Bagaimana sejarah perkembangan ilmu Arkeologi?

Menurut Mundardjito, dalam artikelnya yang berjudul “Paradigma dalam Arkeologi Maritim”, Arkeologi dilahirkan dan berkembang dari antiquarianism Eropa, khususnya Renaissanse Italia, yang diwujudkan dalam upaya pencarian dan penemuan tinggalan monumen-monumen purbakala. Kegiatan tersebut melahirkan gambaran mengenai beraneka ragam kebudayaan di dunia, yang kemudian menjadi inti dari kajian ilmu arkeologi dan antropologi.

###Masa 1492-1840

Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah konsep yang lebih luas yaitu bahwa perbedaan bentuk kebudayaan tidak hanya disebabkan oleh perbedaan waktu, tetapi juga oleh perbedaan ruang (geografik). Dalam masa sekitar tahun 1492- 1840 arkeologi belum merupakan suatu disiplin ilmiah, dan banyak spekulasi yang disusun dari belakang meja (armchair speculation).

Pada umumnya dalam masa spekulatif ini data arkeologi diperoleh dari kegiatan para antiquarian (peminat barang antik) yang menyurvei dan menggali situs tanpa rencana penelitian, serta dari looters yang melakukan penggalian-penggalian liar.

Dari pandangan antiquarianism tersebut di atas, lahirlah kemudian pemikiran arkeologi yang sistematik seperti: perkembangan kebudayaan manusia yang disusun atas dasar “Sistem Tiga Zaman” dari Christian Thomsen (bahwa kebudayaan berkembang secara unilineal dari zaman batu, lalu zaman perunggu, dan akhirnya zaman besi), dan “Hukum Worsaae” (bahwa benda- benda yang terkuburkan bersama-sama dalam satu kubur merupakan benda- benda yang dipakai pada waktu yang sama, karena itu pertanggalannya juga sama).

###Masa 1840-1914

Dalam masa klasifikasi-deskriptif ini sekitar tahun 1840-1914 terdapat perubahan sikap dan cara pandang arkeolog yang berusaha menjadikan arkeologi sebagai disiplin yang sistematik dan saintifik.

###Masa 1914-1940

Dalam masa berikutnya sekitar tahun 1914-1940 para arkeolog memberi perhatian kepada kronologi dengan menerapkan “Teori Deposisi Stratigrafik” (Lyell) dan “Teori Evolusi Biologis” (Darwin), yang kemudian berkembang kepada “Teori Evolusi Budaya” dan “Teori Evolusi Masyarakat” (Tylor dan Morgan). Dalam masa “klasifikasi-historikal” ini muncul apresiasi terhadap sains dengan rasionalismenya, yaitu ketika kegiatan industrialisasi di Eropa dan Amerika mulai berkembang.

Banyak kegiatan arkeologi-lapangan diselenggarakan dalam jangka waktu panjang, sehingga lahirlah ahli-ahli
arkeologi yang profesional. Kronologi dapat dicapai lebih baik karena pengurutan tarikh dari benda-benda arkeologi (seriation) dikaitkan dengan hasil kajian stratigrafi. Tipologi dan klasifikasi yang sudah dimulai dalam masa sebelumnya, sekarang dikaitkan dengan metode stratigrafik dan seriasi.

###Masa 1940-1960

Sekitar tahun 1940-1960 hubungan dimensi bentuk-ruang-waktu mulai dikembangkan, dan para peneliti berupaya mencari jejak-jejak dari difusi budaya yang pernah terjadi. Berkembanglah sekurang-kurangnya tiga macam pendekatan utama yang ada dalam masa ini:

  1. Pendekatan yang menganggap bahwa artefak seyogianya difahami sebagai benda materi dalam suatu sistem perilaku budaya masyarakat, sehingga perhatian para ahli arkeologi terpusat pada kajian terhadap konteks temuan di dalam situs arkeologi (in situ) untuk mencapai kesimpulan fungsional. Fungsi suatu benda dapat ditafsirkan secara benar jika dikaji dalam konteks temuan-temuan lain (associated finds) di dalam suatu situs (conjunctive approach dari W.W. Taylor). Dalam kajian konteks-fungsional diperlukan pula bantuan ilmu-ilmu lain (multidisciplinary), termasuk sains seperti geologi, geografi, botani, biologi, analisis bahan, kimia, dan metalurgi untuk mengetahui tempat asal dari barang komoditas dan proses pembuatan artefak. Di atas semua itu penemuan pertanggalan mutlak dengan radiocarbon (C-14) adalah yang teramat penting.

  2. Pendekatan yang beranggapan bahwa hubungan antara kebudayaan dan lingkungan alam adalah penting, maka dalam kajian arkeologi para arkeolog mengaitkan aspek budaya manusia dengan aspek sumber daya alam (cultural ecology), yang mengawali pendekatan ekosistem (ecosystem) yang muncul kemudian.

  3. Pendekatan yang beranggapan bahwa pola permukiman merupakan kunci yang penting untuk memahami adaptasi sosio-ekonomik dan organisasi sosio-politik, serta cara manusia mengatur dirinya di permukaan bumi berkaitan dengan bentuk alam dan komuniti lain di sekitarnya. Dalam masa ini para ahli arkeologi berupaya untuk melakukan rekonstruksi
    lebih rinci mengenai cara-cara hidup dari kelompok manusia, dengan memperhatikan fungsi serta hubungan antara kebudayaan dan lingkungan fisik, dan setelah itu perkembangannya diarahkan kepada berbagai upaya untuk memahami struktur sosialnya.

###Masa 1950-an

Dalam tahun 1950-an terdapat ketidakpuasan dalam hal cara penelitian arkeologi itu diselenggarakan. Ketidakpuasan ini tidak ditujukan kepada pelaksanaan teknik ekskavasi, melainkan kepada cara menarik kesimpulan suatu penelitian, cara arkeolog menerangkan hasil penelitian, serta prosedur yang digunakan dalam penalarannya. Ketidakpuasan yang paling mendasar disebabkan oleh kenyataan bahwa kesimpulan penelitian tidak pernah menerangkan sesuatu, tetapi dikaitkan misalnya dengan konsep migrasi manusia dan mengenai pengaruh-pengaruh budaya yang diperkirakan.

###Masa 1960-an

Dalam tahun 1960-an muncul kembali konsep evolusi yang sudah ada sejak tahun 1950-an. Timbul perhatian kepada teori sistem dalam arkeologi, konsep ekosistem, dan teknik statistik serta peranan komputer. Demikian pula penggunaan penalaran deduktif, dan filsafat ilmu pengetahuan yang beraliran positivisme mengemuka dalam masa ini. Muncul satu gerakan ilmiah baru yang dikenal dengan nama ‘New Archeology’, yang perspektifnya dapat kita lihat dari tiga sikap dasar yang melatarinya.

  • Pertama, memberi tekanan perhatian kepada penggambaran proses budaya.
  • Kedua, memiliki optimisme yang besar terhadap kemungkinan berhasilnya eksplanasi prosesual, dan tercapainya hukum dinamika budaya.
  • Ketiga, mereka menganggap bahwa arkeologi harus juga relevan dengan permasalahan dunia masa kini.

Dari ketiga sikap yang melatari pandangan mereka itu kita dapat menelusuri pendekatan utamanya sebagai berikut:

  1. Pendekatan evolusioner atau yang berperspektif sejarah;
  2. Pendekatan sistemik dari kebudayaan dan masyarakat yang berasal dari teori general systems;
  3. Pendekatan penalaran deduktif.

Aspek-aspek lain dari New Archeology merupakan perluasan dari ketiga pendekatan dasar tadi dalam memandang data arkeologi.

Pendekatan evolusioner memungkinkan timbulnya anggapan bahwa aspek tekno- ekonomik dari kebudayaan merupakan faktor penentu yang paling utama di dalam perubahan, sedangkan faktor sosial dan ideologi datang kemudian.

Hal ini berbeda misalnya dengan pendekatan historical development dari Willey dan Phillips yang tidak mengusahakan kajian kausalitas. Dalam masa ini proses budaya merupakan tujuan pokok arkeologi, dan untuk kepentingan kajiannya diperlukan berbagai disiplin ilmu lain.

Di Amerika Serikat Lewis R. Binford menawarkan pendekatan baru terhadap masalah interpretasi arkeologi. Binford dan kawan-kawan menyadari adanya potensi yang besar dari bukti arkeologi untuk penelitian aspek sosial ekonomi dari masyarakat masa lalu. Pandangan mereka lebih optimis daripada arkeolog sebelumnya. Mereka mengusulkan agar penalaran arkeologi harus eksplisit.

Penarikan kesimpulan tidak hanya didasarkan atas otoritas seseorang dalam menyusun interpretasi tetapi harus didasarkan atas kerangka argumentasi yang logis, eksplisit, serta harus terbuka untuk diuji oleh orang lain. Mereka berusaha menerangkan (explanation) dan bukan hanya memerikannya (explication) secara sederhana. Oleh karena itu, harus disusun generalisasi yang sahih.

Mereka menghindari pembicaraan mengenai pengaruh dari satu kebudayaan terhadap kebudayaan lain. Sebaliknya mereka lebih cenderung untuk menganalisis suatu kebudayaan sebagai sistem yang dipecah ke dalam beberapa subsistem atau unsur-unsur budaya. Hal ini memberi kemungkinan untuk mengetahui hal-hal tentang mata pencaharian, teknologi, subsistem sosial, subsistem ideologi, perdagangan, demografi dan lain-lain.

Mereka kurang memberi penekanan pada kajian tipologi artefak dan klasifikasi. Demikianlah, mereka sebenarnya menyiapkan penggunaan pendekatan ekologi yang sudah ada sejak tahun 1950-an secara lebih tertib.
Untuk mencapai tujuan ini pendekatan sejarah agak dijauhi, sebaliknya “ilmu-ilmu keras” didekati. Hal semacam ini juga terjadi di Inggris, seperti dikemukakan oleh David L. Clarke yang menghendaki penggunaan teknik kuantitatif dalam penelitiannya, sehingga dimungkinkan untuk menggarap himpunan data yang besar secara statistik dengan bantuan komputer untuk pengujian signifikansi misalnya, bukan dengan pendekatan kualitatif yang sederhana.

Demikian pula diusahakan memperoleh gagasan dari disiplin lain, terutama geografi. Para ahli arkeologi dari aliran ini berpendapat bahwa arkeologi haruslah menunjukkan peranannya dalam upaya menjelaskan perubahan budaya yang terjadi pada masa lalu. Oleh karena itu, kegiatannya dipusatkan pada upaya eksplanasi, bukan hanya pada deskripsi yang menghasilkan rekonstruksi sejarah kebudayaan dan rekonstruksi cara hidup. Untuk dapat menerangkan proses perubahan budaya diperlukan teori yang eksplisit.

Penjelasan yang diupayakan seharusnya ada dalam rangka proses budaya, yang dapat menerangkan bagaimana perubahan sistem ekonomi dan sosial telah terjadi pada masa lalu.

Prosedur penelitian yang dilakukan didasarkan pada penalaran deduktif, yaitu yang diawali dengan perumusan hipotesis, penyusunan model, dan deduksi; tidak sekadar melakukan “piecing together the past”. Kesimpulan yang ditarik dengan cara menguji hipotesis merupakan prosedur yang dianggap sahih, bukan atas dasar otoritas atau senioritas seorang peneliti.

Fokus penelitian harus dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik secara efisien. Penelitian tidak diselenggarakan hanya atas dasar tujuan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, yang dalam kenyataannya mungkin tidak relevan dengan tujuan penelitian. Sikap mereka lebih positif dalam menghadapi penelitian yang rumit sekalipun, dan menganggap bahwa masalah arkeologi tidak dapat dipecahkan apabila mereka tidak pernah mencoba melakukannya. Mereka lebih optimis dan tidak bersikap pesimis terhadap keterbatasan data arkeologi (secara kuantitatif dan kualitatif) untuk merekonstruksi sistem sosial dan sistem ideologi masyarakat masa lalu

###Masa 1960-1970

Dalam tahun 1960—1970 makin banyak data dan interpretasi arkeologi yang baru. Pandangan yang sudah ada dalam masa 1960-an tetap diteruskan dan ternyata mempengaruhi perubahan sikap dari kebanyakan arkeolog. Perubahan sikap ini tercermin dalam upaya menghubungkan antara tujuan untuk memahami proses budaya dengan tujuan merekonstruksi sejarah kebudayaan, sehingga perbedaan di antara keduanya makin berkurang.

Dalam masa ini paradigma New Archaeology mempengaruhi perkembangan Historical Archaeology, yaitu dari sifatnya yang partikularistik kepada pandangan yang lebih luas sebagaimana dianut dalam Anthropological Archaeology. Perpindahan tekanan perhatian ini disebabkan oleh dua faktor:

  1. Ahli arkeologi-sejarah mulai menyadari pentingnya data yang partikularistik itu dikendalikan dengan cermat untuk dievaluasi serta disumbangkan kepada metodologi perekaman data dan interpretasi untuk kepentingan penyusunan teori; dan
  2. Pertumbuhan yang cepat dari kajian manajemen sumber daya budaya (cultural resource management), yang seringkali meliputi situs prasejarah dan sejarah, telah menyebabkan arkeolog berlatar belakang antropologi memahami masalah arkeologi sejarah.

Dengan demikian teori- teori antropologi masuk pula ke dalam studi arkeologi-sejarah (South 1977). Arkeologi-sejarah di Amerika dengan demikian memberi sumbangan juga pada perkembangan metode arkeologi dan teori perubahan budaya. Apabila dalam awal tahun 1960 mulai diperkenalkan gagasan New Archeology dan pada masa berikutnya gagasan itu diterapkan dalam sejumlah besar penelitian dengan berbagai topik, maka dalam periode 1970- an berkembanglah penemuan-penemuan baru dalam bidang metodologi dan teori. Banyak sekali kajian yang menggunakan teori tingkat rendah dan tingkat menengah yang diperlukan untuk menguji hipotesis-hipotesis dalam rangka uaya memahami sebab-sebab terjadinya perubahan budaya.

Penelitian semacam itu menghasilkan konsep yang dibutuhkan dalam usaha menghubungkannya dengan teori tingkat tinggi. Di antara teori rendah dan tengah yang kita kenal misalnya adalah kajian Schiffer (1976) yang berkenaan dengan proses formasi budaya (cultural formation process) dan formasi bukan-budaya (non-cultural formation process) yang berpangkal pada konsep bahwa tinggalan arkeologi dan struktur persebarannya merupakan pencerminan yang terganggu dari sistem perilaku manusia masa lalu.

Oleh sebab itu, tafsiran arkeologi atas dasar konsep in situ perlu dikaji lebih kritis dengan memperhatikan proses-proses transformasi yang pernah terjadi di suatu situs .

###Masa Setelah 1970

Setelah tahun 1970-an perkembangan arkeologi pada dasarnya tidak bergeser banyak dari pandangan New Archeology, dan tetap berfokus pada penelitian prosesual. Baru pada akhir-akhir ini ada pandangan baru yang sering disebut sebagai pascaprosesual (post processual). Sebagaimana diketahui penelitian arkeologi prosesual didasarkan atas metodologi penelitian deduktif yang menggunakan rancangan penelitian formal sebagai awal, perumusan hipotesis yang eksplisit dan yang dapat diuji, serta meguji hipotesis dengan data yang telah dikumpulkan.

Seringkali hipotesis awal dibuat berdasarkan data yang diperoleh melalui strategi induktif sejarah kebudayaan. Dua pendekatan yaitu deduktif-nomologikal dan sistem-ekologikal termasuk golongan pendekatan arkeologi prosesual. Dalam pendekatan deduktif-nomologikal digunakan metodologi formal saintifik yang didasarkan pada general laws, yang menganggap bahwa dunia ini terdiri dari gejala yang mampu kita amati, dan bergerak dengan cara yang teratur. Dengan kata lain dunia dapat dijelaskan dengan prediksi atas serangkaian gejala yang menunjukkan keteraturan tertentu.

General laws (yang menguasai pula perilaku manusia) yang diterapkan para arkeolog diambil dari disiplin antropologi dan ilmu sosial lainnya. Meski demikian, kini ada juga arkeolog yang menolak asumsi bahwa general laws itu ada, dan bahwa metode saintifik deduktif dari ilmu fisika dan sains lainnya tidak tepat digunakan untuk data arkeologi.

Pendekatan sistem-ekologikal berusaha mengkaji cara berfungsinya sistem- sistem budaya, baik secara internal maupun terkait dengan faktor eksternal seperti lingkungan. Pendekatan ini didasarkan pada tiga model perubahan budaya yaitu:

  • Model systems, yang berpangkal pada teori general systems;
  • Model ekologi budaya, yang melahirkan model interaksi yang rumit antara kebudayaan dengan lingkungan; dan
  • Model evolusi budaya multilinier, yang menggabungkan dua pendekatan tersebut di atas ke dalam satu teori evolusi budaya yang kumulatif dalam jangka waktu panjang melalui adaptasi yang kompleks terhadap lingkungan.

Akhir-akhir ini terdapat sejumlah arkeolog yang memberikan reaksi terhadap pendekatan evolusioner dan fungsional yang dikembangkan dalam arkeologi prosesual. Mereka sering digolongkan sebagai arkeolog pascaprosesual, namun menurut Willey dan Sabloff pendekatan ini masih dapat digolongkan ke dalam jalur New Archeology yang tetap berupaya mencapai eksplanasi, bukan sekedar deskripsi.

Arkeologi pascaprosesual berkembang ke dalam apa yang dinamakan Hodder sebagai arkeologi struktural (structural archaeology), atau arkeologi kognitif (cognitive archaeology), yang terutama memberi peran kepada idea (gagasan) dan simbol kebudayaan masa lalu dalam melakukan eksplanasi. Mereka berpendapat bahwa kebudayaan arkeologi diciptakan oleh para pendukungnya (social construct), sehingga perlu dipertanyakan apakah penjelasan kita sekarang sudah benar (pendekatan emik). Arkeologi struktural berupaya menganalisis pola-pola kebudayaan (seperti pendekatan normatif) dan transformasinya.

Pola-pola kubur di pemakaman kuna bukan sekedar pencerminan dari perilaku dan pola masyarakat, tetapi merupakan struktur dalam konteks simbolik. Arkeologi kognitif ini menganalisis pola-pola yang terletak jauh di belakang kebudayaan materi.

Bentuk lain dari arkeologi pascaprosesual yaitu arkeologi kritis (critical archaeology). Arkeologi kritis berasumsi bahwa ahli arkeologi adalah aktor dalam kebudayaan kontemporer, karena itu mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat sekarang. Rekonstruksi masa lalu yang disusun arkeolog harus mempunyai fungsi dalam masyarakat sekarang. Demikianlah arkeologi kritis berupaya mengkaji pola yang berada di belakang kebudayaan materi yang dipelajarinya dan yang berkaitan dengan konteks masa kini. Banyak kajian arkeologi kritis yang memusatkan perhatiannya pada pemahaman golongan masyarakat yang semula tidak diperhitungkan (class interest) seperti golongan tertindas, orang Negro, perempuan, dan sebagainya.

Para ahli arkeologi di dunia kini sependapat bahwa ilmu arkeologi mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu:

  1. Rekonstruksi sejarah kebudayaan;
  2. Rekonstruksi cara hidup masyarakat masa lalu; dan
  3. Penggambaran proses-proses budaya.