Bagaimana sejarah Open Door Policy Turki?

Bagaimana sejarah Open Door Policy Turki?

Bagaimana sejarah Open Door Policy Turki?

Berawal dari Arab Spring yang berada di Suriah, krisis kemunusiaanpun terjadi sehingga menimbulkan banyak korban yang terluka, kehilangan keluarganya bahkan meninggal dunia Sehingga warga yang mengalami penderitaan tersebut memilih tujuan ke negara yang lebih aman. Salah satu tujuan mereka adalah Turki. Erdogan akhirnya merespon datangnya arus pengungsi Suriah dengan menerapkan Open door policy yang berartikan kebijakan pintu terbuka bagi para pengungsi Suriah. Pengungsi diperbolehkan tinggal dan menetap di wilayah Turki.

Pada hakikatnya, kebijakan Open door policy tidak semata-mata berlangsung begitu saja. Sebelum Open door policy diterapkan, rekam jejak historis penerimaan pengungsi terbagi dalam beberapa masa. Pertama, Pada masa Utsmani. Tahun 1299-1923 merupakan masa kesultanan Utsmani yang menjadi pendahulu republik Turki serta mempunyai historis panjang berkenaan dengan imigrasi, emigrasi, dan migrasi sejak abad ke 14 tahun 1324 atas pimpinan Sultan Orhan I.

Saat Ottoman merebut Bursa tahun 1324 dan menjadikan ibukotanya, mereka mendapati komunitas Yahudi yang tertindas di bawah pemerintahan Bizantium. Ottoman yang datang tatakala itu, langsung disambut dan dianggap sebagai penyelamat oleh kaum Yahudi. Sultan Orhan mengizinkan mereka untuk membangun sinagoge Etz ha-Hayyim (pohon kehidupan) yang bertahan sampai 50 tahun yang lalu.

Kedua , masa sesudah perjanjian Lausanne 1923. Perjanjian Lausanne merupakan perjanjian yang disepakati oleh sekutu Perang Dunia 1 dan Turki pada tahun 1923. Perjanjian tersebut diadakan untuk menghentikan permasalahan antara negara sekutu dan Turki dalam upaya mendeklarasikan Turki sebagai negara yang berdaulat, regulasi mengenai batas wilayah, dan pembentukan hubungan diplomatik republik Turki yang baru dengan negara-negara Barat dan Timur Tengah. Tetapi dalam perjanjian Lausanne berisikan menganai kebijakan migrasi antara Yunani, Turki dan Bulgaria.

Dalam Lausanne Peace Treaty VI mengenai pertukaran warga Yunani dan Turki yang diadakan di Lausanne, 30 Januari 1923 terdapat 19 pasal. Pengimlementasian perjanjian Lausanne oleh Turki yakni kebijakan Population Exchange (Pertukaran Populasi). Maksud dari kebijakan tersebut adalah mengirim dan menerima minoritas masyarakat Turki yang berada di Yunani ke Turki, dan sebaliknya. Sementara dalam prakteknya tahapan pertukaran ke Bulgaria dilakukan tahun 1925.

Penerapan Population Exchange berdasarkan pada pertukaran yang diklasifikasikan melalui perbedaan agama. Jadi, warga yang beragama Islam dan memiliki keturunan Turki di Yunani maupun Bulgaria diharuskan untuk berpindah ke wilayah Turki. Sedangkan warga dengan minoritas Kristen keturunan Bulgaria dan Yunani yang tinggal di Turki harus pindah ke Yunani maupun Bulgaria.

Ketiga , masa imigrasi tahun 1970. Pada tahun ini merupakan fase Open door policy yang dipimpin oleh Cevdet Sunay (1966-1973) dengan kebijakan menerima dan mengirim tenaga kerja ke wilayah Eropa, khususnya Jerman. Perjanjian tersebut disepakati oleh Turki dan Uni Eropa yang ditandatangani tahun 1961.

Keempat , masa pengungsi Kurdi. Ketika etnis Kurdi melakukan eksodus dari wilayah Irak, maka disinilah krisis pengungi Kurdi berlangsung. Hal ini didasarkan karena terjadinya Perang Teluk II sebagai upaya pasukan Amerika menginvasi Irak pada tahun 1991. Kondisi tersebut membuat etnis Kurdi mencari tempat berlindung. Tahun 1988 sampai 1991, Turki telah menerima pengungsi dengan jumlah 700.000 – 800.000 pengungsi dari etnis Kurdi Irak dan Iran.

Kelima , masa Open door policy tahun 2011. Konflik yang menimpa Suriah antara rezim Assad dengan oposisi masih berlangsung. Sehingga warga yang berada di dalam negaranya tidak merasa nyaman dan menginginkan tempat tinggal yang aman bagi dirinya serta keluarganya. Beberapa negara telah menjadi tujuan mereka, salah satunya Turki karena letak wilayah yang berdekatan dengan Suriah.