Taman Siswa
Taman Siswa adalah sekolah yang didirikan Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta sebagai pergerakan nonkooperatif di bidang pendidikan di Hindia Belanda. Pada waktu pertama kali didirikan, sekolah Taman Siswa ini diberi nama " National Onderwijs Institut Taman Siswa", yang merupakan realisasi gagasan Ki Hajar Dewantara bersama- sama dengan temannya di Paguyuban Sloso Kliwon (Muljana, 2008). Keberadaan Taman Siswa ini tidak lepas dari lingkungan sosio-historis di tahun 1900-1942, dimana Pemerintah Hindia Belanda menerapkan Politik Etis (terutama edukasi) kepada negeri jajahan sebagai upaya pemberdayaan dan perbaikan kualitas hidup rakyat jajahan ke arah terdidik lewat sekolah (Suhartono, 2001). Atau dengan kata lain, Politik Etis merupakan hutang budi negeri induk kepada negeri jajahan yang telah menyediakan pundi-pundi emas kepada Belanda selama cultuurstelsel bagi pembangunan dalam negeri negara induk.
Dukungan datang dari para kapitalis dan industrialis di Hindia B landa mengenai penerapan Politik Etis pada penduduk pribumi Hindia Belanda. Edukasi dari Politik Etis ini mengha- silkan elit modern kalangan bumiputera yang terdidik (menjadi cendikiawan) membentuk pergerakan modern dalam bentuk organisasi sosio-politik termasuk Taman Siswa (van Niel,1984). Berdirinya Taman Siswa di Yogyakarta setelah Ki Hajar Dewantara usai berpolitik lewat Indische Partij dalam memper- juangkan hak-hak bumiputera Hindia Belanda.
Prinsip dasar dalam pendidikan Taman Siswa yang menjadi pedoman bagi seorang guru dikenal sebagai Patrap Triloka . Konsep ini dikembangkan Ki Hajar Dewantara setelah ia mempelajari pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (Benggala) sebagai pendidikan karakter (Kelch, 2014). Patrap Triloka me- miliki unsur-unsur pendidikan karakter seperti: ing ngarsa sung tulada memiliki arti di depan memberi teladan, ing madya mangun karsa yang artinya di tengah membangun inisiatif, sementara tut wuri handayani artinya dari belakang mendukung.
Konsep pendidikan berbasis budaya penting untuk mempromosikan kewarganegaraan atau identitas nasional dan tanggung jawab anak muda perge- rakan sebagai agent of change di dalam pergerakan nasional tahun 1908-1942. Taman Siswa yang berprofesi sebagai lembaga pendidikan merupakan warisan bangsa yang tak terukur, peran dan pelayanan Taman Siswa dalam dunia pendidikan Indonesia sangat penting di masa lalu, sekarang dan di masa depan (Towaf, 2016). Pendidikan karakter di Taman Siswa tidak luput bagaimana mengajarkan anak-anak pergerakan akan pentingnya tanggung jawab, gotong royong, kasih sayang, menghormati orang yang lebih tua, dan cinta tanah air ( nationalism ).
Pendidikan kebangsaan sifatnya harus luas dan dalam, sehingga pengaruh-pengaruh dari luar yang dapat memperbaiki dan mempertinggi pendidikan kebangsaan Indonesia harus dite- rima dengan senang hati. Akan tetapi, pengaruh-pengaruh tadi harus disela- raskan dengan keadaan Indonesia dan diberikan kepada anak-anak Indonesia, sehingga prinsip seleksi dan adopsi perlu dijalankan (Yuliati, 2016). Landasan pendidikan Taman Siswa tersebut mem- bentuk pendidikan karakter di masanya mengajarkan toto kromo dan welas asih. Ajaran di dalam Taman Siswa telah mengakar ke dalam kepribadian pendidikan nasional yang berasal dari kebudayaan Jawa dan ajaran agama Islam sang peletak dasar Taman Siswa. Jadi, nilai-nilai kultur dan ajaran agama Ki Hajar Dewantara menjadi pondasi dalam membentuk pendidikan karakter telah membangkitkan rasa cinta tanah air kepada anak-anak pergerakan pada masa itu.
Inilah yang menjadi permasa- lahan bahwa landasan pendidikan yang diletakkan Taman Siswa tanpa disadari menjadi jiwa pendidikan nasional selama masa pergerakan nasional 1908-1942. Karakteristik landasan pendidikan yang diletakkan oleh Taman Siswa sudah sepatutnya dipertahankan di dalam menghadapi arus globalisasi yang membawa kepada pengikisan moral anak bangsa.