Bagaimana sejarah masuknya ajaran Islam di Madura ?

image

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Sumenep, penyebar agama Islam di Sumenep adalah Sayyid Ahmad Baidhawi atau di kenal dengan pangeran Katandur. Ia bersyiar pada masa pemerintahan pangeran Lor dan pangeran Wetan atau sekitar tahun 1550-an. Kuburannya berada di desa Bangkal sebelah timur kota Sumenep dan dikenal dengan Asta Sabu. Sebelum itu sekitar tahun 1440-an ada ulama penyebar agama Islam yang bernama Raden Bendara Dwiryapadha dan dikenal dengan nama sunan Paddusan. Namun lebih awal dari masa itu, yakni pada masa pemerintahan Panembahan Joharsari pada tahun 1330-an.

Cerita panjang yang lain tentang Islam di sumenep tertulis dalam Sejarah Dalem, yang kemungkinan dikutip dari silsilah raja Jawa-Madura yang lebih tua. Dalam cerita tersebut muncul adipati Kanduruwan yang konon masih putera Raja Demak, yang menjadi pegawai Ratu Mas Kumambang, ratu Putri ( Prabu Kenya ) di Japan ( Majapahit ). Atas perintah tuan putrinya, adipati Kamduruwan menyerang Sumenep. Pertempuran berlangsung seru di wilayah Lenteng Sumenep. Dalam pertempuran itu adipati Sumenep yang bernama Arya Winabaya gugur di medan tersebut, dan setelah meniggal di sebut pangeran Siding Puri. Kuburan Pangeran Siding Puri pun sudah dalam bentuk kuburan Islam.

Sayyid Ali Murtadla atau Suanan Lembayung Fadal juga dikenal dengan sebutan ratu pandito bertempat di pulau Sepudi, pedukuhannya dinamakan Asta Nyamplong, karena disekitar tempat tersebut bnayak ditumbuhi pohon Nyamplung ( Callophylum ) beliau dikenal juga sebagai penyebar agama Islam di Sumenep yang di selaraskan dengan penyebaran agama Islam oleh Wali Songo di pulau Jawa. Karena beliau adalah adik dari Sunan Ampel yang menmpunyai nama asli Raden Rahmat.

Bagaimana sejarah masuknya ajaran Islam di Madura ?

Sejarah Penyebaran Islam di Madura


Islam masuk ke Madura dimulai dari kehidupan kecil, bukan dari kehidupan dalam keraton. Seperti halnya yang terjadi di pulau Jawa, agama Islam dibawa oleh pedagang-pedagang dari Asia Tenggara. Pada saat itu sudah banyak pedagang-pedagang Islam dari Gujarat yang singgah di pelabuhan pantai Madura, terutama di pelabuhan Kalianget. Menurut Schrieke, sebagaimana dikutip Jonge, penduduk pantai selatan Sumenep pada abad ke 15 M mulai berkenalan dengan agama Islam. Keyakinan akan kepercayaan baru, mula-mula disebarkan di daerah seperti Prenduan, yaitu tempat perdagangan yang mempunyai hubungan dengan daerah-daerah seberang.

Penyebaran agama Islam berlangsung sejalan dengan perluasan perdagangan. Penyebar agama Islam yang pertama adalah pedagang Islam dari India (Gujarat), Malaka, dan Sumatera (Palembang). Hal tersebut didukung oleh Meglio sebagaimana dikutip Muchtarom bahwa bangsa Gujarat dan bangsa Bengali telah menyebarkan agama Islam ke seluruh kepulauan Indonesia, tetapi tidak diragukan juga bahwa orang Arab pun berperan dalam proses pengislaman ini. Orang Arab telah mendirikan pemukiman sepanjang wilayah pantai di India yang berangsur-angsur menjadi pusat-pusat penyebaran Islam. Jadi, meskipun tidak secara intensif, Walisongo bukanlah penyebar pertama agama Islam di pulau Madura, sebelum itu masyarakat Madura sudah mengenal Islam melalui orang Gujarat yang singgah di Pelabuhan Kalianget.

Pada tahap pertama penetrasi Islam, penyebaran Islam masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Tetapi, dalam waktu yang tidak terlalu lama, Islam mulai menempuh jalannya memasuki wilayah-wilayah pesisir lainnya dan pedesaan. Pada tahap ini, para pedagang, dan ulama-ulama yang sekaligus Walisongo dengan murid-murid mereka memegang peranan penting dalam penyebaran tersebut.

Perubahan dalam bentuk konversi Hindu-Budha ke Islam terjadi pertama di antara masyarakat nelayan dan bukan kerajaan di pedalaman. Disebabkan selain karena pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan pada saat itu, ajaran Islam yang egalitarianisme (kesamaan hak individu) sejalan dengan pandangan masyarakat pesisir yang lebih egalitarian. Keterbukaan dan mobilitas adalah ciri lain mayarakat pesisir yang lebih kondusif terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar maupun dalam. Letak geografis sebagai tempat persinggahan dan pusat kontak masyarakat dunia serta ciri dasar masyarakat pesisir agaknya juga telah membantu mempermudah masuknya Islam di Jawa.

Menurut Rifai, sebagaimana dikutip Subaharianto, agama Islam secara intensif masuk ke Madura sekitar abad ke 15 M seiring dengan memudarnya pengaruh kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Pada pertengahan abad ke 15 M di Jawa, datanglah seorang ulama Islam dari Campa yang merupakan ipar raja Majapahit. Ulama tersebut lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel dan merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa.

Dalam penyebaran agama Islam, Sunan Ampel membentuk organisasi pertama untuk menjalankan programnya secara sistemik, seperti berikut: 1) Pulau Jawa dan Madura dibagi menjadi beberapa wilayah kerja, pada tempat wilayah kerja diangkat badal (pengganti) untuk membantu wali. 2) Guna memandu penyebaran agama Islam, hendaklah diusahakan mendamaikan Islam dan tradisi Jawa. 3) Guna mendirikan pusat bagi pendidikan Islam, hendaklah dibangun sebuah masjid pusat. Sunan Giri (Raden Paku) yang merupakan salah satu dari sembilan wali dan salah satu murid dari Sunan Ampel, adalah orang yang bertugas mengislamkan wilayah seperti Madura, Lombok, Makasar, Hitu, dan Ternate.

Di wilayah Madura, Sunan Giri mengutus dua santrinya yang keturunan Arab yang bernama Sayyid Yusuf al-Anggawi untuk Madura bagian timur (Sumenep dan pulau-pulau di sekitarnya) dan Sayyid Abdul Mannan al-Anggawi untuk Madura bagian barat (Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan). Makam Sayyid Yusuf al-Anggawi terletak di Desa Talango Pulau Poteran yang berhadapan dengan pelabuhan Kalianget.

Sedangkan makam Sayyid Abdul Mannan al-Anggawi terletak di Desa Pangbatok Kecamatan Proppo Pamekasan, yang lebih dikenal dengan sebutan Buju’ Kasambih. Putra Sayyid Abdul Mannan adalah Syeikh Basyaniah yang dijuluki Buju’ Tompeng, makamnya berada di Batuampar Pamekasan. Hingga saat ini makam Sayyid Yusuf dan pemakaman Batuampar banyak dikunjungi peziarah dari Madura dan luar Madura.

Masjid Jami' Sumenep

Perkembangan Islam di Madura


Peran Walisongo tidak dapat dipisahkan dalam sejarah penyebaran Islam di Madura, terutama pada masa perkembangan Islam di tanah Jawa. Tidak butuh waktu lama, pada abad ke 15 M para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis, hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang pantai utara Jawa dan Jawa Timur. Hal ini juga diiringi dengan kemajuan dalam bidang dakwah (penyebaran agama Islam). Di kota-kota inilah komunitas muslim pada mulanya terbentuk. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo dengan mendirikan masjid pertama di tanah Jawa, yaitu Masjid Demak (1428 M).

Seiring dengan pesatnya perkembangan Islam di Jawa, penyebaran Islam sudah masuk ke lingkungan keraton. Banyak penguasa kerajaan yang sudah memeluk agama Islam. Seperti halnya, Sunan Ampel yang berhasil membuat beberapa tokoh kerajaan memeluk Islam, antara lain: 1) Adipati Arya Damar, isteri, serta anak di Palembang. 2) Prabu Brawijaya dan permaisurinya putri Cempa (yang berhasil hanya permaisurinya saja). 3) Sri Lembu Petteng dari Madura.

Secara intensif di Madura juga terjadi pembauran di kalangan elit keraton, dengan maksud jika penguasa beragama Islam dan mengesahkan dirinya sebagai raja yang beragama Islam serta memasukkan syariat Islam ke dalam daerah kerajaannya, maka rakyatnya akan lebih mudah untuk memeluk agama Islam. Seperti pernikahan antara Sayid Ali Murtadlo (Raja Pandita) atau kakak Sunan Ampel yang melangsungkan pernikahan dengan putri Arya Babirin. Sedangkan Sunan Ampel sendiri selain menikah dengan putri Arya Teja (mantri Tuban) yang bernama Raden Ayu Candrawati, juga menikah dengan putri Kiai Bangkoneng dari Pamekasan.

Dikabarkan bahwa beberapa elit keraton Madura yang lain juga te- lah memeluk agama Islam sekaligus menjadi penyebar ajaran Nabi Muhammad Saw., seperti Jokotole (penguasa Sumenep), Lembu Petteng (penguasa Sampang), Arya Menak Sunoyo (penguasa Proppo), Bonorogo (penguasa Pamekasan), dan Ki Arya Praghalba (penguasa Bangkalan).

Hingga menjelang abad ke 19 M di Desa Kademangan (dekat kota Bangkalan) sudah berdiri sebuah pesantren besar di bawah asuhan Kiai Muhammad Kholil yang diakui secara nasional. Pesantren tersebut berhasil mencetak santri-santri yang menjadi tokoh pemimpin pesantren besar, seperti KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng), KH. Manaf Abdul Karim (Lirboyo Kediri), KH. Mohammad Sidik (Jember), KH. Bisri Syamsuri (Jombang), KH. Munawir (Krapyak Yogyakarta), KH. Maksum (Lasem), KH. Abdullah Mubarak (Suryalaya Tasikmalaya), dan KH. Wahab Hasbullah (Jateng).

Seperti yang dijelaskan sebelumnya agama Hindu-Budha sudah melekat selama 600 tahun, tetapi penerimaan agama Islam secara meluas merubah semuanya. Derajat keislaman orang Madura umumnya disamakan dengan orang Aceh dan Minang (Sumatera), Sunda (Jawa), dan Bugis (Sulawesi). Hal ini karena Walisongo dalam menyebarkan agama Islam di Jawa termasuk Madura, tidak lepas dari strategi dakwah yang dilakukan, yaitu :

  1. dengan cara-cara arif dan bijaksana (bi al-hikmah),
  2. nasihat-nasihat yang baik (mau’idlah al-hasanah),
  3. teladan yang baik (uswah hasanah),
  4. dialog yang baik (al-mujādalah bi al-latī hiya ahsan),
  5. penuh ketelatenan dan kesabaran, serta
  6. memanfaatkan tradisi lokal sebagai media penyebaran Islam. Tradisi dan budaya lokal yang berkembang sebelumnya tidak serta merta dihapus, melainkan tetap dipelihara sambil dilakukan islamisasi. Sehingga, hal inilah yang menyebabkan pelaksanaan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Madura, sebagian masih bercampur dengan tradisi Hindu-Budha.

Beberapa faktor lain, keberhasilan Walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam, yaitu:

  1. Kepribadian dari Walisongo yang memiliki sifat ikhlas, ilmu agama yang tinggi, bijaksana, dan mereka merupakan bangsawan yang sangat dihormati pada zamannya,
  2. Faktor Islam yang mudah, egaliter, praktis, dan dinamis yang selalu sesuai dengan zaman, tempat, serta situasi,
  3. Faktor keadaaan/suasana dakwah Walisongo bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit, dan Islam tidak mengajarkan adanya kasta seperti agama sebelumnya (Hindu-Budha).
Referensi

Amrullah, Afif. 2015. Islam di Madura. Islamuna, Vo. 2 No. 1. (https://www.researchgate.net/publication/332559711_ISLAM_DI_MADURA)