Bagaimana sejarah cultural studies?

Era globalisasi ditandai dengan maraknya interaksi antarkultural. Ini bisa dipahami, mengingat dalam era globalisasi, setiap sisi dunia disatukan dalam sebuah desa global (global village) seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, khususnya teknologi komunikasi. Dengan terbukanya saluran dan akses komunikasi, terbuka pula kemungkinan interaksi antarkultural yang tak terbatas. Pada gilirannya, hal tersebut berdampak pada urgensi kajian budaya, yang mencoba memahami perbedaan antarbudaya lebih baik lagi dan secara lebih manusiawi.

Hal ini disebabkan oleh nteraksi antar kultural yang kerap memunculkan persoalan-persoalan yang bersumber pada perbedaan budaya. Beda budaya acapkali disikapi secara tidak bijak, yaitu sebagai ihwal persoalan yang harus diminimalisir, bertitik tolak dari anggapan mekanistis bahwa beda budaya mengakibatkan distorsi dalam mencapai tujuan-tujuan berinteraksi. Pemahaman yang tidak bijaksana seperti ini lantas menimbulkan treatment yang juga tidak bijaksana, yaitu, ambisi untuk menghapuskan perbedaan budaya dengan cara menyeragamkan budaya. Tindakan ini dinilai sangat berbahaya karena menafikan budaya-budaya minoritas atau budaya subordinat, lantas menggantikannya dengan seperangkat tata nilai yang dominan atau dikonstruksi sebagai yang dominan oleh pihak-pihak tertentu.

Ambisi penyeragaman budaya ini diperburuk lagi dengan munculnya konsepsi budaya adiluhung dan budaya massa (high culture vs. mass culture), tanpa memahami apa sesungguhnya makna budaya adiluhung atau budaya massa, pun tanpa mengkritisi apa, siapa, dan politik macam apa yang mendasari pemunculan istilah dikotomis semacam itu, banyak pihak lantas mengadopsinya secara sepihak, dan memanipulasinya untuk kepentingan masing-masing. Manipulasi yang umum terjadi dan paling kentara adalah eksploitasi istilah budaya adiluhung demi kepentingan pihak tertentu. Budaya sendiri dianggap sebagai budaya adiluhung, sedangkan budaya lain dianggap sebagai budaya jelata yang tidak setara, atau bahkan tidak berbudaya sama sekali. Karena itu, ambisinya lantas adalah ‘membudayakan’ atau ‘menggantikan’ budaya pihak lain.

Menyikapi perbedaan budaya dengan menyeragamkan budaya, sudah cukup “mengerikan”. Apalagi, ‘membudayakan’ pihak lain dengan membuat klaim-klaim tak berdasar secara sepihak bahwa budayanya sendiri adalah yang paling baik, dan karenanya yang paling berhak menempati sekaligus memimpin dunia. Setidaknya, begitulah dunia kecil yang dibangun oleh pihak-pihak yang ingin mempertahankan dominasi dan status quo kekuasaan mereka secara tidak bijaksana, dipandang dari sisi kajian budaya. Dan inilah yang menyebabkan mengapa perbedaan budaya kerap tidak menghasilkan perilaku yang tidak manusiawi.

Pada titik inilah, cultural studies (CS)—kajian budaya—menjadi sesuatu yang amat penting. Kajian budaya tidak berpretensi ‘menyeragamkan’ atau ‘membudayakan’ pihak lain. Kajian budaya justru memandang pihak lain sebagai significant others yang harus dihormati dengan segala keunikannya. Kajian budaya memandang setiap pihak memiliki kesempatan yang sama untuk menempati dunia dengan budaya dan keunikan masing-masing. Perbedaan budaya, karena itu, haruslah disikapi dengan bijak dan bukannya dengan cara memaksakan budaya tertentu, yaitu dengan cara memahami perbedaan yang ada satu sama lain. Melalui pengamatan dan penelitian seputar proses-proses konstruksi makna yang terjadi dalam setiap budaya, kajian budaya berkehendak memahami perbedaan tersebut secara lebih baik. Kajian budaya juga berkehendak membongkar praktik-praktik di balik konstruksi makna yang dipaksakan atas dasar kepentingan pihak tertentu, serta mencari sebab mengapa perbedaan tersebut tidak disikapi secara “dewasa”.

Dalam perspektif cultural studies, keunikan setiap budaya bagaimanapun adalah sumber keanekaragaman hayati—aset dunia yang sangat berharga, dan harus dihormati. Keindahannya akan hilang, dan kebersamaan manusia menjadi tidak bermakna dalam segala sesuatu yang dipaksakan harus selalu sama, sewarna, dan sebangun. Penghormatan terhadap keunikan masing-masing budaya, dan kesetaraan hak menempati dunia bagi setiap budaya, menjadi tesis dasar yang mensignifikansi eksistensi cultural studies. Dengan memahami perbedaan antarbudaya dalam interaksi antarkultural, cultural studies mencoba menyikapi perbedaan budaya secara lebih manusiawi.

Pada titik ini, cultural studies memang seolah tak beda dengan etnografi. Namun, bagi cultural studies, persoalannya lebih dari sekadar bagaimana menghormati budaya orang lain dan menyajikan narasi ihwal budaya secara romantis. Berbeda dengan etnografi, cultural studies berupaya menganalisis praktik budaya guna membongkar praktik kuasa yang terkait dengan produksi makna.

Cultural studies lahir di tengah-tengah semangat Neo-Marxisme yang berupaya meredefinisikan Marxisme sebagai perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni budaya tertentu. Para pendirinya terdiri dari sejumlah pengajar perguruan tinggi di Inggris, yang pada pasca Perang Dunia Kedua berusaha meredefinisikan makna perjuangan kelas di tengah situasi dunia yang tengah berubah. Entah kebetulan atau tidak, Richard Hoggart (1918 - …), Raymond Williams (1921-88)5, E.P. Thompson (1924 – 93)6, dan Stuart Hall (1932 - …) sama-sama berasal dari latar belakang kelas pekerja dan mengajar di institut pendidikan orang dewasa. Dengan latar belakang sedemikian rupa, tak heran jika mereka memandang kritis asal muasal mereka (kelas pekerja) yang berkiprah di tengah arena yang pada umumnya didominasi oleh budaya elitis (pendidikan tinggi). Agaknya, dari sini pulalah muncul suatu semangat perlawanan terhadap budaya adiluhung yang dikontraskan dengan budaya jelata kalangan kelas pekerja Inggris, yang saat itu mulai menampakkan bentuk sebagai akibat serbuan budaya populer Amerika Serikat.

Istilah cultural studies sendiri berasal dari Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Universitas Birmingham, yang didirikan pada tahun 1964. Edisi perdana jurnal mereka terbit pada 1972, berjudul Working Papers in Cultural Studies, diterbitkan dengan tujuan khusus “…mendefinisikan dan mengisi sebuah ruang, serta meletakkan cultural studies pada peta intelektual” (Sardar & Van Loon, 2001:24). Melalui jurnal ini, tulisan para tokoh pendiri cultural studies dipublikasikan ke seluruh dunia. Tulisan-tulisan mereka lantas dipandang sebagai teks-teks dasar cultural studies.

Para pendiri cultural studies berlatar belakang pendidikan sastra. Lagi-lagi, ini bisa dirunut dari perkembangan paham strukturalisme dalam kritik-kritik sastra yang berkembang pesat di Eropa pada masa itu. Berdasarkan pandangan ini, bahasa yang menjadi alat utama untuk mengekspresikan kehendak dan laku komunikasi ternyata tidak bebas dari struktur sistem dan ideologi yang ada. Maka, perhatian para kritikus sastra pun bergeser dari penggunaan bahasa secara praktis menjadi inkuiri atas wacana ideologi yang mendasari penggunaan bahasa.

Sesungguhnya, bahasa sendiri sebagai satu sistem pemikiran logis telah banyak dibahas oleh para filosof sejak era Yunani Kuno. Namun, diskusi seputar bahasa dalam strukturalisme tidak lagi tertarik pada masalah semacam itu. Para ahli strukturalisme justru lebih tertarik untuk mengangkat materi mengenai bahasa yang kini dipandang sebagai salah satu representasi ideologi. Ideologi sendiri, dalam jagat filsafat modern, dipahami kurang lebih sebagai hasil produksi budaya (produk budaya) atau pemroduksi budaya. Maka cultural studies lantas mendiskusikan ideologi dalam konteks semacam itu.

Kembali pada tujuan cultural studies, yaitu “mengisi ruang dalam sebuah peta intelektual.” Ruang apa sesungguhnya yang dimaksud oleh cultural studies? Untuk menjawabnya, perlu dipahami terlebih dahulu makna istilah ‘budaya’ yang dimaksud dalam cultural studies.

Istilah budaya mencakup banyak hal: mulai dari produk budaya (representasi budaya dalam bentuk kode di pelbagai bidang), simbol budaya (kesepakatan atas kode budaya), perilaku budaya (tata cara berperilaku, adat, custom), dan gagasan serta cara pandang yang mendasari perilaku tertentu (perspektif budaya). Definisi para ahli juga sangat beragam, mulai dari yang sangat serius-Margaret Mead: Budaya adalah perilaku pembelajaran sebuah masyarakat atau subkelompok–hingga yang terkesan ‘main-main’, walau sesungguhnya tak kalah serius–Clifford Geertz: Budaya hanyalah serangkaian cerita yang kita ceritakan pada diri kita mengenai diri kita sendiri. Sebagian ahli mencoba menjelaskan budaya sebagai suatu keseluruhan (E.B. Taylor: Budaya adalah keseluruhan hal yang kompleks, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat). Sebagian lain, dalam gagasan budaya sebagai suatu keseluruhan yang dipaparkan di atas, mencoba untuk lebih tegas dan lebih spesifik (Raymond Williams: budaya mencakup organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga, yang mengeskpresikan atau mengatur hubungan-hubungan sosial, bentuk-bentuk berkomunikasi khas anggota masyarakat).

Dalam karyanya Keywords, Raymond Williams menyarankan tiga batasan luas tentang budaya. Pertama, budaya bisa dipakai untuk menunjuk pada proses umum tertentu dari perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika sebuah masyarakat. Kedua, budaya dimaknai pula sebagai suatu jalan hidup spesifik yang dianut baik oleh orang, periode, maupun oleh sebuah kelompok tertentu dalam masyarakat. Ketiga, budaya dapat dipakai untuk menunjuk karya-karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas estetik. Dalam karyanya yang lain, Williams juga menyebut tiga kategori umum dalam pengertian kebudayaan. Pertama, definisi ‘ideal’—budaya dianggap merupakan satu proses penyempurnaan kehidupan manusia (human perfection) dalam term nilai-nilai absolut atau universal tertentu. Kedua, definisi bersifat ‘dokumenter’—budaya dipahami sebagai susunan intelektual dan karya imajinatif berisi catatan pemikiran dan pengalaman manusia. Ketiga, definisi ‘sosial’—budaya sebagai suatu deskripsi dari sebuah jalan hidup partikular, yang mengekspresikan makna-makna dan nilai-nilai tertentu bukan hanya dalam seni dan proses belajar, melainkan juga pada institusi-institusi dan perilaku sehari-hari. Dengan begitu banyaknya pemahaman menyangkut budaya, tak heran jika Franz MagnisSuseno (1991) menulis, kebudayaan adalah “seluruh hamparan alam semesta sejauh telah ditandai oleh eksistensi manusia.”

Edgar & Sedgwick (1999) dalam bukunya Key Concepts on Cultural Theory menulis, istilah “culture” memang tidak mudah didefinisikan, karena memiliki makna yang berbeda-beda dalam beragam konteks. Kendati demikian, konsep tentang budaya yang mendasari cultural studies dapat ditemukan bermuara pada antropologi kultural, sebagaimana cultural studies itu sendiri. “… It entails recognition that all human beings live in a world that is created by human beings, and in which they find meaning.” Karena itu, “Culture is the complex everyday world we are all encounter and through which we all move.” Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka, tampaknya, budaya mencakup (hampir) segala sesuatu dan cultural studies, sebagai konsekuensinya, juga mempelajari (hampir) segala sesuatu.

Namun, kendatipun cultural studies tampaknya merupakan kajian yang paling sukar ditetapkan batas-batasnya, tidak berarti bahwa segala sesuatu dapat masuk menjadi bahasan cultural studies. Sardar dan Van Loon (2002) merinci karakteristik cultural studies sebagai berikut:

  • cultural studies bertujuan mengkaji pokok persoalan dari sudut praktik kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan. Tujuan tetapnya adalah mengungkapkan hubungan kekuasaan dan mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi dan membentuk praktik kebudayaan.

  • cultural studies tidak hanya studi tentang budaya, seakan-akan ia merupakan entitas tersendiri yang terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya adalah memahami budaya dalam segala bentuk kompleksnya dan menganalisis konteks sosial dan politik tempat budaya mengejawantahkan dirinya. Budaya dalam cultural studies selalu menampilkan dua fungsi: ia sekaligus merupakan objek studi maupun lokasi tindakan dan kritisisme politik. cultural studies bertujuan, baik usaha pragmatis maupun ideal.

  • cultural studies berupaya membongkar dan mendamaikan pengotakan pengetahuan, mengatasi perpecahan antara bentuk pengetahuan yang tak tersirat (yaitu pengetahuan intuitif berdasarkan budaya lokal) dan yang objektif (yang dinamakan universal). cultural studies mengasumsikan suatu identitas bersama dan kepentingan bersama antara yang mengetahui dan yang diketahui, antara pengamat dan yang diamati.

  • cultural studies melibatkan dirinya dengan evaluasi moral masyarakat modern dan dengan garis radikal tindakan politik. Tradisi cultural studies bukanlah tradisi kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi yang punya komitmen bagi rekonstruksi sosial dengan melibatkan diri pada kritik politik. Jadi, cultural studies bertujuan memahami dan mengubah struktur dominasi di mana-mana, namun secara khusus lagi dalam masyarakat kapitalis industrial.

Istilah kunci yang kerap dipakai oleh cultural studies adalah membongkar praktik kekuasaan, membongkar hegemoni ideologi dan wacana tertentu. Dilihat dari akar sejarahnya yang bermula dari semangat perlawanan terhadap budaya elit tradisi ilmiah, penggunaan terminologi tersebut tidaklah mengherankan.

Berdasarkan karakteristik itu pula, cultural studies membedakan diri dengan praktik-praktik analisis budaya, baik melalui komparasi budaya atau grounded research, seperti dilakukan oleh antropologi kultural. Cultural studies, sekali lagi, tidaklah membicarakan bagaimana ‘wajah’ atau ‘karakter’ budaya tertentu. Dalam upaya menggambarkan wajah atau karakter budaya tertentu, cultural studies akan selalu menghubungkan dengan praktik-praktik budaya yang menghegemoni. Ada tudingan bahwa cultural studies tidak bebas nilai. Ini diakui oleh para peneliti cultural studies sendiri, yang memang sedari awal bukan saja mengakui bahwa fakta tidaklah bebas nilai dan bahwa realitas merupakan hasil konstruksi manusia, namun juga secara sadar dan sengaja memilih berkiprah sebagai cendekiawan yang juga aktivis.

Dalam perkembangannya, cultural studies yang digagas sebagai satu disiplin kajian yang khas pada akhirnya memiliki karakter yang berbeda-beda di setiap wilayah. cultural studies Inggris, sebagai cikal bakal cultural studies, dianggap sebagai disiplin yang kini sudah kelewat formalistik dan kaku, serta menuai kritik karena terlalu Anglosentris—mengukur segala sesuatu dari kacamata budaya Anglo-Saxon. Ini berbeda dengan cultural studies Amerika Serikat, yang tampaknya berpusat pada pemujaan terhadap budaya pop yang sangat berlebihan. Cultural studies Prancis mengalami perkembangan yang sangat menarik di tengah pergolakan kelas dan revolusi sosial yang disebabkan oleh kehadiran para imigran, di antaranya dari Aljazair dan Afrika Utara. Dari segi sejarah, perlu diingat pula bahwa beberapa wilayah Prancis semisal Korsika, dulunya pernah terlepas dari wilayah Prancis sehingga memperlihatkan kultur yang unik. Ini belum lagi termasuk gerakan radikal mahasiswa di tahun 60-an (yang antara lain dipimpin Michel Foucault langsung di jalanan) yang turut mewarnai gejolak revolusi sosial Prancis. Cultural studies Prancis kebanyakan berbicara tentang ‘kesepian’ kaum imigran di negara baru mereka, dan ‘kebingungan identitas’ di tengah keberagaman Prancis yang menempatkan budaya Prancis sebagai pusat budaya yang lebih superior. Kajian cultural studies Kanada kebanyakan berpusat pada kompetisi kultural yang berlangsung di antara budaya tiga penutur bahasa dominan: Inggris, Prancis, dan bahasa asli Kanada sendiri. Sementara cultural studies India, mengangkat semangat perlawanan anak benua asli menghadapi praktik-praktik kolonialisme (lewat studi rekonstruksi sejarah di mana sejarah direinterpretasi dari kacamata ‘korban penjajah’ yang jelas sangat berbeda dengan bangun sejarah yang dikonstruksi ‘sang penjajah’) maupun pascakolonialisme (ketika Barat memperlakukan Timur sebagai ‘the other’ yang tidak saja bertentangan dan berbeda, namun juga memposisikan Barat sebagai pihak adikuasa dan superior berhadapan dengan Timur yang eksotik namun inferior).

Agak sulit menetapkan macam apa bangunan cultural studies Indonesia. Wajah yang khas tentu akan ada, mengingat Indonesia punya sejarah dan budaya yang berbeda dengan wilayah lain. Tapi mesti diingat bahwa cultural studies Indonesia merupakan hasil impor dari tradisi ilmiah yang sangat berbeda dengan keseharian Indonesia, baik dari budaya maupun cara pikir. Budaya impor itu tidak diasimilasikan oleh para culturalist Indonesia ke dalam konteks keindonesiaan, namun masih lekat dengan budaya asal importirnya. Contohnya saja dalam membicarakan cultural studies. Terminologi dan istilah yang dipakai masih merupakan istilah impor, termasuk istilah cultural studies sendiri. Alih-alih menggunakan istilah ‘kajian atau studi budaya’ sebagai pengganti cultural studies, para aktivis cultural studies tampak lebih menyukai istilah cultural studies yang ditulis dengan italicized typography style. Ariel Heryanto menilai fenomena ini menyebabkan cultural studies Indonesia masih harus berjuang keras untuk menemukan bentuk orisinalnya. cultural studies Indonesia juga menurut Ariel berkembang tanpa melalui proses sejarah ilmiah sebagaimana dialami para perintis cultural studies. “It is cultural studies without any ‘significant others.” Akibatnya, jelas Ariel, “.… could be far reaching.”

Bagaimanapun, dari segi materi kajian, Indonesia sesungguhnya punya sumber-sumber budaya, sosial, dan historis yang melimpah pun tak kalah unik dibandingkan kawasan lain yang sudah lebih dulu mengembangkan cultural studies. Indonesia, dengan kata lain, memiliki ‘modal budaya’ dan ‘modal sejarah’ yang cukup kuat.

Dari aspek ‘modal sejarah’, cultural studies dengan semangat perlawanannya sangat relevan diterapkan di Indonesia untuk mengkaji bagaimana praktik kekuasaan mewujud dalam praktik keseharian masyarakat Indonesia—disadari atau (kerap) tidak disadari. Sebagaimana halnya India, Indonesia pun sempat mengalami masa kolonialisme yang cukup lama hingga mental-mental kolonialisme terlestarikan bahkan sampai saat ini. Sejumlah penelitian yang pernah dilakukan memperlihatkan minat atas topik tersebut. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Sulistini Dwi Putranti (2002) tentang menjamurnya Bursa Komoditi Second Branded menunjukkan keterkaitan fenomena tersebut dengan kuatnya hegemoni produk bermerek luar negeri dalam benak konsumen Indonesia. Penelitian ini mengimplikasikan betapa penjajahan kolonialisme kini dengan sukses telah digantikan oleh penjajahan kapitalisme internasional. Penelitian lain yang dilakukan Safrina Noorman (2002) tentang humor yang muncul pada novel serial Lupus memperlihatkan dominasi bahasa militer, bahkan pada level joke remaja, di tengah semangat perlawanan dan pemberontakan mereka terhadap segala macam aturan. Secara jeli, Noorman berhasil mengidentifikasi sejumlah istilah dan frase yang terkait dengan bahasa militer, seperti diseret ke depan kelas untuk diinterogasi, guru menyerbu ke dalam kelas sambil membawa gunting, guru galak seperti tekab, dan lain-lain. Ini menunjukkan betapa mendalamnya pengaruh budaya militer dalam keseharian masyarakat Indonesia, hingga tanpa sadar, barangkali, Hilman Hariwijaya sang pengarang Lupus menempatkan setting kisah Lupus bak berlangsung dalam arena militer, lengkap dengan segala atribut dan kode-kodenya, justru di tengah semangat perlawanan nan menggebu-gebu terhadap disiplin dan kemapanan ala seragam hijau.

Sama halnya dengan Prancis, Indonesia juga memiliki komposisi penduduk yang sangat heterogen. Ratusan etnis menjadi bagian Indonesia, dan dalam upaya melanggengkan status quo, kerap terjadi praktik hegemoni budaya yang dilakukan etnis budaya tertentu demi kepentingannya semata. Studi cultural studies dalam wilayah ini membicarakan perebutan kekuasaan dan dominasi budaya tertentu yang direpresentasikan dalam arena-arena khusus. Penelitian Novi Anugrajekti dari Desantara Institute for cultural studies membahas kiprah perempuan dalam seni tradisi, seperti tayub, jaipong, gandrung, ronggeng, dombret, yang dibacanya sebagai suatu resistensi kultural atas penindasan dan subordinasi terhadap identitas mereka. Alia Swastika dari Kunci Cultural Studies juga melakukan penelitian yang menarik seputar slogan girl power yang memiliki arti penting bagi remaja perempuan untuk “ … mempertanyakan kembali identitas keperempuanannya, melihat kembali perannya dalam lingkup sosial, dan pada akhirnya menggugat ketimpangan yang mereka rasakan dalam masyarakat terhadap peran remaja laki-laki dan remaja perempuan” (Swastika, 2002).

Contoh-contoh penelitian tadi memperlihatkan relevansi cultural studies dengan kondisi sosiokultural Indonesia yang begitu kaya.

Cultural Studies

Cultural studies berakar dari gagasan Karl Marx, yang mempunyai pandangan bahwa kapitalisme telah menciptakan kelompok elit kuasa untuk melakukan eksploitasi terhadap kelompok yang tidak berkuasa dan lemah. Pengaruh kontrol kelompok berkuasa terhadap yang lemah menjadikan kelompok yang lemah merasa tidak memiliki kontrol atas masa depan mereka. Para pendiri cultural studies memiliki latar belakang pendidikan Sastra, dapat ditilik dari perkembangan paham strukturalisme dalam kritik-kritik Sastra yang berkembang pesat di Eropa pada masa itu. Cultural Studies adalah studi kebudayaan atas praktek signifikasi representasi, dengan mengeksplorasi pembentukan makna pada beragam konteks.

Berikut ini adalah karakteristik cultural studies menurut Sardar dan Van Loon:

1 . Cultural studies mengkaji berbagai kebudayaan dan praktek budaya serta kaitannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah mengungkapkan hubungan kekuasaan serta mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi berbagai bentuk kebudayaan (sosial-politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum dan lain-lain).

2 . Cultural studies tidak hanya merupakan studi tentang budaya yang merupakan entitas tersendiri yang terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya adalah memahami budaya dalam segala bentuk kompleksnya dan menganalisis konteks sosial dan politik tempat budaya tersebut berasal.

3 . Budaya dalam cultural studies menampilkan 2 (dua) fungsi, merupakan objek studi maupun lokasi tindakan dan kristisme politik. Cultural studies bertujuan baik sebagai usaha pragmatis maupun ideal.

4 . Cultural studies berupaya untuk mendobrak pengkotak-kotakan pengetahuan konvensional, berupaya mendamaikan dan mengatasi perpecahan antara bentuk pengetahuan yang tidak tersirat (pengetahuan intuitif berdasarkan budaya lokal) dan yang objektif (universal). Cultural studies mengasumsikan suatu identitas dan kepentingan bersama antara yang mengetahui dengan yang diketahui, antara pengamat dengan yang diamati.

5 . Cultural studies melibatkan diri dengan evaluasi moral masyarakat modern dengan garis radikal tindakan politik. Cultural studies bertujuan memahami dan mengubah struktur dominasi khususnya dalam masyarakat kapitalis industri.

Istilah budaya mencakup beberapa hal, mulai dari produk budaya, simbol budaya, perilaku budaya, gagasan serta sudut pandang yang mendasari perilaku tertentu (perspektif budaya). Teori cultural studies memiliki landasan bahwa manusia, komunikasi, masyarakat dan budaya saling berpengaruh satu sama lain, disebut dengan teori logika depedensi. Konsep cultural studies menurut Morison dapat dipahami dari beberapa aspek, yaitu:

1. Ideologi Budaya

Budaya adalah kumpulan makna-makna, dan masyarakat adalah subjek yang menciptakan makna tersebut secara aktif dan terus menerus. Pemaknaan simbol-simbol tersebut selalu berbeda, maka terjadi perbedaan pemaknaan terhadap simbol atau perang budaya. Perbedaan terjadi ketika sebuah sistem budaya menginginkan pemaknaan “A” pada simbol “A” sementara budaya lain menginginkan makna “A” adalah “B”. Budaya yang berhasil menanamkan makna lebih dalam, menjadi budaya pemenang dan pengatur masyarakat. Ketika menjadi satu-satunya ideologi budaya yang menjadi sandaran masyarakat, maka terjadilah imperialisme kebudayaan.

2. Hegemoni Kebudayaan

Hegemoni adalah konsep yang mewakili pengaruh, kekuasaan atau dominasi kelompok sosial tertentu atas kelompok lainnya. Hegemoni budaya berarti kontrol sebuah kelompok atas kelompok lainnya melalui budaya. Konsep hegemoni banyak digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa.

3. Struktur Kekuasaan

Manusia merupakan bagian dari kekuasaan, dimana setiap orang merupakan bagian kekuasaan pada tingkat yang berbeda. Kompetisi dalam perebutan kekuasaan seringkali terjadi untuk menentukan makna. Pada umumnya yang menang adalah kelompok yang berada pada puncak hirarki sosial, yaitu media. Dalam hal ini, media menentukan apa makna dari berbagai simbol, masyarakat cenderung hanya menerima makna-makna tersebut.

4. Decoding Informasi

Ketika pesan dikirimkan kepada masyarakat, maka khalayak akan menerima dan membandingkan pesan-pesan tersebut dengan makna sebelumnya yang telah disimpan dalam ingatan. Proses inilah yang disebut dengan decoding . Proses decoding mendapat perhatian dalam cultural studies karena menentukan arti pesan bagi seseorang.

Cultural studies berupaya menganalisis praktek budaya guna membongkar praktek kuasa yang terkait dengan produksi makna. Dalam perkembangannya, cultural studies yang dibentuk sebagai disiplin kajian yang khas, memiliki karakter yang berbeda-beda pada setiap wilayah. Cultural studies Inggris merupakan asal mula terbentuknya cultural studies, dianggap sebagai disiplin yang sudah terlalu formal dan kaku, menuai berbagai kritik karena terlalu Anglosentris (mengukur segala sesuatu dari kacamata budaya Anglo-Saxon). Berbeda dengan cultural studies Amerika Serikat yang berpusat pada pemujaan terhadap budaya pop yang terlalu berlebihan. Cultural studies Perancis mengalami perkembangan yang sangat menarik di tengah pergolakan kelas dan revolusi sosial yang disebabkan oleh kedatangan para imigran. Cultural studies Perancis banyak membicarakan tentang “kesepian” kaum imigran di negara baru dan “kebingungan identitas” di tengah keberagaman Perancis yang menempatkan budayanya sebagai pusat budaya yang lebih superior. Cultural studies India mengangkat semangat perlawanan mengahadapi praktek kolonialisme maupun pascakolonialisme. Cultural studies Indonesia merupakan hasil asimilasi dari tradisi ilmiah yang sangat berbeda dengan keseharian Indonesia dengan mengacu pada kebudayaan negara asal, walaupun sebenarnya Indonesia mempunyai sumber-sumber budaya, sosial dan historis yang tidak kalah unik dibandingkan dengan negara lain.

Cultural studies merupakan model kajian budaya (termasuk sosial) yang berbeda dengan kajian budaya modern (konvensional). Cultural studies tidak dapat diteliti dan dipahami berdasarkan epistemologi modern, karena asumsi dasar kajian ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran posmodern. Karakter kajian budaya modern bersifat obyektif, universal, monokultural, dan beridentitas tunggal, sedangkan cultural studies memandang budaya bersifat plural, multikultural, kompleks, identitas terkonstruksi, dinamis, berbeda, interaktif, dan saling berpengaruh secara intens, karena perbedaan pandangan dunia dan permainan bahasa ( language game). Kajian budaya menolak klaim para empirisis bahwa pengetahuan hanyalah masalah mengumpulkan fakta yang digunakan untuk mendeduksi atau menguji teori. Teori dipandang terlalu implisit dalam penelitian empiris melalui pemilihan topik, fokus riset dan konsep-konsep yang dipakai untuk mendiskusikan dan menafsirkannya. Kajian budaya ingin memainkan peran demistifikasi, untuk menunjukkan karakter terkonstruksi teks kebudayaan dan berbagai mitos dan ideologi yang tertanam di dalamnya, agar dapat melahirkan posisi-posisi subjek, yang mampu melawan sub-ordinasi.

Referensi

Cultural studies – Desain Komunikasi Visual – DKV New Media