Bagaimana sejarah terjadinya Perang Salib ?

Perang Salib

Perang Salib (Latin: Expeditio Sacra, Jelajah Suci) adalah serangkaian perang agama yang direstui Gereja Latin pada Abad Pertengahan. Menurut anggapan umum, Perang Salib adalah sebutan bagi perang-perang di kawasan timur Laut Tengah yang bertujuan membebaskan Tanah Suci dari penjajahan Islam, namun sesungguhnya istilah “Perang Salib” juga digunakan sebagai sebutan bagi perang-perang yang direstui Gereja di kawasan-kawasan lain.

Bagaimana sejarah terjadinya Perang Salib ?

image

Perang salib ialah serangkaian perang yang berlangsung di Asia kecil dan Levant. Perang ini berlangsung di tahun 1095 dan 1291 M, yang mana bangsa-bangsa Eropa terlibat menggunakan propaganda perang ekspedisi keagamaan.

Perang Salib dilakukan untuk merebut Tanah Suci, disahkan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095. Perang ini dimulai sebagai suatu peziarahan yang meluas dalam Kekristenan Barat dan berakhir sebagai suatu ekspedisi militer oleh bangsa Eropa Katolik Roma untuk mendapatkan kembali Tanah Suci yang diambil dalam penaklukan kaum Muslim atas Levant. Pada akhirnya menyebabkan direbutnya kembali Yerusalem pada tahun 1099.

Asal Mula Perang Salib

Faktor yang turut menimbulkan Perang Salib itu adalah keinginan mengembara dan bakat kemiliteran pihak Teutonia yang telah mengubah peta Eropa sejak mereka memasuki lembaran sejarah. Kemudian penghancuran sebuah gereja yang didirikan tempat dimana Yesus pernah dikubur sebelum mengalami masa kebangkitan, yang dilakukan oleh seorang khalifah Fatimiah dalam tahun 1009, padahal gereja itu merupakan tujuan dari beribu-beribu jemaat Kristen dari Eropa untuk mengadakan ziarah (Philip K. Hitti, 1979:209). Adapun sebab utamanya adalah karena orang-orang nomad Turki Seljuk yang berasal dari Turkestan (Asia Tengah) telah diusir oleh orang-orang Persia yang menduduki daerah milik orang-orang Turki Seljuk, bahkan Asia Minor termasuk yang mereka duduki.

Perang yang terjadi hampir dua abad ini adalah timbul karena reaksi orang Kristen terhadap umat Islam yang dianggap sebagai pihak penyerang. Berdasarkan sejarah yang ada, sejak tahun 632 sampai meletusnya perang salib beberapa kota penting dan tempat suci umat Kristen dikuasai oleh umat Islam, seperti Suriah, Asia Kecil, Spanyol, dan Sicilia.

Peristiwa ini merusak hunbungan antara dunia Timur dan dunia Barat khususnya antara agama islam dan kristen. Penyerbuan yang berjalan selama dua abad lamanya memakan korban baik jiwa maupun harta dan kebudayaan. Selain itu, masih banyak lagi dampak dari perang salib ini. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.

Sumber

Perang Salib adalah serangkaian perang yang berlangsung di Asia kecil dan Levant antara 1095 dan 1291 M, yang mana bangsa-bangsa Eropa terlibat menggunakan propaganda perang ekspedisi keagamaan. Perang Salib Pertama diserukan oleh Paus Urbanus II dengan tujuan utama memulihkan akses kaum Nasrani menuju tempat-tempat suci di dan dekat Yerusalem.

Latar Belakang Perang Salib


Battle-of-Ager-Sanguinis

Latar belakang dari Perang Salib adalah Perang Arab-Bizantium selama berabad-abad dan kekalahan telak yang belum lama sebelumnya dialami pasukan Bizantium oleh Turk Seljuk di Manzikert pada 1071 M. Penakluk Norman, Robert Guiscard, yang menaklukan sejumlah wilayah Bizantium semakin menambah permasalahan Kekaisaran Bizantium. Dalam upaya mengatasi kedua bahaya ini, Kaisar Bizantium, Alexios I, berusaha menyatukan bangsa-bangsa Kristen melawan musuh bersama, meminta bantuan barat, dan pada gilirannya urbanus II menyeru para pemimpin barat untuk merebut kembali Tanah Suci.

Pasukan salib terdiri atas satuan militer Kristen dari seluruh Eropa Barat, dan tidak berada di bawah komando tunggal. Rangkaian utama Perang Slib, terutama melawan Muslim di Levant, terjadi antara 1095 dan 1291 M. Para sejarawan telah menunjukkan bahwa ada banyak perang salib yang sebelumnya telah dilancarkan. Setelah beberapa kesuksesan awal, rangkaian perang salib berikutnya gagal dan pasukan salib dikalahkan serta terpaksa pulang. Beberapa ratus ribu orang menjadi tentara salib dengan mengucapkan sumpah; kepausan memberi mereka indulgensi penuh. Lambang mereka adalah salib. Banyak tentara salib berasal dari Prancis dan menyebut diri sebagai “orang Franka,” yang menjadi istilah umum di kalangan Muslim. Orang Eropa sejak lama menyebut penghuni Tanah Suci sebagai Sarasen, dan terus menggunakan istilah ini dalam artian buruk selama Perang Salib dan seringkali dalam buku-buku sejarah Eropa hingga abad ke-20.

Persaingan, baik di dalam kalangan Kristiani dan Muslim sendiri, berujung pada persekutuan antara faksi keagamaan melawan musuh mereka, misalnya persekutuan Kristen bersama Kesultanan Islam Rum pada Perang Salib Kelima.

Perang Salib memberikan pengaruh politik, ekonomi, dan sosial yang besar di Eropa barat. Konflik ini mengakibatkan melemahnya Kekaisaran Kristen Bizantium, yang beberapa abad kemudian ditaklukan oleh Turk Muslim. Reconquista, periode panjang peperangan di Spanyol dan Portugal (Iberia), di mana pasukan Kristen merebut kembali semenanjung di dari Muslim, amat berkaitan dengan Perang salib.

Perang Salib Pertama


CouncilofClermont

Perang Salib Pertama (1096–1099) merupakan yang pertama dari sejumlah perang salib yang berupaya untuk merebut Tanah Suci, disahkan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095. Perang ini dimulai sebagai suatu peziarahan yang meluas dalam Kekristenan Barat dan berakhir sebagai suatu ekspedisi militer oleh bangsa Eropa Katolik Roma untuk mendapatkan kembali Tanah Suci yang diambil dalam penaklukan kaum Muslim atas Levant (632–661). Pada akhirnya menyebabkan direbutnya kembali Yerusalem pada tahun 1099.

Setelah bangsa Norman menetap di Prancis dan menaklukan Inggris, baik Prancis dan Inggris, serta Kekaisaran Romawi Suci, lebih kuat dari pada masa Charlemagne. Para raja dan ratu mereka mulai berpikir, seperti yang dulu pernah terpikir oleh Charlemagne,untuk menaklukan seluruh Mediterao. Secara khusus, mereka ingin merebut Yerusalem, kota Yesus Kristus, dari tangan Fatimiyah Islam yang menguasainya.

Pada 1095 Masehi Paus Urbanus berpidato di Clermont di Prancis selatan, di mana ia menyeru orang-orang untuk mengangkat senjata dan berperang untuk membebaskan Yerusalem dari kekuasaan Fatimiyah. Orang-orang begitu bersemangat, bahkan anak-anak dan orang tua juga ingin ikut pergi.

Saking bersemangatnya, beberapa kelompok berangkat ke Yerusalem sebelum kelompok utama diorganisir. Mereka meyakini bahwa Tuhan akan meruntuhkan tembok Yerusalem begitu mereka tiba di sana, jadi mereka tidak perlu bertempur atau membawa senjata. Beberapa dari mereka bahkan tak membawa uang sedikit pn. Sebagian besar kelompok kemudian mendapati bahwa berkelana dan bertempur itu lebih sulit dari dugaan mereka, dan sebagian besar di antara mereka akhirnya meninggal dalam perjalanan. Satu kelompok memutuskan bahwa terlalu sulit untuk pergi ke Yerusalem dan memerangi Fatimiyah, dan lebih memilih untuk berhenti di Jerman untuk memerangi Yahudi. Ribuan orang Yahudi dirampok dan dibunuh oleh pasukan salib ini, hanya karena mereka bukan orang Kristen.

Pada akhirnya pada musim gugur 1096, pasukan salib utama berangkat ke Yerusalem. Mereka menggunakan rute yang berbeda-beda, sebagian pergi lewat darat dan sebagian lewat laut, menuju Konstantinopel. Di sana Kaisar Alexio cukup terkejut melihat mereka dan tidak terlalu senang. Dia sempat takut pasukan itu akan menyerang kekaisarannya, tapi akhirnya ia mengirim mereka menuju Yerusalem.

Fatimiyah tidak terlalu waspada karena mereka mengira bahwa yang datang adalah pasukan kecil Romawi dari Konstantinopel yang hanya ingin bertempur sedikit di Suriah.

Pasukan salib tiba di Yerusalem pada Mei 1098. Mereka terkejut melihat betapa beradabnya kota itu, dengan adanya masjid Kubah Batu, pemandian air panas, dan kedokteran Islam yang maju.

Pasukan salib membuat banyak kesalahan dalam peperangan mereka. Namun Fatimiyah sedang bertempur juga melawan Seljuk, sehingga mereka tak mampu mempertahankan Yerusalem dengan baik. Pasukan salib berhasil merebut Yerusalem, serta beberapa kota penting lainnya di pesisir Mediterania. Mereka menetap di sana sebagai raja-raja Yerusalem, di negara baru mereka. Banyak orang Eropa yang pergi bolak-balik Eropa-Timur Tengah, mempelajari matematika dan pengobatan dari para ilmuwan Islam, serta membawa makanan baru, seperti gula, ke Eropa. Dengan demikian, Perang Salib Pertama merupakan suatu kesuksesan bagi orang Eropa, dan kemunduran bagi Fatimiyah.

Perang Salib Kedua

Siege_of_Damascus,_second_crusade

Perang Salib Kedua (1145–1149) adalah perang salib kedua yang dilancarkan dari Eropa. Perang ini meletus akibat jatuhnya County Edessa pada tahun sebelumnya. Setelah Perang Salib Pertama pada 1096 M berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan Kristen di sepanjang pesisir Israel dan Lebanon, para khalifah Fatimiyah yang dulunya menguasai daerah itu menjadi kesal. Pada 1144 M, seorang jenderal mamluk, Imaduddin Zangi, berhasil menyatukan cukup banyak tentara Turk dan Arab dalam pasukannya untuk kemudian menyerang kerajaan-kerajaan Kristen. Zangi tidak merebut Yerusalem, namun ia merebut kota Edessa di dekatnya di Suriah.

Di Eropa, orang-orang Kristen marah ketika mengetahui bahwa Edessa telah direbut oleh Turk. Paus lalu menyuruh Bernard dari Clairvaux (di Prancis) untuk menyerukan Perang Salib Kedua untuk mengalahkan Zangi. Raja muda Prancis, Louis VII, setuju untuk berangkat, bersama dengan ratunya, Eleanor dari Aquitaine. Begitu pula Conrad III dari Jerman, Kaisar Romawi Suci. Pada masa ini, Louis berusia 23 tahun, Eleanor 22 tahun, dan Conrad 51 tahun

Dari awal hingga akhir, perang ini mengalami banyak hambatan. Sebagian besar tentara Conrad terbunuh ketika berarak melalui Turki. Ketika Louis dan Conrad tiba di Yerusalem, mereka memutuskan untu menyerang Damaskus, sebagai pembalasan atas direbutnya Edessa. Akan tetapi, serangan mereka gagal dan pasukan salib pun harus pulang tanpa membawa kemenangan.

Perang Salib Ketiga


Siege_of_Acre

Perang Salib Ketiga (1189–1192), juga dikenal sebagai Perang Salib Para Raja, merupakan suatu upaya para pemimpin Eropa untuk merebut kembali Tanah Suci dari Saladin (Salahuddin Al-Ayyubi). Kampanye ini memperoleh banyak keberhasilan, merebut kota penting Akko dan Yafo, juga membalikkan sebagian besar penaklukan Saladin, tetapi gagal merebut Yerusalem yang menjadi motivasi emosional dan spiritual dari Perang Salib.

Ketika jenderal Mamluk Imaduddin Zangi meninggal, ia digantikan oleh putranya Nuruddin, yang berhasil menaklukan Damaskus. Setelah Nururddin meninggal pada 1174 M, seorang jenderal Kurdi yang kuat bernama Salahuddin berkuasa. Salahuddin merebut Mesir dari Fatimiyah, dan ia bahkan cukup kuat untuk memulai peperangan dengan kerajaan-kerajaan Kristen di Israel dan Lebanon. Pada 1187 M, Salahuddin menaklukan Yerusalem.

Sekali lagi bangsa Eropa pun marah. Paus kembali menyeru para raja Eropa untuk bersatu dan memerangi Salahuddin. Akhirnya Richard Hati Singa, raja Inggris; Philippe Auguste, raja Prancis; dan Friedrich Barbarossa, raja Jerman sekaligus Kaisar Romawi Suci, bersama-sama memimpin pasukan menuju Yerusalem. Sementara di Prancis dan Inggris ditetapkan pajak khusus untuk menghasilkan uang demi membiayai perang.

Akan tetapi, Perang Salib Ketiga, seperti yang kedua, menemui banyak permasalahan. Friedrich meninggal dalam perjalanan ke Yerusalem. Ia tenggelam ketika sedang mandi di sebuah sungai. Akibatnya sebagian besar tentaranya memilih untuk pulang.

Frederich Barbarossa
Richard dan Philippe melanjutkan perjalanan ke Yerusalem melalui laut. Richard berhasil menaklukan pulau Siprus dalam perjalanannya, namun ia merebutnya dari kerabat Kaisar Bizantium, sehingga sejak itu Bizantium memusuhi Richard. Pasukan Prancis dan Inggris kemudian melanjutkan perang dengan mengepung Akre, pelabuhan utama di kawasan tersebut. Setelah mengepung selama hampir dua tahun, mereka baru berhasil menaklukannya. Richard membunuh 2700 tawanan di Akre karena tebusan mereka tidak dibayar hingga batas waktu yang ia tetapkan.

Setelah menang di Akre, Philippe tak mau lagi melanjutkan perang. Ia memilih untuk pulang ke Prancis, di mana kemudian ia sibuk menyerang wilayah-wilayah milik Richard di Prancis. Dengan demikian hanya Richard dan pasukan Inggrisnya yang masih bertahan untuk melanjutkan perang. Dalam keadaan seperti itu, Richard tak mampu mengalahkan Salahuddin sehingga akhirnya pada 1192 M, ia dan Salahuddin menyepakati kesepakatan damai. Isi kesepakatan itu adalah bahwa peziarah Kristen diperbolehkan keluar-masuk Yerusalem secara bebas, dan Salauddin tidak menyerang sisa-sisa kerajaan Kristen selama bertahun-tahun tahun ke depan. Dengan disepakatinya perjanjian itu, Richard pun pulang ke Inggris.

Namun ketika melintasi Jerman, Richard ditangkap oleh kaisar baru Jerman, Heinrich VI. Heinrich tak menyukai Richard karena Richard pernah berjanji akan membantu Raja Tancred dari Sisilia untuk melawan Heinrich. Heinrich memenjarakan Richard dan mengirim pesan kepada saudara Richard, John, yang isinya meminta tebusan untuk ditukarkan dengan Rihcard. Tebusan yang diminta Heinrich amat besar, bahkan pada akhirnya John harus membayar uang sejumlah tiga kali pendapatan tahunan Inggris. Untuk memeroleh uang tebusan, John menyuruh rakyat membayar pajak tambahan. Richard akhirnya berhasil pulang ke Inggris pada 1194 M.

Perang Salib Keempat


ConquestOfConstantinopleByTheCrusadersIn1204

Perang Salib Keempat (1202–1204) adalah suatu ekspedisi bersenjata dari Eropa Barat yang awalnya dimaksudkan untuk menaklukkan Yerusalem yang dikuasai kaum Muslim dengan cara invasi melalui Mesir. Sebaliknya, terjadi serangkaian peristiwa yang berujung pada penjarahan kota Konstantinopel—ibukota Kekaisaran Bizantium yang mana dikendalikan kaum Kristen—oleh Tentara Salib.

Pada 1200 M, Paus Innosentius mulai meminta para penguasa Eropa untuk melancarkan Perang Salib Keempat, lagi-lagi sebagai upaya untuk merebut Yerusalem dari Ayyubiyah yang menguasainya. Sementara Salahuddin sudah meninggal pada 1193 M, dan pasukan salib merasa bahwa penerusnya lebih lemah sehingga akan mudah dikalahkan. Kali ini mereka melakukan sesuatu yang berbeda. Alih-alih menyerang dari utara, pasukan Eropa akan berlayar ke selatan menuju Mesir, kemudian dari sana mereka akan bergerak ke Yerusalem.

Untuk memperoleh cukup banyak kapal untuk mengangkut pasukan salib ke Mesir, dibutuhkan bantuan dari negara bahari yang kuat. Oleh karena itu pada 1022 M pasukan salib datang ke Venesia untuk menyewa kapal. Namun mereka tak memiliki cukup uang, sehingga Venesia menawarkan suatu kesepatan. Venesia mengizinkan pasukan salib membayar biaya sewa kapal seusai perang namun sebagai gantinya pasukan salib harus terlebih dahulu membantu Venesia merebut kembali kota Zara (di Hongaria modern), yang direbut oleh Hongaria beberapa tahun sebelumnya. Pasukan salib setuju utuk menyerang Zara meskipun Zara adalah kota Kristen. Sementara itu Paus tidak suka denga tindakan mereka sehingga ia pun memutuskan untuk mengucilkan pasukan salib yang melakukan penyerangan ke Zara.

Pasukan salib berhasil menaklukan Zara, dan hendak melanjutkan perjalanan ke Mesir dengan kapal. Akan tetapi Alexios Komnenos, yang baru saja digulingkan dari posisinya sebagai kaisar Bizantium, meminta pasukan salib untuk membantunya berkuasa lagi. Ia berjanji bahwa ia akan membayar mereka jika ia berhasil bertahta kembali. Akhirnya, alih-alih berperang ke Mesir, pasukan salib setuju untuk membantu Alexios. Pada 1203 M, dengan dibantu oleh Venesia, pasukan salib menyerbu Konstantinopel, ibukota Bizantium, dan mengangkat Alexios sebagai kaisar lagi. Namun Alexios tidak memiliki uang untuk membayar pasukan salib. Untuk memperoleh uang, ia pun menarik pajak tambahan dari rakyat sehingga ia menjadi dibenci oleh rakyat. Saking dibencinya, Alexios dan ayahnya akhirnya dibunuh, dan seorang kaisar baru, Alexios V, naik tahta.

Pada 1204 M pasukan salib dan Venesia kembali menyerang, dan kali ini menjarah Kostantinopel. Seluruh wilayah Bizantium diambil alih oleh Venesia. Pasukan salib tak pernah tiba di Yerusalem, dan tak pernah berperang melawan Ayyubiyah. Mereka menjarah uang dan harta benda di Konstantinopel, kemudian pulang. Paus pun akhirnya mengizinkan mereka kembali ke Gereja.

Perang Salib Kelima


Capturing_Damiate

Perang Salib Kelima (1217–1221) adalah upaya kaum Eropa Barat untuk merebut kembali Yerusalem dan seluruh wilayah Tanah Suci lainnya dengan pertama-tama menaklukkan Dinasti Ayyubiyyah yang berkuasa di Mesir.

Pada 1216 M, Paus Honorius III berhasil mendorong sejumlah orang Eropa untuk kembali melancarkan serangan ke Yerusalem agar bisa merebutnya dari Ayyubiyah. Kali ini, Paus yang akan memimpin pasukan salib alih-alih para raja Eropa. Friedrich II dari Kekaisaran Romawi Suci ingin ikut, namun Paus menolaknya. Paus menekankan bahwa perang salib ini untuk Paus, bukan untu raja. Beberapa pasukan Hongaria ikut serta.

Pasukan salib pergi ke selatan, mengikuti rencana awal Perang Salib Keempat. Pada 1218 M, pasukan salib bersekutu dengan sultan Seljuk Kay Kaus I, dan menyerang pelabuhan Damietta di Mesir. Mereka melakukan pengepungan yang lama, dan banyak orang di kedua pihak yang meninggal akibat penyakit. Pada 1219 M, pasukan salib berhasil merebut Damietta, namun kemudian malah saling bertikai memperebutkan kekuasaan di sana.

Pada 1221 M, pasukan salib bergerak ke Kairo dan berupaya merebut lebih banyak wilayah Mesir. Ayubiyyah memanfaatkan sungai nil untuk membanjiri jalan-jalan, membuat pasukan salib terperangkap. Agar dapat bebas, pasukan salib pun menyepakati perjanjian. Mereka menyerahkan kembali Damietta kepada Ayubiyyah kemudian kembali ke Eropa.

Perang Salib Keenam


Al-Kamil_Muhammad_al-Malik_and_Frederick_II_Holy_Roman_Emperor

Perang Salib Keenam berawal pada tahun 1228 sebagai suatu upaya untuk mendapatkan kembali Yerusalem. Perang ini dimulai setelah kegagalan Perang Salib Kelima dan melibatkan sedikit sekali pertempuran yang sebenarnya. Manuver diplomatik Friedrich II, Kaisar Romawi Suci, menyebabkan Kerajaan Yerusalem kembali memperoleh sebagian kendali atas Yerusalem dalam hampir sepanjang lima belas tahun berikutnya (1229-39, 1241-44)[1] maupun atas daerah lainnya di Tanah Suci.

Tak lama setelah gagalnya Perang Salib Kelima, Friedrich II, Kaisar Romawi Suci, memutuskan bahwa ia ingin ikut serta dalam Perang Salib, karena ia tak dapat ikut dalam perang salib sebelumnya.

Friedrich memimpin pasukannya ke Akre, di Suriah. Ketika itu Akre dikuasai oleh Mamluk. Akan tetapi, Friedrich menghadapi permasalahan. Di negara asalnya, terjadi sengketa politik antara kelompok Guelf dan Ghibellin. Sengketa ini terus mengikutinya bahkan hingga ke Akre

Friedrich kemudian memperleh tawaran dari Al-Kamil, saultan Ayyubiyah. Al-Kamil ingin menempatkan saudaranya sebagai penguasa Suriah sebagai pengganti Mamluk, dan ia membutuhkan bantuan dari pasukan Friedrich. Sebagai imbalannya, Al-Kamil akan menyerahkan Yerusalem, Nazareth, dan Bethlehem kepada Friedrich. Friedrich setuju dan akhirnya ia pun dinobatkan sebagai Raja Yerusalem pada 1229 M.

Akan tetapi, hanya beberapa bulan setelahnya, Friedrich harus kembali ke Jerman untuk menyelesaikan permasalahan di sana. Ia meninggalkan Yerusalem tanpa menempatkan pasukan untuk melindungi kota itu. Kesepakatan Friedrich berlangsung untuk sementara, namun Ayyubiyah lama-kelamaan menjadi lemah. Akhirnya pada 1244, Mamluk, yang mulai bangkit di Asia Barat, berhasil merebut Yerusalem.

Perang Salib Ketujuh


Seventh_crusade

Perang Salib Ketujuh merupakan suatu perang salib yang dipimpin oleh Louis IX dari Perancis dari tahun 1248 sampai 1254. Sekitar 800.000 bezant (mata uang emas pada abad pertengahan) dibayarkan sebagai uang tebusan untuk Raja Louis. Ia dikalahkan dan ditangkap pasukan Mesir yang dipimpin oleh Sultan Ayyubiyyah Turanshah yang dididukung kaum Mamluk dari Bahri yang dipimpin oleh Faris ad-Din Aktai, Baibars al-Bunduqdari, Saif ad-Din Al-Qutuz, Izz al-Din Aybak, dan al-Mansur Qalawun.

Perang Salib Ketujuh tidak dimulai oleh Paus, melainkan oleh Raja Louis IX dari Prancis, yang kelak dikenal atas ketaatannya kepada Tuhan. Setelah Mamluk merebut Yerusalem pada 1244 M, Louis mengumumkan perang salibnya (pada 1245 M). Louis mengumpulkan uang dari sedekah untuk gereja dan kemudian berlayar menuju Siprus pada 1248 M (pada usia 34 tahun).

Dari Siprus, Louis menyerang dan merebut pelabuhan Damietta di Mesir, yang pernah menyebabkan banyak permasalahan pada Perang Salib Kelima. Ayyubiyah kini amat lemah dan tak mampu menghentikan Louis. Memanfaatkan Damietta sebagai basis, Louis berusah menyerang Kairo, namun Mamluk tiba dan mengalahkannya. Louis ditawan, dan untuk menebusnya, Prancis harus membayar banyak emas serta menyerahkan kembali Damietta.

Louis dan pasukannya pergi ke Akre di Suriah. Di sana, ia bernegosiasi dengan Mongke, Khan Mongol, untuk meminta bantuan melawan Mamluk, namun Mongke tidak tertarik. Pada 1254 M, Louis, kini berusia 40 tahun, telah kehabisan uang. Selain itu, ibunya, Blanche dari Castile, telah meninggal. Blanche memerintah Prancis selama Louis pergi, dengan dengan meninggalnya Blanche, Louis harus pulang untuk mengurus negaranya.

Perang Salib Kedelapan


SmrtLudvika

Perang Salib Kedelapan adalah suatu perang salib yang dilangsungkan oleh Louis IX dari Perancis terhadap kota Tunis pada tahun 1270. Perang Salib Kedelapan terkadang diperhitungkan sebagai yang Ketujuh, apabila Perang Salib Kelima dan Perang Salib Keenam diperhitungkan sebagai suatu perang salib tunggal. Perang Salib Kesembilan terkadang juga diperhitungkan sebagai bagian dari yang Kedelapan ini. Perang salib ini dianggap gagal karena Louis meninggal dunia akibat penyakit tidak lama setelah tiba di pesisir Tunisia, dan pasukannya yang juga dilanda wabah penyakit membubarkan diri kembali ke Eropa tidak lama setelahnya.

Setelah ibunya meninggal, Louis IX dari Prancis harus menstabilkan negaranya. Setelah itu, Louis ingin melancarkan perang salib lagi. Perang Salib Ketujuh, yang dipimpin oleh Louis, berakhir dengan kegagalan pada 1254 M, sehingga pada 1270, ketika berusia 56 tahun, Louis mencoba kembali. Kali ini ia memulai dengan menyerang Tunis, untuk memperoleh basis di Afrika Utara. Akan tetapi, disentri menjangkiti perkemahan pasukannya, bahkan Louis sendiri meninggal akibat penyakit ini. Akhirnya pasukan salib pun mundur dan kembali ke Eropa.

Perang Salib Pertama adalah serangkaian operasi militer yang didorong oleh keinginan kaum Kristen Eropa untuk menjadikan tempat-tempat suci umat Kristen, khususnya Yerusalem masuk ke wilayah perlindungan mereka. Seruan Paus Urbanus pada tahun 1095, membuat penguasa-penguasa Kristen Eropa bersatu untuk melakukan serangan ke wilayah-wilayah muslim di Timur Dekat.
Sejak awal, Perang Salib membentuk babak penting dalam dua sejarah yang berbeda namun saling terkait, yaitu Barat dan Timur.

Bagi Barat, Perang Salib adalah bagian penting dari evolusi Eropa Barat abad pertengahan. Sementara bagi muslim di Timur, Perang Salib memainkan peran sementara tetapi tidak terlupakan, karena perang ini mempengaruhi kesadaran umat Islam hingga kini.

Pertemuan bangsa Barat dan Timur (Islam) pertama kali terjadi setelah adanya kebijakan-kebijakan ekspansi negara muslim baru, yang dibentuk pasca wafanya Nabi Muhammad saw, tahun 632 M. Satu abad kemudian, muslim telah menyeberangi barisan pegunungan di antara Prancis dan Spanyol, sekaligus menaklukan wilayah-wilayah yang membentang dari India Utara hingga Prancis Selatan.

Dua abad berikutnya, peradaban dunia Islam masih lebih superior dari peradaban Eropa. Mereka menikmati pertumbuhan ekonomi, dan peradaban yang luar biasa. Namun, pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11, perpecahan politik menimpa Dinasti Abbasiyah (pusat peradaban dan pemerintahan Islam). Kondisi tersebut membantu munculnya kembali bangsa-bangsa Eropa di Mediterania Timur, dan menjadi awal kebangkitan kekuatan Kristen di Spanyol.

Kebangkitan ini ditandai dengan keberhasilan bangsa Norman merebut kembali Sisilia dari tangan tangan kaum muslim, dan kaum Kristen di utara Spanyol berhasil merebut kembali Toledo. Sementara itu, Bizantium berhasil melakukan invasi ke utara Suriah pada abad ke-10, dan dalam waktu yang singkat dapat menguasai kota-kota negeri itu.

Pada abad ke-11, Paus dan penguasa-penguasa kerajaan Eropa mendapat kabar tentang kemunduran dan desentralisasi kekuasaan militer dan politik umat Islam. Namun, kabar tentang reputasi buruk khalifah keenam dinasti Fatimiyah, al-Hakim, juga sampai ke Eropa melalui berita yang dibawa pendeta Prancis Peter Amiens. Al-Hakim melakukan penyiksaan terhadap orang Kristen di kerajaannya, yang membentang dari Suriah hingga Palestina, selain itu ia juga melakukan penghancuran Gereja Makam Suci di Yerusalem pada 1009-1010.

Paruh kedua abad ke-11, dunia timur didominasi oleh perseteruan dua kekuatan besar muslim saat itu, yaitu dinasti Seljuk dan Fatimiyah. Mereka saling memperebutkan wilayah yang membentang dari Suriah hingga Palestina. Dinasti Seljuk saat itu masih mengandalkan dukungan militer dari kerabat mereka yang hidup mengembara, Turki Nomaden.

Turki Seljuk tidak hanya berperang melawan daulah Fatimiyah, mereka juga menyerang wilayah Bizantium bagian timur, Anatolia, yang dulunya merupakan daerah kekuasaan Armenia. Pasukan Turki di bawah pimpinan Sultan Alp Arslan berhasil mengalahkan pasukan Bizantium di Manzikert pada tahun 1071. Pasca direbutnya wilayah itu, reputasi imperium Bizantium mengalami pukulan hebat.

Setelah itu, gelombang Turki Nomaden yangb bergerak ke timur semakin terlepas dari kontrol kekaisaran Seljuk, mereka bergerak masuk dan menduduki wilayah Armenia, dan Bizantium. Salah satu kelompok Turki Nomaden di bawah pimpinan Sulayman ibn Qutlumush, mendirikan negara kecil pertama di Nicaea (Iznik), dan kemudian di Iconium (Konya), yang kemudian berkembang menjadi kerajaan Seljuk Rum.

Dekade terakhir abad ke-11, merupakan perpecahan politik terbesar umat Islam yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kematian beruntun menteri utama Seljuk, Wazir Nizham al-Mulk, dan Sultan Seljuk Malik Shah di tahun 1092, disusul oleh khalifah Abbasiyah al-Muqtadhi, dan khalifah Fatimiyah al-Mustanshir pada 1094 menimbulkan kekosongan kekuasaan yang sangat besar.

Kekosongan tersebut menimbulkan pertikaian internal dan perebutan kekuasaan di dunia Islam. Selain itu kekuatan Seljuk yang sebelumnya ditakuti kerajaan-kerajaan Eropa, juga mengalami perpecahan pasca wafatnya Sultan Malik Shah. Kondisi yang sedemikian rupa membuat dunia Islam tidak siap menghalau serangan yang sama sekali tidak diduga dari kaum Eropa.

Sumber:
tirto.id