Bagaimana sejarah lukisan kaca?

Lukisan Kaca merupakan salah satu karya seni khas Cirebon yang tidak terdapat di daerah lain. Lukisan ini berbeda dengan lukisan pada umumnya dimana kaca merupakan media utamanya.

Sejarah Lukisan Kaca

Konon sejak abad ke 17 Masehi, Lukisan Kaca telah dikenal di Cirebon, bersamaan dengan berkembanganya Agama Islam di Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu di Cirebon. Lukisan ini sangat terkenal sebagai media dakwah Islam yang berupa kaligrafi (tulisan yang berasal dari cuplikan Ayat Al Qur’an dan Hadist) dan wayang.

Adapun pengaruh cerita wayang berasal dari pertunjukan wayang yang diperagakan para wali untuk menyebarkan agama Islam.

Kuatnya kepercayaan tokoh wayang yang baik. Membuat para pengrajin lukisan kaca selalu menampilkan tokoh seperti Kresna, Arjuna, Rama, Lesmana, dan lain-lain.

Lukisan kaca merupakan salah satu karya seni rupa yang medianya menggunakan kaca. Seni lukisan kaca atau disebut juga glass painting mempunyai nilai seni yang khas dengan ragam dan perpaduan warna yang sangat indah. Tidak semua kaca bisa dijadikan media melukis kaca, ada beberapa jenis kaca yang dapat digunakan sebagai media lukis kaca di antaranya kaca polos, kaca es bening baik yang bermotif kotak, kotak lembut maupun kotak besar, kaca Doff (gelap), dan kaca jenis paraglas yang terbuat dari campuran kaca dan plastik.

Sejarah lukisan kaca muncul pada abad ke-14 ketika ditemukan lempengan kaca. Pada waktu bersamaan di wilayah Italia ditemukan cara pembuatan cat. Menurut buku Berkaca Pada Lukisan Kaca mengatakan gambar kaca atau lukisan di atas kaca menurut para ahli merupakan suatu perkembangan teknik menulis pada abad ke-15 di Eropa. Lukisan kaca ini biasanya melukis tentang tokoh atau ikon-ikon tertentu, atau digunakan sebagai hiasan jendela atau pintu. Pada masa itu lukisan kaca sudah termasuk arsitektur. Dari sini seni lukis di eksplor dan kemudian mulai lahir lah lukisan kaca ke dunia. Pada abad ke-17 lukisan kaca mulai menyebar ke benua Asia melalui Iran, India, China, Jepang, dan kemudian ke Indonesia. Terdapat beberapa pendapat tentang masuknya lukisan kaca ke Indonesia. Pendapat pertama meyakini bahwa masuknya lukisan kaca masuk ke Indonesia pada abad ke-16, namun sayang, tidak ada bukti tertulis yang membenarkan hal tersebut.

Perkembangan lukisan kaca di Indonesia diperkirakan terjadi pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Lukisan kaca di Indonesia adalah paduan seni, filososofi, dan industri. Beberapa daerah di Nusantara yang menjadi sentral produksi lukisan kaca di antaranya adalah Yogyakarta, Madiun, Banyumas, Pasuruan, Buleleng (Bali), Jakarta, Gresik dan Cirebon. Tetapi yang lebih popular lukisan kaca dari Cirebon dengan motif batik yaitu mega mendung dan wadasan, dan dari Buleleng Bali dengan ciri khas lukisan bertema klasik yang menggambarkan suasana kehidupan dan budaya/tradisi Bali, karena memiliki nilai seni tinggi yang indah dipandang mata, seperti lukisan penari bali, lukisan pura, dan puri.

Sekitar tahun 1850 bermunculan bangunan-bangunan Indish (Indonesia-Eropa) yang dibangun Belanda. Bangunan-bangunan Stained Glass atau disebut kaca patri untuk jendela dan pintu-pintu seperti yang terdapat di arsip Jakarta dan lawang sewu Semarang. Bersamaan dengan itu maka masuk pula material kaca untuk bangunan dan mebel ke Indonesia. Pada waktu itu lukisan kaca sudah ada tetapi hanya ada di rumah rumah orang Belanda, Cina, para bangsawan dan priyayi. Kalangan menengah pun tertarik untuk memiliki lukisan kaca namun mereka tidak berani memajang lukisan yang sama seperti para bangsawan, karena ada ketakutan dari mereka dengan kedudukan mereka apabila dibandingkan dengan kelas bangsawan tersebut. Sehingga
kemudian mereka pun memesan pada para ahli sungging kaca sesuai dengan gambar sesuai yang mereka inginkan, yang mungkin sedikit berbeda dengan tema lukisan kaca pada kelas bangsawan.

Para alim ulama juga tidak mau ketinggalan dalam memesan lukisan kaca dengan gambar yang bertemakan dunia Islam seperti masjid, ka’bah, buroq dan lainnya. Dalam perkembangannya, tema-tema lukisan kaca kemudian menjadi beragam sehingga muncul lah lukisan kaca yang bertemakan/menggambarkan pewayangan, legenda rakyat dan lainnya.

Menurut Hooykaas, pada tahun 1937 saat kongres philology, yang di dalamnya membahas tentang seni lukis tradisional termasuk lukis kaca, Prof. Bolkenstein, salah satu antropolog Belanda memberikan penjelasan bahwa lukisan kaca tradisional biasanya bertema spiritual dan legenda pada kehidupan masyarakat, utamanya kaum Muslim Jawa, antara lain berisi ajaran tentang budi pekerti yang divisualisasikan melalui cerita wayang, visualisasi pengantin Jawa Islam saat akad nikah, tokoh-tokoh legenda Islam, seperti cerita Sultan Agung dan terbunuhnya Jendral De Kock, juga kisah-kisah spiritual legenda masyarakat Jawa pada umumnya.

Adapun bentuk visual yang telah diambil dari cerita wayang dalam lukisan kaca itu berisi nilai-nilai spiritual Islam Jawa berupa adegan lakon Dewa Ruci. Pada tema pengantin baru lukisan divisualisasikan dengan dua pengantin (wanita dan pria) dengan pakaian lengkap dalam posisi duduk timpuh, layaknya orang sedang sembahyang. Hal itu mengisyaratkan bahwa menjadi pengantin, harus lah diniati ibadah, ngabekti kepada Tuhan Yang Esa. Pengantin pria memakai kuluk (kopyah/peci), sedangkan pengantin wanita memakai kemben di badannya lengkap dengan cunduk mentul (merupakan atribut cantik yang menjulang tinggi di kepala pengantin wanita), sisir di kepalanya. Keduanya diluluri atau “diblonyo” lulur boreh berwarna kuning. Model visual, mirip pengantin baru juga dijadikan tema yang menarik, kemiripan tersebut karena juga berbentuk dua sosok wanita dan pria. Tetapi tidak berpakaian lengkap, hanya memakai kemben, dua sosok ini sering disebut Loro Blonyo (visualisasi dari Dewi Sri dan Sri Sadana). Lain lagi dengan tema masjid, masjid-masjid yang sering divisualisasikan yaitu Masjid Sunan Pandanaran atau Sunan Tembayat, yang digambarkan bahwa Sunan Tembayat, bersama isterinya bermaksud menuju masjid untuk mensyahadatkan Syeh Domba (seorang rampok, begal, dan pembunuh).

Perkembangan lukisan kaca sekitar tahun 1930 sampai 1950-an cukup menggembirakan, banyak lukisan kaca yang menciptakan tema dan model baru seperti pengantin Loro Blonyo, Pengantin Belanda, jejeran wayang, Pandawa dan lainnya. Diungkapkan Hardiman, bahwa pada tahun 1950-an hingga akhir tahun 1970- an pasar lukisan kaca masih berjaya dan banyak diminati dengan cara dibeli, dankemudian dikoleksi oleh kelompok petani kaya, yang mempunyai sawah yang luas.

Para petani kaya itu umumnya tinggal di desa-desa di wilayah Kabupaten. Pada waktu
itu, para pelukis kaca kerap menjajakan lukisan kaca ke desa-desa di kecamatan,
bahkan kelurahan. Tak jarang, petani sukses itu sendiri yang datang ke desa di mana
para pelukis kaca berkarya. Mereka memesan lukisan kaca dengan tema-tema yang
sesuai dengan permintaan. Inilah keadaan, di mana terdapat komunikasi antara perupa dan petani (masyarakat) menjadi aktif, sehingga untuk memudahkan bagi pelanggan, maka para pelukis membawa karya-karyanya ke pasar, untuk dijual dan didekatkan dengan para pembelinya.

Sanento Yuliman tokoh kunci yang menelusuri jejak praktik seni lukis di Indonesia pernah bercerita di beberapa tulisannya mengenai keberadaan seni lukis kaca, yaitu apabila seseorang mengadakan perjalanan ke wilayah tertentu di Indonesia, ketika di wilayah tersebut ia menemukan seni lukis kaca, berarti ia telah menemukan kehidupan rakyat jelata yang sesungguhnya, sekaligus ia telah menemukan cerita legenda rakyat dan nilai-nilai spiritual yang menjadi pegangan hidup yang bernilai luhur, menurut ukuran masyarakat tersebut. Lukisan kaca telah menjadi milik kelompok rakyat yang membuat dan menikmatinya sebab sekali lagi citra yang digambarkan dalam seni lukis kaca adalah bagian dari angan-angan kolektif rakyat jelata.

Di samping itu salah satu nilai-nilai luhur dan melegenda, misalnya banyaknya lukisan kaca Indonesia yang berhubungan dengan ajaran-ajaran yang dianut masyarakat, yang kebetulan mereka dibesarkan oleh ajaran Islam. Seperti, nilai spiritulitas kaligrafi Arab memang terdapat di mana-mana, kecuali di daerah Bali, yaitu Buraq yang menurut ajaran Islam tradisional merupakan gambaran kendaraan Nabi Muhammad ketika diisra’ dan mi’raj Allah SWT. Buraq diimaginasikan berbentuk kuda bersayap dan berkepala manusia, merupakan lukisan yang banyak digemari di daerah Madura, Kudus, Cirebon, dan Bengkulu. Begitu pula gambar masjid dapat ditemukan di Tuban, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, dan Bengkulu. Gambaran buraq menjadi ciri khas dari ajaran Islam yang terdapat di wilayah Indonesia.

Gambar Macan Ali, juga menjadi nilai legenda kaum Muslimin tradisional, yaitu berupa kaligrafi kalimah syahadat yang membentuk sosok seekor harimau mendekam, cukup diminati di Tuban, Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon. Di samping gambar-gambar tersebut, di Jawa, tema seni lukis kaca yang melegenda adalah penggambaran tokoh-tokoh wayang kulit Semar, seperti ditemukan di Pasuruan, Tuban, Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon.

Nilai-nilai spiritual dalam kaligrafi dan legenda yang menceritakan kisah masa
silam ikut memperkokoh posisi seni lukis kaca sampai pada masa sekarang. Memang
masih termasuk pada ranah tradisional, tetapi sebenarnya nilai-nilai tersebut secara
non-visual masih aktual. Di sinilah sebenarnya kekuatan seni lukis kaca tersebut, dan
memang berbeda dengan seni rupa modern yang cenderung populer. Berkenaan dengan kekuatan seni lukis kaca, yang bertemakan mengangkat spiritual dan legenda tersebut, J. H. Hooykaas mengingatkan kita, bahwa karya-karya seni visual kita bermuatan nilai-nilai yang memang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Setelah tahun 1980 lukisan kaca secara perlahan-lahan mulai turun pengaruhnya, seiring dengan modernisasi pada masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan di tanah Jawa. Bentuk rumah limasan, joglo dan rumah-rumah model Jawa yang memanjang lukisan kaca, berangsur-angsur dijual atau digantikan rumah tembok yang modern dengan hiasan interiornya juga berganti dengan lukisan-lukisan yang lebih modern seperti lukisan pemandangan.