Bagaimana sejarah persebaran budaya Nusantara di negara-negara lain dari perspektif linguistik?

Dalam cacatan Reid (2008), Oppenheimer (2010) yang diulas dari sumber data yang berlimpah sepakat menyebutkan bagaimana kapal-kapal bercadik orang-orang Nusantara dengan ilmu navigasi yang canggih dan didukung oleh tubuh yang kuat dengan perawakan langsing berisi dengan tatapan mata tajam, mereka orang-orang Nusantara tegar melawan badai dan ombak besar berlayar mengarungi ribuan mil samudera sehingga sampai menyentuh dan menjadi pemberi pengaruh primer dalam kebudayaan afrika yang dapat dilihat pada masa kini. Reid menyebutkan bahwa persebaran budaya tangible Nusantara terlihat dari penggunaan bahasa bantu yang telah mencapai wilayah afrika Timur, Tengah, dan Selatan seperti di Kamerun, Mozambik, Uganda, Sudan Selatan, Somalia, Burundi, Kongo, Angola, Tanzania, Oman, Republik Afrika Tengah dan Afrika Selatan. Walaupun antara Reid dan Oppenheimer tidak bersintesis dalam penelitiannya terkait dengan bahasa Bantu tersebut namun keduanya menyepakati bahwa bahasa bantu memiliki tipe bahasa aglutinatif sebagaimana bahasa-bahasa Nusantara, dimana bahasa tersebut berdiaspora secara masif sejak ribuan tahun yang lalu di Horn of Afrika .

Pengaruh bahasa oleh Oppenheimer kemudian ditegaskan kembali dengan adanya pengelompokan dan penentuan status bahasa-bahasa yang tersebar di wilayah Pulau Paskah, Taiwan, Hawai, dan Selandia Baru merupakan rumpun keluarga dengan bahasa-bahasa di Asia Tenggara. Para penutur bahasa Austronesia itu menyebar dengan menyeberangi pasifik, Samudera Hindia sebelum agama Budha dan Hindu dilahirkan.

Selain budaya-budaya Nusantara yang bersifat tangible masuk dalam relung-relung kebudayaan inti dalam masyarakat Afrika di wilayah tersebut juga dikuatkan dengan temuan budaya intangible berupa temuan-temuan bersifat materi seperti phallus atau lingga yaitu alat bentuk kemaluan manusia yang merupakan simbol asal-asul manusia. Phallus di kalangan bangsa Nusantara adalah barang keramat yang dimuliakan karena merupakan representasi dari tuhan. Kebudayaan Phallus di Afrika dan sebagian di wilayah Arab tersebar bersamaan dengan persebaran bangsa Nusantara di Madagaskar. Beberapa phallus ditemukan di beberapa daerah di Afrika seperti di Madagaskar sendiri, Kenya, Zimbabwe dan Ethiopia.

Masih dalam cacatan Reid (2008) dikatakan bahwa jejak peradaban bangsa Nusantara di Afrika tidak hanya jejak bahasa, dan jejak budaya materi akan tetapi jejak seni berupa alat musik juga dapat ditemui sampai saat ini di benua hitam tersebut. Adalah musik Xilofon yang banyak ditemui dan tersebar hampir merata di wilayah Afrika seperti di Mozambik, Uganda, Kongo, Gambia dan Afrika selatan sehingga Jaap Kunst seorang etnomusikolog sekaligus kurator Museum Nasional di Jakarta pada tahun 1935 menyatakan “alat musik xilofon itu berasal dari Jawa, lalu masuk ke benua Afrika” sebagaimana yang dikutip Reid (2008). Semua fakta-fakta tentang alat musik Xilofon ini terpampang pada dinding candi Borobudur. Pernyataan alat Xilofon sebagai alat musik asli Jawa kuno juga didukung oleh Ferninandus (2003) yang khusus membahasa alat musik Jawa kuno walaupun dalam uraiannya tersebut kurang mendalam dan hanya bersifat deskriptif .

Sebagaimana yang telah uraikan sebelumnya bahwa Jawa memiliki peran penting dalam mewarnai budaya-budaya yang terdapat di wilayah Indochina. Dalam cacatan Lombard dikatakan bahwa pada abad ke-8 terdapat sejumlah kesamaan dibidang ikonografi, seni, arca, dan gaya bangunan di Vietnam sebagai pengaruh dari Jawa. Seperti model pemujaan anumerta seorang raja, dan beberapa unsur gaya Preah ko yang meniru gaya Jawa, demikian halnya bangunan-bangunan baru di ibukota Indrapura yang dibangun oleh Raja Indrawarman II (875) juga memiliki aroma Jawa (Lombard 1981).

Dalam perspektif linguistik orang Melayu Nusantara jauh sebelum masehi telah eksis sebagai sebuah bangsa. Beberapa catatan penting eksistensi bangsa Melayu Nusantara di Asia Tenggara dan dunia dapat dilihat pada aspek filologis linguistis yaitu adanya unsur bahasa Melayu pada naskah Al-Qur’an yang ada sejak abad ke- 6 M tersebut. Terdapat penyebutan kata kaafuura dalam Al-Qur’an surah Al-Insan ayat 5 “innal abrara yasrabuna min ka’sin kaana mizajuha kaafuura” (sesungguhnya orang-orang baik akan minum dari bejana/piala yang campurannya adalah kapur/kamfer) (Hamka, 1971). Fakta linguistik ini jelas memberikan gambaran pada kita bahwa kata kaafuura yang disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Melayu. Indikasi ini jelas karena kapur Barus dalam sejarahnya memang hanya di temukan di wilayah Nusantara Indonesia tepatnya Barus, Wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatera Utara. Pada masa lalu merupakan sebuah imperium besar yang telah dikenal sejak abad 1 sampai 17. Nama lain dari Barus adalah Fanshur sebuah sebutan yang digunakan oleh para pedagang Parsi dan Arab sehingga Hamzah yang berasal dari Barus menamakan dirinya sebagai Hamzah Al-Fanshuri yang artinya Hamzah berasal dari Barus/Fanshuri.

Pengelana Arab dan Parsi secara jelas juga menyebutkan bahwa pada masa sebelum Majapahit perdagangan antara Nusantara dengan dunia luar telah berlangsung lama. Para pengelana seperti Ibn Al Wardi (1340) Ibn Batutah (1345) Ibn Khurdadhbih (846), Ibn Rusteh (903), dan Al Biruni (1030) secara gamblang menyebutkan wilayah-wilayah Nusantara yang pernah mereka singgahi seperti: Kalah (Kedah), Zabag (Jawa), Fansur (Barus). Penyebutan Jawa atau zabag dalam hal ini adalah merupakan wilayah yang memiliki bandar-bandar besar seperti Tuban, Sedayu, dan Gresik yang merupakan bandar dalam kuasa Majapahit (Kroom,1931 dan Graaf. 1949).

Bukti eksistensi Nusantara yang lain yang lebih muda usianya berupa temuan leksikon-leksikon Melayu yang dikumpulkan oleh Yang Lin sebagaimana yang terlihat pada daftar kata berikut:

Kosakata Melayu dalam Inventarisir Yang Lin Era Dinasti Ming
Bahasa Cina Bahasa Melayu Nusantara Modern chia pu erh kapur ta ma erh damar yin tan intan cheng tan jintan

Melihat beberapa fakta linguistik di atas jelas bahwa terdapat kontak intensif budaya dan bahasa antara bangsa Melayu dengan Cina yang nampak pada pengaruh bahasa Melayu pada bahasa Cina. Anggapan umum bahwa masyarakat Nusantara dalam berbagai aspek banyak dipengaruhi oleh budaya Cina jelas tidak benar karena orang Nusantarapun juga banyak memberikan pengaruh yang besar bagi orang-orang Cina. Dengan demikian tanggalkan anggapan bahwa Nusantara pada masa lalu dalam subordinasi Cina.