Belanda terus berupaya untuk memperkuat cengkeramannya di Indonesia dengan mengusulkan pemberian status Negara bagian kepada Indonesia. Dengan jelas Belanda ingin menyusun seluruh wilayah Indonesia sebagai suatu satuan ekonomi sehingga Republik akan dilebur kedalamnya, yang dengan tegas ditolak secara mentah-mentah oleh pihak Republik. Belanda juga mempersiapkan serangan politik baru untuk memaksa pihak Republik tunduk sepenuhnya kepada kehendak Belanda.
Tindakan Belanda ini menimbulkan situasi politik yang semakin memanas diantara kedua belah pihak. Karena menemui jalan diplomasi yang cenderung buntu, pihak Republik dan Belanda mulai mengambil inisiatif- inisiatif baru guna menembus kebuntuan diplomasi yang terjadi. Pihak Belanda mengusulkan bahwa pihak Republik tidak boleh mempunyai perwakilan sendiri di luar negeri. Belanda selalu mencurigai pihak Republik dan juga tidak mempercayai Linggarjati yang bertentangan dengan kepentingan politik mereka. Mereka menghadapi dilema antara menarik pulang tentaranya atau tetap menjajah Indonesia.
Belanda mengeluarkan pernyataan yang pada intinya mengungkapkan ketidak puasan mereka terhadap sikap Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan Linggarjati. Walaupun pihak Republik masih optimis bahwa sengketa yang ada dapat diselesaikan secara damai, pihak Belanda tetap bersikeras bahwa Republik tidak akan melaksanakan isi perjanjian Linggarjati secara ikhlas. Mereka juga menyangsikan kerja sama antara Republik dengan Belanda dan daerah- daerah lain bentukan Belanda diluar Jawa, Madura dan Sumatra.
Pihak Belanda mengeluarkan nota kepada Republik untuk mengatur secara bersama bidang ekonomi, keuangan dan tata Negara dimana Belanda mengusulkan susunan Negara Federasi. Disamping itu Van Mook mengirim utusan (Idenburg dan Van Hoogstraten) ke Yogyakarta guna mengukur suasana Pemerintahan Republik dengan cara mengunjungi para pemimpin Republik untuk menyelami isi hati mereka. Utusan Belanda ini menyatakan bahwa kesulitan dalam pelaksanaan isi perjanjian Linggarjati adalah karena Republik tidak dapat menguasai Tentara Rakyat Indonesia (TRI) sedangkan Belanda dapat mengendalikan tentara mereka.
Persiapan Agresi Militer I
Belanda merencanakan untuk menyerbu Republik Indonesia secara besar- besaran guna merebut daerah-daerah yang secara politik dan ekonomi sangat penting. Daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam seperti minyak di wilayah Republik antara lain Sumatra Utara (daerah perkebunan Sumatra Timur), Sumatra Selatan (daerah perminyakan di Palembang), Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk maksud ini Belanda mempersiapkan beberapa brigade militer di daerah yang akan direbut. Menurut Nasution (1978), Belanda mempersiapkan empat brigade untuk Sumatra Timur, Sumatra Tengah, Sumatra Selatan dan Jawa Tengah. Untuk Jawa Barat digunakan dua divisi, dan untuk Jawa Timur digerakkan dua brigade. Pergerakan tentara Belanda beserta peralatan militernya yang lengkap dan moderen juga terlihat nyata di daerah-daerah tersebut.
Pesawat-pesawat Belanda membuat peta wilayah Republik yang akan diserang. Sikap Belanda juga semakin keras dan tidak bersedia lagi untuk berunding dengan pihak Republik. Militer Belanda semakin bersikap agresif dan provokatip dengan melakukan blokade di beberapa wilayah Republik Indonesia. Hal ini jelas bahwa Belanda bermaksud untuk menggunakan kekerasan. Perdebatan di meja perundingan hanya untuk mengelabuhi mata dunia bahwa Republik sangat keras kepala.
Masa-masa Menjelang Agresi Militer I
Masa-masa menjelang Agresi Militer Belanda I merupakan masa-masa yang sangat mencemaskan baik bagi Republik Indonesia maupun Belanda. Perseteruan antara Belanda dan Republik semakin meruncing dan situasi di lapangan semakin memanas karena genderang perang sudah ditabuh dan perang pidato oleh Belanda dan Republik semakin gencar.
Pada tanggal 24 Mei 1947 Perdana Menteri Belanda, Beel, berpidato di Makassar, Sulawesi Selatan (wilayah yang masih dikuasai Belanda) yang berisikan pernyataan tidak puas terhadap sikap dan tindakan Republik terhadap perjanjian Linggarjati. Diwaktu yang hampir bersamaan, dari pihak Republik, Jenderal Besar Sudirman mengucapkan pidato untuk mengobarkan semangat lasykar Tentara Rakyat Indonesia (TRI) untuk tetap mendukung upaya delegasi Republik dalam menegakkan isi perjanjian Linggarjati dan mempertahankan kedaulatan wilayah Republik dari ancaman militer Belanda.
Untuk mengantisipasi serangan balasan oleh Republik terhadap warga Belanda bekas tawanan Jepang yang masih tinggal dipedalaman apabila Belanda melancarkan Agresi Militer, Belanda mengangkut semua warga Belanda dari wilayah Republik ke Jakarta. Suasana semakin tegang karena Belanda tidak mengijinkan anggota TRI yang mengantar bekas tawanan ini masuk ke Jakarta walaupun sudah memperoleh ijin dari Gubernur Jenderal Van Mook. Belanda Pada tanggal 3 Juni 1947 Belanda membuat ultimatum agar Republik memenuhi tuntutan Belanda dan apabila dalam waktu 14 hari Jawaban Republik tidak memenuhi tuntutan Belanda maka pihak Belanda akan menyelesaikan kebuntuan diplomasi menurut kehendaknya sendiri dengan menggunakan kekuatan militer atau dengan kata lain melaksanakan perang dengan Republik Indonesia.
Isi ultimatum sangat agitatif, bernada mengancam dan menyudutkan Republik Indonesia karena sangat membatasi kewenangan Republik dalam hal:
- Hubungan dengan luar negeri;
- Memaksakan kerja sama dibidang militer dan keamanan serta mengurangi kekuatan TRI;
- Pengaturan masalah-masalah pokok ekonomi terutama perdagangan luar negeri;
- Pengembalian hak-hak orang asing atas perusahaan; dan
- Hubungan kerja sama dengan daerah-daerah lain diluar wilayah Republik Indonesia.
Ultimatum ini menimbulkan keguncangan di pihak Republik dimana pihak militer dan partai politik tidak dapat menerima ultimatum tersebut karena sangat bertentangan dengan semangat Linggarjati. Menurut persetujuan Linggarjati seharusnya secara politik kedudukan Negara Republik Indonesia sama derajatnya dengan Negara Belanda. Usulan Belanda untuk mengembalikan status Negara Republik Indonesia menjadi daerah otonom Pemerintah jajahan “Hindia Belanda” jelas sangat naïf dan melanggar persetujuan Linggarjati.
Dibidang ekonomi, ultimatum tersebut tidak saja akan menghilangkan peluang untuk pembangunan ekonomi, tetapi juga akan menghalangi upaya Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan ekspor keluar negeri. Bagi pihak Republik, menerima ultimatum sama saja dengan menghilangkan pengakuan secara de facto atas kedaulatan wilayah Republik Indonesia dan menerima status penjajahan kembali atas seluruh wilayah Indonesia. Pihak militer dari Republik Indonesia segera mengambil sikap dengan melakukan siaga. Ketegangan semakin meningkat dan jelas sekali kedua belah pihak saling menyalahkan. Republik menyatakan dengan tegas bahwa persetujuan Linggarjati dapat dilaksanakan tanpa adanya ancaman salah satu pihak. Presiden Soekarno dengan tegas mengusulkan agar dana sebesar 3,5 juta Gulden dipergunakan untuk kegiatan yang bertujuan baik (good will) bukan untuk kegiatan yang bertujuan buruk (hell will).
Semakin memburuknya perseteruan membuat Pemerintah Republik Indonesia segera membuat nota Jawaban tertanggal 8 Juni 1947 (Nasution, 1978) yang pada intinya terdiri dari beberapa usulan sebagai berikut:
-
Menyetujui pembentukan Pemerintahan nasional sementara untuk mempersiapkan sidang konstituante dan penyerahan kekuasaan dari Pemerintah Hindia Belanda kepada Pemerintah Federal Indonesia. Selama masa peralihan kedudukan de facto Republik tidak akan dikurangi. Republik akan mengakui terbentuknya Pemerintah Indonesia Timur dan Pemerintah Borneo;
-
Menyetujui pembentukan lembaga devisa (deviezeninstituut) bersama untuk seluruh Indonesia, setelah terbentuk Pemerintah peralihan;
-
Menyetujui penyusunan Badan Pusat Pembagian Makanan untuk seluruh wilayah Indonesia oleh Pemerintah peralihan;
-
Penjaminan keamanan dan ketertiban di wilayah Republik adalah kewajiban polisi Republik sendiri. Dalam hal ini Belanda sama sekali tidak perlu dan tidak seharusnya mencampuri urusan keamanan dalam negeri di wilayah Republik;
-
Perdagangan ekspor dan impor dilakukan menurut petunjuk Pemerintah peralihan; dan
-
Persoalan besar mengenai penyelenggaraan perjanjian Linggarjati supaya ditangani oleh kedua delegasi. Semua keputusan dilaksanakan oleh Pemerintah peralihan dan Negara-Negara bagian.
Nota balasan dari Republik Indonesia, sebagaimana telah diduga sebelumnya, ditolak oleh Komisi Jenderal Belanda yang menganggap nota balasan tersebut bertentangan dengan semangat Linggarjati. Penolakan Belanda atas nota balasan Republik menunjukkan adanya kesalahan interpretasi terhadap isi perjanjian Linggarjati dan tidak adanya niat baik dari Belanda karena mereka selalu berburuk sangka terhadap Indonesia, sehingga apapun yang diusulkan atau dilakukan oleh Indonesia selalu dianggap salah oleh Belanda.
Pelaksanaan Agresi Militer Belanda I
Agresi Militer Belanda I, yang oleh Belanda dinamai Operasi Produk (Operatie Product), merupakan Operasi Militer yang dilakukan oleh Belanda di daerah Pulau Jawa dan Pulau Sumatra dari tanggal 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Belanda menyebut Agresi Militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Belanda ini sebagai urusan dalam negeri Belanda untuk mengembalikan ketertiban umum sehingga Belanda mengabaikan seruan masyarakat Internasional untuk mentaati isi perjanjian Linggarjati dan menghentikan pertikaian dengan Republik Indonesia.
Daerah-daerah di pulau Jawa yang diserang oleh Belanda adalah daerah Jawa Barat (antara lain Bogor, Bandung, Banten, Tangerang, Cirebon, Bandung, Garut, Cicalengka, Sukabumi, Serang, Pangalengan), Jawa Tengah (Tegal, Pekalongan, Semarang, Purwokerto, Cilacap, Gombong), dan Jakarta. Di pulau Sumatra, daerah-daerah yang digempur oleh Belanda antara lain adalah Palembang, Jambi, Padang, Tebing Tinggi Pematang Siantar, Medan dan lain- lain. Agresi Militer ini dilancarkan segera setelah Gubernur Jendral Van Mook mengeluarkan ultimatum agar pihak Republik menarik mundur pasukannya sejauh 10 kilo meter dari garis demarkasi yang serta merta ditolak secara mentah-mentah oleh Republik.
Van Mook juga dengan lantang mengatakan secara sepihak bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan persetujuan Linggarjati. Serangan Belanda yang dilakukan secara cepat dan mendadak, dengan kekuatan militer yang besar disertai dengan perlengkapan militer yang modern, di beberapa daerah tersebut diatas benar-benar mengejutkan Republik. Perlawanan yang dilakukan oleh pihak Republik sangat tidak memadai karena perlengkapan militer tentara Republik sangat tidak memadai, dan organisasi militer Republik masih belum solid sehingga Republik mengalami kesulitan untuk mengkonsolidasi kekuatan dan kesatuan-kesatuan militer yang ada. Sebagai akibatnya maka dengan mudah Belanda menduduki banyak wilayah baik di pulau Jawa dan Sumatra. Disamping itu di Jakarta banyak diplomat Republik yang ditangkapi oleh Belanda.
Agresi Militer Belanda I menuai kecaman dari beberapa Negara termasuk Inggeris dan Amerika Serikat yang merasa kecewa atas terjadinya Agresi Militer Belanda tersebut. Sebagian besar komunitas Internasional pada saat itu mengkawatirkan terjadinya pergolakan berkepanjangan yang dapat mengakibatkan kekacauan politik, militer dan ekonomi sehingga pihak komunis akan dapat memanfaatkan situasi yang kacau tersebut untuk memperbesar pengaruh mereka di Indonesia. Belanda secara mati-matian membela tindakan mereka melakukan apa yang mereka sebut Aksi Polisionil tersebut dengan mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa pada hari kedua setelah Agresi Militer dilakukan, yang pada intinya:
- Belanda menuduh bahwa Republik tidak sanggup melaksanakan persetujuan Linggarjati;
- Gencatan senjata pada tanggal 14 Oktober 1946 selalu dilanggar oleh tentara Republik, dan Pemerintah Republik tidak pernah menyangkal segala pelanggaran yang terjadi;
- Di garis demarkasi selalu ada penyerbuan terhadap tentara Belanda dan juga penyerbuan ke Indonesia Timur dan Kalimantan Barat;
- Banyak terjadi pemusnahan alat-alat yang berharga;
- Blokade ekonomi terus dilakukan sehingga membuat rakyat kelaparan;
- Banyak tawanan di daerah Republik yang belum dilepaskan oleh pihak Republik; dan
- Propaganda perang dibesar-besarkan oleh Radio Republik dari Yogyakarta.
Dengan demikian maka menurut Belanda pihak Republik telah melakukan tindak kejahatan dan perlu dihukum. Oleh karena itu Belanda merasa perlu melakukan Aksi Polisionil untuk ketertiban umum. Belanda juga merasa bahwa pihak Republik tidak sanggup mempertahankan keamanan dan tidak mau bekerja sama dengan Belanda.
Akan tetapi dunia Internasional tidak dapat menerima argumentasi yang disampaikan Belanda dengan begitu saja dan mereka juga tidak dapat menerima kenyataan bahwa Belanda telah mengerahkan kekuatan militernya baik laut, darat maupun udara secara besar-besaran untuk melakukan Agresi Militer di Indonesia. Tercatat pihak Belanda mengerahkan 3 divisi yang modern di Jawa, dan 3 brigade di Sumatra, sedangkan lebih dari selusin batalion digelar di pulau-pulau lain di Indonesia.
Pada tanggal 31 Juli 1947 Pemerintah Republik Indonesia juga menulis surat kepada Dewan Keamanan PBB yang isinya meminta supaya Dewan Keamanan bertindak untuk mengatasi sengketa Indonesia-Belanda.18 Berkat inisiatif India dan Australia, persoalan agresi kolonial Belanda ini dibawa ke Dewan Keamanan PBB. Setelah melalui perdebatan sengit akhirnya Dewan Keamanan PBB mencela agresi kolonial Belanda dan berpendapat bahwa harus segera diperintahkan penghentian pertempuran oleh kedua belah pihak.
Referensi
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20232943-S237-Agresi%20militer.pdf