Bagaimana sejarah musik Islam?

musik-islam-ilustrasi-_140213085751-680

Pada zaman sekarang, tempat mana yang bebas dari dendang musik? Musik Barat mewabah di setiap penjuru negeri. Bahkan, kini musik pop Asia pun menghipnotis para pemuda. Bagaimana dengan musik religi Islam? bagaimana sejarahnya?

Menilik sejarahnya, seni musik Islam sangat dipengaruhi musik Arab yang telah ada sebelum era Rasulullah SAW. Dalam bahasa Arab, musik berasal dari kata “ma’azif” dari akar kata “azafa” yang artinya berpaling.

Ma’azif merupakan kata plural dari mi’zaf, yakni sejenis alat musik pukul yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh masyarakat Yaman dan sekitarnya.

Dalam perkembangannya, mi’zaf bermakna alat musik, tanpa perincian jenis tertentu. Karena itu, masyarakat Arab biasa memaknai ma’azif dengan alat-alat musik atau sesuatu yang melalaikan.

Dari makna itulah kemudian dipahami mengapa musik sangat terbatas di masa awal Islam. Sebab, segala hal yang melalaikan tak disukai Rasulullah dan para sahabat. Meski demikian, bukan berarti musik sama sekali tak didendangkan pada era tersebut.

Apalagi bangsa Arab memiliki kebiasaan dan kemampuan sastra yang mendarah daging. Sebelum Islam datang, orang Arab biasa melantunkan lagu bertemakan kemenangan, peperangan, percintaan, dan keagamaan.

Menurut Philip K Hitti dalam History of The Arabs, lantunan himne keagamaan primitif telah memberikan pengaruh saat Islam datang. Hal ini nampak dalam talbiyah ritual haji, yakni ucapan “labbaika” para jamaah haji. Selain itu, tampak juga dalam lantunan tajwid saat membaca Alquran.

Dalam hal alat musik, kata Hitti, masyarakat Arab pra-Islam di Hijaz telah menggunakan duff, yakni tambur segi empat; qashabah atau seruling; zamr, yakni suling rumput; serta mizhar atau gambus yang terbuat dari kulit.

Para penyair menggubah syair mereka ke dalam sebuah lagu. Ketika Rasulullah diutus mendakwahkan Islam, sebagian besar musisi justru menyeru pada berhala. Bahkan, ada seorang seniman yang ingin menandingi wahyu Allah yang disampaikan Rasulullah.

“Kecaman Muhammad terhdap para penyair muncul bukan karena mereka penyair, tapi karena mereka menjadi corong para penyembah berhala. Nabi mendiskreditkan musik, juga karena musik diasosiasikan dengan ritual ibadah kaum pagan,” kata sejarawan ternama itu.

Dalam beberapa hadis, Rasulullah hanya memperbolehkan musik didendangkan pada dua momen saja, yakni pernikahan dan hari raya. Saat Aisyah binti Abu Bakar menikahkah seorang wanita dengan laki-laki Ansar, Rasulullah bersabda, “Wahai Aisyah, tidak adakah kalian mempunyai hiburan (nyanyian). Sesungguhnya orang-orang Anshar menyukai hiburan (nyanyian).” (HR Bukhari dan Muslim).

Hal serupa juga terjadi saat hari raya. Berdasarkan Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Aisyah mendengarkan permainan rebana (duff) anak perempuan kecil saat Idul Adha. Melihat hal itu, Rasulullah membiarkannya karena saat itu hari raya.

Selain pada dua momen itu, Rasulullah diriwayatkan sangat mencegah musik dimainkan. Hal itu karena bangsa Arab menggunakannya sebagai ajakan untuk melakukan ritual berhala.

Pada awal perkembangannya, jenis musik dalam Islam bisa dibedakan menurut alat musik yang digunakan.

Kala itu, musik Islam hanya mengenal alat sederhana seperti rebana, rebab, seruling dan beduk. Nah, jenis musik yang berkembang pada masa ini adalah kasidah. Karena itu, kasidah bisa disebut sebagai salah satu jenis musik tertua dalam Islam.

Selain itu, ada gazal yang biasanya dimainkan hanya dengan menggunakan qanun dan rebab. Tema gazal adalah cinta dan kerinduan.

Di kawasan Hijaz, berkembang luas musik qabus atau qanbus. Di Indonesia, musik yang melibatkan banyak alat ini dikenal dengan sebutan gambus.

Di awal perkembangan musik Islam, dikenal pula nasyid, yakni jenis musik yang lebih menonjolkan lirik daripada musik. Lawannya adalah naubah, yang lebih menonjolkan unsur instrumen daripada lirik.

Pasca Rasulullah
Berkembangnya zaman, berkembang pula pemikiran manusia. Masyarakat Arab mulai menggunakan musik dalam norma estetika. Generasi biduan Islam pertama pun muncul di sekitar abad ketujuh Hijriah. Adalah Tuways, biduanita asal Madinah yang kemudian memiliki banyak murid dan mengenalkan ritme dalam musik Arab.

Kemudian, masuklah pengaruh musik Persia. Di era Dinasti Umayyah, mulai berkembang pesatlah musik di tanah Arab. Bahkan salah seorang Khalifah Umayyah, Yazid I dikenal sebagai penulis lagu.

Seorang musisi asal Makkah, Said ibn Misjah pun muncul sebagai orang pertama yang menerjemahkan lagu Bizantium (Romawi Timur) dan Persia ke dalam bahasa Arab.

Perkembangan seni musik Islam mencapai puncaknya di era Dinasti Abbasiyah. Saat itu, Baghdad sebagai pusat pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah, menjadi pusat budaya dan peradaban Islam.

Kota ini melahirkan banyak musisi dan ahli musik. Puluhan judul buku tentang musik pun diterbitkan. Pada masa kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid, para musisi disantuni dan hidup sejahtera.

Salah seorang musisi itu adalah Ibrahim al-Maushuli. Dialah orang pertama yang mengenalkan aturan tempo dan ritme dalam lagu. Ada pula musisi lain, yakni Ibn Jami yang sangat piawai mengolah nada.

Perhatian yang besar dari pemerintah menjadi cambuk semangat bagi para musisi. Tak heran, pada masa itu lahirlah banyak karya seniman. Salah satu yang amat terkenal, yakni Kitab al-Aghani (Buku Nyanyian) karya Yahya al-Makki. Terbit pula Kitab al-Musiq al-Kabir (Buku Besar Musik) karya al-Farabi.