Bagaimana Sejarah Pasar Modal di Indonesia?

Sejarah Pasar Modal di Indonesia

Pasar modal merupakan media alternatif pendanaan bagi pengembangan dunia usaha.

Bagaimana Sejarah Pasar Modal di Indonesia?

Sejarah Pasar Modal di Indonesia


Pasar modal merupakan media alternatif pendanaan bagi pengembangan dunia usaha. Melalui pasar modal dana dari investor secara khusus membantu dunia usaha mengembangkan tujuannya. Pasar modal juga secara umum berperan strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia dari awal kemerdekaan sampai saat ini. Dalam dinamika kegiatan pasar modal, aspek-aspek regulasi pasar modal terus berkembang sesuai dengan zamannya. Untuk memahami aspek-aspek hukum terkait kegiatan pasar modal di Indonesia, kita dapat menganalisanya melalui perkembangan sejarah pasar modal di Indonesia.

Perkembangan pasar modal di Indonesia berjalan seiring aktivitas ekonomi saat itu serta siapakah pemegang regulator yang menghasilkan aturan hukum pasar modal. Adapun periodisasi kegiatan pasar modal di Indonesia dapat dibagi ke dalam 8 periode, yaitu :

  1. Periode Permulaan (1878-1912)
  2. Periode Pembentukan Bursa (1912-1925)
  3. Periode Awal Kemerdekaan (1925-1952)
  4. Periode Kebangkitan (1952-1977)
  5. Periode Pengaktifan Kembali (1977-1987)
  6. Periode Deregulasi (1987-1995)
  7. Periode Kepastian Hukum (1995-sampai sekarang)
  8. Periode Menyongsong Independensi Bapepam

Untuk lebih jelas perkembangan dinamika pasar modal Indonesia akan ditinjau pada masing-masing periode.

1. Periode Pemulaan (1878-1912)
Periode pasar modal pada masa 1878-1912 dapat dikatakan sebagai periode permulaan pasar modal di Indonesia. Menurut Buku Effectengids yang dikeluarkan Vereniging voor dan Effectenhandel pada tahun 1939, transaksi efek yang menjual saham dan obligasi telah berlangsung sejak 1880. Walaupun telah ada transaksi saham dan obligasi tetapi suatu lembaga bursa belum dikenal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perdagangan saham dan obligasi yang dilakukan emiten dan investor saat periode ini, dilakukan tanpa organisasi resmi dan berujung pada pencatatan tentang transaksi tersebut tidak lengkap.

2. Periode Pembentukan Bursa (1912-1925)
Pada periode 1912-1925, kegiatan transaksi pasar modal mengalami perkembangan. Dimana pihak-pihak terkait dalam pasar modal mulai menyadari pentingnya suatu lembaga penyelenggara bursa. Pada periode ini, tanggal 14 Desember 1912 di Batavia terbentuklah Veregining voor den Effectenhandel (Bursa Efek), yang kemudian diikuti dengan pendirian Bursa Efek di Surabaya tanggal 11 Januari 1925 dan dilanjutkan pada 1 Augustus 1925 didirikan Bursa Efek Semarang.

Dengan terbentuknya lembaga bursa, diharapkan oleh pemerintah Belanda saat itu akan terjadi relaksasi perekonomian. Dimana melalui lembaga bursa dapat terjaring dana-dana investor untuk membiayai industri perkebunan milik Belanda yang tumbuh pesat di Indonesia. Sebagai lembaga bursa (Veregining voor den Effectenhandel) memperdagangkan Efek. Efek yang diperjualbelikan adalah berupa saham dan obligasi perusahaan-perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, Obligasi yang diterbitkan pemerintah Hindia Belanda baik pemerintah pusat, provinsi, dan kota oraja, serta efek-efek perusahaan di negeri Belanda.

3. Periode Awal Kemerdekaan (1925-1952)
Perkembangan kegiatan pasar modal di Indonesia pada periode 1925- 1952 mengalami pasang surut. Pada tahun 1929, ekonomi dunia mengalami resersi yang kemudian diikuti terjadinya perang dunia II. Kedua faktor ini mengakibatkan kegiatan bursa efek di negeri Belanda tidak aktif karena sebagian saham milik orang-orang Belanda dirampas oleh Jerman.

Peristiwa yang terjadi di Belanda ternyata memberi efek negatif dalam kegiatan pasar modal di Indonesia. Lembaga-lembaga bursa mengalami ketidakpastian hukum sehingga investor pun enggan melakukan transaksi pasar modal melalui bursa. Puncak dari masalah ini adalah terjadinya penutupan Bursa Efek Surabaya dan Semarang, yang diikuti juga penutupan Bursa Efek Jakarta pada 10 Mei 1940.

Upaya untuk mengaktifkan bursa kembali terus dilakukan. Dan pada Tanggal 23 Desember 1940 Bursa Efek Jakarta kembali diaktifkan, karena selama PD II, Bursa Efek Paris tetap berjalan, demikian pula halnya dengan Bursa Efek London yang hanya ditutup beberapa hari saja. Akan tetapi, aktifnya Bursa Efek Jakarta tidak berlangsung lama, karena Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, Bursa Efek Jakarta kembali ditutup.

Pada tahun 1947 pemerintah berencana untuk membuka kembali Bursa Efek Jakarta. Akan tetapi, rencana ini tertunda karena terhambat oleh situasi ekonomi yang amat buruk yang kian hari kian memburuk. Sejak penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah RI oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1949, beban utang luar negeri dan dalam negeri kian membengkak, sehingga menyebabkan defisit yang sangat besar. Keadaan tersebut membuat pemerintah Indonesia memprioritaskan pembukaan kembali Bursa Efek Jakarta dalam program kerjanya, agar masyarakat tidak dirugikan. Untuk menunjang maksud itu, pemerintah Indonesia mengerluarkan Undang-Undang Darurat No.13 Tahun 1953 yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang No.15 Tahun 1952 yang mengatur bursa efek. Kemudian, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 28973/UU tanggal 1 November 1951 penyelenggaraan bursa efek diserahkan kepada Perserikatan Uang dan Efek-Efek (PPUE) serta Bank Indonesia (BI) ditunjuk sebagai penasihat dan selanjutnya dilakukan pemilihan pengurus. Pengurus tersebut bertugas menyiapkan rapat umum pertama para anggota, rencana anggaran dasar dan Peraturan Rumah Tangga, Peraturan-peraturan yang diperlukan, serta penyediaan fasilitas kantor dan bursa untuk perdagangan efek.

4. Periode Kebangkitan (1952-1976)
Dengan dibukanya kembali Bursa Efek Jakarta melalui keputusan rapat umum PPUE, tanggal 3 Juni 1952 maka periode kebangkitan bursa dimulai. Untuk melaksanakan aktivitasnya lembaga Bursa efek Jakarta memiliki kantor di gedung De Javasche Bank (Bank Indonesia), Jakarta Kota. Perdagangan efek pada periode ini baru dimulai 4 juni 1952, dan operasional bursa dilakukan oleh PPUE yang beranggotakan beberapa bank negara, bank swasta nasional, dan para pialang efek. Yang diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta pada saat itu adalah:
• Obligasi Pemerintah RI, seperti Obligasi RI tahun 1950.
• Obligasi Kota Praja Bogor.
• Obligasi dan Efek dari perusahaan Belanda.

Kemudian, tanggal 26 September 1952, merupakan salah satu tonggak sejarah hukum Pasar Modal Indonesia, dimana saat itu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.15 tahun 1952 sebagai Undang-Undang darurat yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Bursa. Hal ini diikuti dengan penyempurnaan peraturan-peraturan pelaksana agar penyelenggaraan dan aktivitas dapat berjalan dengan baik. Hal ini dilakukan oleh PPUE dalam kurun waktu 1953-1957. Pada tanggal 24 februari 1953 dikeluarkanlah untuk pertama kalinya Daftar Kurs Resmi (DKR). Setahun kemudian dilakukan berbagai kegiatan dibidang penerbitan saham, pinjaman-pinjaman obligasi (1954). Tetapi, dalam periode kebangkitan ini bursa mengalami hambatan. Memasuki tahun 1958 keadaan perdagangan efek ini menjadi lesu dikarenakan beberapa hal, yaitu :

  1. Banyaknya warga Belanda yang meninggalkan Indonesia.
  2. Adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda oleh Pemerintah RI sesuai dengan Undang-Undang No.86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi.
  3. Tahun 1960 Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) melakukan larangan memperdagangkan efek-efek yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia termasuk efek-efek dengan nilai mata uang Belanda (Nf).

Ketiga keadaan tersebut mengguncangkan sendi-sendi perekonomian serta kepercayaan masyarakat menjadi kembali berkurang terhadap pasar modal. Akibatnya, Bursa efek Jakarta ditutup dengan sendirinya, kondisi ini berlangsung sampai 1977.

5. Periode Pengaktifan Kembali (1977-1987)
Pada periode ini kita akan melihat bahwa suatu kebijakan politik pemerintahan ternyata dapat mempengaruhi kebijakan ekonomi dan hukum suatu negara. Pada periode 1952-1977, Pemerintah Indonesia dibawah Soekarno atau lebih dikenal dengan pemerintahan orde lama mengeluarkan kebijakan menolak modal asing masuk ke Indonesia serta kebijakan nasionalisasi. Hal ini membuat kegiatan pasar modal lesu, namun pergantian pemerintahan kepada Soeharto atau dikenal dengan pemerintahan orde baru merubah kebijakan politiknya.

Pemerintah orde baru sangat aktif mengundang modal asing masuk ke Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan pembukaan kembali kegiatan pasar modal. pemerintah orde baru melakukan beberapa upaya.

Puncak dari berbagai upaya pemerintah orde baru tersebut adalah pada tanggal 10 Agustus 1977 diresmikan pasar modal. Hal menarik pada awal pengaktifan pasar modal saat itu adalah lahirnya asas pemerataan kepemilikan saham kepada masyarakat luas, agar saham suatu perusahaan tidak hanya terkonsentrasi pada keluarga tertentu atau sekelompok orang tertentu. Sehingga diharapkan dengan adanya bursa saham, masyarakat umum diharapkan dapat ikut aktif melakukan investasi sehingga kemakmuran yang dihasilkan oleh pembangunan dapat dinikmati secara lebih merata.

6. Periode Deregulasi (1987-1995)
Pada periode 1987-1995, pemerintah orde baru melihat bahwa perkembangan kegiatan pasar modal haruslah diikuti dengan perkembangan regulasi kegiatan pasar modal. Pemerintah saat itu sangat membutuhkan lembaga pasar modal sebagai salah satu faktor pendukung akselerasi ekonomi yang dilakukan pemerintah. Guna mendukung kegiatan pasar modal, pemerintah Orde Baru melakukan perombakan peraturan-peraturan yang menghambat minat perusahaan untuk masuk pasar modal dan investor untuk melakukan investasi pada pasar modal Indonesia.

  • Pada tahun 1987, pemerintah meluncurkan sejumlah paket deregulasi dan kebijakan penting dibidang pasar modal. Deregulasi ini intinya adalah melakukan penyederhanaan dan merangsang minat perusahaan untuk masuk ke bursa serta menyediakan kemudahan-keudahan bagi investor. Kebijakan tersebut terlihat dari:

  • Paket Desember 1982 atau yang dikenal dengan nama “Pakdes”. Isinya antara lain menyangkut penghapusan persyaratan laba minimum 10% dari modal sendiri. Diperkenalkannya instrumen baru, yaitu saham atas unjuk, dibukanya bursa pararel sebagai arena perdagangan efek bagi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah. Dihapuskannya ketentuan batas minimum fluktuasi 4%.

  • Paket Oktober 1988 yang dikenal dengan nama “Pakto”. Melalui Pakto ini pemerintah melakukan terobosan-terobosan yang penting, berupa pengenaan pajak penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian kredit bank kepada nasabah perorangan dan nasabah grup, yaitu secara berturut-turut tidak lebih dari 20% dan 50% dari modal sendiri bank pemberi kredit. Penetapan persyaratan modal minimum untuk mendirikan bank umum swasta nasional, bank pembangunan swasta nasional, dan bank campuran. Kebijakan ini juga memberi peluang kepada bank untuk memanfaatkan pasar modal untuk memperluas permodalannya.

  • Paket Desember 1988, yang dikenal dengan nama Pakdes II, merupakan kebijaksanaan Pemerintah yang secara langsung menunjang pengembangan pasar modal. Pemerintah memberi kesempatan kepada swasta untuk mendirikan dan menyelenggarakan bursa diluar Jakarta. Hal ini untuk memudahkan investor diluar Jakarta untuk berinvestasi. Paket ini memungkinkan pula perusahaan untuk mencatatkan seluruh saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh di bursa (Company Listing).

  • Dibukanya izin bagi investor asing untuk membeli saham di bursa Indonesia. Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan No.1055/KMK.013/1989 tentang Pembelian saham oleh Pemodal Asing melalui Pasar Modal. Dengan keputusan ini pemerintah membuka kesempatan bagi investor asing untuk berpartisipasi di pasar modal Indonesia dalam pemilikan sahamsaham perusahaan sampai batas maksimum 49% di pasar perdana, maupun 49% saham yang tercatat dibursa efek dan bursa parallel. Keputusan Menteri Keuangan 455/KMK.01/1997 tentang Pemilikan Saham oleh Pemodal asing melalui Pasar Modal mencabut KMK No.1055/KMK.013/1989 tentang Pembelian saham oleh Pemodal Asing melalui Pasar Modal.

  • Kebijakan ini disusul dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No.1548/KMK.013/1990. Kemudian dibuah lagi dengan Keputusa Menteri Keuangan No.1199/KMK.010/1991. Dalam keputusan terakhir ini, dijelaskan bahwa tugas Bapepam yang mulanya bertindak sebagai penyelenggara bursa, kini BAPEPAM hanya bertindak sebagai badan regulator. Selain itu, pemerintah juga membentuk lembaga-lembaga baru seperti kustodian sentra efek Indonesia (KSEI) , Kliring dan Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), reksa dana, dan manajer investasi.

Jika selama masa 1984-1988 tidak satu pun perusahaan yang go public, tahun 1989 sejak deregulasi dilancarkan Pasar Modal Indonesia benar-benar booming. Selama tahun 1989 terdapat 37 perusahaan go public dan sahamnya tercatat (listed) di BEJ. Sedemikian banyaknya perusahaan-perusahaan yang mencari dana lewat pasar modal, sehingga pada masa itu masyarakat luaspun berduyun-duyun untuk menjadi investor. Pasar modal mengalami kemajuan yang pesat. Perkembangan yang menggembirakan ini terus berlanjut dengan swastanisasi bursa.

7. Periode Kepastian Hukum 1995-Sekarang
Periode Deregulasi memberi dampak positif pada kegiatan pasar modal. Dimana kebijakan-kebijakan regulasi pemerintah membantu peningkatan kepercayaan investor dan perusahaan terhadap pasar modal Indonesia. Kepercayaan itu ditandai dengan lahirnya Undang-undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 1996.

UndangUndang ini dapat dikatakan sebagai undang-undang yang cukup komprehensif, karena mengacu pada aturan-aturan yang berlaku secara internasional. Undang-Undang ini dilengkapi dengan PP No.45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal dan PP No.46 tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal. Kemudian ada beberapa keputusan menteri dan seperangkat peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam yang jumlahnya lebih dari 150 buah peraturan.

Salah satu hal yang perlu dicermati dalam Undang-Undang Pasar Modal adalah diberikannya kewenangan yang cukup besar dan luas kepada Bapepam selaku badan pengawas. Undang-Undang ini dengan tegas mengamanatkan kepada Bapepam untuk melakukan penyelidikan pemeriksaan dan penyidikan terhadap kejahatan yang terjadi di bidang pasar modal. Selain itu, Bapepam merupakan Self Regulation Organization (SRO) yang menjadikan Bapepam mudah untuk bergerak dan menegakkan hokum, sehingga menjamin kepastian hukum.

Dunia pasar modal global yang berkembang pesat pada periode ini, ternyata memberi pengaruh nyata pada kegiatan pasar modal di Indonesia. Pasca krisis ekonomi 1998, dilihat bahwa kegiatan pasar modal sangatlah rentan terhadap terjadinya transaksi-transaksi yang bernuansa spekulasi oleh pemodal besar. Yang dapat berakibat buruk terhadap ekonomi Indonesia. Maka diperlukan suatu lembaga yang bertugas melakukan pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal , reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Lembaga ini dinamakan Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Lembaga Otoritas Jasa Keuangan merupakan amanat dari pasal 34 ayat 1 dan 2 undang-undang no. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang berbunyi : (1) Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

Jika mengacu pada penjelasan pasal 34 ayat 1 dan 2, tugas lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak hanya mengawasi bank tetapi juga melakukan pengawasan terhadap perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, pasar modal dan modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Guna menjalankan fungsinya tersebut lembaga OJK dapat mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum.

Kelahiran OJK yang sesuai amanat UU Bank Indonesia harus dilakukan paling lambat 31 Desember 2010, tampaknya sulit terealiasi. Banyak faktor-faktor yang menghambat lahirnya lembaga ini. Mulai dari bentuk organisasinya, bagaimana pembagian kewenangan pengawasan dengan lembaga lain yang sudah ada seperi Bank Indonesia. Sampai saat ini, peraturan mengenai OJK yang menjadi payung hukum lembaga ini masih berupa Rancangan Undang-Undang dan masih digodok di DPR.

Kelahiran OJK merupakan salah satu upaya nyata pemerintah guna memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak terkait dalam kegiatan sektor keuangan yang didalamnya termasuk kegiatan pasar modal. Dengan terus berkembangnya sistem transaksi pasar modal dan mengalir dengan derasnya modal asing melalui pasar modal, maka dewasa ini peraturan hukum dan lembaga-lembaga terkait pengawasan pasar modal haruslah terus berkembang mengikuti perkembangan pasar modal. Sehingga hukum dapat sebagai fondasi fundamental yang kuat guna memberi rasa kepastian hukum dan transaparansi dalam kegiatan pasar modal.

Hingga saat ini kegiatan pasar modal Indonesia cukup menarik minat investor. IHSG terus memecahkan rekor, per posisi 27 October 2010 year to year IHSG dapat menyentuh 3.624.35 Posisi ini menunjukkan gairah kegiatan pasar modal Indonesia cukup menjanjikan. Namun kondisi ini harus terus diwaspadai, mengingat dalam kegiatan pasar modal sering adanya moral hazard, yang dapat memberi efek negatif. Perlunya kepastian hukum merupakan harga yang tidak bisa ditawar-tawar guna menciptakan pasar modal yang sehat dan kuat.

Sejarah Pasar Modal di indonesia

Cikal bakal pasar saham indonesia sudah ada sejak zaman Belanda, tepatnya pada tahun 1912 di kota Batavia (Jakarta). Pasar saham buatan pemerintahan kolonial Belanda tersebut merupakan pasar saham tertua ke empat di asia setelah Bombay, Hongkong, dan Tokyo. Pasar saham di pergunakan oleh pemerintahan belanda untuk memperdagangkan saham perusahaan Belanda di Indonesia terutama yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, dan jasa.

Pada masa kolonial pasar saham sering mengalami penutupan sementara seiring kondisi politik dunia yang tidak menentu akibat perang dunia pertama dan kedua. Ditambah lagi fakta pada masa itu pasar saham memiliki pertumbuhan yang sangat kecil. Kehancuran perekonomian secara struktural pasca perang dan geatdepression menjadi penyebab lamanya pertumbuhan pasar saham di dunia.

Selanjutnya setelah berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda, tepatnya pada tahun 1952, pemerintah Indonesia membuka kembali pasar saham. Akan tetapi, hingga tahun 1977 pasar saham Indonesia cendrung terbengkalai dan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal itu terbukti karena pemerintah masih disibukkan dengan program nasionalisasi perusahaan milik Belanda di seluruh wilayah nusantara.

Pembukaan pasar saham pada masa itu, kemudian di kenal dengan Bursa Efek Jakarta (BEJ), secara resmi baru dilakukan tahun 1977 oleh Presiden Soeharto yang di tandai dengan pencatatan saham PT Semen Cibinong Tbk. Selanjutnya pada tanggal 1 April 1983 BEJ memperkenalkan Index Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi indikator pergerakan saham pada pasar saham Indonesia.

Tetapi semenjak peresmian sampai dengan tahun 1987, pasar saham indonesia masih belum menjadi pilihan investasi bagi para investor. Kondisi tersebut disebabkan pasar saham indonesia hanya memiliki 24 perusahaan terdaftar, dan adanya pertyuran pentang pembatasan perubahan harga saham sebesar maksimal 4 % dalam 1 (satu) hari. Kedua hal diatas menyebabkan jumlah transaksi dan jumlah investor yang terlibat di pasar sangat kecil.

Pertumbuhan ekonomi yang sangat pasat membuat pemerintah perupaya menggairahkan pasar modal dengan kebijakan yang di sebut Paket Desember (PakDes) 1987 dan PakDes 1988 kedua paket tersebut berisi tentang pemberian wewenang yang lebih besar bagi lembaga penunjang pasar modal, kemudahan pendaftaran di bursa, pembentukan bursa pararel, dan yang utama adalah diizinkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.

PakDes 1987 dan 1988 terbukti ampuh untuk membangkitkan kembali pasar saham di Indonesia. Bangkitnya pasar saham ditandai dengan dibukanya Busra Efek Surabaya (BES) pada tahun 1989 dan terdaftarnya banyak perusahaan, khususnya bidang perbankan dan BUMN, ke pasar sahan Indonesia. Pada masa itu terjadi pertumbuhan yang luar biasa pasa kuantitas dan kualitas pasar saham, seperti dalam hal jumlah perusahaan terdaftar, transaksi, maupun investor, seiring dengan menggelitnya ekonomi indonesia.

Masa keemasan pasar saham di Indonesia terjadi pada era 1990-an. Puncak masa keemasan terjadi di tahun 1997 ketika IHSG berhasil mencapai level 750 dan kemudian jatuh hingga level 300 akibat krisis ekonomi pada tahun 1998. Pemulihan terjadi dalam kurun waktu lima tahun dimana IHSG berhasil menembus level phisikologis 800 pada bulan september 2004. Hingga sampai saat ini pasar saham Indonesia masih terus bertumbuh seiring dengan pasatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis moneter dan juga keberpihakan pemerintah kepada investor di pasar modal.