Bagaimana sejarah puncak kejayaan dinasti Abbasiyah ?

image

Kekhalifahan Abbasiyah atau Bani Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dunia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama tiga abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabiyyah dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.

Bagaimana sejarah puncak kejayaan dinasti Abbasiyah ?

Salah satu pusat peradaban dunia yang terkenal pada masa klasik adalah peradaban Islam di Baghdad pada masa kejayaan Abbasiyah.

Dimulai dari masa pemerintahan Harun Al-Rasyid, hingga anaknya Al-Makmun. Ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah tersebut menjelma menjadi pusat pemerintahan yang menawarkan kemajuan peradaban bagi masyarakat dunia. Banyak ilmuwan-ilmuwan muslim luar biasa yang muncul pada masa itu.

Kehadiran Baghdad layaknya oase untuk kegersangan keilmuwan pada masa klasik, sehingga tidak mengherankan orang-orang dari penjuru dunia berbondong-bondong menuju Baghdad untuk mencari ilmu di sana. Kemajuan keilmuwan juga dibarengi dengan kemajuan di sektor perdagangan, dan sistem perpajakan yang akan dipaparkan lebih lanjut pada pembahasan kali ini.

Periode kejayaan dinasti Abbasiyah dimulai sejak masa kekhalifahan al-Mahdi (775-785) hingga al-Wathiq (842-847), dan mencapai puncaknya secara khusus pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) dan putranya al-Makmun (813-833). Pada masa Harun al-Rasyid Baghdad mulai muncul sebagai pusat peradaban dunia, dengan tingkat kemakmuran dan peran internasional yang luar biasa.

Baghdad menjadi saingan satu-satunya bagi Bizantium. Kejayaannya berjalan seiring dengan kemakmuran kerajaan, terutama ibu kotanya. Kemegahan Baghdad mencapai puncaknya pada masa al-Rasyid, dengan julukan Baghdad sebagai “kota melingkar”. Sementara itu kemajuan keilmuwan Baghdad mencapai puncaknya pada masa al-Makmun, dengan didirikannya Baitul Hikmah sebagai pusat perpustakaan dan kajian keilmuwan.

Kemegahan Baghdad tercermin dari bangunan istananya, istana khalifah menempati sepertiga ruang kota Baghdad. Bagian istana yang paling mengesankan adalah ruang pertemuan yang dilengkapi dengan karpet, gorden, dan bantal terbaik dari Timur.

Harun al-Rasyid merupakan khalifah yang sangat mencintai keilmuwan, dia begitu senang bergaul dengan orang-orang berilmu, selain itu dia selalu mengagunggkan perintah dan larangan Allah. Dia tidak menyukai perdebatan dalam masalah agama, dan tidak suka membicarakan sesuatu yang tidak jelas nashnya.

Meskipun hidup di istana yang sangat megah, al-Rasyid merupakan pemimpin yang dikenal dengan kedermawanannya. Dia tidak segan-segan memberikan sedekah dalam jumlah banyak bagi orang-orang yang membutuhkan. Kebesaran al-Rasyid, menjadi contoh ideal kerajaan Islam dan penerusnya.

Sifat dan perilaku yang sama juga tergambarkan pada putra al-Rasyid, yaitu al-Makmun. Al-Makmun merupakan sosok yang begitu mencintai literatur-literatur keilmuwan, bahkan dia menugaskan orang-orangnya untuk mencari literatur-literatur kuno ke penjuru dunia. Meskipun demikian banyak sejarawan yang dengan ceroboh menggambarkan kedua pemimpin saleh tersebut sebagai pribadi buruk yang senang mabuk-mabukan.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, dengan keras menentang pendapat tersebut. Al-Rasyid dan al-Makmun merupakan pemimpin saleh yang menjauhkan diri dari khamr, mereka hanya mengkonsumsi perasan kurma yang pada masa itu memang tidak melanggar syari’at agama. Sehingga, mereka sama sekali tidak pernah mabuk karena khamr.

Kemegahan istana dan harta yang melimpah pada masa al-Rasyid, juga sering disalah gunakan saudara-saudaranya untuk berfoya-foya. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh ‘Ulayyah, saudara perempuan al-Rasyid. ‘Ullayah menjadi wanita pertama yang menggenakan pengikat kepala berhiaskan permata, hanya untuk menutupi bekas luka di dahinya.

Baghdad sempat mengalami kehancuran, ketika terjadi perang saudara antara al-Makmun, al-Amin, dan pamannya Ibrahim ibn al-Mahdi. Perang yang dipicu keserakahan al-Amin, yang tidak melaksanakan amanat ayahnya Harun al-Rasyid, untuk memberikan otonomi wilayah kekuasaan Abbasiyah bagian timur kepada al-Makmun.

Tidak lama setelah itu, saat al-Makmun menjadi Khalifah, Baghdad kembali bangkit menjadi pusat perdagangan dan intelektual. Pada masa ini, sepajang pelabuhan ditambatkan ratusan kapal dari penjuru dunia. Tujuan mereka selain berdagang, banyak juga yang mempunyai tujuan untuk mencari ilmu.

Para pedagang memainkan peranan utama, bagi perkembangan perekonomian Baghdad. Selain itu, para pekerja professional dokter, pengacara, guru, penulis, dan sebagainya mulai mendapatkan kedudukan penting pada masa al-Makmun.

Kemegahan Baghdad selain tergambarkan dari literatur-literatur sejarah, juga masih dapat kita temukan pada karya-karya sastra yang terkenal hingga sekarang. Mulai dari cerita seribu satu malam, hingga cerita jenaka Abu Nawas, seorang penyair kesayangan al-Rasyid.

Sumber: