Bagaimana Sejarah Hukuman Mati?

Sejarah Hukuman Mati

Bagaimana Sejarah Hukuman Mati ?

Sejarah Hukuman Mati


Hukuman mati merupakan praktik yang wajar di Eropa pada abad 16-17. Seorang pelaku kejahatan dibawa keruang terbuka untuk dieksekusi dihadapan raja. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, praktik hukuman mati mengalami transformasi. Hukuman mati ditinggalkan dan digantikan dengan pemenjaraan dan pendisiplinan melalui berbagai kerja rutin yang diawasi secara terus menerus.

Hukuman mati resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya undang-undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 Sebelum Masehi. Saat itu ada ada 25 macam kejahatan yang diancam dengan hukuman mati.

Awal hukuman mati diidentifikasi terjadi sekitar abad ke 18 dalam masa kerajaan Hammaurabi di babel. Hukuman mati pada masa ini ditetapkan untuk kategori kejahatan yang berbeda. Tetapi sebelum itu, hukuman mati ini juga sebenarnya sudah ada sejak abad ke 14 yang terjadi di Athena. Hukuman mati pada masa ini dilaksanakan untuk semua pelanggaran maupun tindak kejahatan. Hukuman mati juga berlaku pada masa kekaisaran Romawi yang terjadi sekitar abad ke 12 yang dimana praktik hukuman mati dilakukan dengan berbagai cara seperti penyaliban, ditenggelamkan, dipukuli sampai mati, dibakar hidup-hidup dan dilempari sampai mati.

Perjalan hukuman mati ini termasuk sudah mengalami zaman yang panjang dan berbeda. Sekitar tahun 1066 Raja William atau biasa disebut sebagai William Sang Penakluk (Normandia, Perancis) menghapus istilah hukuman mati (pada masa itu berlaku hukuman gantung) untuk kategori kejahatan apapun namun terkecuali untuk para penjahat perang. Namun tren ini tidak bertahan lama karena pada abad ke 16 dibawah pemerintahan raja Henry VIII, sebanyak 72.000 orang diperkirakan telah dieksekusi dengan berbagai bentuk kejahatan. Beberapa metode hukuman mati pada masa tersebut dilakukan dengan berbagai cara antara lain dibakar di tiang, digantung, pemenggalan, dan quartering. Kebanyakan eksekusi dilakukan karena alasan pelanggaran modal & pajak, tidak mengakui kejahatan, dan pengkhianat kerajaan.

Sementara di Inggris, pada tahun 1700-an telah terjadi 222 pelaku kejahatan yang siap untuk dihukum mati. Kebanyakan para pelaku kejahatan tersebut telah melakukan tindakan seperti mencuri dan menebang pohon. Karena banyaknya pelaku yang akan dieksekusi, pihak juri melakukan klarifikasi ulang dengan mempertimbangkan kejahatan berat dan ringan hingga pada akhirnya sekitar 100 pelaku yang akhirnya jadi dieksekusi.

Cara pelaksanaan pidana mati pun mengalami perubahan, terutama mengenai cara dan tempat pelaksanaan pidana mati tersebut. Dulu orang yang dijatuhi pidana mati cenderung dengan cara-cara kejam dan dilakukan di tempat umum, namun seiring dengan perkembangan zaman cara yang digunakan lebih manusiawi dan lebih banyak dilakukan di tempat yang tidak banyak orang melihat, walaupun masih ada juga di beberapa negara yang masih mempertontonkan pidana mati kepada masyarakat umum.

Banyaknya variasi metode dalam pelaksanaan pidana mati dapat dilihat dari cara matinya terpidana, apakah secara cepat atau lambat kematiannya. Penggal (beheading), gantung (hanging), dan cekik (strangulation) diidentifikasi sebagai bentuk paling umum dan kejam untuk kematian yang cepat, sebagaimana diungkapkan oleh Pieter Spierenburg yang dikutip oleh Norval Morris dan David J. Rothman dalam The Oxford History of Prison. Penggunaan regu tembak, kamar gas dan suntik mati adalah bentuk modern dari kematian yang cepat. Sedangkan untuk kematian yang lambat metodenya adalah dengan direbus (boiling), dilempar batu (stoning), disalib (crucifixion).

Di Indonesia, pidana mati sudah ada sebelum kedatangan Belanda, terkait dengan pelaksanaan kebijakan Belanda maka dibuatlah aturan organik yang diumumkan dalam plakat-plakat. Konsolidasi pertama mengenai pidana mati yang dilakukan oleh Belanda secara menyeluruh di Hindia Belanda (Indonesia) sebagai tanah jajahan adalah pada tahun 1808 atas perintah Daendels lahirlah sebuah peraturan mengenai hukum dan peradilan (Raad van Hindie) dimana dalam salah satu kebijakannya itu ialah mengenai pemberian hukuman pidana mati yang dijadikan kewenangan Gubernur Jenderal.

Menurut plakat tertanggal 22 April 1808, pengadilan diperkenankan menjatuhkan pidana:

  1. Di bakar hidup-hidup pada satu tiang
  2. Di matikan dengan menggunakan keris
  3. Di cap bakar
  4. Di pukul hingga mati
  5. Kerja paksa pada pekerjaan umum

Dengan plakat tersebut, Daendels hanya bermaksud menyesuaikan sistem pemidanaan dalam hukum pidana tertulis dengan sistem pemidanaan dalam hukum adat sebagaimana diungkapkan Louwes. Di Aceh, Sang Sultan yang berkuasa dapat menjatuhkan lima macam pidana yang utama, yaitu:

  1. Tangan di potong (pencuri)
  2. Dibunuh dengan lembing
  3. Dipalang di pohon
  4. Dipotong daging dari badan terpidana (sajab)
  5. Ditumbuk kepala terpidana di lesung

Bahkan berdasarkan sejarah, ternyata pidana mati sudah dikenal jauh sebelum negara Indonesia terbentuk yaitu pada masa kerajaan-kerajaan. Pada kerajaan Kutai Kartanegara, berdasarkan Undang-Undang Dasar Panji Selaten, seorang Menteri bertugas melaksanakan hukum gantung bagi Senopati (hulubalang) yang berkhianat kepada kesultanan. Sedangkan pada zaman kerajaan Mataram Islam juga dikenal pidana mati, hal ini terlihat dari abdi dalem yang dibentuk oleh Sultan Agung terdapat abdi dalem martalulut yaitu abdi dalem yang sabar, bersahabat erat, penuh cinta kasih dan adil, yang memiliki tugas untuk memenggal leher orang yang sudah dijatuhi hukuman pancung.

Oleh sebab itu, mengenai pidana mati di Indonesia dilihat dari sejarahnya adalah bukan hal yang asing. Hanya saja mengenai cara pelaksanaanya yang berbeda satu tempat dengan tempat lainnya, namun mengenai tempat pelaksanaan eksekusi pidana mati hampir semuanya dilakukan dimuka umum. Dari tahun 1808 sampai dengan tahun 1848, sistem pemidanaan yang berlaku adalah plakat Daendels, namun dengan keluarnya Intermaire Straf bepalingen Lembaran Negara Hindia Belanda 1848 Nr. 6 ada beberapa perubahan dalam hukum penitensier, yang penting antaranya ialah pidana mati tidak lagi dengan cara yang ganas seperti plakat 22 April 1808, tetapi dengan pidana gantung.

Konsolidasi penerapan pidana mati kedua dan yang terpenting adalah pada saat KUHP 1915 (Wetboek van Strafrect yang berlaku di Belanda) diberlakukan di Indonesia pada tahun 1918 dengan beberapa kekhususan (terutama yang menyangkut pidana mati), maka hakim pidana pada pengadilan negara tidak dapat memakai hukum pidana adat sebagai strafbaar (dapat dipidana), tetapi strafmaat (ukuran pidana) masih dimungkinkan karena ia terikat oleh Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pada saat itu cara eksekusi pidana mati adalah sesuai dengan Pasal 11 KUHP yaitu dengan cara digantung yang dijalankan oleh algojo, namun seiring dengan perkembangan bahkan ada masa penjajahan Jepang terhadap Indonesia juga berpengaruh terhadap bentuk pelaksanaan pidana mati. Berkaitan dengan bentuk pelaksanaan pidana mati ini memunculkan pembahasan yang menarik antara Han Bing Siong dengan Wirjono Prodjodikoro.

Adanya masa peralihan yaitu selama perang berlangsung atau selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada waktu itu ada dua peraturan dijalankan (dualisme), yaitu peraturan Pasal 11 KUHP dan satu peraturan baru yang diundangkan oleh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati dilaksanakan dengan di tembak mati (artikel 6 dari Ozamu Gunrei No. 1 pada tanggal 2 Maret dengan artikel 5 dari Gunrei Keizirei yaitu kode kriminil dari pemerintahan pendudukan Jepang). Suatu contoh cara pelaksanaan pidana mati peradilan militer Jepang adalah terhadap pelaku-pelaku pemberontakan Blitar yang dipimpin oleh Supriyadi telah dijatuhi pidana mati pada tanggal 14 Februari 1945 yang dilaksanakan dengan di tembak mati. Keadaan dualisme ini berlangsung hingga bulan-bulan pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tetapi di daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda semua peraturan Jepang itu dianggap tidak sah.

Han Bing Siong menanggapi permasalahan yang ada, setelah kesatuan Republik Indonesia, ia menarik kesimpulan bahwa di seluruh Indonesia pidana mati harus dilaksanakan dengan pidana gantung, sesuai dengan Pasal 11 KUHP yang pelaksanaannya memerlukan algojo, maka harus ada peraturan baru untuk maksud tersebut.

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro memiliki pendapat yang berbeda, bahwa selain Pasal 11 KUHP yang dilakukan dengan cara di gantung, juga berlaku Stbld. No.123 Tahun 1945 masih tetap berlaku pada saat Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 diberlakukan, karena di dalam Stbld. Tersebut tidak tercantum perubahan pada pasal 11 Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie pada waktu itu, maka oleh karena itu, peraturan-peraturan yang terdapat dalam Stbld. No. 123 Tahun 1945 tidak ditiadakan oleh Undang-Undang No. 73 Tahun 1958. Lebih lanjut dikatakan bahwa Stbld. No. 123 Tahun 1945 tidak berlaku di seluruh wilayah Indonesia, melainkan hanya di daerah-daerah tertentu saja. Sejak tahun 1964 maka permasalahan mengenai pelaksanaan pidana mati di Indonesia adalah dengan cara di tembak mati yang dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin.

Awal hukuman mati diidentifikasi terjadi sekitar abad ke 18 dalam masa kerajaan Hammaurabi di babel. Hukuman mati pada masa ini ditetapkan untuk 25 kategori kejahatan yang berbeda. Tetapi sebelum itu, hukuman mati ini juga sebenarnya sudah terekam abad ke 14 yang terjadi di Athena. Hukuman mati pada masa ini dilaksanakan untuk semua pelanggaran maupun tindak kejahatan. Hukuman mati juga berlaku pada masa kekaisaran romawi yang terjadi sekitar abad ke 12 yang dimana praktik hukuman mati dilakukan dengan berbagai cara seperti penyaliban, ditenggelamkan, dipukuli sampai mati, dibakar hidup-hidup dan dilempari sampai mati.

Perjalan hukuman mati ini termasuk sudah mengalami zaman yang panjang dan berbeda. Sekitar tahun 1066 Raja William atau biasa disebut sebagai William Sang Penakluk (Normandia, Perancis) menghapus istilah hukuman mati (pada masa itu berlaku hukuman gantung) untuk kategori kejahatan apapun namun terkecuali untuk para penjahat perang. Namun tren ini tidak bertahan lama karena pada abad ke 16 dibawah pemerintahan raja Henry VIII, sebanyak 72.000 orang diperkirakan telah dieksekusi dengan berbagai bentuk kejahatan. Beberapa metode hukuman mati pada masa tersebut dilakukan dengan berbagai cara antara lain dibakar di tiang, digantung, pemenggalan, dan quartering. Kebanyakan eksekusi dilakukan karena alasan pelanggaran modal & pajak, tidak mengakui kejahatan, dan pengkhianat kerajaan.

Sementara di Inggris, pada tahun 1700-an telah terjadi 222 pelaku kejahatan yang siap untuk dihukum mati. Kebanyakan para pelaku kejahatan tersebut telah melakukan tindakan seperti mencuri dan menebag pohon. Karena banyaknya pelaku yang akan dieksekusi, pihak juri melakukan klarifikasi ulang dengan mempertimbangkan kejahatan berat dan ringan hingga pada akhirnya sekitar 100 pelaku yang akhirnya jadi dieksekusi.

Hukuman Mati di Amerika

Hukuman mati di Amerika sebenarnya secara langsung juga ada karena pengaruh praktik hukuman mati yang telah terjadi sebelumnya di Inggris. Eksekusi hukuman mati pertama di Amerika diawali dengan eksekusi Kapten George Kendall. Eksekusi dilakukan didaerah koloni Jamestown, Virginia pada tahun 1608. George Kendall dieksekusi karena terlibatnya kendall dalam aktivitas memata-matai (Kendall menjadi mata-mata Spanyol untuk Amerika). Selajutnya hukuman mati telah banyak berlangsung didaerah Amerika, kebanyakan eksekusi dilakukan kepada para peyangkal Tuhan yang pada masa tahun 1600-an penyangkalan kepada Tuhan dianggap sebagai suatu kejahatan.

Gerakan Abolisionisme (The Abolitionist Movement)

Gerakan Abolisionisme menemukan akar (awal mula) dari tulisan para intelektual di Eropa seperti Montesquieu, Voltaire, Bentham, John Bellers dan John Howard. Hingga pada tahun 1967, Cesare beccaria menuliskan sebuah essay yang isinya menentang perbudakan dan HAM. Essay ini memberikan energi baru terhadap revolusi sebuah negara hingga pada akhirnya tulisan ini secara tidak langsung membawa sebuah pergerakan yang disebut sebagai gerakan abolisionisme. Pada masa pergerakannya, gerakan ini juga berimbas terhadap penentangan terhadap praktik hukuman mati yang kejam. Gerakan ini juga secara tidak langsung menjadi alasan penghapusan praktik hukuman mati di Austria dan Toskana (Italia Tengah). Para intelektual di Amerika juga dipengaruhi oleh tulisan Cesare beccaria yang berimbas terhadap pembentukan RUU oleh Thomas Jefferson. RUU ini dibentuk sebagai revisi terhadap UU hukuman mati di Virginia.
Dr. Benjamin Rush juga seorang yang terpengaruh atas konsep yang dibentuk oleh Cesare Beccaria. Rush menentang keyakinan bahwa hukuman mati berfungsi sebagai tindakan pencegah kejahatan. Bahkan, Dia menyatakan bahwa efek hukuman mati justru meningkatkan tindakan pidana. Rush mendapat dukungan dari Benjamin Franklin dan Jaksa Agung Philadelphia, William Bradford. Bradford, yang kemudian menjadi Jaksa Agung AS meyatakan penghapusan terhadap hukuman mati pada tahun 1794 di Pennsylvania. Hingga secara resmi pada tahun 1794, praktik hukuman mati secara resmi dihapuskan didaerah Pennsylvania untuk seluruh kategori kejahatan terkecuali untuk kasus pembunuhan tingkat pertama.