Bagaimana sejarah runtuhnya Dinasti Terakhir Kekaisaran Tiongkok ?

Kekaisaran Tiongkok

Selama ribuan tahun, Kekaisaran Tiongkok (China) bertahan, berkembang, serta membangun salah satu peradaban yang terbesar sepanjang sejarah manusia. Namun, peradaban yang katanya besar, kokoh, dan eksis selama lebih dari 2000 tahun itu akhirnya tumbang juga di awal abad ke-20.

Bagaimana sejarah runtuhnya Dinasti Terakhir Kekaisaran Tiongkok ?

Pemberontakan Taiping (1850-1871)
Pada abad 19, seorang calon PNS gagal bernama Hong Xiuquan merasa bahwa ia mendapat wahyu Ilahi. Dia mendeklarasikan bahwa dirinya adalah “adiknya Yesus / Nabi Isa” yang akan membawa kedamaian abadi untuk rakyat Tiongkok. Bagi kita sekarang yang membaca hal itu mungkin terdengar konyol, tapi faktanya memang banyak orang yang percaya dan terpengaruh oleh Hong Xiuquan ini.

Hong Xiuquan, penggagas Taiping Tianguo
Saat itu, pemerintahan Tiongkok yang sah di bawah Dinasti Qing memang tidak mendapatkan simpatik dari masyarakat luas. Korupsi merajalela di mana-mana, ada bencana kelaparan, penyakit, dan banyak masyarakat yang kecanduan opium. Dalam kondisi ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah itu, Hong Xiuquan dan adik-adiknya dengan mudah berhasil mengumpulkan ribuan pengikut yang setia. Mereka pun mendeklarasikan Taiping Tianguo atau “Kerajaan Perdamaian Surgawi”, tentunya dengan posisi menentang rezim Dinasti Qing.

Singkat cerita, kelompok Taiping Tianguo yang dipimpin seorang delusional ini semakin mendapatkan banyak pengikut bahkan sanggup menciptakan pasukan sendiri. Beberapa kali, pasukan Taiping sanggup mengalahkan pasukan yang dikirim oleh Dinasti Qing. Sampai pada puncaknya pasukan Taiping mampu menaklukkan Kota Nanjing, yang pada akhirnya dijadikan sebagai ibukota dari Taiping Tianguo. Dengan mendapatkan ibukota, Hong Xiuqian mengirimkan pasukan pemberontak untuk menyerang ibukota Dinasti Qing, yaitu Beijing.

Kegagalan pasukan Qing mempertahankan Kota Nanjing, menunjukkan betapa lemahnya pasukan Dinasti Qing. Salah satu faktor penyebab kekalahan Qing terhadap kubu Taiping adalah kurang modernnya militer kerajaan, dari mulai senjata, strategi, dan juga cara berperang. Sampai pada akhirnya, dinasti Qing mencoba menghimpun pasukan baru, yang dipersenjatai dengan persenjataan Eropa, bahkan dilatih dengan gaya Eropa. Para jenderal yang kalah juga dipecat, diganti dengan jenderal-jenderal baru yang bersih dari korupsi dan mau bekerja dengan serius.

Perubahan militer dari kubu Qing berbuah manis. Kekuatan tempur mereka membaik, sementara jenderal-jenderalnya Hong Xiuquan dari kubu Taiping malah terlibat pertengkaran pribadi dan gontok-gontokan sendiri. Akhirnya, upaya merebut Beijing gagal, sampai akhirnya ibukota Taiping Tianguo (Nanjing) berhasil direbut oleh pasukan Qing. Hong Xiuqian sebagai pemimpin yang dikultuskan sudah meninggal beberapa hari sebelumnya. Perlawanan-perlawanan sporadis masih berlangsung sampai tahun 1871, tapi praktis ancaman Taiping Tianguo terhadap keselamatan Dinasti Qing sudah berakhir di tahun 1864.

image

Reformasi & modernisasi yang Pincang: Li Hongzhang & Cixi

Bercermin dari pemberontakan Taiping, pihak kerajaan sadar betul bahwa kekuatan mereka sangatlah ringkih. Oleh karena itu sejak tahun 1861, istilah “Penguatan diri” mulai muncul dalam dokumen-dokumen negara. Satu catatan penting dari pemberontak Taiping adalah kelemahan militer kerajaan. Oleh karena itu, mulai muncul gerakan pemerintah untuk memperbaharui militer, yang berkiblat pada militer modern Eropa seperti Inggris dan Perancis.

Di antara para pejabat Qing yang bersemangat melakukan modernisasi adalah salah satu jendral penakluk Taiping Tianguo yang bernama Li Hongzhang. Hongzhang bukan hanya menginginkan modernisasi militer, tetapi juga reformasi pendidikan dan perekrutan pegawai sipil (PNS). Ia berpikir, bahwa kelemahan dinasti Qing bukan hanya pada sisi militernya saja, tapi juga sisi manusianya. Apa gunanya senjata canggih kalau tentaranya tidak terlatih untuk menggunakannya? Apa gunanya senjata canggih kalau pejabatnya masih korupsi? Karena itulah, Hongzhang juga menginginkan reformasi pendidikan dan perekrutan PNS. Menurut Hongzhang, PNS Tiongkok tak boleh hanya menguasai sastra dan filsafat Konfusianisme, tetapi juga mempelajari Matematika, Fisika, dan Bahasa Asing.

image

Di bidang militer, Li Hongzhang juga mendirikan “Tentara Huai” dan “Armada Beiyang” yang berbasiskan teknologi dan pelatihan Eropa. Keduanya menjadi tentara dan armada terbaik milik kekaisaran Qing. Hongzhang dan beberapa jenderal lainnya juga menjadi penggagas berdirinya pabrik-pabrik senjata lokal seperti Jiangnan Arsenal, dan pabrik kapal di Port Arthur; yang diharapkan mengakhiri ketergantungan militer Qing terhadap senjata-senjata impor.

Sayangnya, gerakan “Penguatan Diri” ini bukannya tanpa hambatan. Praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sudah mengakar kuat di birokrasi Dinasti Qing. Begitu banyak pejabat yang mencuri dana negara. Begitu banyak pejabat yang mendapatkan kekuasaan karena kolusi dan nepotisme, bukan atas dasar kemampuan yang baik. Hal ini semakin diperparah, oleh sikap konservatif dari sosok yang paling dominan di Tiongkok sejak tahun 1861, yaitu Ibu Suri Cixi (Ibu dari Kaisar Tongzhi, ia memegang tampuk pemerintahan selama 47 tahun).

Sepanjang hidupnya, sang ibu suri memiliki satu tujuan: mempertahankan kekuasaannya. Modernisasi dan reformasi, tak pernah menjadi prioritas utama Cixi. Dia hanya mendukung reformasi ketika reformasi memperkuat kekuasaannya. Tentu saja, kepentingan politik pribadi ini akan menjadi hambatan utama dari reformasi militer & pendidikan yang diperjuangkan oleh Li Hongzhang.

image

Ibu Suri Cixi, ibu dari Kaisar Tongzhi, pemegang kekuasaan Dinasti Qing yang sesungguhnya di penghujung era dinasti tersebut.

Untuk mempertahankan kekuasaannya, Cixi mendukung dan mempromosikan banyak sekali pejabat yang paling setia kepada dirinya. Para pejabat ini banyak yang berasal dari generasi tua, yang kebanyakan bersifat terlalu konservatif, yang menolak segala buah pemikiran yang dianggap kebarat-baratan (asing), termasuk modernisasi dan reformasi. Mereka tahu, reformasi seperti itu cuma akan membuat mereka yang tak memiliki kemampuan yang relevan menjadi tersingkir. Tak heran di antara pemberontakan Taiping sampai tahun 1890-an modernisasi yang dicita-citakan oleh Hongzhang tidak berjalan dengan merata, melainkan timpang. Reformasi bisa dikatakan cukup berhasil hanya pada bidang militer, sementara korupsi di kalangan pejabat tinggi hingga rendahan masih terus mengakar.

Perang Melawan Jepang (1894-1895)

Akibat dari korupsi di kalangan pejabat ini terasa sekali saat Kekaisaran Qing berperang melawan Jepang (1894 – 1895) saat kedua negara memperebutkan dominasi atas semenanjung Korea. Secara jumlah, tentara dan kapal Qing perang di bawah komando Li Hongzhang lebih banyak daripada tentara dan kapal perang Jepang. Namun, opsir-opsirnya banyak yang berpandangan tradisional, dan berperang dengan cara kuno yang mereka gunakan juga saat melawan Pemberontakan Taiping 30 tahun sebelumnya.

Pembagian jatah persenjataannya juga campur aduk. Divisi-divisi terbaik dipersenjatai senapan cukup modern (seperti Mauser M1871), tetapi beberapa divisi yang kurang cakap dipersenjatai dengan senapan kuno seperti Jingal yang tidak efektif. Empat puluh persen tentara Qing bahkan masih dipersenjatai dengan busur dan panah, golok, tombak, pedang, dan senjata-senjata tajam tradisional lainnya. Ini kontras dengan tentara Jepang yang senjatanya sudah modern dan seragam seperti Murata M1889 atau Murata M1880. Pelatihan tentara Jepang juga sudah seragam, dan opsir-opsirnya sudah dilatih secara modern.

image

Perang berjalan dengan buruk bagi pihak Qing. Di darat, tentara Qing bukan cuma kalah persenjataan, tapi juga kalah kompak. Berkali-kali tentara Qing panik, dan meninggalkan posisi yang seharusnya dipertahankan. Berkali-kali pula jenderal-jenderal Qing saling curiga satu sama lain, sehingga mereka tak mau bergerak untuk membantu rekannya. Akibatnya, berkali-kali tentara Jepang mengalahkan tentara Qing, padahal dalam beberapa kesempatan, tentara Jepang kalah jumlah. Dampak dari korupsi juga memperparah persenjataan perang, seringkali mesiu diganti dengan serbuk gergaji, pedang bukannya terbuat dari baja tapi terbuat dari timah yang jauh lebih murah dan lunak. Di sisi lain kebanyakan tentara Qing saat itu sudah lama tidak menerima gaji, sehingga mereka pun bertugas dengan malas-malasan.

Di laut, keadaan yang sama terjadi. Biarpun menang jumlah dan ukuran kapal perang, armada Beiyang (armada laut Dinasti Qing) malah kalah melawan armada Jepang karena persenjataan perang mereka dikorupsi. Banyak peluru meriam kapal mereka diisi oleh semen atau porselen ketimbang mesiu. Armada Beiyang terpaksa berlindung di dalam pelabuhan Weihaiwei, sampai akhirnya tentara Jepang merebut Weihaiwei. Konsekuensinya, armada Jepang dengan bebas menyalurkan tentara, amunisi, dan makanan dari tanah Jepang ke medan perang di daerah Korea dan Manchuria.

Modernisasi yang diterapkan oleh Li Hongzhang sayangnya dibarengi oleh korupsi besar-besaran, sehingga baik AD maupun AL dinasti Qing tak bisa bertempur dengan baik, yang berujung kepada kekalahan telak tentara Kerajaan Qing atas tentara Jepang.

image

Akhirnya, ketika kedua belah pihak berunding di Shimonoseki, pihak Qing tak punya taring apa pun untuk berunding. Praktis pihak Jepang bisa mendikte jalannya perundingan. “Untungnya” pada saat perindungan tersebut, seorang ultra-nasionalis dari Jepang mencoba membunuh Li Hongzhang yang menjadi kepala diplomat Qing, namun hanya berhasil melukainya. Upaya serangan dalam proses perundingan ini adalah aib yang sangat memalukan martabat Jepang. Dibalut perasaan malu karena kegagalan dalam menjaga keselamatan utusan lawan, pihak Jepang sepakat untuk menurunkan permintaan mereka.

image
Peristiwa perundingan Tiongkok-Jepang pasca perang.

Selesai perang melawan Jepang, Li Hongzhang juga kehilangan pengaruhnya dalam proses reformasi pembangunan, justru malah ditempatkan pada kegiatan-kegiatan seremonial. Akhirnya Li Hongzhang malah sibuk melakukan tur keliling dunia, dalam rangka mewakili Dinasti Qing dalam peristiwa-peristiwa seremonial seperti upacara naik takhtanya Tsar Nicholas II di Rusia, ketimbang aktif meneruskan reformasi militer dan pendidikan di Tiongkok.

Berakhirnya Kekaisaran Tiongkok

Yuan Shikai membaca animo masyarakat, politik, dan militer di Tiongkok. Walaupun pemberontak di kota Wuchang relatif sudah terkepung, seluruh wilayah Tiongkok saat ini sudah muak pada dinasti Qing dan siap memberontak. Yuan sadar kalau dia bisa saja menghancurkan pemberontakan di daerah Wuhan dengan pengaruhnya yang besar di kalangan militer, tapi tentu ada harga yang akan dia bayar, yaitu antipati dari masyarakat luas. Tentu Yuan akan berpikir beribu kali kalau harus menghadapi kemarahan seluruh rakyat Tiongkok.

Pihak pemberontak juga sadar, tanpa Yuan dan tentaranya, dinasti Qing takkan bisa bertahan. Mereka juga tak mau Yuan menggunakan tentaranya untuk menghabisi pemberontakan Wuhan ini. Karena itu para pemberontak membujuk Yuan Shikai untuk menjadi presiden dari konsep negara Tiongkok masa depan, yaitu Republik Tiongkok. Bagi Yuan, tentu saja ini tawaran yang sangat menarik. Di satu sisi dia akan mendapatkan simpatik masyarakat, di sisi lain dia berkesempatan menjadi orang yang paling berkuasa di Tiongkok. Kekaisaran Qing bertambah lemah saat di akhir bulan Januari 1912, ketika 44 jendral kekaisaran dari seluruh penjuru Tiongkok meminta secara tegas kekaisaran membubarkan diri, dan membentuk negara Republik.

Setelah mempertimbangkan semua kemungkinan, Yuan dan kekaisaran Qing akhirnya mencapai kata sepakat dengan para pemberontak. Kekaisaran Qing akan diganti dengan Republik Tiongkok, Yuan Shikai sebagai presidennya, Nanjing sebagai ibukotanya. Kaisar terakhir dinasti Qing, Kaisar Pu Yi yang baru berumur 6 tahun, diperbolehkan tinggal di istananya (Kota Terlarang) yang hanya seluas 72 hektar. Di dalam istana tersebut, Pu Yi masih menjadi Kaisar, tapi di luar istana, Pu Yi cuma seorang warga Tiongkok biasa. Runtuhnya Kekaisaran Tiongkok dan peralihan menjadi Republik Rakyat Tiongkok dikenal dengan nama Xinhai Revolution.

Maka berakhirlah Kekaisaran Tiongkok dan berdirilah Republik Tiongkok dengan Yuan Shikai sebagai presiden pertamanya. Tragisnya, Yuan Shikai memimpin dengan otoriter, sebagai seorang jendral besar yang diktator. Ini mengulangi pola yang sering disebut ahli politik Samuel P. Huntington: “Mahasiswa & kaum intelektual boleh saja memulai revolusi. Namun, begitu revolusi sukses, seringkali militerlah yang mendapatkan kekuasaan. Bukan cuma karena militer memiliki senjata, tapi juga karena militer sudah memiliki organisasi yang cukup luas dan berpengalaman untuk memimpin negara.”

Sumber: Kisah Runtuhnya Dinasti Terakhir Kekaisaran Tiongkok