggap pemimpin paling tahu dan paling benar sedangkan rakyat hanya patuh dengan sang pemimpin. Sikap mental seperti ini telah melahirkan stratifikasi sosial, pelapisan sosial dan pelapisan budaya yang pada akhirnya memberikan berbagai fasilitas khusus, sedangkan rakyat lapisan bawah tidak mempunyai peranan sama sekali. Berbagai tekanan yang diterima rakyat dan cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang tidak pernah tercapai, mengakibatkan pemerintahan Orde Baru mengalami krisis kepercayaan dan kahirnya mengalami keruntuhan.

Menurut M Rusli Karim, era Orde Baru ditandai oleh :

  • Dominannya peran ABRI.
  • Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik.
  • Pengembirian peran dan fungsi partai politik.
  • Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik.
  • Masa mengambang.
  • Monolitisasi ideologi Negara.
  • Inkorporasi lembaga non pemerintah.

Tujuh ciri-ciri tersebut menjadikan hubungan Negara dengan masyarakat secara berhadapan-hadapan, dimana Negara atau pemerintah sangat mendominasi.Dengan demikian nilai-nilai demokrasi juga belum ditegakkan dalam demokrasi Pancasila Soeharto.

Wajah demokrasi mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan tingkat ekonomi, poltik dan, ideologi. Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh adanya kebebasan politik yang besar. Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno sebagai Presiden ke-2 RI, menerapkan model Demokrasi yang berbeda lagi, yaitu disebut Demokrasi Pancasila (Orde baru), penamaan Demokrasi Pancasila juga bertujuan untuk menegaskan klaim bahwasanya model demokrasi inilah yang sejatinya tepat dengan ideologi negara Pancasila. Dalam masa yang tidak lebih dari tiga tahun ini, kekuasaan seolah-olah akan didistribusikan kepada rakyat. Oleh karena itu kalangan elit politik, aktivis dan organisasi sosial politik yang siap menyambut pemilu 1971, tumbuh gairah besar untuk berpartisipasi mendukung program-program pembaruan pemerintahan baru.

Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat terutama dalam pembangunan disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V. Namun lama kelamaan perkembangan yang terlihat adalah semakin lebarnya kesenjangan antara kekuasaan negara dengan masyarakat. Orde Baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom, sementara masyarakat semakin terasingkan dari lingkungan kekuasaan dan proses pembuatan kebijakan. Kedaan ini tidak lain adalah akibat dari:

  • Intervensi negara secara berlebihan terhadap perekonomian dan pasar yang memberikan keleluasaan lebih kepada negara untuk mengakumulasikan modal dan kekuatan ekonomi.
  • Kemenangan mutlak Partai Golkar dalam pemilu yang memberi legitimasi politik yang kuat kepada negara.
  • Dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasai, depolitisasai, dan institusionalisasi.
  • Dipakai pendekatan keamanan
  • Tersedianya sumber biaya pembangunan, baik dari eksploitasi minyak bumi dan gas serta dari bantuan luar negeri, dan akhirnya sukses menjalankan kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok rakya sehingga menyumbat gejolak masyarakat yang potensinya muncul karena sebab struktural.

Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah.

Berakhirnya masa Orde Baru, melahirkan era baru yang disebut masa reformasi. OrdeBaru berakhir pada saat Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden B.J.Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.

Demokrasi yang secara resmi mengkristal di dalam UUD 1945 dan yang saat ini berlaku di Indonesia biasa disebut Demokrasi Pancasila. Dasar- dasar konstitusional bagi demokrasi di Indonesia sebagaimana yang berlaku sekarang ini sudah ada dan berlaku jauh sebelum tahun 1965, tetapi istilah Demokrasi Pancasila itu baru dipopulerkan sesudah lahir Orde Baru (1966).

Istilah Demokrasi Pancasila lahir sebagai reaksi terhaap Demokrasi Terpimpin di bawah Pemerintahan Sukarno. Gagasan Demokrasi Terpimpin, seperti diketahui telah dibakukan secara yuridis dalam bentuk Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang: Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga- lembaga Permusyawaratan/Perwakilan. Ketika Orde Baru lahir, konsep Demokrasi Terpimpin mendapat penolakan keras, sehingga pada tahun 1968, MPRS kembali mengeluarkan Ketetapan No. XXXVII/MPRS/1968, tentang Pencabutan Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 dan tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyaratan/Perwakilan atau sesuai dengan diktum Tap tersebut tentang Demokrasi Pancasila.

Memperhatikan kedua Ketetapan MPRS tersebut, baik Ketetapan tentang Demokrasi Terpimpin maupun Demokrasi Pancasila, Ketetapan tersebut pada dasarnya berisi teknis pelaksanaan pengambilan keputusan dalam permusyawaratan. Menurut Demokrasi Terpimpin, inti dari permusyawaratan adalah ‘musyawarah untuk mufakat’, yang apabila hal itu tidak dapat dicapai, maka musyawarah harus menempuh salah satu jalan berikut:

  1. Persoalan diserahkan kepada pimpinan untuk mengambil kebijaksanaan dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang bertentangan.

  2. Persoalannya ditangguhkan.

  3. Persoalannya ditiadakan sama sekali.

Sedangkan konsep Demokrasi Pancasila juga mengutamakan musyawarah untuk mufakat, tetapi pimpinan tidak diberi hak untuk mengambil sendiri dalam hal ‘mufakat bulat’ tidak tercapai. Bagi Demokrasi Pancasila sesuai Tap MPRS No. XXXVII/MPRS/1968, untuk mengatasi kemacetan karena tidak dapat dicapainya ‘musyawarah untuk mufakat secara bulat’, maka jalan yang dapat dilakukan degan voting (pemungutan suara). Hal ini sesuai dengan prosedur yang dikehendaki Pasal 2 Ayat (3) dan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945.

Perumusan Demokrasi Pancasila sebagaimana diatur dalam Tap MPRS No. XXXVII/MPRS/1968, kembali dicabut dengan Tap No. V/MPR/1973. Tetapi lebih dari sekedar soal teknis prosedural, sudah banyak dilakukan upaya untuk memberikan pengertian mengenai Demokrasi Pancasila. Presiden Suharto pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, antara lain menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya . Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sumber : Ajat Sudrajat, Demokrasi Pacasila dalam Perspektif Sejarah.