Pengetahuan mengenai sebab-musabab keruntuhan Majapahit selama ini menjadi simpangsiur penuh kontroversi yang layak untuk diperbincangkan dalam diskursus akademik terutama pada kalangan akademisi dan sejarawan. Sebagaimana dalam konsep teoritik diskursus Michel Foucault yang menisbatkan bahwa dalam teks-teks sejarah tidak ada kebenaran yang tunggal.
Masing-masing pengetahuan kebenaran memiliki pendukungnya. Di dalam pendukung tersebut muncullah kekuasaan mendominasi serta melegitimasi atas salah satu intepretasi pengetahuan tersebut. Secara teoritik intepretasi pengetahuan sejarah yang disokong oleh kekuasaan tidaklah lagi dapat dikatakan objektif melainkan telah menjadi subjektivitas historis.
Terdapat dua versi sejarah runtuhnya kerajaan Majapahit, yaitu :
- Runtuhnya Majapahit Diserang oleh Girindrawardhana
- Runtuhnya Majapahit karena Diserang Demak
Berikut adalah beberapa sumber dari kedua versi tersebut.
Versi Pendukung Cerita Runtuhnya Majapahit Diserang oleh Girindrawardhana
1. Versi temuan Dr. Kroom
Versi pengetahuan sejarah peristiwa runtuhnya Majapahit oleh karena diserang pasukan Girindrawardhana dikemukakan sejarawan Kroom dalam bukunya Javansche Geschiedenis sebagaimana dikutip oleh Umar Hasyim, dalam bukunya yang berjudul Sunan Giri.
Kroom menyatakan bahwa yang menyerang Majapahit alias Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) adalah Girindhrawardhana itu sendiri. Prabu Kertabhumi tewas dalam keraton atas serangan Girindhrawardhana Bupati Kaling/Kediri (1478 Ma). Selanjutnya pada tahun 1498 Prabu Girindhrawardhana tewas dibunuh oleh Prabu Udara sehingga mahkota kerajaanpun jatuh ke tangan Prabu Udara. Melihat situasi seperti ini para wali mendukung Raden Patah untuk mengambil kembali mahkota tersebut dari Prabu Udara karena mahkota tersebut adalah milik ayahnya Raden Patah, yaitu Prabu Kertabhumi alias Brawijaya V. Dipihak lain Prabu Udara bersekongkol dengan Portugis 1512, padahal pada 1511 Raden Pati Unus telah menyerang Portugis di Malaka. Akibat serangan itu Pati Unus wafat di medan pertempuran melawan Portugis di Malaka. Pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara, dan jatuhlah Majapahitketangan Demak.
Bertolak dari pendapat Kroom di atas dapat disimpulkan bahwa Majapahit runtuh karena diserang oleh pasukan Girindrawardhana dari Kaling Kediri. Demak kemudian baru merebut kembali Majapahit dan pada akhirnya 1517 Majapahit jatuh ketangan Demak. Dalam pengetahuan peristiwa ini terkandung pesan bahwa menyerangnya Demak kepada Majapahit bukan karena melawan orangtuanya Prabu Kertabhumi (Brawijaya V), akan tetapi Raden Patah me- nyerang Majapahit karena ingin kembali mengambil mahkota raja dari ayahnya Prabu Kertabhumi yang sebelumnya direbut oleh Girindrawardhana.
Pandangan Kroom di atas bukan berarti bebas dari kritik. Jika jatuhnya Majapahit karena serangan Girindrawardhana sebagaimana dalam tradisi Jawa kemudian simbol-simbol angka tahun dari gambar bulus (penyu) di Masjid Agung Demak menunjukkan angka 1400 Saka dikonversi menjadi 1478 Masehi, maka Girindrawardhana menduduki Majapahit selama 20 tahun, dari 1478 M sampai 1498 M, kemudian dilanjutkan oleh Prabu Udara dari tahun 1498 sampai 1517 M atau selama 19 tahun. Total waktu Majapahit diduduki pasca Brawijaya V adalah selama 39 tahun. Sungguh tidak masuk akal dan keluar dari logika jika selama 39 tahun Raden Patah dan Dewan Wali tidak melakukan perlawanan secara langsung atas didudukinya Majapahit oleh Girindrawardhana, apalagi sampai selama 39 tahun.
Jika temuan Kroom itu benar, berarti selama 39 tahun Demak masih ber- ada dalam genggaman kekuasaan Majapahit di bawah kekuasaan Girindra- wardhana dan Prabu Udara karena dalam tradisi kekuasaan Jawa sangat tidak mungkin dalam satu wilayah ada dua penguasa (Majapahit dan Demak). Dalam perspektif wacana kritis, pasti ada salah satu yang menjadi superordinat dan satu menjadi sub-ordinat. Satu menjadi suprastruktur dan satu lagi struktur.
Dalam pengetahuan temuan Kroom ini jelas menisbatkan bahwa Demak-lah yang menjadi subordinat dari Majapahit. Temuan Kroom tersebut juga banyak bertentangan dengan tradisi lisan sumber-sumber dari Jawa yang menisbatkan bahwa runtuhnya Majapahit ditandai dengan sangkala Sirna Ilang Kertaning Bhumi (1400 Saka/1478 Masehi). Sangkala tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan Majapahit telah berakhir digantikan oleh pemerintahan baru yaitu Demak yang dipimpin oleh Raden Patah. Ini dapat dilihat pada tempat peng- imaman Masjid Agung Demak yang di atasnya ada simbol gambar binatang bulus (sejenis kura-kura) yang melambangkan Candra Sangkala tersebut.
2. Versi H.J. de Graaf
H.J. de Graaf, dalam bukunya yang berjudul “Muslim Cinadi Jawa Abad XVdan XVI: Antara Historitas dan Mitos”, menjelaskan bahwa Kertabhumi atau Brawijaya V setelah kalah perang dengan Girindrawardhana, dan Girindrawardhana telah ditaklukkan oleh Demak dibawa oleh Raden Patah setelah perlawanan Majapahit ke Demak, dan diperlakukan sangat hormat oleh Raden Patah, karena Prabu Kertabhumi sendiri adalah ayah kandung Raden Patah. Majapahit tidak dibumi hanguskan karena itu diduduki kembali oleh orang-orang Jawa non-Islam.
Pendapat H.J. de Graaf agaknya yang lebih masuk logika akal sehat dalam perspektif kekuasaan Jawa. Karena runtuhnya Majapahit secara otomatis menimbulkan konversi kekuasaan dari Majapahit yang becorak Hindu-Budha menuju Demak yang bercorak Islam. Seketika runtuhnya Majapahit seketika itu-pula kekuasaan di tanah Jawa yang menjadi super-ordinat (penguasa) hanyalah ada satu kerajaan, yaitu Demak. Jika ada kerajaan-kerajaan lain masih berdiri itu berarti berada dalam garis kekuasaan Demak. Singkatnya, H.J. de Graaf ingin menyampaikan bahwa Majapahit runtuh adalah karena serangan Girindrawardhana. Namun pada akhirnya, Girindrawardhana telah ditaklukan oleh Demak.
Meskipun pandangan H.J. de Graaf lebih masuk akal dalam perspektif Jawa, namun temuan itu perlu dikritik dan diverifikasi juga kebenaranya. Jika Prabu Brawijaya V diboyong ke Demak oleh Raden Patah, apa bukti fisiknya. Karena sumber-sumber sejarah lokal seperti Serat Kandha, Babad Tanah Jawi, Babad Jaka Tingkir, Babad Demak, Darmogandul dan sebagainya menjelaskan bahwa Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) pasca runtuhnya Majapahit menyepi bersama punokawanya ke puncak Gunung Lawu hingga moksa atau meninggal di sana. Walaupun ada pemaparan lain dari Kasri dan Semedi (2008) yang kemudian berusaha menghubungkan antara menyepinya Prabu Brawijaya V ke Gunung Lawu dengan diboyongnya Raden Patah ke kerajaan Demak.
Menurut Khafid Muhammad Kasri dan Semedi Pujo, dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Demak Matahari Terbit Di Glagah Wangi”, Prabu Brawijaya V tidaklah moksa di Gunung Lawu sebagaimana dalam pandangan-pandangan dari cerita Babad dan tradisi lisan Jawa. Namun ketika Brawijaya V menyepi ke Gunung Lawu, Raden Patah dan Sunan Kalijaga-lah yang menjemputnya di Gunung Lawu dan memboyong- nya ke kerajaan Demak secara diam-diam.
Pemindahan Brawijaya secara diam- diam ini karena takut menimbulkan keresahan terutama bagi rakyat Majapahit, karena raja telah berpindah agama menjadi pemeluk agama Rasul Muhammad. Bukti dari pengetahuan cerita tersebut di atas adalah terdapatnya makam Prabu Brawijaya V di komplek makam raja-raja Demak. Makam Prabu Brawijaya V tesebut bertuliskan (Prabu Dharmo Kusumo) yang dipersepsikan seperti Yudistira (Puntadhewa) putra tertua diantara saudara Pandhawa. Dan makam tersebut adalah makam yangpalingpanjangdiantara makam-makam lainya.
Pengetahuan baru sebagaimana ditemukan oleh Kasri dan Semedi tidak lantas kemudian nyaris tanpa kritik. Kritik yang perlu dilontarkan adalah apakah benar itu makam yang paling panjang dan bertuliskan (Prabu Dharmo Kusumo) adalah tidak lain nama dari Prabu Brawijaya V? Apa buktinya jika yang berada di dalam makam tesebut adalah benar jasad Prabu kertabhumi alias Brawijaya V ayah Raden patah. Jangan-jangan makam tersebut hanya ingin “mensinkronkan” saja antara pengetahuan temuan Kasri dan Semedi dengan data-data situs sejarah yang telah ada agar tampak sinkron dan kom- perhensif.
Selain itu juga ada kepentingan kuasa di atas pengetahuan yang telah coba dikonstruksikan tersebut. Kuasa itu adalah kuasa dari penyandang dana (Pemerintah Kabupaten Demak) yang tentunya ingin mengukuhkan tradisi cerita Demak yang lebih bercorak ideologi Islamistis ketimbang kebarat- baratan atau ke-kejawen-kejawenan atau kehindu-hinduan sebagaimana pe- nulisan satra-satra Babad dan Serat Jawi. Karena setelah dilakukan penelusuran secara mendalam dalam teks-teks sejarah belum ada yang menyebutkan bahwa Prabu Kertabhumi diboyong dan meninggal di Demak.
3. Versi Tradisi Lisan Demak
Peristiwa konflik pecahnya keluarga kerajaan Demak antara Prabu Bra- wijaya dengan Raden Patah menurut tradisi lisan yang telah mapan di Demak memberikan keterangan bahwa pendapat dari beberapa versi babad yang mengatakan Raden Patah menyerang Majapahit yang rajanya adalah Prabu Brawijaya V, yang merupakan ayahanda dari Raden Patah sendiri dinilai oleh versi masyarakat Demak salah dan sama sekali tidak dapat dijadikan ḥujjah.
Pendapat yang dijadikan pegangan cerita tradisi lisan di Demak menjelas- kan jika sebenarnya yang diserang Raden Patah adalah Raja Majapahit Prabu Girindrawardhana dari Kediri yang menobatkan dirinya menjadi raja dengan menumbangkan rezim Brawijaya V. Menyerangnya Demak kepada Majapahit bukan karena melawan orangtuanya Prabu Kertabhumi, akan tetapi Raden Patah menyerang Majapahit karena ingin kembali mengambil mahkota raja dari ayah Prabu Kertabhumi. Begitulah jatuhnya kekuasaan Majapahit ke tangan Demak Bintoro atas dukungan dari para wali, terutama Sunan Giri dan Kalijaga. Peranan Sunan Giri sangat penting guna merebut kembali kekuasaan Majapahit, karena Sunan Giri mendukung Raden Patah untuk merebut ke- kuaasan Majapahit milik mendiang ayah Prabu Kertabhumi.
Bertolak dari pandangan di atas disimpulkan bahwa Raden Patah dengan Prabu Brawijaya V bersatu meraih singgasana merebut kembali mahkota yang telah direbut oleh Raja Majapahit Prabu Girindrawardhana mengukuhkan diri dengan nama Brawijaya VI dengan menduduki Keraton Majapahit. Hal ini di- buktikan dengan candra sangkala Naga Sarpa Wigha Tunggal 1388 Saka/1466
M. Naga adalah sebutan nama ular dan sarpa adalah kecil. Melambangkan ayah dan anak bersatu mengatasi rintangan yang menghadangi naiknya Pangeran Kertabhumi meraih hak tahta singgasana Raja Majapahit. Jadi singkatnya pada tahun 1388 Saka/1466 M, Pangeran Kertabhumi dan anaknya Raden Patah bersatu mengatasi rintangan yang menghadang dalam meraih tahta singgasana Kerajaan Majapahit, yang telah direbut oleh Bhre Pandan Ralas.
Cerita versi tradisi lisan di Demak sebagaimana dijelaskan di atas juga perlu banyak dikritisi karena bila dilihat dari angka tahunnya masih banyak yang tumpang tindih. Di atas dijelaskan bahwa Girindrawardhana memerintah di Kediri tahun 1471 M sampai 1478 M. Sedangkan Brawijaya V memerintah 1468-1478 M. Pada 1478 M Girindrawardhana merebut kekuasaan Majapahit yang dipimpin Brawijaya V pada 1478 M dengan candra sangkala Sirna Ilang Kertaning Bhumi. Kemudian dalam cerita dijelaskan bahwa Girindrawardhana bersekutu dengan Adipati Terung untuk melawan Brawijaya V.
Pertanyaan mendasarnya adalah jika Girindrawardhana telah merebut Majapahit pada 1478 Masehi, berarti Majapahit belum runtuh. Artinya candra sangkala Sirna Ilang Kertaning Bhumi atau 1400 Saka/1478 M tidak tepat. Karena 1400 Saka/1478 M adalah menunjukkan waktu bahwa telah hilang lenyap kekuasa- an Majapahit beserta runtuhnya seluruh keraton Majapahit juga Brawijaya V dan kerabatnya. Bertentangan pula dengan bukti fisik prasasti bentuk penyu di Masjid Agung Demak yang menunjukkan bahwa 1400 Saka/1478 M adalah tanda bahwa Majapahit telah runtuh digantikan oleh kerajaan Demak yang bercorak Islam.
Pengetahuan yang berkembang sebagaimana tradisi lisan masyarakat Demak lebih merepresentasikan ideologi untuk menguatkan tahta dan ke- pemimpinan Islam di kerajaan Demak ketimbang memberikan konstruksi kritis untuk menanggapi peristiwa ini dengan lebih terbuka. Hal tersebut dapat dilihat ketika dalam penelitian penulis melakukan wawancara mendalam dengan informan-informan yang dianggap memahami peristiwa ini.
Mereka semua lebih menunjukkan sikap normatif dan lebih condong pada penge- tahuan yang menjelaskan bahwa Majapahit runtuh adalah tidak lain karena diserang oleh Girindrawardhana dan bukan oleh Raden Patah dan Majapahit. Asumsi-asumsi mereka kemukakan berdasarkan motif-motif keagamaan dalam hal ini Islam. Mereka berpandangan bahwa hampir tidak masuk akal dalam pandangan ideologi Islam jika Raden Patah adalah putera kandung Brawijaya V sampai hati menyerang bapaknya sendiri (Prabu Brawijaya V).
Dalam Islam mengajarkan ketaatan kepada orangtua walaupun orangtua berbeda keyakinan dengan kita. Jadi tradisi lisan yang berkembang di Demak lebih menunjukkan legitimasi ideologi dalam hal ini Islam.
Versi Pendukung Cerita Runtuhnya Majapahit karena Diserang Demak
1. Versi Serat Darmogandul
Versi yang paling kuat menyatakan bahwa Majapahit runtuh diserang oleh Demak adalah dari penjelasan Serat Darmogandul terbitan Keluarga Soebarno tanpa tahun terbit. Berdasarkan ejaan tulisannya dipastikan serat tersebut di- tulis sebelum tahun 1970-an karena masih mempergunakan ejaan lama.
Dalam Serat Darmogandul secara tegas disebutkan bahwa Raden Patah dengan dibantu Dewan Wali yang secara besar-besaran menyerang dan menaklukkan Majapahit. Padahal Raja Demak (Raden Patah) tidak lain adalah putra kandung dari Prabu Kertabhumi sendiri. Kenapa sampai hati berani melengserkan kekuasaan ayahnya sendiri hanya karena sang Prabu masih beragama Budha.
Sang Prabu tidak mau masuk kedalam ajaran Rasul. Majapahit dianggap menghambat Islamisasi di tanah Jawa karena sang Raja masih kafir. Padahal Prabu Kertabhumi selama hidupnya tidak pernah memusuhi dakwah dan perkembangan Islam di tanah Jawa. Bahkan Prabu membantu segala kebutuhan Raden Patah dan Sunan Ampel dalam mengembangkan padepokan dan perguruan Islam di tanah Jawa. Pesan-pesan keberatan dan bernada perlawanan inilah yang ingin disampaikan dalam Serat Darmogandul.
Padangan-pandangan versi pendukung cerita Majapahit runtuh karena serangan Raden Patah Demak sebagaimana penjelasan Serat Darmogandul di atas juga tidak lantas tanpa kritik. Sungguh tidak dapat diterima logika akal jika Raden Patah dan Demak yang dianggap menyerang Majapahit Brawijaya V yang tidak lain adalah ayah Raden Patah. Kemudian setelah Raden Patah mam- pu menaklukan Majapahit, Brawijaya V diboyong ke Demak oleh Raden Patah. Majapahit selanjutnya diduduki oleh Girindrawardhana yang tidak lain adalah ipar Raden Patah.
Pemikiran yang seperti ini juga tidak masuk logika karena mengangkat pengganti Brawijaya V dengan Girindrawardhana yang berbeda ideologi dengan Demak adalah sebuah konsekuensi yang sangat besar bagi Demak di kemudian hari. Secara politis, hal ini juga akan dapat menimbulkan perseteruan dengan kekuasaan Demak.
2. Versi Babad Jaka Tingkir
Cerita pendukung bahwa Majapahit dalam pemerintahan Prabu Brawijaya V runtuh diserang oleh pasukan Demak adalah dalam versi Babad Jaka Tingkir. Menurut penuturan sumber Babad Jaka Tingkir ketika pasukan Majapahit ter- desak oleh pasukan Demak, Prabu Brawijaya V beserta sepertiga priyayi (bangsawan) Majapahit mengungsi ke Gunung Lawu sambil memindahkan Keraton Majapahit ke Gunung Lawu. Tugas mengungsi itu hanya bagi mereka yang telah lanjut usia, sedangkan yang muda tetap tinggal dan diperintahkan untuk memeluk agama Islam.
Mereka yang karena kesadaran sendiri memeluk Islam berarti sudah beriman. Beruntunglah mereka yang ditinggalkan, karena tidak ikut moksa lantaran mereka sudah beralih dari agama Budha ke agama Islam. Dengan keruntuhan Majapahit, maka lenyap tatanan agama Budha. Kisah ini disajikan dalam sangkala Sirna Ilang Kertaning Bhumi 1400 Saka atau 1478
M. Selanjutnya Raden Patah dinobatkan sebagai Raja Demak dengan sangkala “Api Padam Disiram Sang Raja” (1403 Saka/1481 M).23
Menurut cerita Babad Jaka Tingkir, dikisahkan bahwa Prabu Brawijaya V menyepi ke Gunung Lawu dan selanjutnya moksa lenyap sudah keluar dunia yang ditandai dengan candra sangkala Sirna Ilang Kertaning Bhumi 1400 Saka.
Moksa dalam hal ini menurut tinjauan Florida (2003) adalah dalam bahasa Jawa Kuno muksa berarti “lenyap atau hilang dari pandangan” sedang moksa dalam bahasa Sansekerta berarti “pembebasan diri yang terakhir dari ikatan daur kelahiran kembali ke dunia”. Dalam penggunaan bahasa Jawa modern kata kerja muksa berarti naik ke surga secara jasmaniah dan rohaniah (meninggal dunia).
Dalam penaklukan Majapahit tersebut Prabu Brawijaya V lari ke Gunung Lawu dan moksa/meninggal dunia di sana. Artinya, pasca moksa tidak ada yang perlu diceritakan lagi tentang sepak terjang Brawijaya V, apalagi sampai diboyong ke Demak, tentunya akan bertentangan dengan cerita dalam Babad Jaka Tingkir tersebut.
Babad Jaka Tingkir di atas secara isi memang selaras dengan Babad Demak dan Serat Darmogandul yang menempatkan bahwa Majapahit runtuh karena diserang oleh pasukan Demak. Kita patut mengapresiasikan atas karya besar Babad Jaka Tingkir tersebut. Padahal secara genealogis pembuat Babad Jaka Tingkir juga Babad Demak adalah dari keluarga trah Mataram yang secara historis mempunyai kedekatan dengan keluarga trah Demak.
Namun dalam Babad Jaka Tingkir dan Babad Demak berani menampilkan isi cerita memposisikan Demak sebagai penyerang atau penakluk Majapahit. Baik trah Mataram maupun trah Demak secara genealogis memiliki keterkaitan silsilah dengan Prabu Brawijaya V. Seharusnya dengan membuka pegetahuan pe- ristiwa runtuhnya Majapahit sebagaimana gambaran Babad Jaka Tingkir dan Babad Demak tidak menguntungkan bagi perkembangan genealogi trah Mataram dan trah Demak. Namun tulisan sastra tesebut berani menantang tradisi dengan membeberkan peristiwa tersebut secara lugas. Secara psikologis memang pengarang Babad Jaka Tingkir pada waktu penulisan naskah berada di tempat pembuangan.
Naskah Babad Jaka Tingkir lebih menunjukkan pengetahuan yang orisinil (genuine), artinya sedikit sekali pengaruh kekuasaan dalam penulisan sastra ini. Tidak ada yang menguasai penulis sastra ini. Penulis sastra ini dalam kondisi bebas dari intervensi manapun karena waktu penulisan sastra Babad Jaka Tingkir ini, Pakubuwana VI berada dalam pengasingan di Maluku. Hidupnya sangat menyedihkan (ngenes) sampai me- ninggal di sana. Jadi, Babad Jaka Tingkir adalah wujud pemberontakan hatinya terhadap keadaan yang memarjinalkan dirinya. Babad Jaka Tingkir lebih con- dong menantang tradisi ketimbang mengukuhkan tradisi. Singkatnya, di antara sastra sumber-sumber sejarah pribumi yang ada.
Babad Jaka Tingkir ditempatkan sebagai naskah yang dianggap paling orisinil (genuine), yang sedikit sekali dipengaruhi oleh penguasa (superordinat). Di samping penulis sastra tesebut adalah seorang raja, sekaligus menjadi pihak yang tersingkirkan dari lingkungan sosial keraton. Babad Jaka Tingkir lebih menunjukkan ekspresi jiwa serta kultural yang lebih genuine daripada sumber-sumber lain yang menceritakan runtuhnya Majapahit. Walaupun dalam hal fakta-fakta historis dalam sastra tersebut masih perlu dikaji lagi secara mendalam lewat berbagai lintas disiplin ilmu se- hingga akan menghasilkan makna yang menyeluruh (utuh) dalam melihat peristiwa runtuhnya Majapahit.
3. Versi Babad Demak
Senada dengan pengetahuan sebagamana dituturkan oleh Babad Jaka Tingkir yang ditulis oleh Pakubuwana VI di atas, Babad Demak juga mencerita- kan hal yang sama bahwa runtuhnya Majapahit tidak lain adalah karena di- serang oleh pasukan Majapahit. Dalam Babad Jaka Tingkirmaupun Babad Demak sama sekali tidak menyinggung tokoh Prabu Girindrawardhana sebagai orang ketiga dalam peristiwa konflik ini.
Pada saat Raden Patah dapat menduduki Kerajaan Majapahit, pura (keraton) Majapahit telah dipindahkan Prabu Brawijaya ke Gunung Lawu. Keraton Majapahit telah menjadi rawa karena telah dipindahkan ke Gunung Lawu oleh Brawijaya bersama pengikutnya. Hilangnya Prabu Brawijaya ber- sama keratonnya ditandai dengan angka tahun 1400 Saka (Nir Ilang Kartining Jagad). Dalam peperangan ini sebenarnya Raden Patah (Adipati Natapraja) tidak berniat untuk memerangi Majapahit akan tetapi untuk meminta agar Raja Brawijaya masuk Islam dan meninggalkan agama Budha.
4. Versi Babad Cirebon
Senada dengan Babad Jaka Tingkir dan Babad Demak di atas, dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon, menurut Sulendraningrat, dalam bukunya yang berjudul “Babad Tanah Sunda Babad Cirebon”, dikisahkan bahwa Sunan Gunungjati dalam rapat Dewan Wali mengatakan tentang bagaimana tindakan Demak selanjutnya ter- hadap Majapahit setelah sepeninggalan Sunan Ampel. Akhirnya musyawarah mufakat tercapai dengan keputusan mengirim surat kepada Prabu Brawijaya agar masuk Islam. Jika menolak dan murka maka pasukan Demak dibantu Cirebon, Sunda siap untuk melakukan perang besar-besaran. Akhirnya dipilihlah Sunan Ngudung sebagai Senopati perang Demak.
Melihat surat itu Prabu Majapahit murka dan memerintahkan Adipati Terung dan pasukannya untuk bersiaga berperang melawan pasukan Demak. Utusan Demak pun diusir oleh sang Prabu Majapahit tersebut. Seluruh alatperang disiapkan untuk berperang.
Sepulang dari Majapahit, utusan Demak menceritakan perihal Raja Majapahit yang menyatakan perang, maka Sunan Kudus bersiap untuk menabuh tanda bende (semacam gong) Si Macan. Barisan pasukan Demak, Palembang, Cirebon, Undung, Kudus, Bonang, seluruh pasukan Islam sudah siap siaga menuju Majapahit. Pecahlah perang besar-besaran.
Diceritakan “Senapati Ing Ngalaga” Kanjeng Sunan Ngudung maju di medan laga, menantang dengan gembar- gembor (teriak), “Hai orang Majapahit, di mana Ratu kalian Brawijaya kalau mau aku Islamkan kalau tidak akan kupotong lehernya.” Adipati Terung berkata, “Siapa gembar gembor menantang tapi seperti setan tidak terlihat, kalau engkau sesungguhnya wali, hadapilah Senapati Majapahit ini, Adipati Terung namanya.” Setelah Sunan Ngudung memperlihatkan dirinya, Adipati Terung langsung menombak Sunan Ngudung dan gugurlah Sunan Ngudung bebarengan dengan terdesaknya pasukan Islam.
Sunan Kalijaga melihat Sunan Ngudung wafat, langsung membawa jenazahnya pulang, Sunan Kudus yang kemudian memimpin jalanya perang besar. Sunan Bonang dan Gunungjati kemudian maju ke medan pertempuran. Sunan Bonang menghunus kerisnya maka keluarlah ratusan lebah menyerang menyengat musuh. Ki Kuwu Cirebon mengeluarkan badon batuk, maka muncullah sepasang tikus putih yang terus mengamuk, menyerang pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit panik, diliputi gelap gulita karena di- serang lebah, banyak yang mati. Tikus sepasang menjadi jutaan tikus menyerang pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit bubar lari tunggang langgang. Adipati Terungberhasil diringkus oleh Sunan Kudus.
5. Versi Dr. Slamet Muljana
Menurut S. Muljana, Kerajaan Demak menyerang Majapahit yang waktu itu diperintah Prabu Brawijaya V runtuh pada tahun 1478 M. Prabu Brawijaya V memerintah hanyalah 4 tahun yakni 1474 sampai 1478 M. Setelah Majapahit runtuh, Raden Patah mengangkat penguasa Majapahit, yakni seorang Cina, bernama Njoo Lay Wa (1478-1486 M) kerabat Raden Patah.
Namun, suasana Majapahit kacau, sebab elit politik dan kawula Majapahitmenolak diperintah oleh orang Cina. Secara genealogis dia tidak mempunyai hubungan dengan Majapahit. Pada saat Majapahit dikuasai oleh Demak (1478 M.), Girindrawardhana Dyah Ranawijaya diminta Raden Patah untuk memerintah Majapahit (1486-1527 M). Jadi dalam hal ini status Girindrawardhana adalah sebagai bawahan Kerajaan Demak. Sebelum Brawijaya V naik tahta, Majapahit telah diperintah oleh Prabu Girindrawardhana Singawardhana Dyah Wijaya Kusuma pada tahun 1468 sampai 1474 M.27
Temuan Slamet Muljana seakan menguatkan penuturan dari Babad Jaka Tingkir, Babad Demak dan Serat Darmogandul bahwa pada tahun 1478 M di Majapahit adalah masa pemerintahan Brawijaya V (Kertabhumi). Majapahit runtuh karena kalah perang dengan Demak. Majapahit kemudian diperintah oleh orang Cina kerabat Raden Patah. Jadi posisi Majapahit pasca ditaklukan oleh Demak adalah merupakan kerajaan bawahan Demak.
—Muhammad Iqbal Birsyada—
Bagaimana menurut anda ?