Bagaimana sejarah pertentangan Soekarno dan Hatta pada masa sebelum kemerdekaan?

image

Pertentangan di Masa Kolonial

Pertentangan antara Soekarno dan Hatta di masa ini terjadi dalam hal perjuangan melawan pemerintahan kolonial. Soekarno lebih berhaluan keras terhadap kebijakan dan sistem pemerintahan kolonial, berbeda dengan Hatta yang lebih kooperatif dengan pihak penjajah (pemerintah kolonial). Perbedaan sikap ini timbul karena beberapa faktor, menurut Nasution (1994) mengutip pendapatnya Feith (1962) bahwa latar belakang atau lingkungan yang membentuk kepribadian seseorang sangat menentukan, selanjutnya Nasution berargumentasi bahwa pendidikan Soekarno yang Jawa (pribumi) dan Hatta yang Barat membentuk sikap keduanya.

Soekarno memperoleh pendidikan di dalam negeri sedangkan Hatta banyak memperoleh pendidikan di Barat sehingga sikap melawan pemerintahan yang dilakukan oleh Hatta lebih kooperatif karena keliberalannya dari pada Soekarno. Soekarno banyak mendapatkan ilmu dari seorang gurunya yang berhaluan agak komunis C Hartogh namanya, sehingga pemikiran-pemikiran Soekarno dilandasi oleh komunisme walaupun hasilnya Soekarno tidak 100% komunis.

Kedua tokoh ini aktif dalam gerakan-gerakan nasionalis. Soekarno aktif di Partai Nasional Indonesia (PNI) sedangkan Hatta di (Perhimpunan Indonesia (PI). Karakteristik organisasi pergerakan keduanya berbeda satu sama lain Soekarno dengan PNI melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial dengan radikal dan tidak kooperatif sedangkan Hatta dengan PI-nya lebih kooperatif dengan pemerintah kolonial.

Pertentangan di antara keduanya mengalami fase yang meningkat tatkala Soekarno ditahan akibat terlalu sering melawan pemerintah akibat pidatonya yang terlalu keras terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pidato-pidato yang dilakukan oleh Soekarno sebenarnya telah diperingatkan oleh Hatta bahwa dalam melakukan pergerakan tidaklah dengan cara yang radikal tetapi menggunakan cara-cara yang kooperatif. Soekarno dalam sidangnya dihadapan para hakim kolonial menyampaikan pledoinya yang lebih terkenal dengan “Indonesia Menggugat.” Menirukan gaya Bung Hatta sewaktu diadili pemerintah kolonial Belanda, Soekarno tidak dapat meyakinkan hakim-hakim tersebut sehingga mengantarkannya ke pejara Sukamiskin (Alam, 2003).

Pasca dijebloskannya Soekarno ke Penjara tidak mengubah keduanya untuk saling “berseteru”, Bung Hatta yang telah memperingatkan Soekarno agar berhati-hati terhadap pemerintah kolonial merasa tergugah untuk terus melakukan perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda. PNI sebagai partai yang perkembangannya cukup menakjubkan mendadak dibubarkan oleh para pemimpinnya. Hal ini menimbulkan pergolakan di tingkat pengurus cabang-cabangnya yang tidak berkeinginan untuk membubarkannya. Para pemimpin PNI bersama Soekarno kemudian membentuk partai baru yaitu Partai Indonesia (Partindo) kemudian kelompok yang tidak setuju dengan pembentukan partai baru tersebut, yang lebih dikenal dengan sebutan “golongan merdeka”, membentuk partai lain yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI baru) yang didukung oleh Hatta (Pringgodigdo, 1950).

Perseteruan antara kedua partai ini terus muncul sehingga membuat perjuangan nasionalis melawan pemerintah kolonial menjadi “kendor” akibat kehabisan energi untuk mengurus perseteruan ini. Sebelumnya Hatta dan Sharir banyak terlibat dalam golomgan merdeka mengundurkan diri dari Perhimpunan Indonesia dan mulai aktif dalam pergerakan di Tanah air bersama PNI baru yang didirikannya.

Dengan kembalinya Bung Hatta dari Eropa ke Tanah air membuat pergerakan di tanah air menjadi semakin menarik. Pada tanggal 3 desember 1933 timbul tragedi besar dimana Soekano yang ditahan di penjara Sukamiskin menulis surat kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memberikan keringanan terhadap penahanannya. Adanya surat ini menimbulkan polemik yang berkepanjangan sampai Hatta mengkritik dengan pedasnya melalui berbagai media massa yang ada pada saat itu. Surat-surat tersebut tidak saja menimbulkan kontroversi tetapi juga menimbulkan keprihatinan yang mendalam banyak diantara kalangan sejarawan yang masih meragukan keaslian surat tersebut karena sampai sekarang surat aslinya tidak pernah lagi terlihat seperti halnya supersemar (Frederik dan Soeroto, 1982).

Pertentangan di Masa Pendudukan Jepang


Pasca Pearl Harbour diserang oleh Jepang pada tanggal 7 Desember 1941, setidaknya akan memberikan hal baru bagi negara-negara di Asia Pasifik tak terkecuali dengan Indonesia. Kedatangan Jepang bahkan disambut dengan antusias oleh pemimpin negeri ini termasuk Soekarno. Soekarno sebagai orang Jawa mempunyai pendekatan lain dalam hal penyambutan tentara Nippon di Jawa, Ia menggunakan ramalan Jayabaya yang mengatakan bahwa “akan datang bangsa berkulit kuning ke tanah Jawa untuk membebaskan rakyat Indonesia dari orang kulit putih.”

Penggunaan pendekatan yang dilakukan oleh Soekarno tentu saja mendapat tentangan yang hebat dari para pemimpin Indonesia yang lain termasuk Hatta, Ia memandang sebagai orang Islam percaya pada hal-hal yang berbau ramalan adalah Takhayul. Moment seperti ini tentu saja dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Soekarno dengan lebih mendekatkan diri dengan rakyat karena jalan dialogis sangat terbuka.

Kekuatan Soekarno di mata rakyat semakin meningkat ini dibuktikan oleh adanya kepercayaan yang diberikan oleh pihak Jepang yaitu dengan memanggil Soekarno lebih dahulu dibandingan tokoh-tokoh Indonesia yang lain termasuk Hatta (Dahm, 1987).

Perbedaan pandangan antara kedua tokoh dimasa ini hampir tidak terlihat, walaupun ada kerikil-kerikil tajam yang menyertainya terutama dalam hal penyiapan strategi menghadapi penjajahan Jepang. Pertemuan awal keduanya pasca dibuang oleh pemerintahan kolonial terjadi pada tanggal 9 Juli 1942 setelah sepuluh tahun berpisah.

Menurut Adam (1965), mulai saat itu Soekarno ingin mengakhiri pertentangan dengan Hatta dan berjanji tidak berpisah dengan Hatta sampai Indonesia Merdeka, hal ini disambut baik oleh Hatta dengan menjabat tangan Soekarno momet seperti ini menyiratkan simbol dwi tunggal telah terbentuk.

Hatta (1979) sama sekali tidak menyinggung pertemuan pertamanya dengan Soekarno tetapi ia lebih banyak menceritakan mengenai pertemuan segitiga antara dirinya, Soekarno dan Sjahrir. Dalam pertemuan ini banyak dibahas perbedaan mengenai strategi perjuangan yang akan dilakukan dalam melawan Jepang.

Bung Karno memandang bahwa Jepang akan menang dalam Perang Dunia II karena Jepang berhasil melumpuhkan pangkalan perang Amerika di Pearl Harlbour, hal ini dibantah oleh Hatta yang menyatakan bahwa kekuatan ekonomi dan industri Jepang tidak riil oleh sebab itulah Amerika yang industrinya lebih maju dan tertata rapi pasti akan dapat memukul balik Jepang. Ini terbukti dengan dijatuhkannya bom atom ke Hirosima dan Nagasaki.

Ada beberapa alasan yang mendasari Soekarno untuk menjalankan Strateginya dengan Jepang yaitu;

  1. mereka mempunyai musuh bersama
  2. ada kesempatan untuk membangkitkan kesadaran rakyat
  3. ada kesempatan untuk membentuk barisan persatuan
  4. ada kesempatan untuk melakukan agitasi (Dahm, 1987)).

Alasan-alasan tersebut menempatkan Soekarno pada posisi yang lebih kooperatif tidak seperti saat mengahadapi Belanda. Keduanya baik Soekarno maupun Hatta sama-sama maninggalkan politik non kooperasinya. Hatta beralasan bahwa keputusannya akan hal ini disesuaikan dengan realitas politik yang ada sedangkan Soekarno lebih memandang sebagai force majeur (keadaan memaksa).

Pada periode ini tidak banyak diungkap mengenai perbedaan yang tajam diantara keduanya mereka selalau bekerja sama. Gagasan demokrasi sentralistis yang diungkapkan oleh Soekarno mengalami kristalisasi yang kuat. Soekarno memandang sentralistis kekuasaan dalam upaya mendoktrinasi sampai ke akar-akar yang paling bawah dengan disiplin yang kuat diperlukan oleh bangsa Indonesia dalam rangka persatuan. Pemikiran ini diambil setelah Soekarno belajar mengenai model pemerintahan fasis Jepang dan Jerman (Alam 2003).

Aktifitas Soekarno dan Hatta di masa ini banyak mendapat cobaan diantaranya banyak yang mengatakan bahwa mereka sebagai “kacung Jepang” padahal perjuangan mereka melawan pejajahan Jepang boleh dibilang sangat gigih terlebih pasca kekalahan Jepang melawan Sekutu. Kekalahan Jepang terhadap Sekutu membuat pemimpin Jepang dengan sigap memanggil Soekarno-Hatta untuk melakukan pembicaraan penting di Makasar. Pembicaraan ini meliputi keberadaaan bangsa Indonesia selanjutnya, pihak Jepang menawarkan kepada Soekarno dan Hatta agar membentuk negara Indonesia dengan bentuk monarki dan menunjuk Soekarno sebagai rajanya. Tawaran ini ditolak oleh Soekarno yang tetap pada pendiriannya dan cita-citanya pada 1926 untuk tetap membentuk negara kesatuan yang berbentuk republik, hal ini bertentangan dengan Hatta yang lebih menyukai negara Indonesia berbentuk serikat.

Pertentangan kedua tokoh ini berlanjut sampai pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, perbedaan tersebut meliputi konsep bentuk negara (republik atau serikat), penerapan demokrasi dalam pemerintahan, persiapan rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sampai berlanjut dalam perjalanan pemerintahan Indonesia.

Pertentangan di Masa Persiapan Naskah UUD 1945

Pada persiapan naskah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) pertentangan pendapat antara Soekarno-Hatta berlangsung berlarut larut, dengan tidak meninggalkan pertentangan pendapat dengan yang lainnya disini akan diungkap perbedaan-perbedaaan tersebut.

Perdebatan pertama terjadi pada saat penyusunan dan pemasukan naskah piagam Jakarta ke dalam preambule (pembukaan) UUD’45, namun sayang mengutip yang dikatakan Alam (2002) bahwa dokumen resmi (notulen) mengenai perdebatan antara kedua tokoh tidak diarsip dengan baik alias tidak diketahui rimbanya (lenyap). Buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 tidak memuat secara lengkap sidang-sidang tersebut terutama yang terjadi pada tanggal 30 Mei 1945 dan 17 Juli 1945, bahkan buku ini mendapat kritikan dari pakar Belanda JHA Logeman bahwa penulis buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Moh. Yamin) sangat ceroboh dan banyak terjadi kelalaian dalam memuat lampiran serta halaman-halaman yang dikutipnya (Giebels 2001:361).

Perbedaan pandangan antara Bung Karno dan Bung Hatta sempat terjadi ketika membahas mengenai “Batas Negara”, dalam rapat besar sidang kedua BPUPKI, 11 juni 1945. Bung Hatta berpendapat bahwa batas wilayah Indonesia adalah seperti yang diperoleh pemerintahan Hindia Belanda, hanya sebagian Papua dan tidak termasuk Malaka. Soekarno berpendapat lain bahwa wilayah Indonesia meliputi juga selat Malaka dengan Papua yang dianutnya dari buku Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca (Rahardjo 2001).

Perdebatan selanjutnya juga terjadi pada sidang BPUPKI 15 Juli 1945 yang membahas mengenai dimasukkannya Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Undang-Undang Dasar 1945. Soekarno menilai bahwa HAM lebih mementingkan Individualisme yang sering ditentangnya itu, sedanglkan Bung Hatta mengingatkan kembali bahwa negara yang dinginkan adalah negara pengurus bukan negara penguasa sehingga perlu memasukkan kebebasan hak-hak individu seperti; hak berkumpul dan berserikat, hak mengeluarkan pendapat. (Yamin 1960).

Pada saat itu, yang lebih serius dan mengundang perhatian dari kalangan pemuda waktu itu termasuk BM Diah sebagai wakil dari golongan pemuda adalah perdebatan mengenai perbedaan mengenai bentuk negara. Soekarno meginginkan bentuk negara Indonesia adalah kesatuan sedangkan Hatta lebih cenderung pada bentuk negara serikat (federalis) (Yamin 1960).

Perbedaan pandangan ini tidak diteruskan oleh keduanya setelah dicapai solusi bahwa dalam negara kesatuan yang dikehendaki oleh Soekarno dan kalangan muda akan memasukkan konsep otonomi daerah yang di kemudian hari lebih diperhatikan oleh Hatta. Diterimanya usul ini maka kesatuan dwi tunggal menjadi terjaga yang sempat dikawatirkan pecah.

Dalam hal penerapan demokrasi juga terdapat perbedaan yang mendasar dimana Soekarno lebih menginginkan demokrasi yang sentralistis (seperti sistem presidensil) dan Hatta yang menginginkan diberlakukannya demokrasi parlementer. Pada akhirnya Hatta lebih menerima gagasan demokrasi yang sentralistis untuk mengatasi negara yang serba darurat ini namun ketika semuastruktur pemerintah telah lengkap Ia lebih menginginkan untuk menerapkan demokrasi parlementer.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dibahas diatas dapat dimbil benang merahnya bahwa demokrasi yang sentralistik dari bung Karno memainkan peran besar dalam pebentukan UUD 1945, sekalipun tidak seluruhnya adalah peran Soekarno, karenanya UUD 1945 bersifat sementara dan perlu disempurnakan lagi.