Cultural studies lahir di tengah-tengah semangat Neo-Marxisme yang berupaya meredefinisikan Marxisme sebagai perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni budaya tertentu. Para pendirinya terdiri dari sejumlah pengajar perguruan tinggi di Inggris, yang pada pasca Perang Dunia Kedua berusaha meredefinisikan makna perjuangan kelas di tengah situasi dunia yang tengah berubah. Entah kebetulan atau tidak, Richard Hoggart (1918 - âŚ), Raymond Williams (1921-88)5, E.P. Thompson (1924 â 93)6, dan Stuart Hall (1932 - âŚ) sama-sama berasal dari latar belakang kelas pekerja dan mengajar di institut pendidikan orang dewasa. Dengan latar belakang sedemikian rupa, tak heran jika mereka memandang kritis asal muasal mereka (kelas pekerja) yang berkiprah di tengah arena yang pada umumnya didominasi oleh budaya elitis (pendidikan tinggi). Agaknya, dari sini pulalah muncul suatu semangat perlawanan terhadap budaya adiluhung yang dikontraskan dengan budaya jelata kalangan kelas pekerja Inggris, yang saat itu mulai menampakkan bentuk sebagai akibat serbuan budaya populer Amerika Serikat.
Istilah cultural studies sendiri berasal dari Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Universitas Birmingham, yang didirikan pada tahun 1964. Edisi perdana jurnal mereka terbit pada 1972, berjudul Working Papers in Cultural Studies, diterbitkan dengan tujuan khusus ââŚmendefinisikan dan mengisi sebuah ruang, serta meletakkan cultural studies pada peta intelektualâ (Sardar & Van Loon, 2001:24). Melalui jurnal ini, tulisan para tokoh pendiri cultural studies dipublikasikan ke seluruh dunia. Tulisan-tulisan mereka lantas dipandang sebagai teks-teks dasar cultural studies.
Para pendiri cultural studies berlatar belakang pendidikan sastra. Lagi-lagi, ini bisa dirunut dari perkembangan paham strukturalisme dalam kritik-kritik sastra yang berkembang pesat di Eropa pada masa itu. Berdasarkan pandangan ini, bahasa yang menjadi alat utama untuk mengekspresikan kehendak dan laku komunikasi ternyata tidak bebas dari struktur sistem dan ideologi yang ada. Maka, perhatian para kritikus sastra pun bergeser dari penggunaan bahasa secara praktis menjadi inkuiri atas wacana ideologi yang mendasari penggunaan bahasa.
Sesungguhnya, bahasa sendiri sebagai satu sistem pemikiran logis telah banyak dibahas oleh para filosof sejak era Yunani Kuno. Namun, diskusi seputar bahasa dalam strukturalisme tidak lagi tertarik pada masalah semacam itu. Para ahli strukturalisme justru lebih tertarik untuk mengangkat materi mengenai bahasa yang kini dipandang sebagai salah satu representasi ideologi. Ideologi sendiri, dalam jagat filsafat modern, dipahami kurang lebih sebagai hasil produksi budaya (produk budaya) atau pemroduksi budaya. Maka cultural studies lantas mendiskusikan ideologi dalam konteks semacam itu.
Kembali pada tujuan cultural studies, yaitu âmengisi ruang dalam sebuah peta intelektual.â Ruang apa sesungguhnya yang dimaksud oleh cultural studies? Untuk menjawabnya, perlu dipahami terlebih dahulu makna istilah âbudayaâ yang dimaksud dalam cultural studies.
Istilah budaya mencakup banyak hal: mulai dari produk budaya (representasi budaya dalam bentuk kode di pelbagai bidang), simbol budaya (kesepakatan atas kode budaya), perilaku budaya (tata cara berperilaku, adat, custom), dan gagasan serta cara pandang yang mendasari perilaku tertentu (perspektif budaya). Definisi para ahli juga sangat beragam, mulai dari yang sangat serius-Margaret Mead: Budaya adalah perilaku pembelajaran sebuah masyarakat atau subkelompokâhingga yang terkesan âmain-mainâ, walau sesungguhnya tak kalah seriusâClifford Geertz: Budaya hanyalah serangkaian cerita yang kita ceritakan pada diri kita mengenai diri kita sendiri. Sebagian ahli mencoba menjelaskan budaya sebagai suatu keseluruhan (E.B. Taylor: Budaya adalah keseluruhan hal yang kompleks, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat). Sebagian lain, dalam gagasan budaya sebagai suatu keseluruhan yang dipaparkan di atas, mencoba untuk lebih tegas dan lebih spesifik (Raymond Williams: budaya mencakup organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga, yang mengeskpresikan atau mengatur hubungan-hubungan sosial, bentuk-bentuk berkomunikasi khas anggota masyarakat).
Dalam karyanya Keywords, Raymond Williams menyarankan tiga batasan luas tentang budaya. Pertama, budaya bisa dipakai untuk menunjuk pada proses umum tertentu dari perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika sebuah masyarakat. Kedua, budaya dimaknai pula sebagai suatu jalan hidup spesifik yang dianut baik oleh orang, periode, maupun oleh sebuah kelompok tertentu dalam masyarakat. Ketiga, budaya dapat dipakai untuk menunjuk karya-karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas estetik. Dalam karyanya yang lain, Williams juga menyebut tiga kategori umum dalam pengertian kebudayaan. Pertama, definisi âidealââbudaya dianggap merupakan satu proses penyempurnaan kehidupan manusia (human perfection) dalam term nilai-nilai absolut atau universal tertentu. Kedua, definisi bersifat âdokumenterââbudaya dipahami sebagai susunan intelektual dan karya imajinatif berisi catatan pemikiran dan pengalaman manusia. Ketiga, definisi âsosialââbudaya sebagai suatu deskripsi dari sebuah jalan hidup partikular, yang mengekspresikan makna-makna dan nilai-nilai tertentu bukan hanya dalam seni dan proses belajar, melainkan juga pada institusi-institusi dan perilaku sehari-hari. Dengan begitu banyaknya pemahaman menyangkut budaya, tak heran jika Franz MagnisSuseno (1991) menulis, kebudayaan adalah âseluruh hamparan alam semesta sejauh telah ditandai oleh eksistensi manusia.â
Edgar & Sedgwick (1999) dalam bukunya Key Concepts on Cultural Theory menulis, istilah âcultureâ memang tidak mudah didefinisikan, karena memiliki makna yang berbeda-beda dalam beragam konteks. Kendati demikian, konsep tentang budaya yang mendasari cultural studies dapat ditemukan bermuara pada antropologi kultural, sebagaimana cultural studies itu sendiri. â⌠It entails recognition that all human beings live in a world that is created by human beings, and in which they find meaning.â Karena itu, âCulture is the complex everyday world we are all encounter and through which we all move.â Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka, tampaknya, budaya mencakup (hampir) segala sesuatu dan cultural studies, sebagai konsekuensinya, juga mempelajari (hampir) segala sesuatu.
Namun, kendatipun cultural studies tampaknya merupakan kajian yang paling sukar ditetapkan batas-batasnya, tidak berarti bahwa segala sesuatu dapat masuk menjadi bahasan cultural studies. Sardar dan Van Loon (2002) merinci karakteristik cultural studies sebagai berikut:
-
cultural studies bertujuan mengkaji pokok persoalan dari sudut praktik kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan. Tujuan tetapnya adalah mengungkapkan hubungan kekuasaan dan mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi dan membentuk praktik kebudayaan.
-
cultural studies tidak hanya studi tentang budaya, seakan-akan ia merupakan entitas tersendiri yang terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya adalah memahami budaya dalam segala bentuk kompleksnya dan menganalisis konteks sosial dan politik tempat budaya mengejawantahkan dirinya. Budaya dalam cultural studies selalu menampilkan dua fungsi: ia sekaligus merupakan objek studi maupun lokasi tindakan dan kritisisme politik. cultural studies bertujuan, baik usaha pragmatis maupun ideal.
-
cultural studies berupaya membongkar dan mendamaikan pengotakan pengetahuan, mengatasi perpecahan antara bentuk pengetahuan yang tak tersirat (yaitu pengetahuan intuitif berdasarkan budaya lokal) dan yang objektif (yang dinamakan universal). cultural studies mengasumsikan suatu identitas bersama dan kepentingan bersama antara yang mengetahui dan yang diketahui, antara pengamat dan yang diamati.
-
cultural studies melibatkan dirinya dengan evaluasi moral masyarakat modern dan dengan garis radikal tindakan politik. Tradisi cultural studies bukanlah tradisi kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi yang punya komitmen bagi rekonstruksi sosial dengan melibatkan diri pada kritik politik. Jadi, cultural studies bertujuan memahami dan mengubah struktur dominasi di mana-mana, namun secara khusus lagi dalam masyarakat kapitalis industrial.
Istilah kunci yang kerap dipakai oleh cultural studies adalah membongkar praktik kekuasaan, membongkar hegemoni ideologi dan wacana tertentu. Dilihat dari akar sejarahnya yang bermula dari semangat perlawanan terhadap budaya elit tradisi ilmiah, penggunaan terminologi tersebut tidaklah mengherankan.
Berdasarkan karakteristik itu pula, cultural studies membedakan diri dengan praktik-praktik analisis budaya, baik melalui komparasi budaya atau grounded research, seperti dilakukan oleh antropologi kultural. Cultural studies, sekali lagi, tidaklah membicarakan bagaimana âwajahâ atau âkarakterâ budaya tertentu. Dalam upaya menggambarkan wajah atau karakter budaya tertentu, cultural studies akan selalu menghubungkan dengan praktik-praktik budaya yang menghegemoni. Ada tudingan bahwa cultural studies tidak bebas nilai. Ini diakui oleh para peneliti cultural studies sendiri, yang memang sedari awal bukan saja mengakui bahwa fakta tidaklah bebas nilai dan bahwa realitas merupakan hasil konstruksi manusia, namun juga secara sadar dan sengaja memilih berkiprah sebagai cendekiawan yang juga aktivis.
Dalam perkembangannya, cultural studies yang digagas sebagai satu disiplin kajian yang khas pada akhirnya memiliki karakter yang berbeda-beda di setiap wilayah. cultural studies Inggris, sebagai cikal bakal cultural studies, dianggap sebagai disiplin yang kini sudah kelewat formalistik dan kaku, serta menuai kritik karena terlalu Anglosentrisâmengukur segala sesuatu dari kacamata budaya Anglo-Saxon. Ini berbeda dengan cultural studies Amerika Serikat, yang tampaknya berpusat pada pemujaan terhadap budaya pop yang sangat berlebihan. Cultural studies Prancis mengalami perkembangan yang sangat menarik di tengah pergolakan kelas dan revolusi sosial yang disebabkan oleh kehadiran para imigran, di antaranya dari Aljazair dan Afrika Utara. Dari segi sejarah, perlu diingat pula bahwa beberapa wilayah Prancis semisal Korsika, dulunya pernah terlepas dari wilayah Prancis sehingga memperlihatkan kultur yang unik. Ini belum lagi termasuk gerakan radikal mahasiswa di tahun 60-an (yang antara lain dipimpin Michel Foucault langsung di jalanan) yang turut mewarnai gejolak revolusi sosial Prancis. Cultural studies Prancis kebanyakan berbicara tentang âkesepianâ kaum imigran di negara baru mereka, dan âkebingungan identitasâ di tengah keberagaman Prancis yang menempatkan budaya Prancis sebagai pusat budaya yang lebih superior. Kajian cultural studies Kanada kebanyakan berpusat pada kompetisi kultural yang berlangsung di antara budaya tiga penutur bahasa dominan: Inggris, Prancis, dan bahasa asli Kanada sendiri. Sementara cultural studies India, mengangkat semangat perlawanan anak benua asli menghadapi praktik-praktik kolonialisme (lewat studi rekonstruksi sejarah di mana sejarah direinterpretasi dari kacamata âkorban penjajahâ yang jelas sangat berbeda dengan bangun sejarah yang dikonstruksi âsang penjajahâ) maupun pascakolonialisme (ketika Barat memperlakukan Timur sebagai âthe otherâ yang tidak saja bertentangan dan berbeda, namun juga memposisikan Barat sebagai pihak adikuasa dan superior berhadapan dengan Timur yang eksotik namun inferior).
Agak sulit menetapkan macam apa bangunan cultural studies Indonesia. Wajah yang khas tentu akan ada, mengingat Indonesia punya sejarah dan budaya yang berbeda dengan wilayah lain. Tapi mesti diingat bahwa cultural studies Indonesia merupakan hasil impor dari tradisi ilmiah yang sangat berbeda dengan keseharian Indonesia, baik dari budaya maupun cara pikir. Budaya impor itu tidak diasimilasikan oleh para culturalist Indonesia ke dalam konteks keindonesiaan, namun masih lekat dengan budaya asal importirnya. Contohnya saja dalam membicarakan cultural studies. Terminologi dan istilah yang dipakai masih merupakan istilah impor, termasuk istilah cultural studies sendiri. Alih-alih menggunakan istilah âkajian atau studi budayaâ sebagai pengganti cultural studies, para aktivis cultural studies tampak lebih menyukai istilah cultural studies yang ditulis dengan italicized typography style. Ariel Heryanto menilai fenomena ini menyebabkan cultural studies Indonesia masih harus berjuang keras untuk menemukan bentuk orisinalnya. cultural studies Indonesia juga menurut Ariel berkembang tanpa melalui proses sejarah ilmiah sebagaimana dialami para perintis cultural studies. âIt is cultural studies without any âsignificant others.â Akibatnya, jelas Ariel, â.⌠could be far reaching.â
Bagaimanapun, dari segi materi kajian, Indonesia sesungguhnya punya sumber-sumber budaya, sosial, dan historis yang melimpah pun tak kalah unik dibandingkan kawasan lain yang sudah lebih dulu mengembangkan cultural studies. Indonesia, dengan kata lain, memiliki âmodal budayaâ dan âmodal sejarahâ yang cukup kuat.
Dari aspek âmodal sejarahâ, cultural studies dengan semangat perlawanannya sangat relevan diterapkan di Indonesia untuk mengkaji bagaimana praktik kekuasaan mewujud dalam praktik keseharian masyarakat Indonesiaâdisadari atau (kerap) tidak disadari. Sebagaimana halnya India, Indonesia pun sempat mengalami masa kolonialisme yang cukup lama hingga mental-mental kolonialisme terlestarikan bahkan sampai saat ini. Sejumlah penelitian yang pernah dilakukan memperlihatkan minat atas topik tersebut. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Sulistini Dwi Putranti (2002) tentang menjamurnya Bursa Komoditi Second Branded menunjukkan keterkaitan fenomena tersebut dengan kuatnya hegemoni produk bermerek luar negeri dalam benak konsumen Indonesia. Penelitian ini mengimplikasikan betapa penjajahan kolonialisme kini dengan sukses telah digantikan oleh penjajahan kapitalisme internasional. Penelitian lain yang dilakukan Safrina Noorman (2002) tentang humor yang muncul pada novel serial Lupus memperlihatkan dominasi bahasa militer, bahkan pada level joke remaja, di tengah semangat perlawanan dan pemberontakan mereka terhadap segala macam aturan. Secara jeli, Noorman berhasil mengidentifikasi sejumlah istilah dan frase yang terkait dengan bahasa militer, seperti diseret ke depan kelas untuk diinterogasi, guru menyerbu ke dalam kelas sambil membawa gunting, guru galak seperti tekab, dan lain-lain. Ini menunjukkan betapa mendalamnya pengaruh budaya militer dalam keseharian masyarakat Indonesia, hingga tanpa sadar, barangkali, Hilman Hariwijaya sang pengarang Lupus menempatkan setting kisah Lupus bak berlangsung dalam arena militer, lengkap dengan segala atribut dan kode-kodenya, justru di tengah semangat perlawanan nan menggebu-gebu terhadap disiplin dan kemapanan ala seragam hijau.
Sama halnya dengan Prancis, Indonesia juga memiliki komposisi penduduk yang sangat heterogen. Ratusan etnis menjadi bagian Indonesia, dan dalam upaya melanggengkan status quo, kerap terjadi praktik hegemoni budaya yang dilakukan etnis budaya tertentu demi kepentingannya semata. Studi cultural studies dalam wilayah ini membicarakan perebutan kekuasaan dan dominasi budaya tertentu yang direpresentasikan dalam arena-arena khusus. Penelitian Novi Anugrajekti dari Desantara Institute for cultural studies membahas kiprah perempuan dalam seni tradisi, seperti tayub, jaipong, gandrung, ronggeng, dombret, yang dibacanya sebagai suatu resistensi kultural atas penindasan dan subordinasi terhadap identitas mereka. Alia Swastika dari Kunci Cultural Studies juga melakukan penelitian yang menarik seputar slogan girl power yang memiliki arti penting bagi remaja perempuan untuk â ⌠mempertanyakan kembali identitas keperempuanannya, melihat kembali perannya dalam lingkup sosial, dan pada akhirnya menggugat ketimpangan yang mereka rasakan dalam masyarakat terhadap peran remaja laki-laki dan remaja perempuanâ (Swastika, 2002).
Contoh-contoh penelitian tadi memperlihatkan relevansi cultural studies dengan kondisi sosiokultural Indonesia yang begitu kaya.