Bagaimana Sejarah Euroscepticism di Perancis?

Euroscepticism di Perancis

Bagaimana Sejarah Euroscepticism di Perancis?

Eurosceptic secara umum diartikan sebagai adanya keraguan dan kritik terhadap Integrasi Eropa. Eurosceptic merupakan tantangan baru yang dihadapi oleh Uni Eropa pada beberapa decade terakhir, tetapi sejak tahun 90an setelah adanya Traktat Maastricht, ketika Uni Eropa bekembang tidak hanya secara ekonomi melainkan juga secara politik, uni eropa mulai menghadapi beberapa masalah, seperti kurangnya legitimasi dan lain sebagainya.

Di Perancis ketegangan yang terjadi pada tahun 90an ini diakibatkan oleh dibentuknya monetary union. Dimana debat yang terjadi akibat dari adanya Traktat Maastricht ini disebabkan oleh perjanjian tersebut yang memperbolehkan negara anggota Uni Eropa menggunakan mata uang Euro dalam waktu yang berbeda (sesuai dengan kesiapan mereka), hal ini berdasarkan Maastricht Criteria. Selain itu adanya defisit yang dialami Perancis, serta adanya krisis ERM (European Exhange Rate Mechanism) pada saat itu juga menjadi alasan mengapa angka Eurosceptic di Perancis pada waktu itu meningkat secara pesat, ditambah dengan partai sayap kiri yang mendukung Eurosceptic memperoleh suara sebanyak 12 persen pemilu Parlemen Eropa pada tahun 1999 (Cole & all, 2008).

Pada Traktat Amsterdam terdapat pasal yang berbunyi bahwa Uni Eropa dibentuk berdasarkan prinsip liberty, democracy, human right, dan lain sebagainya, tetapi sama seperti perjanjian sebelumnya, tidak adanya penjelasan lanjutan mengenai hal tersebut membuat masyarakat kurang yakin pada perjanjian tersebut, ditambah dengan tidak adanya hal yang membahas mengenai jaminan identitas Nasional.

Perjanjian tersebut juga menjelaskan mengenai hukuman larangan voting pada anggota parlemen Eropa (pasal 6 ayat 1), hal ini jelas melanggar Hak setiap anggota. Pada perjanjian tersebut juga tidak dijelaskan mengenai integrasi Eropa lebih lanjut, banyak pihak berpendapat bahwa perjanjian ini seperti tidak mempunyai arah yang jelas (Ward, 1999). Hal tersebut menyebakan munculnya demonstrasi menolak perjanjian Maastricht dan perjanjian Amsterdam yang diikuti beberapa kelompok dari partai sayap kanan yang bernama kelompok “Sovereignists” pada pertemuan Nice, bulan desember tahun 2000, menandai dimulainya gerakan penolakan yang lebih besar terhadap Integrasi Eropa. Selain itu ditambah dengan munculnya kelompok gerakan anti globalisasi. Adanya mobilisasi ini mengangkat isu-isu seperti pengangguran di Perancis, selain itu juga isu-isu lain seperti Institusi Eropa. (Flood, 2002)

Sejak tahun 1990 beberapa kelompok di Perancis mengkritisi terkait dengan trade union yang dirasa dapat meningkatkan angka pengangguran dan mengurangi lapangan pekerjaan. Karena serikat pekerja sering mendapatkan upah yang lebih tinggi, dengan menaikkan upah tenaga kerja diatas angka equilibrium, maka perusahaan tidak akan memperkerjakan lagi pekerja yang tidak layak sesuai dengan upah yang ditetapkan serikat pekerja tersebut sehingga pengangguran meningkat. (Anderton, 2008).

Dibentuknya partai atau kelompok yang bernama movement des Citoyens (MDC) oleh Jean-Pierre Chevenement beserta aliansinya pada tahun 1991 karena adanya penolakan terhadap treaty European Union dan Perang teluk, tetapi mereka tidak menolak integrasi Uni Eropa secara keseluruhan melainkan mereka menyerukan pandangan alternative terhadap Integrasi Eropa, sehingga mereka membuat slogan “Pour Une Autre Europe”(untuk sebuah alternative eropa), dan pada 1994 berubah menjadi “Construire une Autre Europe”(membangun alternatif Eropa). Pandangan ini berdasar adanya penolakan terhadap federalism dan adanya model pengambilan kebijakan secara intergovernmentalist.

Pada referendum tahun 1992 terkait dengan Traktat Maastricht kelompok-kelompok yang cenderung Eurosceptic berasal dari kalangan menengah kebawah dan mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, selain itu kelompok yang berasal dari partai sayap kiri juga terdiri atas kelompok blue collar workers(kelompok pekerja biasa) dan kelompok white collar workers pada tingkat yang lebih rendah (kelompok pekerja yang mempunyai keahlian khusus), 51 persen memilih untuk setuju, hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak selurh rakyat Perancis memiliki pandangan pro Eopa.

Pada tahun 1999 kelompok MDC ini merasa bahwa uni tujuan integrasi Uni Eropa ini telah berubah sejak tahun 1991, adanya kerjasama dalam kebijakan imigrasi dapat membuat ketidakjelasan dalam menentukan kewarganegaraan. Pada saat itu chevenement kembali mengampanyekan kedaulatan dan juga memperdebatkan hal tersebut dengan menteri luar negeri Jerman dan pemimpin dari green Party Joschka Fischer, karena Fischer mengusulkan agar membentuk Eropa secara Federal, tetapi Chevenement mengkritisi hal tersebut dengan mengaitkan dengan sejarah kekejaman Nazi dan menyamakan sistem Federal Eropa dengan Germanic Holy Roman Empire. Hal tersebut membuat hubungan franco-germany kembali memanas, kemudian hal tersebut memunculkan sikap pesimisme terkait dengan kemampuan Institusi Uni Eropa untuk mengontrol adanya dua keinginan yang berbeda.

Pada 1 Mei 2004 Uni Eropa melakukan Enlargement, Enlargement ini menyasar negara-negara Eropa Timur (Eastern Enlargement) Enlargement Uni Eropa di bagian timur dapat dikatakan sukses secara ekonomi, perdagangan bebas antara anggota Uni Eropa lama dan anggota baru meningkat pesat, adanya investasi yang berasal dari perusahaan-perusahaan di Eropa barat telah membantu membuka ratusan bahkan ribuan lapangan pekerjaan di Eropa bagian Tengah dan Timur, dan menghasilkan keuntungan jutaan euro bagi perusahaan yang telah berinvestasi (Barysch, 2006)

Selain itu uang yang berasal dari anggaran budget Uni Eropa juga mengalir di area termiskin di Eropa bagian Timur bahkan hingga ke petani di Bagian Timur Eropa. Negara yang sebelumnya sangat eurosceptic kini telah berubah, karena mereka dapat menjual produk-produk mereka ke seluruh penjuru Uni Eropa. Tetapi secara politik, enlargement tersebut ternyata menuai kritik dan penolakan dari beberapa anggota lama seperti Perancis, Jerman, dan Austria, mereka berpendapat bahwa enlargement ini berdsampak buruk bagi perekonomian mereka. (Barysch, 2006)

Tantangan integrasi ekonomi pasca enlargement ini juga semakin nyata jika kita melihat adanya gap antara anggota lama dan anggota baru Uni Eropa, dimana rata-rata GDP pada 10 negara anggota Baru hanya sebesar 46 persen dari rata-rata GDP Uni Eropa, Slovenia merupakan negara terkaya, sedangkan negara anggota baru negara termiskin yaitu Latvia yang hanya mempunyai tingkat GDP sebesaar 36 persen dari rata-rata Uni Eropa keseluruhan. (Bishop, 2004)

Selain itu adanya pertumbuhan ekonomi yang melambat pada negara-negara anggota lama dan kegagalan untuk mengatasi masalah structural ekonomi domestic di negara-negara anggota lama termasuk Perancis sebagai akibat dari adanya Eastern enlargement juga menunjukkan bahwa Eastern enlargement ini menyebabkan beberapa masalah tersendiri bagi negara-negara anggota lama. Satu tahun pasca enlargement ini dampak yang dirasa semakin terasa di Perancis ketika enlargement ini masuk kedalam salah satu isu yang dikampanyekan menjelang referendum pada saat itu, enlargement ini dirasa masyarakat Perancis akan berdampak pada berkurangnya lapangan pekerjaan, karena masuknya pekerja-pekerja murah yang berasal dari Eropa Timur, dan mengambil kekayaan atau sumber daya yang dimiliki masyarakat Perancis. Isu-isu pengangguran ini merupakan hal yang nyata karena per 1 mei 2004 angka pengangguran di Perancis sebesar 9.4 persen, sedangkan satu tahun kemudian angka ini meningkat menjadi 10.2 persen. (Oakman, 2013)

Beranjak ke tahun 2005 Integrasi Uni Eropa kembali diuji ketika dua negara penggagas adanya uni Eropa menolak Konstitusi Eropa yang dinyatakan dalam dua referendum, dimana referendum pertama digelar pada 29 mei, dimana 54,7 persen warga Perancis menolak dan memilih untuk “No vote”, referendum kedua digelar oleh negara Belanda tiga hari setelah Perancis menggelar referendum tersebut dimana hasilnya 61,6 persen warganya juga menolak adanya konstitusi Eropa.

Alasan dari hal tersebut diperkirakan akibat dari adanya dukungan yang berasal dari kelompok elit politik mainstream dan adanya blow up yang dilakukan oleh berbagai media. Selain itu isu-isu pendukung seperti adanya krisis ekonomi global (Eurozone mengalami dampak negative dan berbahaya) (Milner, 2004)

Pada 29 Mei 2005 54,9 persen masyarakat Perancis menolak Konstitusi Eropa yang digelar secara referendum, tetapi pemerintah Perancis bertindak sebaliknya, dimana kelompok partai sosialis, dan mayoritas Gaullistic, mendukung untuk diratifikasi Konstitusi Eropa ini, selain terdapat beberapa pihak yang terus menyuarakan agar rakyat Perancis menolak Konstitusi ini, yaitu kelompok partai ekstrim sayap kanan partai Front Nasional dibawah komando Jean-Marie Le Pen. (Startin & Krouwel, 2013).

Sedangkan perdana menteri Perancis pada saat itu Jacques Chirac yang berasal dari partai Union for a Popular Movement juga mendukung untuk diratifikasinya perjanjian tersebut, dimana Chirac berpendapat bahwa Konstitusi Eropa merupakan salah satu kesempatan untuk membuat Eropa lebih kuat dan akan meningkatkan pengaruh Perancis pada Uni Eropa. Selain itu Chirac juga berpendapat bahwa penolakan terhadap Konstitusi Eropa ini akan membawa citra buruk Perancis, selain itu dia juga menambahkan bahwa penolakan ini telah menghancurkan kerja keras integrasi yang telah berjalan sejak 50 tahun lalu.

Sedangkan pihak-pihak yang menolak terhadap konstitusi Eropa ini, seperti pemimpin partai Front National (Jean Marie Le Pen) berpendapat bahwa Konstitusi Eropa ini akan menghilangkan kedaulatan Perancis, selain itu konstitusi baru ini akan melemahkan hak pekerja di segala sektor dan akan meningkatkan angka pengangguran, hal ini benar adanya karena pada tahun 2005 angka pengangguran di Perancis mencapai angka 10,0 Persen, hal ini menjadi tolak ukur tersendiri mengapa rakyat Perancis menolak Konstitusi tersebut.

Konstitusi ini juga akan menimbulkan dampak struktur ekonomi liberal yang juga diprediksi akan memperparah pasar tenaga kerja di Perancis. Selain itu adanya kegagalan reformasi pasar tenaga kerja dan tingginya angka pengangguran juga memperparah hal tersebut. adanya beban yang tinggi melalui pajak juga menyebabkan masyarakat Perancis menolak konstitusi tersebut. Selain itu masyarakat Perancis juga tidak setuju jika Turki masuk kedalam anggota Uni Eropa karena Turki tidak memiliki hubungan yang baik dengan Cyprus, selain itu adanya isu terorisme pada suku Kurdi di Turki juga menjadi alasan mengapa mereka menolak keanggotaan Turki. (Endow, 2003).