Pada bulan Mei 1997, Indonesia melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih anggota legislatif. Setelah Pemilu 1997 usai, gelombang penolakan terhadap hasil pemilu 1997 terjadi di berbagai tempat. Pada tanggal 9 Juni 1997 di Gelanggang Mahasiswa UGM muncul aksi perlawanan oleh Gerakan Rakyat untuk Pemilu Demokratis. Aksi yang didukung sekitar 20 orang ini menyatakan menolak hasil pemilu yang tidak sah dan menuntut penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Sebelas hari kemudian, tanggal 20 Juni 1997, di Semarang, FARI (Front Aksi Rakyat Indonesia) menuntut agar Pemilu diulang karena tidak demokratis dan menolak sidang umum MPR yang merupakan hasil pemilu yang tidak fair. Pada tanggal 9 Oktober 1997, aksi serentak terjadi di dua kota, Semarang dan Yogyakarta. Di Semarang puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Komite Suara Rakyat beraksi menyerukan, “Tolak DPR/MPR hasil Pemilu 1999. Pemilu curang, wakil rakyat juga curang; Pemilu korup, wakil rakyat juga korup”. Di Yogyakarta, Kabakin (Komite Anak Bangsa untuk Keprihatinan Nasional) membuat aksi dengan isu politik yang sama. Di kota yang sama, 11 hari kemudian, SDOOT (Solidaritas Demokrasi untuk Orang-Orang Tertindas) turun ke jalan dari IAIN Sunan Kalijaga hendak menuju ke makam pahlawan, namun di depan kampus APMD dicegat oleh petugas. Dengan kata yang lebih halus mereka menyatakan, “perbaiki mekanisme pemilihan DPR/MPR.”
Di Padang, pada tanggal 19 Februari 1998, sekitar 2.000 mahasiswa Universitas Andalas berdemonstrasi menolak berkuasanya kembali Presiden Soeharto dan menuntut dilaksanakannya reformasi. Di kampus UI Salemba, mahasiswa dan sejumlah alumni UI mengadakan aksi keprihatinan pada tanggal25 Februari 1998, yang diakhiri dengan menutup baliho yang bertuliskan “Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orba” dengan kain putih. Pada tanggal 28 Februari 1998, beberapa mahasiswa Universitas Airlangga mogok makan untuk mendesak Sidang Umum MPR memenuhi tuntutan mereka dan menolak berkuasanya kembali Presiden Soeharto.
Sementara itu, anggota legislatif hasil Pemilu 1997 dalam Sidang Umum (SU) MPR yang berlangsung 1-11 Maret 1998 ternyata memilih kembali Soeharto sebagai Presiden untuk periode 5 tahun. Pada 10 Maret 1998, Soeharto dipilih kembali sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang anggotanya diangkat —sebagai wakil-wakil elit sipil dan militer Orde Baru— mensahkan Soeharto dengan suara bulat. Di luar itu, dalam suasana menjelang Sidang Umum MPR, sebenarnya marak tuntutan agar Soeharto tidak dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai Presiden. Suara masyarakat, seperti misalnya Amien Rais, sejak jauh hari telah giat menyerukan bahwa suksesi kepemimpinan nasional pada 1998 harus menjadi keniscayaan.
Militansi mahasiswa kian menghebat ketika nama seorang anak Soeharto dan kroninya, Siti Hardiyanti Rukmana dan Mohamad “Bob” Hasan, masuk dalam susunan Kabinet Pembangunan VII yang diumumkan pada 14 Maret 1998 di Istana Merdeka. Ini semakin membuktikan bahwa tuntutan hapuskan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang mereka suarakan tidak pernah digubris. Aksi mahasiswa yang semakin massif dan militan serta sering disertai bentrok dengan aparat mendorong Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto mencoba meredamnya dengan ajakan dialog. Akan tetapi, mahasiswa menilai dialog dengan sejumlah menteri kabinet itu tidak efektif. Mahasiswa mencurigai ajakan dialog itu sebagai siasat untuk memoderasi militansi mereka yang semakin mengental dan luas. Tapi penolakan itu tidak mengurungkan rencana Wiranto, sebab sebagian pihak masih terbuka dengan ajakan itu. Pada tanggal 18 April 1998, tetap digelar dialog antara pemerintah dengan tokoh masyarakat, cendekiawan, dan sejumlah perwakilan mahasiswa di Gedung Niaga Arena PRJ Jakarta.
Pada tanggal 4 Mei 1998, tak mendengarkan tentangan keras berbagai pihak, termasuk DPR, pemerintah menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Keputusan ini menguntungkan mahasiswa, karena isu mereka menjadi lebih populis. Lima hari setelah keputusan BBM dan tarif dasar listrik naik, tanggal 9 Mei 1998, Presiden Soeharto berangkat ke Kairo untuk menghadiri KTT G-15.
Soeharto merasa masih mampu mengendalikan stabilitas politik dan nasional. Hari itu juga beredar berita tentang tewasnya Letda (Pol) Dadang Rusmana, Kepala Satuan Intelijen Kepolisian Resor Bogor, dalam aksi keprihatinan mahasiswa Universitas Djuanda (Unida) Bogor. Menurut Kapolres Bogor, Kolonel (Pol) Abubakar, Dadang tewas karena dianiaya mahasiswa Unida. Namun pernyataan ini dibantah dr. Yuli Budiningsih, ahli kedokteran Forensik FK UI, yang mengotopsi jenazah Dadang.
Tanggal 12 Mei 1998, demonstrasi mahasiswa Universitas Trisakti di kawasan Grogol, Jakarta, berubah menjadi arena pembantaian berdarah yang menyulut kekerasan dan kekejaman lebih lanjut. Hery Hartanto (Fakultas Teknologi Industri), Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan), Hafidhin Royan (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan), dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi), tergeletak bersimbah darah di halaman kampus Universitas Trisakti akibat luka tembak.
Tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti itu memang menjadi inspirasi bagi gerakan pro-reformasi di Indonesia. Setelah insiden itu, timbul keberanian luar biasa dalam berkonfrontasi dengan kekuasaan Presiden Soeharto yang didukung infrastruktur kekuasaannya, termasuk ABRI. Gugurnya empat mahasiswa Universitas Trisakti menjadi pemicu gelombang protes yang lebih besar. Gelombang itu memuncak dengan pendudukan Gedung DPR/MPR oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Di tengah tumbuhnya kesadaran kolektif dalam perlawanan terhadap Soeharto sebuah peristiwa dahsyat terjadi secara tak terduga, yakni kerusuhan massal 13-14 Mei 1998 di Jakarta. Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan, Ginandjar Kartasasmita, menghitung bahwa kerugian akibat kerusuhan di Jakarta mencapai Rp 2,5 triliun.
Atas berita memburuk situasi itu, Soeharto mempersingkat kunjungannya di Mesir dan kembali di Jakarta pada tanggal 15 Mei 1998. Saat masih di Mesir, Soeharto sempat menyatakan bahwa kalau rakyat Indonesia sudah tidak memberikan kepercayaan lagi kepadanya, tidak apa-apa. Dia tidak mempertahankan kekuasaannya dengan senjata. Tiba di Indonesia, berdasar laporan-laporan, Soeharto bersedia menurunkan harga BBM sesuai tuntutan masyarakat. Pada saat tanggal 16 Mei 1998, Soeharto menerima pimpinan DPR dan berjanji akan me- reshuffle kabinet Pembangunan VII dan menjalankan reformasi di berbagai bidang.
Namun, rakyat terlanjur tidak percaya. Pada tanggal 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa bergelombang datang dari pelbagai kampus ke gedung MPR/DPR. Mereka tergabung dalam Forum Kota (FORKOT), Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ), Kesatuan Aksi Mahasiswa untuk Reformasi Indonesia (KAMURI), Front Nasional, dan beberapa kelompok lain yang lebih kecil. Selain itu, pada hari yang sama, masyarakat dikejutkan oleh pernyataan Ketua DPR Harmoko. Harmoko yang didampingi para Wakil Ketua DPR—Buya Ismail (F-PP), Abdul Gafur (FKP), Fatimah Ahmad (F-PDI), dan Syarwan Hamid (F-ABRI)—meminta Presiden Soeharto untuk secara arif dan bijaksana mengundurkan diri demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Sehari kemudian, tanggal 19 Mei 1998, Soeharto mengundang Sembilan tokoh intelektual Islam ke Istana. Mereka adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid, Ali Yafie, Emha Ainun Nadjib, Malik Fadjar, Sutrisno Muhdam, Cholil Baidlowi, Ahmad Bagdja, dan Ma’ruf Amin. Soeharto ingin mendengar pendapat mereka soal situasi terakhir. Usai pertemuan, Soeharto menyimpulkan sendiri kemauannya untuk membentuk Komite Reformasi dan me- reshuffle Kabinet Pembangunan VII dan mengubahnya menjadi Kabinet Reformasi. Tugas Komite Reformasi ialah menyusun Undang-Undang Pemilu, Kepartaian, Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD, Anti Monopoli, Anti Korupsi sebagaimana diinginkan gerakan mahasiswa dan rakyat. Pada tanggal 20 Mei 1998, empat belas orang menteri Kabinet Pembangunan VII mengirim surat kepada Presiden Soeharto untuk menyatakan tidak bersedia menjadi menteri lagi dalam susunan Kabinet Reformasi yang dibentuk.
Pendudukan DPR/MPR dan karena legitimasi dan dukungan terhadapnya terus menerus melemah, akhirnya memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatan yang baru diperolehnya kembali dari hasil Sidang Umum MPR tanggal 10 Maret 1998. Pidato Presiden Soeharto terakhir tanggal 21 Mei 1998 yang berjudul “Pernyataan Berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia” disambut dengan sorak gempita oleh mahasiswa diseluruh Indonesia.
Gerakan mahasiswa 1998 tampaknya juga telah belajar dari kesalahan gerakan mahasiswa sebelumnya, seperti gerakan mahasiswa 1974 dan 1978, bahwa kekuatan gerakan mahasiswa tak akan bisa diperoleh jika terjebak dengan pendekatan eksklusif atau berjuang sendirian tanpa melibatkan rakyat. Gerakan mahasiswa baru akan efektif jika betul-betul secara konkret didukung bahkan kalau perlu melibatkan komponen-komponen rakyat.
Secara umum gerakan mahasiswa dalam menjatuhkan Soeharto dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal, yaitu: (1) isu yang diusung oleh gerakan mahasiswa tahun 1998; (2) fragmentasi yang terdapat pada kelompok-kelompok dalam gerakan mahasiswa tahun 1998; (3) peranan elit dalam gerakan mahasiswa tahun 1998. Pembahasan mengenai isu yang diusung oleh gerakan mahasiswa tahun 1998 dapat ditelaah dengan menggunakan periodesasi. Periodesasi gerakan mahasiswa menjatuhkan Soeharto dapat dibedakan menjadi empat periode. Periodesasi ini dibuat dengan mendasarkan diri pada momen-momen penting dalam gerakan mahasiswa tahun 1998 yaitu: (1) periode sebelum tanggal1 Maret 1998; (2) periode Sidang Umum MPR tanggal 1-11 Maret 1998; (3) Periode 12-21 Mei 1998