Bagaimana Sejarah Perkembangan Perlindungan Kekayaan Intelektual?

sejarah perlindungan kekayaan intelektual
Bagaimana Sejarah Perkembangan Perlindungan Kekayaan Intelektual ?

Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an. Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek (1885), UU Paten (1910), dan UU Hak Cipta (1912). Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary and Aristic Works sejak tahun 1914. Pada jaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 s.d. 1945, semua peraturan perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU peningggalan Belanda tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten yang berada di Batavia ( sekarang Jakarta ), namun pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda.

Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan semetara permintaan paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G. 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.

Pada tanggal 11 Oktober 1961 pemerintah RI mengundangkan UU No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (UU Merek 1961) untuk menggantikan UU Merek kolonial Belanda. UU Merek 1961 yang merupakan undang-undang Indonesia pertama di bidang HKI. Berdasarkan pasal 24, UU No. 21 Th. 1961, yang berbunyi “Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Merek 1961 dan mulai berlaku satu bulan setelah undang-undang ini diundangkan”. Undang-undang tersebut mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek 1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan. Saat ini, setiap tanggal 11 November yang merupakan tanggal berlakunya UU No. 21 tahun 1961 juga telah ditetapkan sebagai Hari KI Nasional.

Pada tanggal 10 Mei1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris [Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967)] berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan,yaitu Pasal 1 s.d. 12, dan Pasal 28 ayat (1).

Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta ( UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.

Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem HKI di tanah air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui Keputusan No. 34/1986 (Tim ini lebih dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Tugas utama Tim Keppres 34 adalah mencangkup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas. Tim Keppres 34 selanjutnya membuat sejumlah terobosan, antara lain dengan mengambil inisiatif baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem paten di tanah air. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali RUU Paten yang telah diselesaikan pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 Pemerintah mengesahkan UU Paten.

Pada tanggal 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 7 tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreativitas masyarakat.

Menyusuli pengesahan UU No. 7 tahun 1987 Pemerintah Indonesia menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta sebagai pelaksanaan dari UU tersebut.

Pada tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 di tetapkan pembentukan Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek (DJ HCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jendral Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman.

Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 tahun 1989 (UU Paten 1989) oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991. Pengesahan UU Paten 1989 mengakhiri perdebatan panjang tentang seberapa pentingnya sistem paten dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan UU Paten 1989, perangkat hukum di bidang paten diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan penemuan teknologi. Hal ini disebabkan karena dalam pembangunan nasional secara umum dan khususnya di sektor indusri, teknologi memiliki peranan sangat penting. Pengesahan UU Paten 1989 juga dimaksudkan untuk menarik investasi asing dan mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri. Namun demikian, ditegaskan pula bahwa upaya untuk mengembangkan sistem KI, termasuk paten, di Indonesia tidaklah semata-mata karena tekanan dunia internasional, namun juga karena kebutuhan nasional untuk menciptakan suatu sistem perlindungan HKI yang efektif.

Pada tanggal 28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku tanggal 1 April 1993. UU Merek 1992 menggantikan UU Merek 1961. Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights(Persetujuan TRIPS).

Tiga tahun kemudian, pada tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang KI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989, dan UU Merek 1992.

Di penghujung tahun 2000, disahkan tiga UU baru di bidang KI, yaitu UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Dalam upaya untuk menyelaraskan semua peraturan perundang-undangan di bidang KI dengan Persetujuan TRIPS, pada tahun 2001 Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten, dan UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek. Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak diundangkannya.

Sumber:

https://dgip.go.id/sejarah-perkembangan-perlindungan-kekayaan-intelektual-ki

1 Like

Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an. Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek (1885), UU Paten (1910), dan UU Hak Cipta (1912). Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary and Aristic Works sejak tahun 1914. Pada jaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 s.d. 1945, semua peraturan perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU peningggalan Belanda tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten yang berada di Batavia ( sekarang Jakarta ), namun pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda.

Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan semetara permintaan paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G. 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.

Pada tanggal 11 Oktober 1961 pemerintah RI mengundangkan UU No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (UU Merek 1961) untuk menggantikan UU Merek kolonial Belanda. UU Merek 1961 yang merupakan undang-undang Indonesia pertama di bidang HKI. Berdasarkan pasal 24, UU No. 21 Th. 1961, yang berbunyi “Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Merek 1961 dan mulai berlaku satu bulan setelah undang-undang ini diundangkan”. Undang-undang tersebut mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek 1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan. Saat ini, setiap tanggal 11 November yang merupakan tanggal berlakunya UU No. 21 tahun 1961 juga telah ditetapkan sebagai Hari KI Nasional.

Pada tanggal 10 Mei1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris [Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967)] berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan,yaitu Pasal 1 s.d. 12, dan Pasal 28 ayat (1).

Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta ( UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.

Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem HKI di tanah air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui Keputusan No. 34/1986 (Tim ini lebih dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Tugas utama Tim Keppres 34 adalah mencangkup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas. Tim Keppres 34 selanjutnya membuat sejumlah terobosan, antara lain dengan mengambil inisiatif baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem paten di tanah air. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali RUU Paten yang telah diselesaikan pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 Pemerintah mengesahkan UU Paten.

Pada tanggal 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 7 tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreativitas masyarakat.

Menyusuli pengesahan UU No. 7 tahun 1987 Pemerintah Indonesia menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta sebagai pelaksanaan dari UU tersebut.

Pada tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 di tetapkan pembentukan Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek (DJ HCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jendral Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman.

Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 tahun 1989 (UU Paten 1989) oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991. Pengesahan UU Paten 1989 mengakhiri perdebatan panjang tentang seberapa pentingnya sistem paten dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan UU Paten 1989, perangkat hukum di bidang paten diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan penemuan teknologi. Hal ini disebabkan karena dalam pembangunan nasional secara umum dan khususnya di sektor indusri, teknologi memiliki peranan sangat penting. Pengesahan UU Paten 1989 juga dimaksudkan untuk menarik investasi asing dan mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri. Namun demikian, ditegaskan pula bahwa upaya untuk mengembangkan sistem KI, termasuk paten, di Indonesia tidaklah semata-mata karena tekanan dunia internasional, namun juga karena kebutuhan nasional untuk menciptakan suatu sistem perlindungan HKI yang efektif.

Pada tanggal 28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku tanggal 1 April 1993. UU Merek 1992 menggantikan UU Merek 1961. Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations , yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights(Persetujuan TRIPS).

Tiga tahun kemudian, pada tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang KI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989, dan UU Merek 1992.

Di penghujung tahun 2000, disahkan tiga UU baru di bidang KI, yaitu UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Dalam upaya untuk menyelaraskan semua peraturan perundang-undangan di bidang KI dengan Persetujuan TRIPS, pada tahun 2001 Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten, dan UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek. Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak diundangkannya.

Referensi

Sumber : https://dgip.go.id/sejarah-perkembangan-perlindungan-kekayaan-intelektual-ki

1 Like

Pada abad kuno, tentunya telah banyak karya cipta yang telah dibuat oleh masyarakat. Akan tetapi bentuk perlindungan terhadap karya-karya tersebut atau hak cipta masihlah belum dikenal oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan, karya cipta pada saat itu dianggap hanya sebagai sebuah ciptaan biasa oleh manusia yang eksistensinya tidaklah perlu untuk dilindungi oleh suatu peraturan hukum. Lantaran masyarakat pada masa itu beranggapan bahwa hak cipta tidaklah memiliki arti yang strategis di dalam kehidupan manusia dan merupakan hal yang intangible . Kesadaran mengenai kekayaan milik intelektual baru saja ada ketika adanya corpus juris, di dalamnya diatur bahwa hak milik intelektual itu sendiri berupa bentuk tulisan atau lukisan di atas kertas. Namun pandangan tersebut belum sampai kepada pandangan yang didalamnya mengatur mengenai pembedaan antara benda nyata ( materielles eigentum ) dengan benda tak nyata ( immaterielles eigentum ) yang kedua hal tersebut merupakan kreasi dari intelektualitas manusia. Yang pada masa sekarang dikenal dengan Hak atas Kekayaan Intelektual atau HAKI, yang berdasarkan dari istilah immaterielles eigentum dan apabila diterjemahkan maka akan dikenal dengan istilah “ intellectual property right” [1] .

Pada abad pertengahan sendiri fenomona penguasaan terhadap hak cipta milik pribadi oleh publik semakin marak terjadi. Saat itu, publik dapat dengan sesuka hati untuk memperbanyak ciptaan milik orang lain dan juga memperjualbelikannya dengan mesin cetak. Dengan ini timbullah suatu teori tentang hak milik percetakan atau yang dikenal dengan verlagseigentumslehre . Pada masa ini karya cipta masihlah dianggap sebagai suatu hal yang merupakan penjelmaan dari tuhan sehingga karya cipta itu sendiri dianggap sebagai sebuah karya yang tidak bertuan atau anonim.

HKI Sebelum Kemerdekaan (ERA 1900)

Sebelum kemerdekaan Indonesia sendiri sudah terdapat peraturan-peraturan yang mengatur mengenai HKI di dalam skala internasional, peraturan ini terdapat di dalam perundingan Uruguay atau dikenal dengan istilah Uruguay Round . Putaran Uruguay ini sendiri berlangsung pad atahun 1986-1994 yang didalamnya membahas mengenai tarif dan perdagangan secara global atau dikenal dengan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Hasil dari Puturan Uruguay ini sendiri adalah dibentuknya World Trade Organization (WTO). Kesepakatan lain yang dibentuk atau dihasilkan oleh Putaran Uruguay sendiri adalah adanya suatu persetujuan mengenai aspek-aspek yang berhubungan dengan perdagangan dan hak kekayaan intelektual atau Agreement on Trade Related Aspects of Intelellectual Property Rights (TRIPs). Pada tahun 1994 Indonesia meratifikasi persetujuan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994[2]. Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai HKI telah diatur sejak jaman Belanda, pada masa Kolonial Belanda sudah mulai diperkenalkan UU mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Pemerintah Belanda telah mengundangkan UU Merek (1885), UU Paten (1910) dan UU Hak Cipta (1912). Indonesia sendiri telah menjadi Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, lalu menjadi anggota Madrid Convention dari 1893 sampai dengan tahun 1936, dan Indonesia juga menjadi anggota Berne Convention for the Protection of Literary and Artistuc Works sejak tahun 1914. Pada saat itu, Indonesia masih dikenal dengan Netherlands East-Indies.

Setelah Indonesia Merdeka [3]

Indonesia sendiri merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dan dengan merdekanya Indonesia tetap menerapkan seluruh peraturan perundang-undangan sebagaimana dengan yang telah ditetapkan didalam ketentutan peralihan UUD 1945. Sehingga dengan hal ini, UU Hak Cipta, dan UU Merek peninggalan dari Belanda sejatinya masih berlaku, sedangkan UU Paten tidak berlaku karena UU tersebut dianggap bertentangan dengan Pemerintah Indonesia. UU Paten menjadi tidak berlaku lagi karena didalam UU tersebut diatur bahwa permohonan paten dapat diajukan di Kantor Paten yang terdapat di Batavia akan tetapi pemeriksaanya sendiri harus dilakukan di Octrooiraad , Belanda.

Menteri Kehakiman RI pada tahun 1953 mengeluarkan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S 5/41/4 yang didalamnya mengatur perihal pengajuan sementara permintaan paten dalam negeri dan pengajuan paten luar negeri yang diatur didalam Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G. 1/2/17. Kedua bentuk pengaturan tersebut merupakan sebuah perangkat pengaturn nasional pertama yang mengatur mengenai tentang paten. Undang-undang Indonesia pertama yang ada di bidang HKI disahkan pada tanggal 11 Oktober 1961, yang terjelman dalam UU No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang ditujukan untuk mengganti UU Merek peninggalan Belanda. Indonesia sendiri turut meratifikasi Konvensi Paris atau Paris Convention for the Protection of Industrial Property pada tanggal 10 Mei 1979. Pemerintah Indonesia turut mengesahkan UU No. 6 Tahun 1982 mengenai Hak Cipta, untuk menggantikan peninggalan UU Hak Cipta dari Belanda.

Era Setelah Meratifikasi Perjanjian TRIPs [4]

Pemerintah Indonesia sendiri pada tanggal 15 April 1994 telah menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations yang didalamnya mencakep Agreement on Trade Rlated Apects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs). Dengan ini pada tahun 1997 Indonesia mulai merevisi segala perangkat pengaturan yang didalamnya mengatur mengenai kekayaan intelektual, yang terdiri dari UU Hak Cipta 1987, UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989, dan UU Merek 1992. Untuk menyelaraskan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan Persetujuan yang terdapat di TRIPs, maka pada tahun 2001 Pemerintah Indonesia melakukan perubahan secara signifikan kepada Undang-Undang Paten dan juga Undang-Undang mengenai Merek yaitu dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 mengenai Paten dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 mengenai Merek. Kedua Undang-Undang ini pada akhirnya menggantikan UU yang lama mengenai Paten dan Merek. Sedangkan pada tahun 2002, perubahan juga dilakukan terhadap UU yang mengatur mengenai Hak Cipta, perubahan ini dilakukan agar peraturan tersebut sejalan dengan peraturan yang terdapat di TRIPs. Dengan ini terbitlah peraturan yang baru mengenai Hak Cipta dalam UU. No 19 tahun 2002 yang menggantikan UU yang lama dan berlaku secara efektif untuk satu tahun setelah diundangkan. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai ringkasan perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI:

  1. HAK CIPTA:
    • UU Hak Cipta Tahun 1912.
    • UU No. 6 Tahun 1982.
    • UU No. 7 tahun 1987.
    • UU No. 12 Tahun 1997.
    • UU No. 19 Tahun 2002.
  2. PATEN:
    • UU Paten Tahun 1910.
    • Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S.5/41/4 Tentang Pengajuan Sementara Permintaan Paten Dalam Negeri.
    • Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G. 1/2/17 Tentang Pengajuan Sementara Permintaan Paten Luar Negeri.
    • UU No. 6 Tahun 1989.
    • UU No. 13 Tahun 1997
    • UU No. 14 Tahun 2001
  3. MEREK:
    • UU Merek Tahun 1884.
    • UU No. 21 Tahun 1961.
    • UU No. 19 Tahun 1992.
    • UU No. 14 Tahun 1997.
  • UU No. 15 Tahun 2001.
  1. VARIETAS TANAMAN Ă  UU No. 29 Tahun 2000.
  2. RAHASIA DAGANG Ă  UU No. 30 Tahun 2000.
  3. DESAIN INDUSTRI Ă  UU No. 31 Tahun 2000.
  4. DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU Ă  UU No. 32 Tahun 2000.

Era Setelah Amandemen UU Hak Cipta Tahun 2014, UU Paten Tahun 2016, UU Merek dan Indikasi Geografis Tahun 2016.

Pada Tahun 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundangkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta[5]. Undang-Undang yang baru ini tentunya menggantikan UU No. 19 tahun 2002 mengenai Hak Cipta. Di dalam UU Hak Cipta yang baru ini secara umum mengatur tentang[6]:

  • Perlindungan hak cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang;
  • Perlindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para pencipta dan/atau pemilik hak terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus ( sold flat );
  • Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase, atau pengadilan, serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana;
  • Pengelola tempat perdagangan bertanggung jawab atas tempat penjualan dan/atau pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di pusat tempat perbelanjaan yang dikelolanya;
  • Hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan objek jaminan fidusia;
  • Menteri diberi kewenangan untuk menghapus ciptaan yang sudah dicatatkan, apabila ciptaan tersebut melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, serta ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • Pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan atau royalti;
  • Pencipta dan/atau pemilik hak terkait mendapat imbalan royalti untuk ciptaan atau produk hak terkait yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan secara komersial;
  • Lembaga Manajemen Kolektif yang berfungsi menghimpun dan mengelola hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait wajib mengajukan permohonan izin operasional kepada Menteri;
  • Penggunaan hak cipta dan hak terkait dalam sarana multimedia untuk merespon perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Sedangkan pada saat kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada tahun 2016 beliau mengundangkan UU No. 13 tahun 2016 tentang Paten. Yang UU ini menggantikan UU No. 14 tahun 2001 mengenai Paten. Selain itu UU No. 20 tahun 2016 mengenai Merek dan Indikasi Geografis juga diundangkan, yang UU tersebut menggantikan UU No. 15 tahun 2001 mengenai Merek.

Referensi

[1] Syafrinaldi, Sejarah dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, dikutip dari Jurnal Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2013, hlm 3.

[2] Suharno, Pengertian dan Sejarah Hak Kekayaan Intelektual, dikutip dari Modul 1, hlm 16.

[3] Ibid , hlm 17.

[4] Ibid, hlm 18.

[5] Sejarah Perkembangan HKI , dikutip dari HKI.CO.ID di HKI.CO.ID, pada 05 November 2019, pukul 19:56 WIB.

[6] Letezia Tobing, Ini Hal Baru yang Diatur di UU Hak Cipta Pengganti UU No. 19 Tahun 2002, dikutip dari Hukum Online, di https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54192d63ee29a/uu-hak-cipta-baru/, pada 18 Agustus 2019, pukul 18:06 WIB.

1 Like