Bagaimana Sejarah Perkembangan Sastra Jawa?

sejarah perkembangan sastra jawa

Sejarah sastra berfungsi menempatkan kembali (rekonstruksi) suatu karya sastra pada eksistensinya yang didasarkan pada latar belakang yang melingkupi proses terciptanya karya sastra yang bersangkutan. Dalam hal ini, karya sastra ditempatkan dalam rangka deretan peristiwa yang menyangkut penciptaan karya sastra dan dalam hubungannya dengan karya sastra yang bersangkutan.

Bagaimana Sejarah Perkembangan Sastra Jawa ?

Sastra Jawa adalah sebagian kecil dari hasil budaya Jawa. Namun demikian berlandaskan pada teori bahwa karya sastra merupakan cermin keadaan sosial budaya tertentu, sering kali menjadikan karya sastra dipakai sebagai materi yang penting untuk mengungkap suatu budaya lampau yang telah kehilangan jejak.

Pada kenyataannya, perjalanan sejarah sastra Jawa juga mencatat sebagian budaya Jawa secara luas. Budaya Jawa yang pada sejarahnya telah melalui perjalanan dengan mendapat pengaruh budaya-budaya besar dari luar, juga tercermin dalam sastra Jawa. Budaya manusia dikomunikasikan antar manusia melalui bahasa. Bahasa Jawa, dalam sejarahnya telah mendapat pengaruh dari bahasa bangsa-bangsa yang lain, yakni bahasa Sansekerta, bahasa Arab, dan bahasa dari bangsa-bangsa di Eropa.

Bahasa Jawa, dalam sejarahnya tercatat melalui bahasa yang dikenal sebagai bahasa Jawa kuna, bahasa Jawa Pertengahan, dan bahasa Jawa Baru hingga saat ini. Perkembangan bahasa Jawa dari periode ke periode berikutnya itu selalu meninggalkan warisan-warisan sastra dengan ciri-cirinya masing-masing.

Budaya Jawa semula diwarnai oleh budaya animisme dan dinamisme. Dari budaya ini setidak-tidaknya masih tampak jejaknya pada berbagai bentuk sastra lisan. Bentuk doa- doa yang disampaikan dalam rangka penyampaian sesaji kepada sing mbaureksa, yakni makhluk supernatural penguasa pada tempat-tempat tertentu, kayu besar, batu keramat, goa-goa, dsb., merupakan hasil budaya animisme dan dinamisme. Dari satu sisi doa-doa itu bisa dianggap bernilai estetis sebagai karya sastra. Demikian halnya dengan mantera- mantera yang hingga saat ini masih sering diajarkan oleh guru atau dukun-dukun yang mengajarkan ilmu (ngelmu) yang sesungguhnya bersifat prelogic. Sebagian mantera itu memiliki nilai keindahan yang juga dapat dikategorikan sebagai hasil sastra.

Pada awal abad Masehi Agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa. Agama Hindu dan Budha ini menawarkan sejumlah kebudayaan yang akhirnya diterima oleh masyarakat Jawa. Berbagai cerita yang semula dianggap sebagai cerita suci oleh masyarakat Hindu dan Budha, akhirnya setelah melalui penyesuaian di sana-sini, diterima sebagai mite atau legenda milik orang Jawa. Cerita wayang purwa yang bersumber pada kitab suci Hindu, Mahabharata dan Ramayana disalin, diterjemahkan, disadur, atau bahkan digabungkan dan disesuaikan dengan berbagai mitos dan situasi di Jawa, akhirnya menjadi cerita kepahlawanan yang dianggap sebagai cerita leluhur Jawa. Dalam sastra wayang, aspek- aspek budaya yang berasal dari India dan tidak berlaku di Jawa, sebagian besar diubah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang ada di Jawa.

Sebagai contoh konsep budaya poliandri yang terjadi pada perkawinan Drupadi dengan kelima para Pandawa, yang ada dalam Mahabharata India, telah diubah menjadi konsep monogami, yakni perkawinan Drupadi dengan Puntadewa dalam cerita di Jawa.

Perubahan ini tampak disengaja terbukti segala konsekwensi berikutnya juga diadakan perubahan-perubahan. Misalnya nama Pancawala pada sastra wayang Jawa yang merupakan nama seorang anak dari Puntadewa, semula merupakan penyebutan dari lima anak dari para Pandawa yang beribu satu yakni Drupadi. Bahkan dalam Serat Pustka Raja karya R.Ng. Ranggawarsita, para raja di Jawa dituliskan sebagai keturunan Pandu raja di Astina dalam cerita pewayangan. Dari contoh cerita di atas menjadi jelaslah bahwa pengkajian sejarah sastra wayang di Jawa dapat menyingkap banyak hal tentang budaya Jawa.

Pada masa awal masuknya agama Hindu dan Budha hingga menjelang masuknya agama Islam, bahasa yang berlaku di Jawa dikenal dengan istilah bahasa Jawa kuna (bahasa Jawa kuna dan Jawa pertengahan). Dalam sejarah sastra Jawa kuna tercatat adanya pengaruh bahasa Sansekerta, yakni bahasa dari India sebelum abad ke-10, yang merupakan pengantar kitab-kitab suci agama Hindu dan Budha. Karya-karya sastra Jawa Kuna telah banyak dikaji oleh para pakar bahasa jawa Kuna, baik dalam rangka sastra itu sendiri, maupun dalam kaitannya dengan budaya Jawa secara luas. Pembicaraan tentang karya sastra Jawa Kuna antara lain terdapat dalam buku karya P.J. Zoetmulder yang berjudul Kalangwan, karya Poerbatjaraka berjudul Kepustakaan Jawa atau Kapustakan Jawi, dan sebagainya.

Pada akhir masa kejayaan kerajaan Majapahit, yakni sekitar abad ke-14 pengaruh agama Islam di Jawa tampak dominan karena didukung oleh kekuasaan kerajaan-kerajaan di sepanjang pantai utara Jawa, khususnya kerajaan Demak. Pengaruh agama dan kebudayaan Islam sangat kuat mewarnai berbagai hasil karya sastra Jawa, terutama karya- karya sastra Pesisiran dan karya sastra yang dianggap sebagai sastra mistik Islam-kejawen. Sastra mistik Islam-kejawen ini paling dominan tampak pada bentuk-bentuk sastra mistik yang disebut sastra suluk atau wirid. Sesungguhnya yang disebut Islam-kejawen ini tidak lain adalah budaya Jawa yang telah diwarnai oleh akumulasi pengaruh dari budaya Jawa sebelum Islam dan setelah Islam masuk. Dengan demikian sastra mistik Islam-kejawen adalah karya sastra yang berisi tentang mistik yang bukan saja Islam, namun yang telah didahului oleh pengaruh budaya lain yang telah ada di Jawa sebelum Islam masuk.

Pada era setelah Islam masuk di Jawa, berbagai karya sastra yang ada di Jawa sedikit banyak telah dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan yang masuk ke Jawa. Dengan demikian telah terjadi akulturasi budaya antara kebudayaan animisme-dinamisme, Hindu, Budha, dan Islam. Oleh karena itu karya-karya sastra seperti sastra wayang (purwa) yang semula berasal dari budaya Hindu, sedikit-demi sedikit telah dipengaruhi oleh budaya Islam. Bahkan dalam sejarah perkembangan sastra lisan, banyak yang meyakini bahwa para wali penyebar agama Islam mempergunakan budaya wayang purwa sebagai salah satu sarana dakwah.

Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit kejayaan bahasa Jawa kuna juga mulai surut. Perlahan-lahan dan bersifat kedaerahan, bahasa Jawa baru, mulai berlaku. Karya-karya sastra yang telah mendapat pengaruh Islam sebagian besar telah menggunakan bahasa Jawa baru dengan diwarnai berbagai kosa katra bahasa Arab. Namun demikian jejak-jejak bahasa Jawa Kuna tidak serta-merta musnah. Pada even-even tertentu, terutama yang bersifat sastra lisan, masih sering terdengar berbagai kosa kata yang berasal dari bahasa Jawa Kuna itu.

Secara ekonomi dan politik, pada awal abad ke-17 pengaruh kebudayaan Barat (Eropa) mulai tampak, antara lain dengan hadirnya kongsi dagang Belanda yang disebut VOC. Pengaruh budaya Barat tidak begitu terasa dalam karya-karya sastra. Hal ini mungkin disebabkan penekanan budaya Barat yang bersifat profan. Pengaruh budaya profan dari Barat itu lebih tampak pada pola hidup keseharian. Namun demikian bukan berarti tidak terjadi proses pengaruh itu pada karya sastra.

Belakangan ini pengaruh budaya yang terjadi secara halus melalui konsep-konsep budaya politik dan budaya hidup keseharian itu dikenal dengan istilah hegemoni. Konsep politik yang disebut modernisasi dan demokratisasi, di samping berpengaruh pada terbentuknya dan berkembangnya negara RI, juga berpengaruh pada keberterimaan masyarakat Jawa pada karya-karya sastra yang bukan istana-sentris, tetapi yang berisi realita kehidupan sehari-hari. Sejak awal abad ke- 20, bentuk-bentuk sastra yang dikenal sebagai sastra Jawa modern seperti roman Jawa modern, novel Jawa modern, dan cerita pendek Jawa (cerkak), merupakan bukti keberterimaan masyarakat Jawa pada pengaruh unsur-unsur dari Barat itu. Hingga saat ini pergulatan budaya yang dikenal dengan istilah globalisasi sedikit banyak terekam dalam berbagai hasil karya sastra Jawa.

Periodisasi Sejarah Sastra Jawa


Pada dasarnya para pakar dan pemerhati sastra Jawa, menuliskan sejarah sastra Jawa dengan menekankan periodisasi, yakni pembagian waktu berdasarkan periode- periode atau tahapan-tahapan atau babakan waktu-waktu tertentu. Pada umumnya tiap- tiap periode mencerminkan ciri-ciri tertentu secara khusus yang melekat pada hasil-hasil karya sastra di dalamnya, yang tidak didapatkan pada periode yang lainnya.

Ciri-ciri khusus tersebut pada karya sastra tampak antara lain pada segi isinya, bahasanya, dan bentuk gubahannya. Di samping itu ciri-ciri sastra melekat pada genre tertentu atau pada konvensi tertentu. Sejarah sastra Jawa pernah ditulis oleh beberapa pakar pemerhati sastra Jawa, antara lain oleh Berg (1928), Hooykaas (1932), Gonda (1947), Poerbatjaraka (1952), Pigeud (1967), Zoetmulder (1974 atau 1983), dan J.J. Ras (1979 atau 1985) (Darusuprapta, 1986: 1-2). Di samping itu juga terdapat periodisasi menurut Padmosoekaotjo (1960).

Poerbatjaraka, misalnya, dalam bukunya Kapustakan Djawi (1952) membagi periodisasi sastra Jawa sebagai berikut.

  1. Serat-serat Jawi Kina ingkang golongan sepuh. Hasil karya sastranya antara lain
    Candakarana berisi daftar tembang dan kosa kata, Ramayana, dan Parwa-parwa.

  2. Serat-serat Jawi Kina ingkang mawi sekar (kakawin). Dalam bagian ini dibicarakan nama raja yang disebutkan, hubungan antar-teks, pertanggalan, dan gaya bahasa. Yang dibicarakan meliputi 10 kakawin dari Arjunawiwaha hingga Lubdhaka.

  3. Serat-serat Jawi kina ingkang golongan enem. Membicarakan 10 kakawin, ciri dasar penggolongannya, dan terdapatnya sumber-sumber yang lebih tua. Kakawin itu antara lain Brahmandhapurana, Kunjarakarna, Nagarakertagama, hingga Harisraya.

  4. Thukulipun Basa Jawi Tengahan. Bagian ini membicarakan 5 kitab berbahasa Jawa Tengahan prosa, dari Tantu Panggelaran hingga Pararaton .

  5. Kidung Basa Jawi Tengahan. Membicarakan 5 syair berbahasa Jawa Tengahan yakni Dewa Ruci, Sudamala, Kidung Subrata, Serat Panji Anggreni dan Serat Sritanjung

  6. Jaman Islam. Membicarakan tentang runtuhnya majapahit dan berkembangnya Islam hingga munculnya karya-karya sastra yang bernafaskan Islam. Disebutkan 14 contoh antara lain Het Book van Bonang, Suluk Sukarsa, Koja Jajahan, Suluk Wujil, hingga Serat Kandha.

  7. Jaman Surakarta Awal. Kepustakaan jaman ini dibagi dua, yakni pertama, jaman pembangunan yakni ketika kitab-kitab kuna digubah lagi dengan tembang macapat. Contohnya Wiwaha Jarwa oleh Pakubuwana III (1749-1788 M). Kedua, jaman penciptaan karya sastra baru dengan pujangga-pujangga seperti Yasadipura I dan II, Pakubuwana IV, Ranggawarsita.

Padmosoekotjo dalam bukunya Ngengrengan Kasusastran jawa, jilid II (1960) memuat periodisasi sebagai berikut.

  1. Jaman Hindu, antara lain Mahabarata karya Resi Wiyasa, Ramayana karya Walmiki, 9 parwa dari Mahabarata oleh Prabu Darmawangsa Teguh, Arjunawiwaha oleh Empu kanwa, Kresnayana oleh Empu Triguna, Sumanasantaka oleh Empu Monaguna, Baratayudha oleh Empu Sedah, Gatotkacasraya dan Hariwangsa oleh Empu Panuluh, Smaradahana oleh Empu Darmaja, Wertasancaya dan Lubdaka oleh Tan Akung

  2. Jaman Majapahit: Nagarakertagama oleh Empu Prapanca, Arjunawijaya dan
    Sutasoma ( Purusadasanta) oleh Empu Tantular

  3. Jaman Islam (Demak dan Pajang): Suluk Wujil oleh Sunan Bonang, Suluk Malangsumirang oleh Sunan panggung, Nitisruti oleh Pangeran Karanggayam.

  4. Jaman Mataram: Nitipraja dan Sastragendhing oleh Sultan Agung, Babad Pajajaran, babad Majapahit, Babad Pajang, Babad Mataram oleh Pangeran Adilangu, Damarwulan oleh Carik Bajra, Pranacitra dan Dewi Rengganis oleh Ranggajanur, Wulang Reh dan Wulang Sunu oleh Pakubuwana IV, Serat Centhini oleh Pakubuwana V, Cebolek, Babad Pakepung, Babad Giyanti, Serat Lokapala, dsb., oleh Yasadipura I, Sasanasunu dan Wicarakeras oleh Yasadipura II, Arjunasasrabahu, Partayagnya, Srikandhi Maguru manah, Sumbadra Larung oleh R. Ng. Sindusastra, Wedhatama, Buratwangi, Tripama, dsb., oleh Mangkunegara IV, Jayengbaya, Hidayatjati, Jayabaya, Pustakarajapurwa, Kalatidha, Witaradya, dsb., oleh Ranggawarsita, Jagal Bilawa, Serat Bale Sigala-gala, Kartapiyoga, Jaladara Rabi, Serat Sastramiruda, dsb., oleh P. Kusumadilaga.

  5. Jaman sekarang (mulai abad ke-20). Dimulai dari Rangsang Tuban, dsb., karya Ki Padmasusastra, Trilaksita dsb., karya M.Ng. Mangunwijaya, Sawursari karya R.Ng. Sindupranata, Dongeng Kuna karya R.ng. Sastrakusuma, Baru Klinthing karya R.T. Tandhanagara, Kekesahan saking Tanah Jawi dhateng Negari Welandi oleh R.M. Suryasuparta (Mangkunegara VII), hingga Riyanta dan Sarwanta karya R.M Sulardi, Candrasengkala karya R. Bratakesawa, Calonarang karya Wiradat, Abimanyu Kerem karya M.Sukir, Bancak Doyok Mbarang Jantur karya Sastrasutarma, dan Buta Locaya karya Mas Somasentika.

Theodore G. Th. Pigeaud dalam bukunya Literature of Java (Volume I: “Synopsis of Javanese Literature, 900-1900 A.D.”) membagi sastra Jawa menjadi empat periode, yakni:

  1. Periode Pra-Islam, selama enam abad (tahun 900- 1500 ), terutama di Jawa Timur, sampai merosotnya kerajaan Majapahit

  2. Periode Jawa-Bali, selama empat abad (tahun 1500-1900)

  3. Periode Pesisir Jawa Utara, selama tiga abad (tahun 1500-1800)

  4. Periode Renaisance sastra klasik (tahun 1700-1900) di Surakarta dan Yogyakarta.

Zoetmulder dalam bukunya Kalangwan (1974 atau 1983) khusus membicarakan sastra Jawa Kuna (termasuk Jawa Pertengahan), namun bersifat lebih umum, bukan hanya yang menyangkut sejarah sastra Jawa Kuna. Uraian dalam buku tersebut dibagi menjadi dua bagian. Bagian Pertama berisi bahasa dan sastra Jawa Kuna, sastra parwa, teknik persajakan, penyair, syair dan puisi, dan lukisan alam dalam kakawin. Bagian kedua membicarakan tentang kitab Ramayana, Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, karya-karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, Karya-karya Mpu Dharmaja, Mpu Monaguna dan Mpu Triguna, tentang kitab Bhomantaka atau Bhomakawya, karya-karya Mpu Tantular, tentang Mpu Prapanca dan kitab Negarakertagama, tentang Mpu Tanakung, tentang kitab Partayatnya dan Kunjarakarna, tentang beberapa kakawin minor, dan tentang sastra Kidung. Uraian Zoetmulder tersebut setidak-tidaknya banyak membantu dalam rangka penyusunan periodisasi sastra Jawa Kuna.

Pembabakan yang lain adalah menurut Suripan Sadi Hutomo, seorang pengarang sastra Jawa sekaligus kritikus sastra. Suripan menyusun pembabakan sastra Jawa periode terakhir, yakni sebagai berikut.

  1. Periode 1920- 1945: Balai Pustaka
  2. Periode 1945- 1966: Angkatan Perintis, Angkatan Penerus (Angkatan Kasepuhan)
  3. Periode 1966- Sekarang : generasi muda yang lahir sesudah tahun 1939 yang muncul berkiprah di majalah-majalah berbahasa Jawa.

J.J. Ras dalam pendahuluan buku Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir (1979 atau 1985) membagi sastra Jawa mutakhir menjadi dua, yakni sastra Jawa tradisional dan sastra Jawa modern. Yang termasuk sastra Jawa tradisional, antara lain sastra yang berisi ajaran moral ,babad dan sastra lakon. Sastra lakon menyangkut wayang, kentrung, jemblung, kethoprak, dan ludrug. Yang termasuk sastra Jawa modern, antara lain kisah perjalanan, roman atau novel sejarah, novel atau novelet, cerita bersambung, cerita pendek, sandiwara, puisi bebas atau geguritan.

Sastra Jawa modern oleh Ras dibagi menjadi dua periode, yakni masa kebangkitan dan masa setelah kemerdekaan. Masa kebangkitan dimulai dari adanya kegiatan di Instituut voor de Javaansche Taal di Surakarta tahun 1832- 1843 yang terutama dihasilkan oleh CF, Winter. Karya-karya lain yang muncul kemudian, antara lain ditulis oleh pengarang-pengarang seperti Candranagara, Suryawijaya, Padmasusastra, hingga ke karya-karya para pengarang yang masuk dalam penerbit Balai Pustaka. Untuk periode sastra Jawa modern setelah kemerdekaan, Ras mengikuti periodisasi Suripan Sadi Hutomo, yakni periode 1945-1966 yang dikuasai oleh generasi penulis tua yang mulai muncul sebelum 1945. Selanjutnya periode atau angkatan perintis yang mulai muncul setelah 1945, dan terakhir angkatan penerus yang mulai tampil setelah tahun 1966. Periode selanjutnya adalah periode sastra majalah, yakni 1966- sekarang.

Muryalelana menyusun pembabakan sastra Jawa menurut munculnya penguasa sebagai “bapak angkat” atau pengayom sastra Jawa. Jadi pada pokoknya pembabakannya sebagai berikut.

  1. Sebelum Perang Dunia II sastra Jawa berkembang di istana-istana dan keluarga raja.
  2. Tahap berikutnya sastra Jawa diayomi oleh pemerintah Belanda dengan kepanjangan tangannya, yakni Balai Pustaka.
  3. Setelah jaman Kemerdekaan muncullah pemerintah dan kaum swasta yang menghidupi sastra Jawa mutakhir.

Dasar Periodisasi

Darusuprapta (1986) mencatat beberapa hal yang dapat dipergunakan sebagai dasar periodisasi sastra Jawa, sebagai berikut.

1. Berdasarkan Sejarah Perkembangan Wilayah atau Daerah Geografi.

Berdasarkan ini dapat disusun kronologi sebagai berikut :

  • Jaman Jawa Tengah (Purba) (sekitar 750 M- 925 M) berpusat di Medang, antara lain menghasilkan Ramayana Kakawin

  • Jaman Jawa Timur (Purba) ( sekitar 929- 1016) berpusat di watanmas, antara lain menghasilkan kitab-kitab Parwa

  • Jaman Jawa Timur (Baru) (1019- 1522 M) berpusat di Kahuripan, Daha, Singasari, Majapahit, menghasilkan kitab-kitab kakawin

  • Jaman Jawa Tengah (Baru) (1550- sekarang) berpusat di Bintara Demak, Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, Yogyakarta.

2. Berdasarkan Pasang-Surutnya Kerajaan Jawa.

Periodisasi berdasarkan hal ini telah diuraikan dalam buku Kasoesastran Djawi terbitan Kementerian Pengadjaran, Pendidikan dan Keboedajaan, Djakarta: 1946. Alasan penggunaan dasar tersebut karena pasang surutnya kehidupan sastra Jawa sangat erat kaitannya dengan pasang surutnya keadaan kerajaan Jawa. Uraiannya pada intinya sebagai berikut.

  • Jaman Hindu (kurang lebih mulai abad pertama Masehi). Hasil karya sastra yang mula-mula terkena pengaruh kebudayaan Hindu terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama di kraton-kraton di jawa Timur, meliputi:

    • Jaman Sindok
    • Jaman Erlangga
    • Jaman Mamenang (Panjalu= Daha= Kediri), Jenggala, dan Singhasari, contoh Parwa-parwa Mahabarata dan Ramayana
  • Jaman Majapahit (kurang lebih abad ke-14 M). Karya sastra pada jaman ini dapat dinamakan karya sastra yang berkembang pada jaman pertengahan, maksudnya, terdapat pengaruh Hindu tetapi telah muncul pengaruh baru. Contohnya Negarakertagama Karya Prapanca pada masa Hayamwuruk, Arjunawijaya karya Tantular pada masa yang sama dan Pararaton.

  • Jaman Islam (kurang lebih abad ke-15M). Banyak karya sastra yang ditulis oleh para wali dan ulama. Kebanyakan berupa kitab Suluk dan kitab-kitab Islam, antara lain Serat Pepali karya Ki Ageng Sela, Serat Suluk karya para wali, Serat Menak karya R.Ng. Yasadipura I.

  • Jaman Mataram (kurang lebih abad ke-17 M). Perkembangan Mataram juga seiring dengan perkembangan karya sastra. Tidak hanya para pujangga tetapi juga banyak bangsawan yang menggubah karya sastra. Pengaruh hasil karya sastra Mataram ke barat hingga ke Pasundan, Cirebon, bahkan Banten. Ke timur masuk ke Madura. Contoh: Nitipraja karya Sultan Agung, Jayalengkara karya Pangeran Pekik di Surabaya, Pranacitra karya Ranggajanur, Baron Sekendher karya Ng. Yudasara, Tajussalatin, Iskandar, Panji Angreni, Babad Giyanti, Sewaka, Asmarasupi karya R.Ng. Yasadipura I, Sanasunu karya R.NG. Yasadipura II, Paramayoga, Pustaka Raja Purwa, Ajipamasa, Cemporet, Wirid, Witaradya, Bratayuda Jarwa Macapat, Kalatidha, Jakalodhang, Panji Jayengtilam karya R.Ng. Ranggawarsita.

  • Jaman Sekarang (mulai akhir abad ke-19). Karya sastra Jawa mulai dipengaruhi oleh kebudayaan Eropa. Setelah Volklectuur didirikanpada 1917 lalu menjadi Bale Pustaka muncul banyak hasil sastra Jawa. Juga dengan munculnya penerbit-penerbit lain termasuk terbitan majalah. Contoh: Wangsalan, Paramabasa, Urapsari, Erang-erang, Warnabasa, Tatacara, Kancil, Durcaraarja oleh Ki Padmasusastra, Purwakanthi, Gita-Gati, Jiwandana, Asmaralaya, Kridhasastra, karya R.M.Ng. Mangun Wijaya, Riyanta karya R. Bagus Sulardi, Tri jaka Suwala karya M. Sastratama, Mitra Musibat karya R.L. Jayengguthara, Dongeng sari mulya karya M. Pujaarja, Cariyosipun rara Kadreman karya M. Kuswadiharja, Serat Panuntun karya M. Prawirasudirja, Sang Prabu Subrata karya R. Budidarma, Pusarakrama karya M. Karyawireja.

3. Periodisasi Sastra Jawa Berdasarkan Umurnya.

Sebagai contoh adalah yang terdapat dalam Kapustakan Djawi (1952) oleh Poerbatjaraka atau terjemahannya oleh Tardjan Hadidjaja (1952). Meskipun buku tersebut tidak bertujuan menyusun periodisasi sastra Jawa, namun tampak memberikan saran untuk itu. Kitab-kitab yang memang bercirikan angka tahun tidak bermasalah. Adapun yang tidak mengandung angka tahun hanya dapat dikenali dari ciri-ciri yang lazim untuk mengengenal umur kitab, misalnya penyebutan nama seorang raja atau ciri-ciri lainnya. Periodisasi dalam Kapustakan Djawi sudah disinggung di atas.

4. Periodisasi sastra Jawa Berdasarkan Jamannya.

Periodisasi ini seperti yang disarankan oleh Pigeaud yang telah disinggung di atas.

5. Periodisasi yang diusulkan oleh Darusuprapta

Periodisasi yang diusulkan oleh Darusuprapta (1986: 10-11) adalah berdasarkan sejarah sastranya yang mencerminkan unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri, yakni unsur-unsur yang merupakan kriteria tertentu yang menjadi ciri konvensi suatu periode. Berdasarkan ini Darusuprapta menyarankan sebagai berikut.

  • Sastra Jawa Kuna: menghasilkan karya sastra Parwa, kakawin mayor dan kakawin minor

  • Sastra Jawa Pertengahan: karya prosa Jawa Pertengahan dan Kidung

  • Sastra Jawa Baru: terdiri atas sastra yang bercorak tradisional dan bercorak modern.

    • Bercorak tradisional antara lain sastra wulang, cerita lakon, dongeng, dan babad.
    • Bercorak modern antara lain kisah perjalanan, novel, sandiwara, dan geguritan.

Sumber : Afendy Widayat, Suwardi, Sejarah Sastra Jawa, Universitas Negeri Yogyakarta

Referensi
  • Darusuprapta, 1986, “Periodisasi Sastra Jawa Berdasarkan Sejarah sastra Jawa” , makalah pada Seminar Bulan Bahasa 23 Oktober 1986 di Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta
  • Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastran Jawi Wellek & Warren, Teori Kesusastraan
  • Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra
  • Luxemburg, Jan van, dkk, Pengantar Ilmu sastra
  • Purwanto, bambang, 2003, “Historisisme Baru dan Penulisan Sejarah” dalam Sastra Interdisipliner: Menyandingkan sastra dan Disiplin Ilmu sosial, (Yogyakarta: Qalam)

Ada beberapa periode dalam perkembangan Sastra Jawa, yaitu :

1. Sastra Jawa Kuno

Periode awal pertumbuhan sastra Jawa, khususnya sastra tulis sangat dipengaruhi oleh sastra Hindu dan budaya India. Hal ini terlihat dalam karya Sastra Jawa kakawin dan kitab-kitab parwa. Dari segi bahasa pun banyak karya sastra yang menggunakan bahasa sansekerta. Kitab-kitab Hindu banyak yang menjadi sumber rujukan bagi pengarang Jawa, teruma dua kitab yang paling masyhur yaitu, kitab Ramayana dan Mahabarata. Bahkan ada yang berpendapat bahwa munculnya Sastra Jawa adalah bersamaan dengan sejak lahirnya kitab Ramayana Kakawin pada abad ke-9 (Sitanggang, dkk., 1996).

Seiring dengan proses perkembangan Sastra Jawa tulis, Sastra Jawa lisan juga mewarnai perkembangan Sastra Jawa Kuna. Pengaruh-pengaruh Hindu-Budha diolah oleh nilai-nilai asli yang dihayati dari tradisi masyarakat Jawa pada waktu itu (Sitanggang, dkk., 1996). Sastra Jawa Kuna identik dengan sastra keraton. Para pujangganya pun hanya berasal dari kalangan keraton. Periode ini sering disebut sebagai zaman Renaisans Jawa I, yang berlangsung antara abad 8 – 15, yakni Jawa Budha dan Jawa Hindu (Linus Suryadi, 1995).

Para pujangga pada zaman ini antara lain; Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Monaguna, Empu Trigana, Empuh Kanwa, Empu Tanakung, Empu Tantular, Empu Prapanca, dan lain-lain. Sedangkan keraton-keraton yang menjadi maecenas para pujangga keraton adalah Kerajaan Kahuripan, Kediri, Singosari dan Majapahit (Linus Suryadi, 1995).

Karya Sastra Jawa Kuna tidak terlepas dari pengaruh kehidupan dan kekuasaan kerajaan yang sedang memerintah. Sastra Jawa pada masa ini memang tumbuh di lingkungan istana dan lahir dari para pujangga atas dukungan kerajaan. Kitab-kitab parwa yang digubah saat itu dimaksudkan sesuai catatan peristiwa historis para penguasa. Misalnya kisah dalam kitab Arjuna Wiwaha, yang disebut-sebut sebagai gambaran perjalanan hidup Raja Airlangga. Oleh karena itu sangat mungkin ketika itu para pujangga melakukan “penghalusan” peristiwa sebagai upaya menunjukkan sikap loyal kepada kerajaan (Sitanggang dkk., 1996)

2. Sastra Jawa Madya

Karya Sastra Jawa mengalami kebangkitan pada masa abad XVIII dan XIX. Karya sastra masa pada masa ini digubah oleh para pujangga kerajaan, terutama Surakarta dan Yogyakarta. Berdasarkan perjalanan sejarah, Sastra Jawa mengalami kebangkitan akibat peran keraton. Kehadiran kompeni yang semakin lama menggeser kekuasaan politik kerajaan, dan campur tangan kompeni yang semakin mencengkeram menyebabkan kerajaan lebih banyak berperan sebagai pusat kesenian dan kesusastraan (Tirto Suwondo, dkk., 1994).

Pengaruh kompeni terhadap kerajaan semakin besar sejak disetujuinya Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Kondisi ini diperburuk dengan adanya penurunan derajat dan martabat raja. Semula derajat sunan dan sultan sejajar dengan raja belanda, namun semenjak perjanjian Giyanti kedudukan sunan dan sultan dibawah raja belanda yang harus menghormatinya. Situasi kerajaan semakin kacau dengan adanya pengurangan wilayah-wilayah kerajaan oleh pemerintah belanda. Akibatnya sumber kerajaan semakin sedikit, kemakmuran berkurang dan rakyat semakin menderita (Tirto Suwondo, dkk., 1994).

Para pujangga yang melihat situasi rakyat yang semakin mengalami krisis akhirnya menggugah diri dan berusaha untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang. Jalan yang ditempuh para pujangga adalah dengan cara menulis dan menggubah sastra yang berisi ajaran, piwulang dan sebagainya. Penulisan ini dimaksudkan sebagai langkah antisipasi terhadap gejala-gejala krisis, sekaligus untuk menyatukan kekuatan masyarakat dibawah naungan raja (Tirto Suwondo, dkk., 1994).

Masa peralihan dari zaman Jawa kuno ke Jawa Madya sebenarnya tidak pernah jelas, karena sampai sekarang ikhtisar peralihan dari Sastra Jawa kuno ke Jawa Madya belum pernah di telaah dan di bukukan (Linus Suryadi, 1995). Karya sastra yang muncul pada masa ini sangat banyak jumlahnya, baik berupa teks piwulang, teks suluk, maupun teks babad. Pada zaman ini lahir pujangga-pujangga besar, antara lain Mangkunegara IV mengarang Serat Wedhatama, Tripama dan Wirawiyata; Paku Buwana IV mengarang Serat Wulangreh; dan masih banyak pujangga-pujangga besar yang lainnya.

Menjelang berakhirnya pemerintahan Majapahit, pengaruh agama Islam semakin meluas. Karya-karya sastra yang muncul pada waktu itu banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam. Pada periode ini terjadi perubahan bentuk Sastra Jawa dari bentuk Kakawin menjadi bentuk tembang, baik tembang macapat maupun tembang gede. Sastra tembang yang banyak medapatkan pengaruh Islam kebanyakan berupa sastra suluk, yang berisi tentang ajaran dan pedoman bagaimana manusia mencapai kesempurnaan hidup (sampurnaning ngaurip). Salah satunya adalah tentang konsep manunggaling kawula gusti, berdasarkan ajaran mistik Islam. Sastra suluk mempunyai hubungan yang dengan filsafat Islam. Karya sastra suluk dalam khasanah sastra Jawa, antara lain; suluk sukarsa (berbentuk seloka), suluk wujil, suluk malang sumirang, keduanya berupa tembang macapat (Sitanggang, dkk., 1996).

Masuknya pengaruh Islam dalam budaya dan Sastra Jawa disertai juga oleh munculnya cerita-cerita Jawa yang bersumber dari negara Islam atau cerita-cerita dari Arab. Poerbatjaraka menjelaskan bahwa cerita dari Arab itu sebelum mesuk ke Jawa telah berkembang di tanah malayu. Dengan demikian dapat diduga bahwa cerita-cerita Arab itu telah mengalami modifikasi di tanah melayu sebelum disadur ke dalam sastra Jawa (Sitanggang, dkk., 1996: 14). Karya sastra Arab yang disadur ke dalam Sastra Jawa itu masih tampak berdekatan dengan naskah aslinya, misalnya, koja jajahan yang mengambil latar kerajaan mesir. Cerita arab yang menjadi sumber itu mengalami modifikasi kedalam Sastra Jawa yang terkenal ialah cerita amir hamzah. Cerita Amir Hamzah menjadi sumber atau acuan cerita menak dalam sastra Jawa, yakni cerita yang meramu budaya Islam dan budaya Jawa, antara lain Serat Kanda (zaman kartasura), Kitab Rengganis dan Kitab Anbiya (Sitanggang, dkk., 1996)

3. Sastra Jawa Modern

Periode perkembangan Sastra Jawa setelah Zaman Sastra Jawa Madya adalah era Sastra Jawa Modern, yang juga sering disebut Sastra Jawa Gagrag Anyar (Sarworo Soeprapto, 1991). Sastra Jawa Modern tidak lagi bersumber dari sastra keraton, sebagaimana Sastra Jawa Kuna dan Madya. Dalam Sastra Jawa Modern, dominasi sastra keraton mulai surut. Hal ini terjadi karena para pujangga Jawa modern tidak lagi didominasi oleh kalangan keraton, tetapi telah meluas di kalangan masyarakat luas.
Sastra keraton sebagai sastra adiluhung kemudian mengalami keterputusan interaksi dengan munculnya sastra rakyat. Akan tetapi perkembangan Sastra Jawa Modern menghadapi tantangan baru, yaitu harus berhadapan dengan sastra daerah lain dan sastra-sastra dunia, akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi modern (Sarworo Soeprapto, 1991).

Untuk itu pada masa ini para pengarang Sastra Jawa Modern tidak lagi memakai bahasa sansekerta, Jawa Kuna ataupun bahasa kawi, tetapi menggunakan huruf latin. Bahasa ekspresinya adalah bahasa Jawa modern atau Jawa ngoko dan Jawa krama, yang dengan cepat menampung kosa kata dari bahasa indonesia dan inggris. Orientasinya bukan lagi tertuju pada tradisi keraton, melainkan kepada kehidupan kota yang plural, egaliter, sekuler dan belum tertata dengan baik (Linus Suryadi, 1995).
Kebangkitan Sastra Jawa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya barat. Berbagai jenis sastra Barat, entah itu novel, cerita pendek, sajak, esai, dan jenis-jenis sastra yang lain sedikit demi sedikit telah menjadi bagian Sastra Jawa. Maka tak heran jika kemudian Sastra Jawa pada periode ini disebut sebagai Sastra Jawa Modern, Sastra Gagrag Anyar ataupun Sastra Gaya Baru (J.J. Ras, 1985).

Tetapi lebih dari itu, faktor utama yang mendorong tumbuh-kembangnya Sastra Jawa Modern adalah:

  1. Para pengarang Jawa telah bisa menerima konsep yang ditawarkan barat dan timur.
  2. Timbulnya kesadaran berbagai penerbit, terutama Balai Pustaka, yang menerbitkan berbagai karya sastra Jawa, karena melihat betapa pentingnya peran karya sastra.
  3. Tumbuhnya kesadaran para pembaca bahwa karya sastra dapat berfungsi sebagai pengontrol kemajuan mental dan sosial (Herry Mardianto dan Harwi Mardianto, 1996).

Sejarah perkembangan Sastra Jawa Modern mengalami pasang surut sesuai dengan pasang surutnya kondisi sosial masyarakat Jawa. Pada awalnya, Sastra Jawa Modern bangkit dan berkembang hingga mencapai masa “kejayaannya” pada zaman balai pustaka. Zaman balai pustaka ditandai dengan lahirnya novel Serat Riyanta dan Sarwanta karya R. B. Sulardi (Herry Mardianto dan Harwi Mardianto, 1996). Namun, masa “kejayaan” itu tidak berlangsung lama. Pada masa zaman jepang dan perang kemerdekaan, Sastra Jawa Modern kembali mengalami kemunduran. Baru setelah revolusi berakhir, Sastra Jawa Modern mulai bangkit lagi hingga saat ini; kendati eksistensi perkembangannya senantiasa diperdebatkan.

Kehidupan sastra buku boleh dikatakan sudah habis, walaupun terus dicoba dibangkitkan. Fenomena itu bisa dilihat dari maraknya perkembangan wayang kulit, ketoprak - termasuk ketoprak humor - musik campursari bukan lagi gejala, tetapi sudah menjadi fakta yang tak terbantah.