Bagaimana Sejarah Hipotesis Sapir-Worf dalam Ilmu Linguistik?

image
Salah satu penyumbang teori dalam kajian antropolinguistik adalah Sapir dan Worf.

Bagaimanakah sejarah hipotesis Sapir-Worf dalam ilmu linguistik?

Sejarah Hipotesis Sapir-Worf

Relativitas bahasa adalah bidang linguistik yang kembali muncul pada dasawarsa 1970-an yang kemudian menjadi salah satu kajian linguistiK, yaitu dalam Sosiolinguitik, Pragmatik, dan Etnolinguistik. Sebelumnya relativitas bahasa pernah terasingkan dalam beberapa dasawarsa pada abad pertengahan keduapuluh karena pada saat itu universitas bahasa diformalkan secara berlebihan oleh Gramatika Generatif, dengan kajian yang tidak pernah keluar dari ranah sintaksis.

Rujukan relativitas bahasa adalah seorang filosof dan bahasawan Jerman, yaitu Wilhelm von Humboldt (1767-1835) yang sering disebut sebagai bapak relativitas bahasa. Menurutnya ada saling kesinambungan antara masyarakat, bahasa, dan budaya. Bahasa adalah alat untuk berpikir sehingga akan mempengaruhi pola pikir. Setiap bahasa satu dengan bahasa lainnya adalah berbeda. Bahasa dan pikiran adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Perkembangan pola pikir manusia dipengaruhi oleh bahasa, maka bisa dikatakan bahwa bahasa yang digunakan akan mencerminkan perkembangan pola pikir penuturnya. Dalam pandangan Humboldtian, relativitas bahasa berarti determinisme bahasa: suatu bahasa yang digunakan akan menentukan pola pikir penuturnya

Relativitas bahasa secara samar muncul dalam pemikran bapak linguistik modern, Ferdinand de Saussuure yang berpendapat bahwa setiap kata merupakan tanda (sign) dan setiap tanda selalu terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signnifed). Konsep tersebut jika diterapkan masih membingungkan. Setiap wujud dan objek dijadikan sebagai petanda dan muncul dalam bahasa sebagai kata atau petanda. Dalam masalah ini, de Saussure (1916 [1959]: 65-66) menyatakan bahwa bahasa dalam pengertiannya adalah dinamis, bukan suatu proses penamaan (name giving) , yang berpendapat bahwa adanya ide atau makna bukanlah hal yang lebih dulu ada sebelum kata. Maka kata muncul sudah dengan adanya kesatuan penanda-petanda atau “leksikalisasi.” Setiap bahasa memiliki leksikalisasi yang berbeda.

Relativitas bahasa terlihat jelas pada linguistik deskriptif ala Franz Boas (1858-1924) yang ia dapatkan dari hasil penelitiannya atas bahasa Indian-Amerika. Linguistik Boas sangat diwarnai oleh pendekatan antropologi yang selalu melihat keterkaitan antara bahasa dan budaya. Karena sebelumnya Boas menekuni fisika dan geograsi yang akhirnya tertarik pada antropologi. Setiap bahasa memiliki deskripsi yang khas karena setiap bahasa memiliki struktur yang unik dan khas. Sebagaimana pendapat Sampson (1980),

A characteristic of the school founded by Boaz was its relativism. There was no ideal type of language, to which actual languages approximated more or less closely; human languages were endelessly diverse.

Pandangan Boas mengatakan bahwasanya tidak ada bahasa yang sempurna, yang dapat dijadikan contoh model bagi bahasa-bahasa alamiah yang ada. Relativitas bahasa adalah mutlak, sehingga tidak ada universalitas bahasa. Bagi Boas deskripsi bahasa bukanlah alat atau sarana untuk membangun teori linguistik. Melainkan deskripsi bahasa adalah tujuan akhir dari analisa bahasa yang menggunakan teori linguistik. Sangat memungkinkan jika deskripsi bahasa adalah sebagai langkah awal untuk mengkaji dan memahami budaya suatu masyarakat secara lebih mendalam.

Konsep pemikiran Boas tercermin dari Edward Sapir (1884-1939) dan pemikiran Sapir mempengaruhi muridnya Benjamin Lee Whorf (1897-1941). Sekarang ini jika kajian linguistik mmengenai tentang relativitas bahasa dan tentang bahasa dan budaya maka tidak pernah lepas dari Hipotesis Sapir-Whorf, yang selanjutnya disingkat HSW atau merujuk pada muridnya Hipotesis Whorf(in).