Bagaimana sejarah Berdirinya Negara Israel?

Berdirinya Negara Israel

Pada tahun 1948, negara Israel terbentuk. Bagaimana sejarah Berdirinya Negara Israel?

Kekuatan luar biasa yang menjadi pendorong kemunculan negara Israel di kawasan Palestina adalah ideologi zionisme. Ideologi zionisme secara singkat dapat didefenisikan sebagai kepercayaan tentang kembalinya orang-orang dan bangsa Yahudi dari diaspora mereka selama berabad-abad, sehingga dapat menyelamatkan mereka dari kekuasaan orang-orang non-Yahudi (gentiles), bahaya asimilasi dengan orang-orang gentiles, ancaman anti Semitisme (anti Yahudi) dari masyarakat lain. Karena itu, Zionisme bertujuan untuk mewujudkan sebuah negara – bangsa yang sepenuhnya Yahudi dalam etos dan karakter setelah berada di diaspora selama lebih dari 2000 tahun, dan dengan demikian, mereka mampu survive di muka bumi.

Pencarian sebuah wilayah negara-bangsa Yahudi, yang biasa mereka sebut sebagai “promised land” atau tanah air yang dijanjikan merupakan program pokok Zionisme sejak ideologi ini pertama kali dirumuskan mantan wartawan Theodore Hertzl pada 1897. Pencarian dan penetapan “tanah air yang dijanjikan” itu pun melalui proses yang rumit; mulai dari kawasan tertentu di Amerika Selatan, Afrika, sampai akhirnya kemudian bangsa Yahudi dan gerakan Zionisme internasional menetapkan Palestina sebagai “promised land”.

Berbarengan dengan bangkitnya ideologi Zionisme, kebijakan-kebijakan Tsar Rusia yang anti-Yahudi mengakibatkan terjadinya gelombang migrasi (pogrom) orang-orang Yahudi sepanjang 1882-1918 ke Palestina, Eropa Timur dan Amerika Serikat. Gelombang pogrom mengakibatkan terjadinya pergeseran Zionisme. Semula Zionisme memegangi prinsip bahwa ideologi ini harus lebih didasarkan pada solidaritas rasial dan keagamaan daripada kesatuan wilayah atau tanah air. Tetapi migrasi orang-orang Yahudi ke Palestina mengubah Zionisme menjadi ideologi dan gerakan politik untuk mewujudkan “tanah air yang dijanjikan” di Palestina.

Dengan perubahan orientasi itu, maka penciptaan mayoritas bangsa Yahudi di Palestina telah menjadi program gerakan Zionisme internasional sejak masa-masa akhir abad ke-19. Terus semakin merosotnya kekuasaan Dinasti Usmani sejak perempatan terakhir abad ke-19 memberikan peluang besar bagi masuknya orang-orang Yahudi di kawasan Palestina dalam jumlah besar. Kemiskinan masyarakat palestina sendiri menjadi salah satu faktor paling penting pula bagi terjadinya penjualan tanah milik orang-orang Palestina kepada orang-orang Yahudi.

Gerakan anti-semit31 di seluruh dunia melahirkan reaksi balik berupa gerakan Zionisme sedunia, yang digagas oleh Dr. Theodore Herzl (1896), seorang Yahudi Hongaria di Paris. Menurut Hertzl, satu-satunya obat mujarab untuk menanggulangi anti-semitisme adalah dengan menciptakan suatu tanah air bagi bangsa Yahudi. Melalui pamfletnya yang berjudul “Der JudenStaat,” Hertzl mulai mempropagandakan cita-citanya tersebut. Awalnya Hertzl belum menegaskan di mana letak tanah air bangsa Yahudi akan dibangun. Mula-mula disebut Argentina atau Palestina. Tetapi dalam kongres kaum Zionis pertama di Basel, Swiss tahun 1897, mereka menetapkan Palestina sebagai pilihannya. Alasan pemilihan Palestina adalah latar belakang historis-ideologis untuk mengembalikan ”Haikal Sulaiman” yang merupakan lambang puncak kejayaan Kerajaan Yahudi di tanah Palestina (sekitar 975 – 935 SM). Maka, sejak 1930 eksodus Yahudi dari Eropa ke Palestina meningkat tajam, terutama pada era Nazi Jerman (Perang Dunia II).

Keruntuhan khilafah juga ikut memberi andil berdirinya negara Israel. Khalifah Turki Utsmani Sultan Abdul Hamid sebagai penghalang terbesar diturunkan sebagai Khalifah oleh gerakan Turki Muda. Waktu itu, tahun 1909, Sultan Abdul Hamid mengeluarkan pernyataan keras kepada Yahudi: “Seandainya kalian membayar dengan seluruh isi bumi ini, aku tidak akan menerima tawaran itu. Tiga puluh tahun lebih aku mengabdi kepada kaum Muslimin dan kepada Islam itu sendiri. Aku tidak akan mencoreng lembaran sejarah Islam yang telah dirintis oleh nenek moyangku, para Sultan dan Khalifah Uthmaniyah. Sekali lagi aku tidak akan menerima tawaran kalian!” Pernyataan Sultan Abdul Hamid ini tentu menjadi penghalang besar bagi konspirasi Yahudi dalam mewujudkan cita-citanya. Pernyataan itu pun dipastikan membuat Yahudi terus berupaya menghancurkan Sultan Abdul Hamid. Ide Restorasi Yahudi beriringan kuat dengan kepentingan imperialis.

Ketertarikan Eropa kepada Palestina di abad ke-19 dapat dibagi dalam dua tingkat. Pertama, dimensi politik di antara pemerintahan Eropa karena letak geografis Palestina sangat strategis yang berada di lingkungan dunia Arab (Islam). Kedua, aspirasi sosial yang sangat terkait dengan berkembangnya ide perang Salib damai (peaceful Crusade) di kalangan orang-orang Kristen Ortodok dan Yahudi untuk menguasai Yerusalem.

Permasalahan bangsa ini nampak sangat rumit, karena bangsa Yahudi ingin mendirikan tanah air nasional di sebuah wilayah dengan posisi mereka sebagai kelompok minoritas di tengah penduduk Palestina-Arab. Sekalipun demikian, pada tahun 1917 Inggris mengeluarkan Deklasrasi Balfour dan menjanjikan akan menghadiahkan sebuah tanah air kepada Yahudi di Palestina.

Pihak Inggris membayangkan bahwasanya tanah air Yahudi akan menjadi dalih bagi klaim Inggris untuk menguasai negeri ini. Mereka juga membayangkan bahwasanya mereka akan menggalang dukungan dari warga Yahudi di Rusia dan Amerika dalam peperangan mereka dan menghalangi inisiatif yang sama dari pihak Jerman. Dalam melaksanakan maksudnya ini, mereka mengabaikan komitmen terhadap bangsa Arab. Seusai peperangan, Liga Bangsa-Bangsa mengesahkan mandat kepada Inggris untuk merealisasikan tujuan pembangunan sebuah tanah air nasional bangsa Yahudi.

Pada Perang Dunia I (1914-1918), Turki Utsmani bergabung dengan Poros sentral (Jerman, Austria-Hungaria) melawan sekutu. Namun pada 1916, Inggris dan Prancis bersekongkol untuk membagi wilayah Timur Tengah dan terkenal dalam Perjanjian Sykes Picot. Dalam Deklarasi Balfour tahun 1917, Inggris mendukung pembentukan Negara Yahudi di tanah Palestina.

Setelah Deklarasi Balfour pada 2 Nopember 1917 gerakan Zionisme mulai mendorong migrasi kaum Yahudi ke Palestina. Sesuai keputusan Konferensi Zionisme Internasional ke-1 di Bazel pada 1897 gerakan migrasi dan penguasaan tanah Palestina dilakukan dengan cara-cara, pertama, pembelian tanah orang Arab Palestina secara besar-besaran untuk membangun pemukiman Yahudi. Dana untuk pembelian tanah dari orang Arab-Palestina cukup besar, tetapi ternyata animo orang Yahudi untuk bermigrasi ke Palestina sangat rendah. Untuk memaksa orang Yahudi bermigrasi, kaum Zionis terpaksa melakukan tindakan kedua, yaitu melakukan teror gelap terhadap orang-orang Yahudi sendiri di Eropa, untuk memaksa mereka mau ber-eksodus ke Palestina; ketiga, selain itu kaum Zionis juga melakukan embargo terhadap pemukiman Arab-Palestina dengan menutup jalur suplai kebutuhan sehari hari dan kadang kala dengan cara-cara intimidasi, sehingga mereka jatuh miskin dan terpaksa atau dipaksa menjual tanah atau berpindah tempat meninggalkan kampung halaman mereka; keempat, di samping itu gerombolan-gerombolan teroris Zionis seperti Haganah, Stern Gang, Bachnach, Irgun Levi L’ummi, dan sebagainya, secara terus-menerus melakukan teror dan pembunuhan gelap terhadap orang Arab-Palestina untuk memaksa mereka meninggalkan tanah dan tempat tinggalnya. Tindakan itu dilakukan sejak tahun 1920 sampai dengan sekarang; dan yang terakhir, yang kelima, membangun kepemimpinan orang Yahudi di Palestina di bidang ekonomi dan politik.

Tahun 1918, Palestina jatuh. Jendral Allenby merebut Palestina dari Khilafah Turki Utsmani. Setahun kemudian, secara resmi mandat atas Palestina diberikan kepada Inggris oleh PBB. Pada tahun 1947, PBB dengan sewenang-wenang membagi dua wilayah Palestina. 1948 menjadi tahun bersejarah bagi Yahudi karena merupakan tahun deklarasi pembentukan Israel. Tepat hari berakhirnya mandat dan penarikan pasukan Inggris dari Palestina dideklarasikan pendirian Negara Israel, 14 Mei 1948.

Ada beberapa perang yang pantas diingat dalam sejarah berdarah Yahudi. Pada 1948 ada Perang Arab Israel I. Mesir, Jordania, dan Syria masing-masing menduduki Gaza, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Pada 1967 terjadi Perang 6 Hari, Mesir, Jordania, dan Syiria menyerang Israel, tapi justru kehilangan ketiga daerah hasil perang 1948 bahkan Gurun Sinai lepas dari Mesir. Dan pada tahun 1973 terjadi Perang Yom Kippur, Mesir dan Syria menyerang Israel. Diikuti embargo minyak kepada negara-negara Barat, tapi pada tahun 1978 dalam Perjanjian Camp David, Mesir mendapatkan kembali Gurun Sinai dengan syarat tidak lagi memerangi Israel. Gaza, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan tetap dalam kontrol Israel. Puncaknya pada tahun 1992 dibuat Perjanjian Oslo.

Pengakuan PLO atas eksistensi Israel dan penunjukkan PLO sebagai otoritas resmi atas Jalur Gaza dan Tepi Barat. Sejak saat itu Israel semakin berdiri kokoh di tanah jajahannya, Palestina.37 Lahirnya Zionisme sebagai ideologi Yahudi dan eksistensi Israel jelas merubah peta dunia Islam. Palestina yang awalnya kawasan Islam yang cukup luas terletak di antara Mesir, Lebanon, Syiriah, dan Yordania kini harus menerima kenyataan dengan berbagi wilayah dengan Israel karena penduduk Palestina yang mayoritas Arab Islam tidak kuasa membendung kekuatan Zionisme-Yahudi dalam mendirikan negara Israel di sana. Hal ini jelas mengurangi keluasan wilayah Islam di Timur Tengah. Keberhasilan Zionisme dalam upaya restorasi Yahudi yang akhirnya berhasil mendirikan sebuah negara independen Israel di Timur tengah, tepatnya di daerah Palestina, jelas memberi dampak besar bagi sejarah dunia Islam modern.