Bagaimana Sejarah Psikologi Olahraga?

psikologi olahraga

Bagaimana sejarah dari teori psikologi yang satu ini?

Sejarah Singkat Psikologi Olahraga di Dunia


Salah satu studi pendahuluan dalam Psikologi Olahraga telah dilakukan oleh George W. Fitz yang menyelidiki waktu reaksi (reaction time) yang tercantum dalam “Psychological Review" tahun 1895.

Fitz adalah Kepala Departemen Anatomi, Psikologi, dan Latihan Fisik pada Harvard’s Lawrence Scientific School sejak 1891 sampai 1899, dan sebagai penanggungjawab berdirinya Laboratorium Pendidikan Jasmani yang pertama di Amerika Utara. Fitz telah menciptakan alat-alat untuk mengukur kecepatan dan ketepatan seseorang menyentuh objek yang dihadapi tiba-tiba dan dalam posisi yang tak terduga.

William G. Anderson, tokoh pendidikan jasmani terkemuka dan tokoh berdirinya American Association for Health, Physical Education, Recreation and Dance (AAHPERD). Selama tahun akademik 1897-1898 menyelesaikan eksperimen mengenai Mental Practice, Transfer of Training dan Transfer of Muscular Strength .

Psikologi Olahraga pertama kali dikenalkan oleh Norman Triplett pada tahun 1898. Triplett menemukan bahwa waktu tempuh pembalap sepeda menjadi lebih cepat jika mereka membalap di dalam sebuah tim atau berpasangan dibanding jika membalap sendiri. Triplett menyimpulkan adanya pengaruh psikologis tertentu yang ia sebut sebagai faktor keberadaan orang lain atau presence of others.

Triplett juga melakukan penelitian terhadap anak-anak yang memancing. Ditemukan bahwa setengah dari anak-anak tersebut dipengaruhi oleh keberadaan anak lain. Jadi ada pengaruh lingkungan sosial sebagai faktor munculnya sikap kompetitif. Sehubungan dengan dilakukannya penelitian tersebut, maka Triplett dianggap sebagai orang pertama yang melakukan studi dalam Psikologi Olahraga.

Tahun 1918, Coleman Robert Griffith melakukan studi terhadap atlet football dan basket di University of Illinois tentang faktor-faktor psikologis pada atlet-atlet tersebut antara latihan dan pertandingan. Ada tiga bidang perhatiannya dalam melakukan penelitian yaitu psychomotor learning, skilled performance, dan kepribadian . Ia menulis dua buku yang sangat terkenal yaitu The Psychology of Coaching tahun 1926 dan The Psychology of Athletics tahun 1928. Griffith juga menulis 25 artikel ilmiah dari hasil penelitiannya dalam olahraga, sehingga disebut Father of Sport Psychology di Amerika Serikat.

Griffith lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk meneliti keterampilan psikomotor, proses belajar, dan variabel-variabel kepribadian. Sehubungan dengan itu Griffith mengembangkan sejumlah alat-alat tertentu meliputi :

  • Alat mengukur waktu reaksi otot yang diberi reaksi beban

  • Tes kecerdikan dalam baseball

  • Tes ketegangan otot dan relaksasi

  • Tes untuk membedakan empat tipe serial reactions times

  • Tes mengukur ketenangan, koordinasi otot-otot dan kemampuan belajar

  • Tes waktu reaksi tehadap sinar, suara, dan tekanan

  • Tes untuk mengukur kepekaan otot

  • Tes kesiapan mental yang dikembangkan khusus bagi atlet

Menjelang Perang Dunia I, Psikologi Olahraga di dunia sudah cukup eksis. Sementara itu, di berbagai belahan dunia lain, Psikologi Olahraga mulai berkembang dan mendapat tempatnya sendiri. Di Jepang, riset mengenai Psikologi Olahraga dan aktivitas fisik atau Psychology of Physical Activity and Sport dilakukan tahun 1920 oleh Mitsuo Matsui.

Laboratorium Psikologi olahraga pertama di dunia didirikan oleh Carl Diem di “Deutsche Hochscule Fur Leibesubungen" di Berlin pada tahun 1920. Di Rusia A. Z. Puni mendirikan Laboratorium Psikologi Olahraga di “Institute of Physical Culture" di Leningrad pada awal tahun 1925.

Pasca Perang Dunia II, baik di Eropa maupun di AS dan Asia, perhatian terhadap motor learning dan Psikologi Olahraga bermunculan kembali.

Di RRC, banyak bermunculan institusi yang memfokuskan pada pendidikan fisik/ jasmani atau physical education. Tahun 1942, Wu Wenzhong dan Xiao Zhonguo menulis buku mengenai Psikologi Olahraga yang berjudul The Psychology of Physical Education. Keduanya merupakan tokoh dari National Institute of Wu Shu.

Warren R. Johnson pada tahun 1949 mengawali penelitian mengenai bermacam- macam elemen stres dan dampaknya terhadap penampilan atlet. Tujuan dari salah satu penelitian tersebut adalah membandingkan reaksi emosional sebelum bertanding pada pemain sepak bola dan pegulat. Johnson berkesimpulan bahwa emosi kuat sebagai gejala wajar dari rasa takut dan resah sebelum bertanding tidak tampak sebagai faktor utama yang istimewa dalam sepak bola, tetapi pada indikasi yang kuat bahwa ini merupakan sesuatu yang penting dan serius dalam gulat.

Setelah periode tersebut Psikologi Olahraga mengalami kemandekan. Baru pada tahun 1960-an Psikologi OLahraga kembali mulai berkembang. Perkembangan ini ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan membuka konsentrasi pengajaran pada Psikologi Olahraga. Puncaknya adalah pembentukan International Society of Sport Psychology (ISSP) oleh para ilmuwan dari penjuru Eropa. Kongres internasional pertama diadakan pada tahun yang sama di Roma, Italia.

Pada tahun 1966, sekelompok Psikolog Olahraga berkumpul di Chicago untuk membicarakan pembentukan Ikatan Psikologi OLahraga. Yang kemudian dikenal dengan nama North American Society for the Psychology of Sport and Physical Activity (NASPSPA). Jurnal pertama Psikologi Olahraga terbit tahun 1970 dengan nama The International Journal of Sport Psychology.

Kemudian diikuti oleh Journal of Sport Psychology tahun 1979. Meningkatnya minat melakukan penelitian dalam bidang psikologi olahraga di luar laboratorium memicu pembentukan Association for the Advancement of Applied Sport Psychology (AAASP) pada tahun 1985 dan lebih berfokus secara langsung pada psikologi terapan baik dalam bidang kesehatan maupun dalam konteks olahraga.

Perkembangan Psikologi Olahraga di RRC dilaporkan oleh: Ma Qiwei, dkk. pada pertemuan Beijing Asian Games Scientific Congress, tanggal 16-20 September 1990, sebagai berikut:

  1. Pada dekade 1956-1966, tulisan dan karangan mengenai Psikologi Olahraga dari luar negeri mulai dikumpulkan dan diterjemahkan. Psikologi Olahraga berangsur-angsur dijadikan mata kuliah resmi di Institut Pendidikan Jasmani.

  2. Dekade 1979-1989 adalah periode saat Psikologi Olahraga berkembang pesat.

  3. November 1979, dalam pertemuan tahunan Third Annual Academic Meeting of China Society of Psychology di Tianjin, diresmikan berdirinya Physical Education and Sport Psychology Commission.

  4. Desember 1980 diresmikan berdirinya National Society of Sport Psychology yang berafiliasi dengan Congress of China Society of Sport Science (CSSS).

Psikologi Olahraga kini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kongres ISSP di Yunani tahun 2000 telah dihadiri lebih dari 700 peserta yang berasal dari 70 negara. American Psychological Association telah memasukkan Psikologi Olahraga dalam divisi mandiri yaitu Divisi 47 tentang Exercise and Sport Psychology.

Sejarah Psikologi Olahraga di Indonesia


Psikologi Olahraga di Indonesia merupakan cabang psikologi yang amat baru, sekalipun pada praktiknya kegiatan para psikolog di dalam berbagai cabang olahraga di Indonesia telah berlangsung beberapa tahun lamanya.

Secara resmi Ikatan Psikologi Olahraga (IPO) di Indonesia yang berada di bawah naungan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) baru dibentuk tanggal 3 Maret 1999 dan baru ditandatangani secara resmi pada tanggal 24 Juli 1999 dan diketuai oleh Monty P. Satiadarma.

Tetapi, psikolog Singgih D. Gunarsa (d/h Go Ge Siong) bersama dengan psikolog Sudirgo Wibowo (d/h Ng Tjong Ping) telah mempelopori kegiatan Psikologi Olahraga bulutangkis nasional yang memanfaatkan jasa psikolog dan ilmu psikologi dalam mencapai puncak prestasi mereka, baik nasional maupun internasional.

Peran psikolog Singgih D. Gunarsa yang demikian besar di dalam mempelopori tumbuhnya Psikologi Olahraga di tanah air terus berlanjut selama kurang lebih dua dekade secara sendirian. Sekalipun ada beberapa psikolog lain yang sesekali turut memberikan sumbangan ilmu kepada dunia olahraga di tanah air, hanya Singgih D. Gunarsa lah yang secara resmi dan berkesinambungan tercatat aktif berperan memberikan jasa psikologinya bagi keolahragaan di Indonesia.

Kesadaran mengenai betapa pentingnya faktor psikologis, faktor mental, sayangnya tidak disertai dengan tersedianya tenaga khusus yang telah mempelajari bidang baru tersebut secara formal. Pribadi-pribadi yang menyadari hal tersebut belajar sendiri dari buku, kepustakaan, mengikuti seminar dan pertemuan-pertemuan internasional, disamping belajar dari pakar-pakar dalam bidang ini.

Kian tahun Psikologi Olahraga kian mengalami peningkatan kajian dan mengalami perkembangan yang berarti. Seorang praktisi psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling.

Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang Psikologi Olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan profesinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya.

Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi Psikologi Olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang Psikologi Olahraga.

Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi Psikologi Olahraga yang meliputi:

  • Prinsip Psikologi Olahraga

  • Peningkatan performance dalam olahraga

  • Psikologi olahraga terapan

  • Psikologi senam

Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi.

Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan.

Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa.