Bagaimana sejarah pemberontakan Shimabara ?

pemberontakan Shimabara

Daerah Shimabara, pada saat itu banyak dipengaruhi oleh budaya barat dan orang Kristen, tetapi Matsukura Shigemasa, penguasa daerah tersebut, menindas keberadaan Kristen secara kasar. Penindasan tersebut menyebabkan Pemberontakan Shimabara pada tahun 1637-1638. Pemberontakan Shimabara merupakan perang saudara terbesar oleh umat Kristen dalam sejarah Jepang.

Bagaimana sejarah pemberontakan Shimabara ?

Pemberontakan Shimabara (Shimabara no ran) adalah pemberontakan bersenjata pada awal zaman Edo yang melibatkan kaum petani, orang Kristen dan ronin di wilayah Semenanjung Shimabara, Provinsi Hizen, Jepang. Pemberontakan berlangsung dari tahun 1637 hingga awal 1638, dan merupakan pemberontakan besar pertama sejak penyatuan Jepang di bawah kekuasaan Keshogunan Tokugawa.

Dalam rangka membangun istana baru milik klan Matsukura di Shimabara, pemerintah setempat menaikkan pajak secara berlebihan yang memicu kemarahan dari petani lokal dan para ronin. Ketidakpuasan terhadap pemerintah juga diperburuk dengan adanya penindasan terhadap orang Kristen setempat yang berakhir dengan pecahnya pemberontakan bersenjata pada tahun 1637. Keshogunan Tokugawa mengirimkan lebih dari 125.000 prajurit untuk mengepung para pemberontak yang bertahan di Istana Hara. Setelah pemberontakan dipadamkan, pemimpin pemberontak bernama Amakusa Shiro dipancung, dan Kekristenan semakin dilarang. Kebijakan negara tertutup semakin diperketat, dan pemburuan sewenang-wenang terhadap orang Kristen terus berlanjut hingga tahun 1850-an.

Shimabara pada zaman Sengoku adalah wilayah kekuasaan klan Arima yang penganut Kristen, sehingga sebagian besar penduduk telah menerima agama baru yang disebarkan oleh kaum misionaris Spanyol dan Portugis. Klan Arima kehilangan wilayah kekuasaannya pada tahun 1614, dan wilayah bekas milik klan Arima diberikan kepada Matsukura Shigemasa. Shigemasa awalnya bersikap lunak pada orang-orang Kristen di Shimabara, namun belakangan mulai menindas mereka untuk meyakinkan kesetiaannya pada shogun.

Pada pertengahan tahun 1630-an, petani di Semenanjung Shimabara dan Kepulauan Amakusa memberontak melawan para tuan tanah mereka. Pemberontakan ini terutama terjadi di wilayah yang dikuasai Matsukura Katsuie di Domain Shimabara, dan Terazawa Katataka di Domain Karatsu. Walaupun sering disebut sebagai pemberontakan berlatar belakang agama, Pemberontakan Shimabara juga disebabkan ketidakpuasan terhadap beban pajak yang berlebihan dan penderitaan akibat paceklik. Tidak hanya di kalangan petani, ketidakpuasan juga dirasakan kalangan nelayan, perajin, dan pedagang. Setelah pemberontakan meluas, para ronin yang dulunya mengabdi untuk klan Amakusa, klan Shiki, klan Arima, dan kan Konishi juga ikut memberontak.

Untuk mencari muka pada shogun, Shigemasa ikut serta dalam berbagai proyek konstruksi, termasuk pembangunan dan perluasan Istana Edo, dan membangun istana baru di Shimabara. Pembiayaan proyek-proyek berasal dari pajak yang harus dibayar oleh penduduk di wilayah kekuasaannya. Penduduk semakin marah setelah Shigemasa melakukan persekusi terhadap penganut Kristen di Shimabara. Penindasan agama Kristen yang dilakukan Shigemasa bahkan membuat terkejut orang Belanda yang diizinkan berdagang di pos perdagangan Nagasaki. Shigemasa juga mengajukan proposal ambisius berupa penyerbuan ke Pulau Luzon, Filipina. Pada waktu itu, Spanyol menjadikan Luzon sebagai basis untuk menyebarkan agama Kristen ke Jepang. Setelah proposal itu mendapat persetujuan, Shigemasa segera melakukan persiapan dengan meminjam modal dari para pedagang di Sakai, Hirato, dan Nagasaki untuk membiayai perang. Shogun Tokugawa Iemitsu akhirnya membatalkan rencana penyerangan Luzon dengan alasan belum siap dan situasi dalam negeri yang belum sepenuhnya stabil.

Shigemasa meninggal tahun 1630 dan digantikan oleh putranya, Matsukura Katsuie yang mewarisi kebijakan dan utang ayahnya. Pajak dinaikkan secara drastis, dan tindakan Katsuie terhadap mereka yang tidak mampu membayar pajak bahkan lebih kejam daripada ayahnya. Banyak petani miskin yang tewas karena siksaan akibat tidak bisa membayar pajak. Penindasan terhadap orang Kristen pun semakin menjadi-jadi.

Penduduk di Kepulauan Amakusa yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Konishi Yukinaga juga mengalami nasib serupa ditindas oleh klan Terazawa. Dalam kondisi tertekan, tersebar desas-desus di kalangan rakyat yang mengatakan bahwa akan muncul seorang Juru Selamat yang membebaskan mereka dari penderitaan.