Bagaimana Sejarah Munculnya Positivisme?

positivisme
Munculnya berbagai jenis epistemologi hingga saat ini menunjukkan bahwa ilmu sosial telah berkembang secara dinamis. Adapun beberapa epistemologi yang acapkali dipakai oleh para ilmuwan sosial budaya antara lain positivisme, historisme, materialisme, fenomenologi, strukturalisme, hermeunetik dan sebagainya. Bagaimana Sejarah Munculnya Positivisme?

Sejarah Kemunculan Positivisme


Hadirnya aliran positivisme dalam ranah ilmu pengetahuan sosial erat kaitannya dengan tokoh Augeste Comte, seorang filosof sekaligus sosiolog ternama. Aliran ini mulai dikembangkan oleh Comte sejak abad ke-19. Seiring dengan kemajuan jaman, positivisme juga dikembangkan oleh beberapa tokoh teoritis lainnya. Beberapa pemikir positivisme, selain Comte, yang cukup besar pengaruhnya dalam perkembangan positivisme adalah SaintSimon, Emile Durkheim, Kolakowski dan Anthony Giddens.

Menurut Comte saat itu postivisme mengandung dua makna. Positivisme adalah suatu metode pengkajian ilmiah dan suatu tingkatan dalam perkembangan pikiran manusia (Saifuddin, 2005). Terkait dengan tahapan perkembangan manusia, Comte membaginya kedalam tiga tahapan. Pertama, tahapan teologis yakni pemikiran yang menganggap bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan. Pada tahapan ini, manusia acapkali mendapat pengaruh dogmatis dari agama yang cukup kuat. Kedua, tahapan metafisika yaitu pemikiran yang menganggap bahwa segala sesuatu berasal dari hal abstrak yang menyebabkan sesuatu. Tahapan terakhir adalah positivis, yakni pemikiran manusia yang mengacu berdasarkan sesuatu yang empiris.

Untuk memahami secara abstrak terlebih dahulu, sebaiknya perlu menengok pandangan filsafat positivisme yang pernah dikemukakan oleh Kolakowski dan beberapa penganut aliran positivisme lainnya. Kolakowski berpandangan bahwa positivisme merupakan sejumlah aturan dan kriteria penilaian terkait dengan pengetahuan manusia serta sebuah sikap normatif dalam rangka mengatur bagaimana menggunakan beberapa konsep seperti halnya “pengetahuan”, “ilmu pengetahuan”, “kognisi” dan “informasi” (Bryant, 1985: 2). Untuk memperjelas pandangan Kolakowski mengenai positivisme dalam ilmu sosial, terutama sosiologi, Anthony Giddens menyampaikan tiga pandangannya mengenai epistemologi ini. Ia mengatakan bahwa “positivistic attitude” dalam sosiologi mencakup paling tidak tiga pandangan yang saling berkaitan, yakni: pandangan bahwa (1) “the procedure of natural science may be directly adapted to sociology”; (2) “the end results of sociological investigations can be formulated as “laws” or “law-like” generalizations of the same kind as those established by natural scientist, dan (3) “sociology has a technical character” (Ahimsa-Putra, 1997: 30-31).

Pandangan pertama positivisme menegaskan bahwa prosedur pengkajian atas fenomena yang diteliti oleh ilmu alam pada dasarnya bisa diterapkan kedalam ilmu sosial. Misalnya, ketika konteksnya dalam ilmu alam seorang peneliti mencari fungsi setiap bagian organisme, maka ilmu sosial pun juga dapat melakukannya. Bedanya, ilmu sosial menerapkan analisis fungsi ke dalam objek penelitiannya yang berupa masyarakat. Sementara ilmuwan alam melakukan analisis fungsi ke dalam sebuah hewan, tumbuhan maupun manusia sebagai makhluk hidup. Pandangan ini bisa diaplikasikan karena masyarakat tersusun atas berbagai unsur dimana masing-masing elemen mempunyai fungsi tersendiri, sama seperti halnya fakta pada objek kajian ilmu alam.

Kedua, Giddens menyampaikan bahwa hasil akhir dari sebuah penelitian sosial mampu diformulasi ke dalam suatu hukum generalisasi. Hukum generalisasi bisa diperoleh melalui perbandingan di antara kebudayaan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Selanjutnya, ditemukanlah persamaan dan perbedaan diantara objek yang ditelitinya. Hal ini sekaligus mengantarkan peneliti ke dalam suatu hukum generalisasi atas kajian yang dilakukan.

Ketiga, sosiologi memiliki karakteristik berupa sifatnya yang aplikatif dan memberikan peranan penting bagi kajian pada masyarakat. Peranan penting dalam hal ini yaitu sosiologi mampu dipakai guna membentuk dan mengembangkan suatu masyarakat melalui berbagai teknik serta metode yang dimilikinya. Dengan kata lain, sosiologi memiliki kegunaan sebagai alat atau instrumen terkait dengan berbagai kebijakan pemerintah dalam upayanya menganalisis permasalahan dalam suatu masyarakat maupun dipakai untuk tujuan memberdayakan masyarakatnya demi tercapainya segala hal yang berkaitan dengan proses pembangunan.

Sejarah Munculnya Positivisme

Positivisme lahir dalam sebuah perubahan besar yang tidak dapat dikendalikan, terutama di Prancis yang saat itu tengah menghadapi revolusi Borjuis yang menentang kekuasaan feodal, dominasi raja dan gereja yang dibangun pada masa sebelumnya mulai banyak dipersoalkan dan diruntuhkan dengan munculnya berbagai pemikiran yang membuktikan kekeliruan otoritas penafsiran gereja tentang alam semesta, hal ini lebih merupakan resistensi akibat keretakan hubungan gereja dengan umatnya, menyusul pembunuhan Galileo Galilei karena menentang heliosentrisme yang dianggap mewakili kebenaran sceintivitas gereja. Pada masa renaisance yang ditandai dengan penafsiran kembali filsafat lama yang bertumpu pada kajian-kajian spekulatif mengenai persoalan teologis, metafisika dan alam raya serta manusia, dan aufklarung yang dicirikan dengan antroposentrisme yang sistem pengetahuan baru yang bersifat ilmiah menggantikan kepercayaan dogmatis, liturgis, konfesional, mistis dan teosentrik, mulai ditinggalkan dan dipandang sudah kehabisan nafasnya untuk memandu manusia ke arah kemajuan munculah Ilmu-ilmu Alam yang lebih dapat memberikan jaminan kepastian dan dapat diprediksikan.

Pada tahun 1798 hingga 1857 teori ini juga dikembangkan oleh August Comte yakni seorang sarjana Perancis yang hidup pada jaman itu. August Comte, menyatakan bahwa positivisme merupakan sebuah sikap ilmiah, yang menolak spekulasi-spekulasi a priori dan berusaha membangun dirinya pada data pengalaman. Untuk itu filsafat menurut mazhab ini adalah suatu sistem filsafat yang mengakui hanya fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang dapat diobservasi. Comte berusaha mengembangkan fisika sosial yang akan melahirkan hukum sosial dan reorganisasi sosial, sesuai dengan sistem nilai Comte.

Setelah mengetahui tujuan utama ilmu sosiologi, secara umum Auguste Comte mengajukan beberapa asumsi sebagai berikut:

  1. Alam Semesta diatur oleh hukum-hukum alam yang tak terlihat (invisible natural), sejalan dengan teori evolusi dan perkembangan alam pikiran atau nilai-nilai sosial yang dominan.

  2. Proses evolusi berlangsung dalam tiga tahap: teologis, metafisis dan positivistik.

  3. Seluruh ilmu pengetahuan sebagai ilmu sosial dalam pengertian yang luas.

  4. Sistem sosial terbagi atas dua bagian, yaitu statika sosial, yang menyangkut sifat-sifat manusia, masyarakat dan hukum-hukum keberadaan manusia sebagai makhluk sosial dan dinamika sosial atau hukum-hukum perubahan sosial.

Pokok ajaran Comte yang terkenal adalah tanggapannya tentang perkembangan pengetahuan manusia, baik personal maupun kolektif serta umat manusia secara keseluruhan., meliputi tiga zaman: bagi Comte hukum perkembangan tiga zaman ini merupakan hukum yang tetap. Ketiga zaman ini masing-masing adalah zaman teologis, zaman metafisis dan positivitas:

  1. Pada zaman teologis, manusia percaya di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gejala-gejala gerak tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki kuasa dan kehendak seperti manusia, tetapi orang bahkan percaya mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi daripada makhluk-makhluk insani yang biasa. Zaman teologis itu sendiri dapat dibagikan lagi atas tiga periode. Pertama, Pada taraf paling primitif benda-benda sendiri dianggap berjiwa (Periode Animisme). Kedua, manusia percaya pada dewa-dewa yang masing-masing menguasai suatu lapangan tertentu: dewa laut, dewa halilintar, dewa dunia bawah dan sebagainya (Periode politeisme); dan, Ketiga, taraf yang lebih tinggi lagi manusia memandang hanya ada satu Allah sebagai penguasa segala sesuatu (Periode Monoteisme).

  2. Dalam zaman metafisis, kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip abstrak seperti misalnya: “kodrat “ dan “penyebab”. Metafisika dijunjung tinggi pada masa ini.

  3. Akhirnya dalam zaman positif sudah tidak lagi diusahakan untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Dalam zaman tertinggi ini manusia membatasi pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan rasionya ia mencoba menetapkan relasi-relasi persamaan atau urutan yang terdapat diantara fakta-fakta. Baru dalam zaman terakhir ini dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti sebenarnya.

Positivisme dengan tesis dasarnya bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya pengetahuan ilmiah. Positivisme lalu menuntut bahwa filsafat pun harus mempunyai metode yang sama seperti digunakan dalam ilmu pengetahuan. Tugas pokok filsafat, demikian menurut positivisme, adalah menemukan prinsip umum bagi semua ilmu pengetahuan dan selanjutnya digunakan sebagai panduan perilaku manusia, sekaligus menjadi basis organisasi sosial. Untuk itu positivisme menolak semua bentuk pertanggungjawaban ilmiah yang melampaui batas fakta empiris dan hukum yang ditegaskan oleh ilmu pengetahuan.

Dengan tesis dasar itu, positivisme sesungguhnya muncul sebagai anak kandung dari empirisme; aliran pemikiran yang berkembang di Inggris yang kemudian menjadi basis filosofis bagi Francis Bacon untuk merumuskan cara kerja ilmu pengetahuan empiris. Akan tetapi secara kultural, positivisme muncul sebagai refleksi optimisme manusia yang didorong oleh kemajuan industri dan teknologi di inggris yang merupakan buah dari kemajuan ilmu pengetahuan. Tekanan pada pengetahuan ilmiah ini muncul terutama sebagai reaksi terhadap rasionalisme dan idealisme yang berkembang di Jerman. Menolak rasionalisme dan idealisme yang dipandang terlalu spekulatif, empirisme menekankan pentingnya pengalaman atau fakta empiris dalam pencarian dan pertanggungjawaban kebenaran ilmiah.

Pada perkembangan selanjutnya, positivisme yang digawangi Comte dan Spencer kemudian menjadi ispirasi dari munculnya aliran posotivisme-yuridis. Aliran ini beranggapan, satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum adalah tata hukum, sebab hanya hukum inilah yang dapat dipastikan dan dipraktikkan. Aliran ini pada perkembangannya menolak tata hukum Negara yang berdasarkan kehidupan sosial (berbeda dari pendapat Comte). Karena bila menyandarkan hukum pada kehidupan sosial atau struktur sosial, maka sama halnya dengan mengembalikan hukum pada sumber otoritas yang terdapat pada hokum kodrat.

Jerman. Menolak rasionalisme dan idealisme yang dipandang terlalu spekulatif, empirisme menekankan pentingnya pengalaman atau fakta empiris dalam pencarian dan pertanggungjawaban kebenaran ilmiah. Pada perkembangan selanjutnya, positivisme yang digawangi Comte dan Spencer kemudian menjadi ispirasi dari munculnya aliran posotivisme-yuridis. Aliran ini beranggapan, satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum adalah tata hukum, sebab hanya hukum inilah yang dapat dipastikan dan dipraktikkan. Aliran ini pada perkembangannya menolak tata hukum Negara yang berdasarkan kehidupan sosial (berbeda dari pendapat Comte). Karena bila menyandarkan hukum pada kehidupan sosial atau struktur sosial, maka sama halnya dengan mengembalikan hukum pada sumber otoritas yang terdapat pada hokum kodrat.

Referensi

http://eprints.ums.ac.id/44185/6/BAB%20I.pdf

Istilah positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825 M.), jikalau kita melihat lebih lanjut, maka dapat kita katakan bahwa positivisme merupakan kelanjutan dari empirisme. Prinsip filosofik tentang positivisme pertama kali dikembangkan oleh seorang empiris Inggris yang bernama Francis Bacon (sekitar tahun 1600 M.).

Pada abad ke-19 timbullah filsafat yang disebut Positivisme, yang diturunkan dari kata positif. Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Oleh karena itu metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segalah yang tampak, segala gejala.

Demikian Positivisme membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan kepada bidang gejala-gejala. Apa yang dapat kita lakukan ialah segala fakta, yang menyajikan kepada kita sebagai penampakan atau gejala, kita terima seperti apa adanya.

Sesudah itu kita berusaha untuk mengatur fakta-fakta tadi menurut hukum tertentu, akhirnya dengan berpangkal kepada hukum-hukum yang telah ditemukan tadi kita mencoba melihat ke masa depan, apa yang akan tampak sebagai gejala dan menyesuaikan diri dengannya.

Arti segala ilmu pengetahuan ialah mengetahui untuk dapat melihat ke masa depan. Jadi kita hanya dapat menyatakan fakta-faktanya, dan menyelidiki hubungan-hubungannya yang satu dengan yang lain. Maka tiada gunanya untuk menanyakan kepada hakekat atau sebab-sebab yang sebenarnya dari gejalagejala itu.

Yang harus diusahakan orang ialah menentukan syarat-syarat di mana menurut persamaannya dan urutannya. Hubungan yang tetap yang tampak dalam persamaan itu disebut pengertian, sedangkan hubungan-hubungan tetap yang tampak pada urutannya disebut hukum-hukum.

Filsafat positivisme diantarkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia belajar di sekolah politeknik di Paris, tetapi ia dikeluarkan kerena ia seorang pendukung republik, sedangkan sekolahnya justru sangat royalistis. Comte menjadi juru tulis pada de Saint Simon. Kebanyakan idenya memang berasal dari de Saint-Simon.

Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya.

Di sini, yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.

Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme. Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme.

Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.

Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya. Manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Tidak ada gunanya untuk mencari hakekat kenyataan.

Hanya satu hal yang penting, mengetahui, supaya siap untuk bertindak, mengetahui supaya manusia dapat menantikan apa akan terjadi. Lawan filsafat positif itu bukanlah suatu filsafat negatif, melainkan filsafat spekulatif atau metafisika.

Positivisme melembagakan pandangan dunia objetivistiknya dalam suatu doktrin kesatuan ilmu. Doktrin kesatuan ilmu mengatakan bahwa seluruh ilmu, baik ilmu alam maupun manusia, harus berada di bawah payung paradigma positivistik. Doktrin kesatuan ilmu mengajukan kriteria-kriteria bagi ilmu pengetahuan sebagai berikut:

  1. Bebas nilai, pengamat harus bebas dari kepentingan, nilai, emosi dalam mengamati objeknya agar diperoleh pengetahuan yang objektif.
  2. Ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi-empiris.
  3. Bahasa yang digunakan harus; analitik (bisa dibenarkan atau disahkan secara logis), bisa diperiksa secara empiris dan atau nonsense.
  4. Bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya diperbolehkan melakukan penjelasan akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia hanya menjawab pertanyaan how dan tidak menjawab pertanyaan why.

Positivisme menjadi dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus mengikuti doktrin unified science apabila ingin disebut ilmu pengetahuan ilmiah, bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis eksistensial. Ciri-ciri Positivisme antara lain:

  1. Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi).

  2. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika).

  3. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata.

  4. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.

  5. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.

  6. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant clock work.